Monday 31 August 2015

[One Shot] Bound and Beyond

Don't worry, little girl,

Every pain is also another description of pleasure,

You and I here,

We are destined to be together,

To share both pleasure and pain,

Here...

Aku masih mengingat jelas apa yang Ravi bisikkan kepadaku, bagaimana dia mampu menenangkan diriku saat terjebak ke dalam sebuah lubang hitam tanpa ketakutan. Aku memperhatikan bukti-bukti yang masih berserakan dan bahkan menempel seolah hatiku sudah bebas dan tidak lagi menjerit.

I'm free.

Ravi membuka mataku. Disaat aku berada diatas, lubang hitam ini nampak begitu kelam dan mencekam. Sesaat setelah dia mendorongku dan jatuh ke dalamnya, lubang itu terasa lebih bercahaya dibandingkan diatas sana. Hanya kata terima kasih tidak akan pernah cukup menunjukkan apa yang kurasakan sekarang.

"Morning, cupcakes," sapanya. "You look very energetic," dia memperhatikanku dari atas hingga bawah.

Dia mengejekku. Siapapun yang baru saja terjatuh akan merasa sangat lemah, setidaknya sakitnya masih membekas.

Hari pertama setelah aku terjatuh, dan rasanya hidupku sudah tepat seperti yin-yang. Otakku memiliki dua sisi, dan keduanya bekerja penuh tidak seperti sebelumnya. Melamun adalah sesuatu yang tidak pernah kulakukan dan kini hampir di siang hari kuhabiskan dengan membayangkan cara-cara terjatuh lagi.

Ini adalah masa dimana adrenalinku bekerja tanpa henti. Expectation turns to either enthusiasm or fear. Semua hal yang dibayangkan seolah butuh direalisasikan segera.

Aku tidak tahu sejak kapan ketertarikan ini berawal, apakah tepat disaat aku terjatuh atau tanpa kusadari aku memang selalu menginginkannya. Setiap kali matahari bergantung di langit, aku menunggu dia tertidur pulas. Setiap mata yang memandangiku di siang hari, aku berharap ketika tidak akan ada mata yang berusaha menghakimi lagi.

Malam selalu menjadi waktu dimana keinginan diwujudkan. Suara deruman mobil yang menanti untuk terparkir di garasi, suara gelas-gelas yang bertabrakan di bar dan terbiasa mendengar curhatan suka maupun duka, dan, suara decitan selimut yang terentang diatas kasur.

Tetapi malam bagiku adalah waktu yang tepat untuk terjatuh, lebih dalam, lagi.

Ravi tersenyum saat melihatku, seakan tahu bahwa aku akan kembali. Aku ingin berteriak memberitahunya bahwa kini aku bebas, dan dia adalah yang membebaskanku. Baik hari ini hingga hari berikutnya, temani aku dalam kebebasan itu. Ah, bicara apa aku.

Mulai saat ini permainan baru dimulai. Aku adalah pemain baru dengan tingkat budak yang mencoba berguru dengan sang penguasa. Banyak hal yang masih tidak kuketahui, namun dengan senang hati akan kupelajari.

Safe doesn't exist, nor exit.

Aku mengangguk kepada Ravi. Disaat aku sudah memutuskan untuk kembali terjun kedalam lubang yang lebih dalam lagi, tidak akan pernah ada tangga yang mengantarku kembali. "Georgina..." dia memberikan aba-aba.

Caranya menuntunku seperti Adolf Hitler dengan penuturan Dalai Lama. Wawasannya seperti Albert Einstein dengan sikap Mahatma Gandhi.

Sampai kau tidak bisa menjelaskan apa yang kau rasakan, aku tidak akan membiarkanmu pergi, katanya.

Georgina, sejak awal kau tahu kau tidak hanya sekedar akuntan biasa.
You are beyond that.
You are not bounded by anything.
You deserved life to be adventurous.
Get out of your boring life and get rid of your principle.
Your day can be filled with your forever ambition, but your night is the time to reveal who you really are.

A cutesy rabbit, a pampered cat, a majestic peacock, or even a sly snake.

-end-

Saturday 29 August 2015

[One Shot] A Cup of Iced Latte

Kau tahu apa yang lebih mengejutkan disaat kau sedang sendirian?

Ketika pikiranmu sedang bermain dengan telinga, seakan kau mendengar hal-hal yang fiktif namun terasa sangat nyata. Terkadang delusi seperti itu begitu memabukkan. Dan hal tersebut adalah tahap awal bahwa kau terdeteksi sebuah depresi akut.

"You need someone,"

Seseorang duduk tepat di depanku ketika aku sedang memanjakan diri di sebuah coffee shop sambil menikmati Iced Latte favoritku. 

Aku tahu. Menyenangkan, bukan? Disaat kau sendirian dan seseorang mengganggu waktumu. Seperti kau terlalu banyak mengenal orang lain dan mereka begitu bersemangat untuk menemuimu. Atau mungkin kau akan merasa bahwa hidupmu sangat berwarna dan dipenuhi orang-orang yang sangat memperhatikanmu.

