Saturday, 29 August 2015

[One Shot] A Cup of Iced Latte

Kau tahu apa yang lebih mengejutkan disaat kau sedang sendirian?

Ketika pikiranmu sedang bermain dengan telinga, seakan kau mendengar hal-hal yang fiktif namun terasa sangat nyata. Terkadang delusi seperti itu begitu memabukkan. Dan hal tersebut adalah tahap awal bahwa kau terdeteksi sebuah depresi akut.

"You need someone,"

Seseorang duduk tepat di depanku ketika aku sedang memanjakan diri di sebuah coffee shop sambil menikmati Iced Latte favoritku. 

Aku tahu. Menyenangkan, bukan? Disaat kau sendirian dan seseorang mengganggu waktumu. Seperti kau terlalu banyak mengenal orang lain dan mereka begitu bersemangat untuk menemuimu. Atau mungkin kau akan merasa bahwa hidupmu sangat berwarna dan dipenuhi orang-orang yang sangat memperhatikanmu.

Tetapi, orang yang berada di hadapanku adalah salah satu bentuk halusinasi. Hidupku tidak pernah seberuntung itu. Terlalu banyak populasi manusia di dunia ini dengan kesibukannya masing-masing. Lalu mengapa kau bisa merasa ada orang yang cukup perhatian kepadamu?

"Be social," ucapnya.

Oriol. Aku menamainya seperti model spanyol yang terkenal dengan mata biru kehijauan yang dimilikinya, Oriol Elcache. Nama tersebut adalah salah satu pengingat bahwa pria ini begitu fiktif. Tidak mungkin ada seseorang dengan penampilan bak supermodel terkenal yang sengaja menghampiriku di hari sibuk seperti ini.

"F*ck off, Oriol," pintaku.

"Kau tahu? Itu adalah salah satu alasan mengapa kau selalu sendiri. Kau tidak pernah membiarkan seseorang tertarik kepadamu,"

"So what?" Karena aku tahu dia hanya khayalan, aku menjawabnya sambil berbisik. Siapapun akan menganggap aku sangat gila untuk duduk dan berbicara sendiri.

"Kau terlalu berharap banyak kepada orang lain. Kau menginginkan orang sepertiku datang kepadamu seperti yang kulakukan, bukan?"

Karena pria ini adalah khayalan yang kubuat sendiri oleh pikiranku, dia jelas mengetahui semua hal tentangku.

"Mengapa kau kelihatan malu untuk menjawabku? Kau takut orang lain menganggapmu gila? Kau pikir kau masih normal saat berusaha menghidupkanku?"

"Apa yang kau inginkan sekarang?" Tanyaku.

"Look at those people around you," dia menunjuk pengunjung yang datang. "Mereka datang dengan seseorang, atau setidaknya sedang menunggu seseorang. Dan kau? Apakah ada seseorang yang datang kepadamu disaat seperti ini?"

"Kau benar. Aku memang selalu sendiri dan aku merasa baik-baik saja, mengapa kau malah mempermasalahkannya?"

"Seriously? Karena aku ada di sini, maka kau benar-benar butuh bantuan seseorang. Kau tidak pernah menyadari betapa sakitnya dirimu sampai kau bisa melihatku dengan jelas seperti ini?"

"Baik. Kau menang. Mungkin aku harus menelepon seseorang untuk menemaniku disini," jawabku.

"A guy?" entah dia semacam bertanya atau memerintah.

Aku memutar otak. Siapa yang akan kutelepon? Hampir seluruh pria yang kukenal hanya fiktif. Hingga akhirnya aku memiliki petunjuk sebuah nama, akhirnya aku menjawab, "Yes, a guy," 

Oriol tersenyum puas.

"You can go now," aku mengusirnya.

Oriol akhirnya pergi meskipun aku tidak begitu memperhatikan bagaimana caranya pergi. Aku sangat yakin dia hilang begitu saja dari pandanganku.

Aku nampak senang saat seseorang kembali duduk di hadapanku dan bukan Oriol.

"I'm really glad you called me,"

Senyumannya seakan mengingatkanku bahwa cuaca begitu cerah hari ini dan matahari sangat bersahabat. Dia duduk dengan sangat nyaman di depanku.

"Oriol came here and keep nagging at me," aku mengeluh kepadanya.

"Oriol ?" Tanyanya. "Seseorang yang selalu datang disaat kau sendirian?"

Aku mengangguk.

"Aku penasaran bagaimana dia kelihatannya,"

Kau tidak akan pernah bisa melihatnya, aku jamin itu.

"Ah lupakan tentang Oriol," pintaku.

