Thursday 13 August 2015

[One Shot] Knockin' on Heaven's Door

Pernahkah kau memikirkan seorang pria? Dia berjalan mendekatimu dengan senyuman yang tersimpul manis. Pria itu, mengenakan tuxedo yang rapi dengan sebuah corsage di tangannya. Seolah dia hendak mengajakmu pergi ke suatu tempat yang romantis sambil memberikan corsage tersebut untukmu. Kau hanya bisa membalas senyumannya dan berterima kasih dalam hati. Kau terus bersyukur tanpa henti setiap kali bersamanya.

It feels like knocking on heaven's door.

Dia bagaikan sebuah fantasi seluruh wanita, bagaimana bisa seseorang yang begitu sempurna bisa datang di kehidupanmu? Kau sendiri masih tidak habis pikir namun tak pernah ingin menghentikannya.

Sampai akhirnya matamu terbuka kembali dan menyadari bahwa semua itu hanyalah mimpi, kau sadar hidupmu tidak pernah terlalu beruntung seperti impianmu. Pria seperti itu bahkan tidak pernah ada, apalagi bertemu dan jatuh cinta kepadamu.

Tetapi semua itu terasa nyata bagiku. Percaya atau tidak, dia hadir dalam kehidupanku.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyanya sambil mendekatkan dirinya kepada tubuhku.

Aku mengenakan sweater oranye hangat, syal serta topi dengan warna senada, sedangkan dia hanya sebuah blouse biru muda dan nampak kedinginan.

"Hanya membaca," aku mengambil secangkir teh yang baru saja dia bawa dan diletakkan di meja. Ah... hangat sekali. Aku menyentuh permukaan cangkir tersebut dan mendekatkannya di pipiku.

Dia nampak hendak bermanja-manja kepadaku. "Memangnya kau tidak ada urusan lain?" Tanyaku.

Dia hanya menggeleng. "Memangnya aku tidak boleh menikmatimu saja seharian?"

Pria ini... aku tidak tahu mengapa bisa sekali pipiku memerah hanya karena rayuan murahan seperti itu.

Aku menghabiskan sekitar 3 hari 2 malam di sebuah resor dekat sebuah pegunungan dengannya. Aku tidak terlalu ingat apakah ini ideku atau idenya, namun liburan singkat ini benar-benar tidak bisa kulupakan. Walau aku hanya tinggal di sebuah villa tanpa keluar sama sekali, tetapi menghabiskan waktu dengan seseorang yang dicintai memang tidak akan pernah membosankan.

Setelah liburan itu selesai, aku kembali ke rutinitas yang penat dan melelahkan seperti biasanya. Aku bisa melihat kakakku berada di rumahku dengan pandangan penuh khawatir. Dia menatapku dalam-dalam sambil menanyaiku.

"Kau pergi bersama Louis lagi?" Tanyanya.

Aku jelas mengangguk, dan dia nampak semakin khawatir.

"Lois, dia tidak nyata," ucap kakakku.

Apa yang dia bicarakan sebenarnya? Bagaimana bisa dia berkata bahwa Louis tidak nyata?

"Aku mengecek semuanya, Lois. Tidak pernah ada seorang pengusaha batu bara bernama Louis Bane di mana-mana. Bahkan aku tidak menemukan seorangpun yang mengenalnya di industri batu bara. Aku sudah mencari tahu semuanya tetapi kenyataannya pria itu tidak ada,"

Aku masih diam dan tidak mengerti apa maksudnya.

"Dia hanya imajinasimu saja, Lois,"

Dengan seketika, aku begitu marah saat dia menuduhku berbohong dengan keberadaan Louis. Tidak mungkin Louis tidak nyata, jelas sekali aku bisa merasakan sentuhannya dan kehangatannya yang belum pudar di ingatanku.

"Kita bisa memperbaiki ini. Aku punya kenalan seorang psikiater dan menurutnya hal yang terjadi padamu bukanlah kasus yang pertama,"

"Kau pikir aku sudah gila, kak?"

Kak Mel menatapku. "Kalau begitu, pertemukan aku dengannya,"

"Tidak perlu, aku bisa mengantarmu ke resor kami tadi,"

Kak Mel begitu keras hati dan menantangku untuk pergi ke sana. Akhirnya aku terpaksa kembali ke rute jalan yang baru saja kulewati beberapa menit yang lalu.

Di resor itu, aku bertanya kepada resepsionis tersebut apakah dia masih mengingatku. Dia tersenyum dan mengaku masih mengingatku yang baru saja check out. Ketika aku bertanya apakah dia melihat seorang pria yang terus bersamaku, dia nampak bingung.

"Saya tidak ingat anda bersama seorang pria,"

Aku kesal. Sepertinya resepsionis ini tidak memerhatikan keberadaan Louis karena kondisi hotel sedang cukup penuh waktu itu.

Selama di resor, 2 orang pria di bagian housekeeping selalu merapikan ruanganku. Aku tidak terlalu mengingat nama mereka, tetapi berdasarkan resepsionis tersebut, dia sudah memanggil petugas yang menangani ruanganku.

Saat melihat mereka berdua, aku yakin mereka adalah yang kumaksud. Bahkan mereka juga mengaku masih mengingatku saat bertemu.

"Kami tidak terlalu memperhatikan ruang tamu karena anda berada di sana selagi kami bekerja,"

Jawab mereka saat aku bertanya apakah mereka melihat pria yang bersamaku waktu itu. Lalu aku bertanya lagi dan jawaban mereka membuatku pusing bukan main.