Tetapi, orang yang berada di hadapanku adalah salah satu bentuk halusinasi. Hidupku tidak pernah seberuntung itu. Terlalu banyak populasi manusia di dunia ini dengan kesibukannya masing-masing. Lalu mengapa kau bisa merasa ada orang yang cukup perhatian kepadamu?

"Be social," ucapnya.

Oriol. Aku menamainya seperti model spanyol yang terkenal dengan mata biru kehijauan yang dimilikinya, Oriol Elcache. Nama tersebut adalah salah satu pengingat bahwa pria ini begitu fiktif. Tidak mungkin ada seseorang dengan penampilan bak supermodel terkenal yang sengaja menghampiriku di hari sibuk seperti ini.

"F*ck off, Oriol," pintaku.

"Kau tahu? Itu adalah salah satu alasan mengapa kau selalu sendiri. Kau tidak pernah membiarkan seseorang tertarik kepadamu,"

"So what?" Karena aku tahu dia hanya khayalan, aku menjawabnya sambil berbisik. Siapapun akan menganggap aku sangat gila untuk duduk dan berbicara sendiri.

"Kau terlalu berharap banyak kepada orang lain. Kau menginginkan orang sepertiku datang kepadamu seperti yang kulakukan, bukan?"

Karena pria ini adalah khayalan yang kubuat sendiri oleh pikiranku, dia jelas mengetahui semua hal tentangku.

"Mengapa kau kelihatan malu untuk menjawabku? Kau takut orang lain menganggapmu gila? Kau pikir kau masih normal saat berusaha menghidupkanku?"

"Apa yang kau inginkan sekarang?" Tanyaku.

"Look at those people around you," dia menunjuk pengunjung yang datang. "Mereka datang dengan seseorang, atau setidaknya sedang menunggu seseorang. Dan kau? Apakah ada seseorang yang datang kepadamu disaat seperti ini?"

"Kau benar. Aku memang selalu sendiri dan aku merasa baik-baik saja, mengapa kau malah mempermasalahkannya?"

"Seriously? Karena aku ada di sini, maka kau benar-benar butuh bantuan seseorang. Kau tidak pernah menyadari betapa sakitnya dirimu sampai kau bisa melihatku dengan jelas seperti ini?"

"Baik. Kau menang. Mungkin aku harus menelepon seseorang untuk menemaniku disini," jawabku.

"A guy?" entah dia semacam bertanya atau memerintah.

Aku memutar otak. Siapa yang akan kutelepon? Hampir seluruh pria yang kukenal hanya fiktif. Hingga akhirnya aku memiliki petunjuk sebuah nama, akhirnya aku menjawab, "Yes, a guy," 

Oriol tersenyum puas.

"You can go now," aku mengusirnya.

Oriol akhirnya pergi meskipun aku tidak begitu memperhatikan bagaimana caranya pergi. Aku sangat yakin dia hilang begitu saja dari pandanganku.

Aku nampak senang saat seseorang kembali duduk di hadapanku dan bukan Oriol.

"I'm really glad you called me,"

Senyumannya seakan mengingatkanku bahwa cuaca begitu cerah hari ini dan matahari sangat bersahabat. Dia duduk dengan sangat nyaman di depanku.

"Oriol came here and keep nagging at me," aku mengeluh kepadanya.

"Oriol ?" Tanyanya. "Seseorang yang selalu datang disaat kau sendirian?"

Aku mengangguk.

"Aku penasaran bagaimana dia kelihatannya,"

Kau tidak akan pernah bisa melihatnya, aku jamin itu.

Friday 28 August 2015

[One Shot] The Match Made in Heaven (2 of 2)

Setelah akhirnya Tom mampu kembali menjadi dirinya lagi, kondisi nampak semakin membaik bagiku dan baginya juga. Tom menerimaku untuk terus bersamanya, bahkan dia selalu bersandar padaku. Ellie ini, Ellie itu, aku tidak pernah menyangka akan selalu dibutuhkannya seperti sekarang.

The Oil Works tetap buka seperti biasanya, namun kini aku yang harus bertanggung jawab penuh dengan urusan toko karena Tom sedang bekerja keras untuk menjadi seorang kurator. Walaupun cukup sulit, tetapi dia nampak bersemangat. Aku begitu menyetujui keputusannya menjadi kurator, dan dia nampak begitu senang.

"Tom?" Panggilku.

Dia menghampiriku yang berada di dekat gudang penyimpanan. Aku menunjuk kanvas-kanvas lukisan yang ditutup oleh sebuah kain.

"Kita butuh ruang lebih untuk menyimpan pesanan nanti, apa kau tidak bisa pindahkan lukisanmu ke suatu tempat?"

"Ah... baiklah," dia mengangkat lukisan tersebut. "Omong-omong, Ellie," dia melirikku. "Selama aku tidak ada kau tidak mencoba melihat lukisanku, kan?" Tanyanya.

"Tentu saja aku sudah lihat," jawabku, bohong.

"What did you see?"

"Some nude paintings," jawabku asal.

Tom tertawa, "It's good you haven't seen it yet,"

"Apa? Apa yang kau sembunyikan memangnya?"