"Ya, lupakan tentang pria itu," katanya. "Mari bicarakan tentangmu. Apa yang kau lakukan sendiri di sini?"

Apa yang kulakukan disini?

Ah, mengapa aku melupakannya? Apa yang membuatku bisa duduk disini?

"Ada apa?" Dia menanyaiku ketika aku mulai merasa linglung.

"I... Don't know. Why am i here?" Aku bingung bukan main sekarang.

"Hey, stay calm, okay? Relax..." Dia mencoba menenangkanku.

Aku melihatnya, ke dalam matanya. Aku sangat yakin dia bukan salah satu dari halusinasi yang kubuat.

"Bradley," panggilku kepada pria di hadapanku. "Kau nyata, bukan?" Tanyaku.

Dia tidak tertawa saat aku menanyakannya. "Ya, Lois, aku sangat nyata dan semua ini benar-benar nyata,"

Aku tidak percaya bahwa aku tertawa lega saat mendengarnya.

"Bahkan namamu sama seperti aktor itu dan matamu sama indahnya dengan pria itu. Aku memiliki trust issues dengan panca inderaku sendiri,"

"No, I am real. We met at the clinic, you remember?"

Aku tidak yakin aku mengingatnya, namun aku berusaha mengulang kembali ingatanku.

Ah benar, dia adalah salah satu psikolog di tempat aku menjalani terapi. Aku awalnya mengira dia adalah Louis karena mereka memiliki struktur rahang yang sama dan dia adalah pria pertama yang kudekati seumur hidupku.

"I am so sorry, Brad. Just had an episode," akhirnya aku mulai menemukan kesadaranku.

"Lois, nampaknya kau masih belum membaik," ucapnya.

Dang! Aku tidak ingin mengungkapkan kelemahanku di hadapannya, namun mengapa hal ini terus terjadi?

"Yeah, I know," ucapku. "Dan Oriol adalah salah satu halusinasiku, kalau kau penasaran,"

Dia tersenyum. "I know," jawabnya.

"You know?" Aku tidak percaya.

"Actually, I've been watching you from the moment you walked here," jelasnya. "Aku sudah ada disini sebelum kau datang dan kau tidak menyadariku,"

Tepat setelah dia menjelaskannya kepadaku, pikiranku mulai terpecah belah. "Okay, you're not real, i knew it," ucapku panik.

"Lois?" Dia memanggilku saat aku berusaha menelepon Dr. Ellis.

"Kau tidak nyata, Bradley. Tidak ada kebetulan seperti itu dalam hidupku dan kau juga adalah salah satu khayalanku. Sepertinya aku juga tidak pernah kesini dan memesan kopi ini," sudah kubilang, aku memiliki trust issues dengan panca inderaku.

Aku benar-benar tidak bisa mempercayai apa yang kulihat dan kudengar lagi. Ini bukanlah kali pertama atau kedua, biasanya hal seperti ini akan berakhir denganku yang membuka mata dan menangis di klinik.

"Lois, this is real, here," dia menggenggam tanganku. "I'm real, do you feel it?"

"Kumohon, kau tidak lebih meyakinkan dibandingkan yang pernah kulakukan dengan Louis," balasku.

"Baiklah kalau kau menganggap semua ini khayalanmu saja. Jadi kau pikir aku tidak nyata atau semua ini sampai Iced Latte yang kau minum juga?"

"I don't really know. It's either i will end up waking in front of my therapist or i will be called crazy for talking to myself,"

"Interesting," ucapnya. "Kalau aku tidak nyata, bagaimana kau bisa mengetahui nomorku dan menyimpannya di ponselmu?"

"Percaya kepadaku, hal seperti itu masih tidak ada apa-apanya dengan delusiku selama ini,"

"Oh, really?" aku melihat Bradley nampak sangat penasaran. "Delusi seperti apa yang pernah kau alami memangnya?"

"Dating a perfect man from my imagination, having a couple trip privately, crazy, isn't it?"

Bradley tidak menjawabku, melainkan terus menatapku seakan aku adalah objek penelitian yang tidak diketahui. Karena dia tidak menjawab apapun, aku merasa perlu memanggilnya.

"Bradley?"

"Yes?" dia masih sadar rupanya. "Baiklah, kalau aku memang salah satu dari halusinasimu, apa peranku?"

Aku berpikir matang-matang. "Aku memiliki firasat kau tertarik kepadaku dan kita akan menghabiskan waktu disini selagi aku menyelesaikan minumanku, lalu..."

"Lalu?" dia menunggu kelanjutannya.

"Kita bertemu lagi pada saat jadwal rutinku dengan Dr. Ellis secara tidak sengaja, menghabiskan waktu lagi dengan berbincang-bincang..."