"Sepertinya kami tidak merasa anda bersama orang lain,"

Tetapi aku sangat yakin Louis nyata, bagaimana bisa aku berimajinasi dengan begitu detil hingga mampu menghidupkannya sampai menyentuhku. Kak Mel nampak sudah bosan saat aku hendak bertanya ke seluruh petugas hotel dan hasilnya nihil.

"CCTV," ucapku. Ah, benar! Pasti Louis terekam di lobby hotel dengan jelas.

"Mohon maaf, selama seminggu ini CCTV di lobby kami sedang bermasalah dan tidak menyala dari kemarin,"

Kak Mel menarikku yang hampir memarah-marahi pihak hotel karena CCTV adalah satu-satunya peluangku untuk membuktikan bahwa aku tidak gila. Dia menyuruhku untuk menelepon Louis saat ini juga kalau dia memang nyata.

Aku meneleponnya, namun ponselnya tidak aktif. Aku ingat bahwa dia berkata dia akan melakukan ekspedisi di sebuah hutan yang masih terisolasi jadi menghubunginya sia-sia saja.

"Setidaknya satu foto saja kau tidak punya?" Tanya Kak Mel.

Aku tidak pernah berfoto dengan Louis karena setiap waktu yang kuhabiskan dengannya terasa tidak cukup dan berfoto dengannya terasa tidak perlu lagi karena dia selalu ada di sampingku selama itu.

Kak Mel terus menarikku dan memaksa pergi ke psikiater dan aku terus menolak. Aku tidak gila. Louis pasti nyata, hanya saja aku belum bisa membuktikannya.

"1 minggu, beri aku waktu 1 minggu setelah Louis kembali, aku pasti akan membawanya kepadamu,"

Kak Mel cukup bimbang namun dia memilih untuk bersabar. Dia benar-benar memberiku waktu tepat 1 minggu. Apabila aku tidak bisa menunjukkan bahwa aku tidak sedang berkencan dengan khayalanku sendiri, aku harus bersedia mendatangi psikiater.

Hampir setiap hari aku mencoba menelepon Louis. Aku juga kembali mendatangi tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama Louis dan hasilnya nihil. Tidak ada yang ingat aku datang bersama seseorang. Selama itu aku mulai meragukan apakah Louis benar-benar hanya imajinasiku saja atau dia memang nyata. Aku tidak pernah menemui seorangpun yang menyadari kehadiran Louis. Harapanku hanyalah Louis kembali dari ekspedisinya secepat mungkin.

"Lois, ada apa?"

Suatu pagi aku hendak menangis tidak karuan saat akhirnya Louis mendatangi rumahku dengan sebuah coat menggantung di tangannya. Aku memeluknya dan yakin bahwa ini bukan khayalan semata.

"Are you real?" Tanyaku.

Louis menatapku aneh. "Apa maksudmu?"

Aku menjelaskan bagaimana aku berusaha membuktikan keberadaannya kepada Louis dan dia hanya diam. Aku merasa bingung mengapa dia hanya diam, seharusnya dia tertawa mendengarnya.

"Kau harus bertemu dengan Kak Mel dan membuktikan bahwa aku tidak gila,"

"Aku tidak bisa, Lois," elaknya.

"Lou, ada apa?"

"I'm not real," jawabnya. Ucapannya tidak bisa kumengerti.

"What do you mean? You're real, i can touch you, i can see you,"

"Apakah kau tidak menyadarinya? Hanya kau yang bisa melihatku,"

Tidak... Ini tidak mungkin...

"Kau pikir imajinasiku bisa membuatmu senyata ini? Aku bisa menghidupkanmu secara detil seperti ini? Kau terlalu nyata untuk bisa menjadi imajinasi, Louis,"

"Apakah kau pikir sosok sepertiku bisa hadir di dunia nyata, baik penampilan hingga karakterku, apakah pria sepertiku bisa kau temui dengan mudah? Kalaupun kau bisa menemukannya, apakah pria itu mau mencintaimu seperti aku kepadamu? Apakah kau merasa kau cukup spesial untuk seorang pria hebat? Apakah kau pikir kau mampu menarik hati pria itu?"

Mengapa kau tidak pernah menyadarinya, Lois?

"Hentikan," pintaku.

"Kau tidak pernah menyukai dirimu sendiri tetapi kau berharap seseorang bisa mencintaimu? Kau pikir kau seorang supermodel? Aktris terkenal? Kau selalu menganggap rendah orang lain tetapi kau lebih merendahkan dirimu dibawah siapapun. Apa kau masih belum menyadari bahwa aku tidak akan mungkin bisa hadir di kehidupanmu secara nyata?"

"Hentikan!" Bentakku.

Louis berdiri di sana, dan aku menamparnya.

"You just slapped yourself," ucapnya. "Kau tidak pernah mau menerima kenyataan bahwa kau terus bermimpi tanpa pernah berusaha,"

"Hentikan, kubilang!" Aku menjerit dalam hati. Kalau ini hanya mimpi, aku ingin segera terbangun.

Pada saat mataku terbuka, aku bisa melihat diriku terbaring di sebuah kursi panjang. Seseorang dengan jubah putih duduk di seberangku. Dr. Ellis, namanya tertulis di sebuah nametag dekat sakunya.

"Sekarang, jawab aku, Lois," ucap Dr. Ellis. "Dimana Louis?"

Aku menitikkan air mata tanpa kusadari. Setelah membuka mata, aku tahu bahwa aku tidak berhasil membuktikannya kepada Kak Mel dan dengan pasrah aku bersedia mendatangi seorang psikiater. Entah apa yang telah dilakukan dokter ini hingga aku bisa mengucapkannya dengan jelas,

"He's not real,"