"Lupakan," ujarnya sambil mengangkut lukisan tersebut.

Suatu hari Kat datang dan hanya ada aku di toko. "Halo, Ellie," sapanya. Setelah mengetahui bahwa dia adalah sepupu Tom, aku sedikit lebih ramah kepadanya. Cukup mudah berteman dengannya, bahkan dia tidak segan-segan menceritakan apapun kepadaku.

"Dia memang selalu begitu sejak dulu. Disaat orangtuanya meninggal, dia tidak mau keluar rumah sama sekali dan aku tidak tahu apa yang dilakukannya selain berdiam diri. Kakek lalu datang dan mengasuhnya, sehingga dia sangat bergantung pada kakek akhirnya,"

"Tetapi aku cukup terkejut tidak ada yang menemaninya setelah itu. Bukannya dia memiliki banyak teman?"

"Kau tidak tahu?" Kat terkejut dengan pertanyaanku. "Dia memang ramah dengan semua orang dan bisa berteman dengan mudah. Tetapi selain itu, dia tidak memiliki orang yang dia ajak berbagi bersama. Yah, dia memang tidak pernah ingin dekat dengan siapapun dan membiarkan orang lain selangkah lebih dekat dari sekedar teman. Kupikir itu karena dia trauma saat ditinggal oleh orang yang disayanginya,"

Rupanya Tom tidak sekuat yang ditunjukkannya selama ini. Aku bisa memahaminya, namun seketika aku juga ingin berusaha membantunya.

"Itulah mengapa aku pikir kau spesial, Ellie," tambah Kat. "Aku senang sekali kau bersedia berada di sampingnya setelah kepergian Kakek,"

"It's really nothing," balasku. "Aku juga senang dia dapat menerimaku berada di sampingnya,"

"What do you think of marrying him?"

[One Shot] The Match Made in Heaven (1 of 2)

The Oil Works.

Aku mengamati sebuah bangunan antik di hadapanku. Butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan diriku sendiri agar masuk ke dalam. Ellie, kau harus ingat kalau kau butuh sebuah palet dan brush no.3.

"Welcome," ucap seseorang setelah bunyi bel otomatis menyala setelah pintu toko kubuka. "Ada yang bisa kubantu?" Tanyanya lagi.

"Aku butuh palet dan brush,"

Dia langsung mengambil sebuah palet dan tiba-tiba dia kembali menanyaiku,

"Brush yang mana, ya?"

"No. 3," jawabku, sedikit gugup.
Dia lalu menyerahkan barang-barang yang kuperlukan. Aku mengambilnya dan membayarnya. Setelah itu, aku segera pergi, namun saat aku hendak membuka pintu lagi, dia kembali menyapaku.

"Terima kasih, sampai jumpa lagi,"

Mengapa dia bisa begitu yakin kalau aku akan mampir kesini lagi?

Tidak sampai seminggu kemudian, aku berjalan ke depan toko yang sama. Kali ini aku tidak hendak membeli sesuatu, hanya saja jalur pulangku tidak sengaja melewati toko tersebut. Maksudku, sedikit menyengajakan.

Dia sedang menyapu halaman tokonya saat aku sedang berjalan di trotoar. Semakin mendekatinya, mataku semakin menunduk dan tidak mau ketahuan olehnya. Sebenarnya lokasi toko ini cukup jauh dari rumahku.

"Selamat siang," sapanya saat aku berjalan sangat dekat dengannya.

Terpaksa aku berbalik menyapanya juga.

"Karyamu sudah selesai? Kau tidak membutuhkan sesuatu lagi?"

Aku hanya tersenyum sambil berkata, "Tidak, terima kasih". Dasar canggung. Bagaimana bisa kau nampak sekaku itu, bodoh.

Dia hanya mengangguk-angguk dan melambaikan tangannya kepadaku. Kurasa ini adalah waktu perpisahan kami, sepertinya. Sebelum aku sempat berjalan lebih jauh lagi, tiba-tiba seorang wanita berlari tergesa-gesa dan memeluknya dari belakang. Bahkan aku bisa merasakan betapa terkejutnya dia dengan tingkah perempuan itu.

"Tom! Apakah kau tidak merindukanku, tampan?" Wanita itu merangkul lehernya dengan begitu akrab.

Ah... jadi namanya Tom. Berkat wanita tersebut, aku akhirnya bisa mengetahui namanya. Nama yang begitu dewasa dan terdengar bijak. Aku tidak pernah membayangkan dia pantas dengan nama itu, hanya setidaknya nama itu sedikit mencerminkan sosoknya.

Wanita itu nampak seperti kekasihnya. Aku memperhatikan secara diam-diam dan merasa panik sendiri. Wanita itu menyentuh Tom tanpa ragu namun mereka berdua nampak nyaman satu sama lain. Aku ingin sekali mendengarkan pembicaraan mereka namun karena terlalu risih aku memilih untuk pergi.