"Jadi aku hanya menjadi teman curhat khayalanmu saja?" aku tidak percaya dia secara tidak langsung menunjukkan ketidak puasan.

"You're my Iced Latte Man. You smell like a fresh cold-brewed coffee with a perfect amount of milk in a Sunday afternoon,"

"What's that supposed to mean?" 

He didn't get the clue.

"Tempting, and quite addictive. I'd like to order once a day, but never twice,"

Caranya tertawa benar-benar natural.  "Aku sangat menyukai caramu mendeskripsikan sesuatu,"

"Kafein yang membuatku tetap kreatif dalam mewujudkan imajinasiku menjadi 4 dimensi," harus kuakui, aku sangat menikmati waktu bersama Bradley seperti ini.

"Jadi bagaimana kau bisa membedakan antara kenyataan dan halusinasi?" tanyanya.

"Mudah sekali. Tidak pernah ada kebetulan dalam hidupku, ketika aku merasa begitu beruntung karena kebetulan itu, atau ketika keinginan gilaku benar-benar menjadi kenyataan, it's not real,"

"Dan... Kau menganggap seseorang yang kau telepon untuk menemanimu sekarang ini tidak nyata?"

Aku mengangguk. "Penjelasanmu yang membuatku menyadarinya. Pria atraktif sepertimu tidak biasanya datang kepadaku seperti sekarang ini, apalagi secara kebetulan mendatangi coffee shop yang sama dalam waktu yang bersamaan juga,"

Dia suka sekali tertawa saat berbicara denganku. Entah dia begitu menikmati pembicaraan ini atau dia menganggapku lucu.

"Mengapa kau selalu tertawa saat mendengarkan penjelasanku?" tanyaku, mulai merasa ofensif.

"Atraktif, katamu?" dia seperti tidak mendengarkan pertanyaanku. "Atraktif seperti apa maksudmu?"

"I've told you, you're my Iced Latte Man. Iced Latte is always my favorite for this kind of weather," jawabku. "Iced Latte selalu nampak menarik bagiku meski komposisinya terlalu sederhana. Aku bisa saja menambahkan syrup dan additional topping yang kumau, but i like simplicity. It consists a right amount of caffeine that i need everyday, a coolness from the ice cube, and a bitterness that's neutralized with milk. Shortly, it's just right,"

"Jadi maksudmu...?" aku tidak percaya dia masih memerlukan penjelasan lagi.

"Pas, semuanya sangat pas tanpa ada yang berlebihan. Satu hal yang tidak dapat kupercaya adalah matamu, everything is like naturally real, except for those eyes. Melihat matamu membuatku semakin tidak mempercayai apa yang kulihat,"

"Mataku nampak menarik untukmu?"

"Oh, yes, incredibly the most attractive part of yours,"

Dia melirik minumanku. "Kau sudah menghabiskan minumanmu, kupikir ini adalah saatnya aku pergi, bukan?" dia melihat jam tangannya. "I really have to go somewhere,"

"Selamat tinggal, give my best regards for my wrecked brain, can you?" pintaku.

Dia tertawa sebelum bangkit dari tempat duduknya. "What an interesting girl," ucapnya dan lalu menyampaikan salam.

Aku melihat ponselku dan menyadari sudah berapa lama waktu berlalu. Meskipun minumanku sudah habis, aku masih belum merasa ingin segera pulang.

"Boleh saya bersihkan meja ini untuk anda?" seorang pelayan menghampiriku.

Aku memperbolehkannya. Dia mengangkat gelas minumanku dan gelas milik Bradley. Sesaat, aku memikirkan sesuatu. Setelah melihat pelayan itu berbicara kepadaku, aku yakin bahwa aku secara sadar berada di coffee shop ini. Panca inderaku tidak sedang mengacau.

Dan gelas Bradley. Kalau seharusnya dia tidak nyata, mengapa ada 2 gelas di mejaku? Aku tidak mengingat memesankan apapun untuknya, dia yang membawa minumannya sendiri.

"Permisi, apa kau tadi melihat seseorang yang duduk bersamaku? Seorang pria dengan knit sweater cokelat dan bermata kebiruan tadi?"

"Oh, ya, dia baru saja pergi, bukan? He is a regular customer here,"

Aku terdiam. Sepertinya aku kesulitan menyimpulkan apa yang baru saja terjadi.

Jadi, Bradley adalah nyata?

Dia benar-benar seorang psikolog yang memiliki nomor ponselku?

Dan dia benar-benar sudah berada disini sebelum aku datang?

Okay, wrecked brain,

You really ruined my life now.

-end-



P.S: Yes, this is the after story of "Knockin' on Heaven's Door"