Tidak ada yang tahu bahwa aku menyukai Tom diam-diam karena memang aku tidak memiliki seseorang yang cukup dekat untuk menjadi teman curhatku. Di dunia ini hanya aku yang mengetahui perasaanku. I have to deal with it, alone. Karena ini adalah pertama kalinya untukku menyukai seseorang, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Sulit sekali mengekspresikan perasaanku terhadap Tom meski hanya dengan menulisnya dalam jurnal. Kalau tiba-tiba aku meninggal esok hari, perasaan ini tidak akan akan pernah ada yang tahu. Menyedihkan, dan sangat tragis. Meski begitu aku masih hanya menyimpan perasaan ini di dalam hatiku.

Thursday 27 August 2015

[Recommendation] Heroine Shikkaku, When You're No Longer a Heroine of Your Love Life

Hello, it's already summer and a non-stop, dry weather here. I'm wandering what should be the best choice of manga that i should recommend this time.

While working on a short story, I've just finished reading a shoujo manga, which i rarely read. Summer time is perfect for horror story, but why did i read a romance instead of a spooky one? It's because I'm short of ideas. A big part of my brain right now is full of murder, murder, and murder. Watching a lot of crime series made me like a zombie, seriously. That's why i need a fresh love story to keep me alive.

Actually there were 3 choices of manga that i madly wanted to recommend here, they are Kimi ni Todoke, Ao Haru Ride, and Heroine Shikkaku. But after knowing that Heroine Shikkaku is going to release the live action movie, i chose it.

So, let's straight to the review (not really). Here is the cover of the manga:


And this is the synopsis of Heroine Shikkaku based on MangaFox, the almighty websites for a manga lover like me:

"This could be any girl. Imagine being a heroine of a love story. Hatori also believed that one day she would get married to her childhood friend, Rita.
But that's not how the world works! This is a hilarious comedy that honestly paints a painful unrequited love story of this young girl!
"

This manga contained only 10 volumes, that's why i really enjoyed reading it. Shortly, this is a worthy manga for every girl that craves a light romanticism. Hatori is like any common girl in real world, and Rita is not as perfect as it should be in manga. In my country, Rita is a girl name and i'm still not used to it. I should say that the plot of every chapter is unusual, not too mainstream, and hard to guess. BUT (i'm adding an exception here), the ending is really weird. I thought the author is not properly preparing the ending really well and sooo mainstream.

Oh, yes, my post about the third man is refer to this manga, Hiromitsu-kun. Ugh, i really loved him than Rita, and maybe that's why i'm not satisfied with the ending. The author showed how much he/she loved Hiromitsu character than the actual lead, it is shown from the appearance between Hiromitsu and Rita. It's really perfect when Hatori dated Hiromitsu, how much they loved each other, how Hiromitsu was drawn as a good boyfriend and such a match to Hatori. Suddenly, the author reminded us who the actual lead is, and it's really... 

How could i say it?

Big no no. Rita is no better than Hiromitsu, IN EVERY WAY.

Okay. Stop with the unsatisfying thing. I'm really bad at recommending, right?

The amusing part of this manga is how the author created Hatori as hillarious as a girl could. Not a dumb one, but totally funny. She is also drawn in a funny face whenever she did a comical thing. And the other point is, anyone would easily agreed with her. It is like her mind is similar to us, and you will nod to her way of thinking. And i'm satisfied with the drawing. Sooo... hillarious. 

I will give this manga 4.3 out of 5. The remained 0.7 points is for the unsatisfying ending, and besides that, it's perfect!

One more. I had told how much i side on Hiromitsu-kun, right? I just watched the trailer of the movie and disappointed on how they choose that cutesy actor rather than a cool and lively look. I didn't give a high hope for the movie after seeing a lot of live action movies (Attack on Titan is the worst of all), but i will watch it after all.

So... Before the movie is released, why don't you try reading it? You've been thinking of being a heroine for your own love life, right? Has it already came true? If not, maybe you should see this story that may be related with your own problem^^

GBye!!!

Thursday 20 August 2015

Intermezzo: A Letter To You, Dear You

I hate this situation the most.

When you saw a bad-boy-becoming-good-one starting to like a girl whole-heartedly,

Then that girl liked another good-boy-but-cruel that always ignored her feelings,

And you know exactly there will be no way it would end up as you wished.

I believe this is not the first time for me falling in love with the supporting character, the third man. Come on, they always appeared as an attractive hot looking guy, how can i not love them? Besides, they were bad at first, and became a total badass at the end.

I'm taking a break from reading a manga that i know i would hate the ending. I'm not ready to be heart-broken, seeing him smile (maybe) or even showing a plain face to me. Please God, this may be a ridiculous prayer but i'm still hoping the ending would change. To cheer you up, here is my letter to you,

Dear you, 
The third man of the story.

I know your life has never been happier before you meet her, and i also know you always crave for that happiness. You felt love like you've never experienced before, yet you let your heart be broken because of a shallow love. You tasted  a bitter life, and yes, you deserved to be a heroine for your own. 

Please believe that you'd get a better, happier, bigger, and a grateful love someday. There must be someone out there trying to reach you here. She will make you happier and never let tears fall from you. You have to believe it because you deserve it.

Knowing how much you've changed make my heart ache. You were such a bad boy the first time i met you, and she finally changed the way you were. You're still in a long way to become a man, a best man that you will ever be. Yes, i know. You ever wondered why she didn't see the great in you, right? It's okay, everything will get better, i assure you.

Don't. Don't ever cry over her like that. Just send her off with smile and keep your head straight. You're good enough to not be spoiled by her. She may be an antique one, but you must let her go. At least, do this for me, the one that will cheer you from afar. 

Promise me that your life is going to be better than before. Promise me that you will always fill your life with your own smile. And, promise me that you will find love, the real one.

Goodbye, 
Dear you, a fictional crush of my unreal life.

Thursday 13 August 2015

[One Shot] Knockin' on Heaven's Door

Pernahkah kau memikirkan seorang pria? Dia berjalan mendekatimu dengan senyuman yang tersimpul manis. Pria itu, mengenakan tuxedo yang rapi dengan sebuah corsage di tangannya. Seolah dia hendak mengajakmu pergi ke suatu tempat yang romantis sambil memberikan corsage tersebut untukmu. Kau hanya bisa membalas senyumannya dan berterima kasih dalam hati. Kau terus bersyukur tanpa henti setiap kali bersamanya.

It feels like knocking on heaven's door.

Dia bagaikan sebuah fantasi seluruh wanita, bagaimana bisa seseorang yang begitu sempurna bisa datang di kehidupanmu? Kau sendiri masih tidak habis pikir namun tak pernah ingin menghentikannya.

Sampai akhirnya matamu terbuka kembali dan menyadari bahwa semua itu hanyalah mimpi, kau sadar hidupmu tidak pernah terlalu beruntung seperti impianmu. Pria seperti itu bahkan tidak pernah ada, apalagi bertemu dan jatuh cinta kepadamu.

Tetapi semua itu terasa nyata bagiku. Percaya atau tidak, dia hadir dalam kehidupanku.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyanya sambil mendekatkan dirinya kepada tubuhku.

Aku mengenakan sweater oranye hangat, syal serta topi dengan warna senada, sedangkan dia hanya sebuah blouse biru muda dan nampak kedinginan.

"Hanya membaca," aku mengambil secangkir teh yang baru saja dia bawa dan diletakkan di meja. Ah... hangat sekali. Aku menyentuh permukaan cangkir tersebut dan mendekatkannya di pipiku.

Dia nampak hendak bermanja-manja kepadaku. "Memangnya kau tidak ada urusan lain?" Tanyaku.

Dia hanya menggeleng. "Memangnya aku tidak boleh menikmatimu saja seharian?"

Pria ini... aku tidak tahu mengapa bisa sekali pipiku memerah hanya karena rayuan murahan seperti itu.

Aku menghabiskan sekitar 3 hari 2 malam di sebuah resor dekat sebuah pegunungan dengannya. Aku tidak terlalu ingat apakah ini ideku atau idenya, namun liburan singkat ini benar-benar tidak bisa kulupakan. Walau aku hanya tinggal di sebuah villa tanpa keluar sama sekali, tetapi menghabiskan waktu dengan seseorang yang dicintai memang tidak akan pernah membosankan.

Setelah liburan itu selesai, aku kembali ke rutinitas yang penat dan melelahkan seperti biasanya. Aku bisa melihat kakakku berada di rumahku dengan pandangan penuh khawatir. Dia menatapku dalam-dalam sambil menanyaiku.

"Kau pergi bersama Louis lagi?" Tanyanya.

Aku jelas mengangguk, dan dia nampak semakin khawatir.

"Lois, dia tidak nyata," ucap kakakku.

Apa yang dia bicarakan sebenarnya? Bagaimana bisa dia berkata bahwa Louis tidak nyata?

"Aku mengecek semuanya, Lois. Tidak pernah ada seorang pengusaha batu bara bernama Louis Bane di mana-mana. Bahkan aku tidak menemukan seorangpun yang mengenalnya di industri batu bara. Aku sudah mencari tahu semuanya tetapi kenyataannya pria itu tidak ada,"

Aku masih diam dan tidak mengerti apa maksudnya.

"Dia hanya imajinasimu saja, Lois,"

Dengan seketika, aku begitu marah saat dia menuduhku berbohong dengan keberadaan Louis. Tidak mungkin Louis tidak nyata, jelas sekali aku bisa merasakan sentuhannya dan kehangatannya yang belum pudar di ingatanku.

"Kita bisa memperbaiki ini. Aku punya kenalan seorang psikiater dan menurutnya hal yang terjadi padamu bukanlah kasus yang pertama,"

"Kau pikir aku sudah gila, kak?"

Kak Mel menatapku. "Kalau begitu, pertemukan aku dengannya,"

"Tidak perlu, aku bisa mengantarmu ke resor kami tadi,"

Kak Mel begitu keras hati dan menantangku untuk pergi ke sana. Akhirnya aku terpaksa kembali ke rute jalan yang baru saja kulewati beberapa menit yang lalu.

Di resor itu, aku bertanya kepada resepsionis tersebut apakah dia masih mengingatku. Dia tersenyum dan mengaku masih mengingatku yang baru saja check out. Ketika aku bertanya apakah dia melihat seorang pria yang terus bersamaku, dia nampak bingung.

"Saya tidak ingat anda bersama seorang pria,"

Aku kesal. Sepertinya resepsionis ini tidak memerhatikan keberadaan Louis karena kondisi hotel sedang cukup penuh waktu itu.

Selama di resor, 2 orang pria di bagian housekeeping selalu merapikan ruanganku. Aku tidak terlalu mengingat nama mereka, tetapi berdasarkan resepsionis tersebut, dia sudah memanggil petugas yang menangani ruanganku.

Saat melihat mereka berdua, aku yakin mereka adalah yang kumaksud. Bahkan mereka juga mengaku masih mengingatku saat bertemu.

"Kami tidak terlalu memperhatikan ruang tamu karena anda berada di sana selagi kami bekerja,"

Jawab mereka saat aku bertanya apakah mereka melihat pria yang bersamaku waktu itu. Lalu aku bertanya lagi dan jawaban mereka membuatku pusing bukan main.

"Sepertinya kami tidak merasa anda bersama orang lain,"

Tetapi aku sangat yakin Louis nyata, bagaimana bisa aku berimajinasi dengan begitu detil hingga mampu menghidupkannya sampai menyentuhku. Kak Mel nampak sudah bosan saat aku hendak bertanya ke seluruh petugas hotel dan hasilnya nihil.

"CCTV," ucapku. Ah, benar! Pasti Louis terekam di lobby hotel dengan jelas.

"Mohon maaf, selama seminggu ini CCTV di lobby kami sedang bermasalah dan tidak menyala dari kemarin,"

Kak Mel menarikku yang hampir memarah-marahi pihak hotel karena CCTV adalah satu-satunya peluangku untuk membuktikan bahwa aku tidak gila. Dia menyuruhku untuk menelepon Louis saat ini juga kalau dia memang nyata.

Aku meneleponnya, namun ponselnya tidak aktif. Aku ingat bahwa dia berkata dia akan melakukan ekspedisi di sebuah hutan yang masih terisolasi jadi menghubunginya sia-sia saja.

"Setidaknya satu foto saja kau tidak punya?" Tanya Kak Mel.

Aku tidak pernah berfoto dengan Louis karena setiap waktu yang kuhabiskan dengannya terasa tidak cukup dan berfoto dengannya terasa tidak perlu lagi karena dia selalu ada di sampingku selama itu.

Kak Mel terus menarikku dan memaksa pergi ke psikiater dan aku terus menolak. Aku tidak gila. Louis pasti nyata, hanya saja aku belum bisa membuktikannya.

"1 minggu, beri aku waktu 1 minggu setelah Louis kembali, aku pasti akan membawanya kepadamu,"

Kak Mel cukup bimbang namun dia memilih untuk bersabar. Dia benar-benar memberiku waktu tepat 1 minggu. Apabila aku tidak bisa menunjukkan bahwa aku tidak sedang berkencan dengan khayalanku sendiri, aku harus bersedia mendatangi psikiater.

Hampir setiap hari aku mencoba menelepon Louis. Aku juga kembali mendatangi tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama Louis dan hasilnya nihil. Tidak ada yang ingat aku datang bersama seseorang. Selama itu aku mulai meragukan apakah Louis benar-benar hanya imajinasiku saja atau dia memang nyata. Aku tidak pernah menemui seorangpun yang menyadari kehadiran Louis. Harapanku hanyalah Louis kembali dari ekspedisinya secepat mungkin.

"Lois, ada apa?"

Suatu pagi aku hendak menangis tidak karuan saat akhirnya Louis mendatangi rumahku dengan sebuah coat menggantung di tangannya. Aku memeluknya dan yakin bahwa ini bukan khayalan semata.

"Are you real?" Tanyaku.

Louis menatapku aneh. "Apa maksudmu?"

Aku menjelaskan bagaimana aku berusaha membuktikan keberadaannya kepada Louis dan dia hanya diam. Aku merasa bingung mengapa dia hanya diam, seharusnya dia tertawa mendengarnya.

"Kau harus bertemu dengan Kak Mel dan membuktikan bahwa aku tidak gila,"

"Aku tidak bisa, Lois," elaknya.

"Lou, ada apa?"

"I'm not real," jawabnya. Ucapannya tidak bisa kumengerti.

"What do you mean? You're real, i can touch you, i can see you,"

"Apakah kau tidak menyadarinya? Hanya kau yang bisa melihatku,"

Tidak... Ini tidak mungkin...

"Kau pikir imajinasiku bisa membuatmu senyata ini? Aku bisa menghidupkanmu secara detil seperti ini? Kau terlalu nyata untuk bisa menjadi imajinasi, Louis,"

"Apakah kau pikir sosok sepertiku bisa hadir di dunia nyata, baik penampilan hingga karakterku, apakah pria sepertiku bisa kau temui dengan mudah? Kalaupun kau bisa menemukannya, apakah pria itu mau mencintaimu seperti aku kepadamu? Apakah kau merasa kau cukup spesial untuk seorang pria hebat? Apakah kau pikir kau mampu menarik hati pria itu?"

Mengapa kau tidak pernah menyadarinya, Lois?

"Hentikan," pintaku.

"Kau tidak pernah menyukai dirimu sendiri tetapi kau berharap seseorang bisa mencintaimu? Kau pikir kau seorang supermodel? Aktris terkenal? Kau selalu menganggap rendah orang lain tetapi kau lebih merendahkan dirimu dibawah siapapun. Apa kau masih belum menyadari bahwa aku tidak akan mungkin bisa hadir di kehidupanmu secara nyata?"

"Hentikan!" Bentakku.

Louis berdiri di sana, dan aku menamparnya.

"You just slapped yourself," ucapnya. "Kau tidak pernah mau menerima kenyataan bahwa kau terus bermimpi tanpa pernah berusaha,"

"Hentikan, kubilang!" Aku menjerit dalam hati. Kalau ini hanya mimpi, aku ingin segera terbangun.

Pada saat mataku terbuka, aku bisa melihat diriku terbaring di sebuah kursi panjang. Seseorang dengan jubah putih duduk di seberangku. Dr. Ellis, namanya tertulis di sebuah nametag dekat sakunya.

"Sekarang, jawab aku, Lois," ucap Dr. Ellis. "Dimana Louis?"

Aku menitikkan air mata tanpa kusadari. Setelah membuka mata, aku tahu bahwa aku tidak berhasil membuktikannya kepada Kak Mel dan dengan pasrah aku bersedia mendatangi seorang psikiater. Entah apa yang telah dilakukan dokter ini hingga aku bisa mengucapkannya dengan jelas,

"He's not real,"

Saturday 8 August 2015

[One Shot] ADELIA

There is nothing here than darkness.

When you look into me, there is nothing. My world means nothing to me, so does my life. Having a great job with a good salary, a great wife with the best cooking skill, 

But what is the reason of living?

Candice sedang berbicara kepadaku selagi menyiapkan buah untuk makan malamku. Aku duduk terdiam dan tidak sekalipun mendengarnya, tidak juga melakukan hal lain.

"Tyson?"

Aku menengoknya dan memintanya mengulang apa yang diucapkannya.

"Kau tidak mendengarku? Kau dan aku diundang ke housewarming party keluarga Laurent, 3 blok dari sini. Mereka baru pindah ke daerah sini,"

Aku tidak menjawab ya, ataupun menolaknya. Kenyataan bahwa meskipun aku menolaknya, Candice pasti akan semakin rewel dan berakhir sesuai keinginannya.

Tersenyum, bodoh. Hanya sedikit senyuman untuk istrimu sendiri saja, apakah begitu sulit?

Besok malamnya, Candice sudah menyiapkan setelan yang pas untukku dengan warna senada dengan dress yang dikenakannya. Aku mengenakannya masih dengan diam dan tanpa mengeluh sama sekali meskipun dia tahu aku tidak suka sekali saat kami sepakat memakai pakaian senada.

"You must be Mr. Weltz,"

Seorang pria dengan tinggi tidak terlalu berbeda denganku menawarkan jabatan tangan. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Markus Laurent, sang warga baru di lingkungan ini. Dia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dia langsung memanggil sang istri untuk diperkenalkan kepada aku dan Candice.

"Perkenalkan, ini Adelia, istriku,"

I see her eyes, and i know it well. She is that woman.

Adelia menatapku dan tidak mampu menahan keterkejutannya. Dia mencoba menutupinya dengan tersenyum dan memperkenalkan dirinya. Adelia adalah wanita itu. Dia adalah wanita yang 4 bulan lalu kutemui.

Aku masih ingat jelas bagaimana pertemuan kami selama 1 minggu yang singkat dan perpisahan itu. Kali pertama kami bertemu adalah ketika aku sedang mengikuti training dari perusahaanku yang dia juga merupakan salah satu pesertanya.

"We met again,"

Aku mendekatinya yang sedang mengambil minuman. Candice sedang menemui tetangga lainnya dan akhirnya aku mencoba berbicara dengan Adelia.

Dia tampak tidak nyaman untuk berbicara denganku. Matanya menatap ke semua arah selain ke mataku.

"Kau tidak berkata bahwa kau sudah menikah,"

"Kau juga tidak mengatakannya,"

Aku dan Adelia akhirnya saling bertatapan. Sejenak, aku mengulang kembali seluruh peristiwa itu. Mungkin pada waktu itu, aku mulai menemukan setitik cerah alasan untukku agar tetap hidup. Aku akhirnya menemukan cara untuk menikmati hidup.

"Kau bilang kalau kita secara tidak sengaja bertemu lagi-,"

"Tyson, i'm married,"

Adelia langsung meninggalkanku yang tidak sempat menyelesaikan omonganku. Dia berjalan menjauhiku dan tidak sekalipun berniat menoleh ke belakang. Dia tahu, ucapannya pada saat perpisahan itu.

Suatu saat, ketika kita tidak sengaja bertemu lagi di lain kesempatan, mungkin pada saat itu adalah pertanda kita dipertemukan untuk bersama. Adelia, kau yang berkata hal itu.

Nyatanya, kami berdua sudah menikah satu sama lain. Selama 1 minggu pertemuan kami, mengapa tidak ada satupun dari kami yang menunjukkan rasa bersalah itu? Untuk sesaat, aku lupa bahwa aku memiliki Candice.

Aku mulai mengingat dengan jelas memori kebersamaan kami. menyadari bahwa Adelia berada di hadapanku seolah-olah dia ditakdirkan untukku membuatku begitu takjub

"Kau kelihatan berbeda malam ini,"

Candice tiba-tiba berada di sampingku. Aku sebenarnya menahan panik. Sejak tadi aku memperhatikan Adelia kemanapun dia pergi. Walaupun Candice seharusnya tidak akan menyadarinya, tetap saja aku begitu panik.

"Kau nampak menikmati pestanya. Berbeda sekali dengan sebelumnya,"

Candice tidak mengetahui bagaimana aku bisa memasangkan senyum di wajahku cukup lama seperti sekarang ini.

"Mood-ku sedang baik,"

Aku menenggak cocktail yang berada di tanganku. Sepertinya aku terlalu mengekspos kebahagiaanku hari ini. Melihat Adelia kembali benar-benar menjadi kebahagiaanku yang utama.

Adelia, apakah kehidupanmu sama membosankannya sepertiku?

Friday 7 August 2015

[Prologue] Redemption

"If you could describe him in 3 words, what would they be?"

"Unexpectedly luscious person.

Kau selalu tahu bagaimana aku melihat orang lain bagaikan sebuah boneka kapas. Mereka semua tidak pernah membangkitkan nafsuku, sampai akhirnya aku bertemu dengannya.

Kau tahu apa yang selalu kubayangkan setiap kali melihatnya?

Kematian.

Oh, sebuah akhir yang indah, seperti perpisahan dan air mata. Aku selalu penasaran bagaimana kalau belati menusuk tepat ke jantungnya.

Aku sangat tidak sabar melihatnya memejamkan mata sedangkan aku adalah orang terakhir yang dilihatnya. Dan dia memegang tanganku selagi aku terus memegang belati tersebut dan merasakan darah mulai mengucur dan membasahi tanganku.

So... irresistible."

*****

"If you could describe her in 3 words, what would they be?"

"Unconsciously Fragile Woman.

Aku selalu tahu ada yang salah darinya. Dia sama sekali berbeda dengan perempuan lain yang pernah kutemui. Sorot matanya yang tidak pernah nampak ragu bagaikan seorang sociopath, bahkan tingkah dan cara berpikirnya juga mirip psikopat. Semua orang pasti akan menganggapnya aneh.

Tetapi aku melihatnya sebagai seorang gadis yang rapuh. Dia butuh perhatian dan seseorang di sampingnya.

Aku bersedia.

Even if it takes my life as a bet."

*****

"Whitney, bangun,"

"Whitney, ini bukan dirimu,"

"Whitney,"

"Whitney,"

"Whit-,"

Dan suara itu menghilang. Sesaat kemudian aku mulai melupakan suara itu. Suara pria yang seharusnya kukenali dengan baik, namun aku malah mengabaikannya.

"Whitney," suara itu kembali, beserta sebuah pelukan.

Berbeda dengan sebelumnya, kini mataku dapat melihat bahwa aku sedang berjalan entah kemana tanpa mengenakan alas kaki sama sekali. Awalnya semua ini hanya alas putih, dan rupanya aku sudah terbangun lagi.

Dengan sebuah pisau dapur yang dipenuhi oleh darah.

Darah siapa ini? Apakah ini milik Mike? Tidak, dia tampak begitu sehat dan mengkhawatirkanku. Aku mendekatkan pisau itu ke bagian perutnya, berusaha mengelap bekas darah yang menempel di mata pisau.

Dan keinginan itu muncul kembali. Aku sangat menyukai pria ini sampai pada tahap bahwa aku menginginkan dia mendapatkan kebahagian yang hakiki.

Mereka bilang kematian hanyalah salah satu bentuk terlelap tidur dalam jangka lama. Kau akan mendapatkan ketenangan disana, sayang.

Dan, entah diantara sekian banyaknya keinginanku untuk membuatnya beristirahat dengan tenang, aku tidak bisa.

"Whitney, aku mencarimu dari tadi!"

Tubuhnya kini sedikit menjauh. Dia nampak cemas dan terlihat sekali dari sorot matanya. Hngg? Keinginan itu tiba-tiba menghilang. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku sempat berpikiran hal itu.

Mike mengambil pisau tersebut dari tanganku. "Darah siapa ini, Whitney?"

Mataku menatapnya, kosong. Melihatnya membuatku bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan.

Sebelum aku mengucapkan sebuah nama, aku tersenyum. Tidak seharusnya Mike nampak panik seperti itu. Semuanya baik-baik saja.

Ia sudah pergi dengan bahagia, tentu saja.

-tbc-