Friday 28 August 2015

[One Shot] The Match Made in Heaven (2 of 2)

Setelah akhirnya Tom mampu kembali menjadi dirinya lagi, kondisi nampak semakin membaik bagiku dan baginya juga. Tom menerimaku untuk terus bersamanya, bahkan dia selalu bersandar padaku. Ellie ini, Ellie itu, aku tidak pernah menyangka akan selalu dibutuhkannya seperti sekarang.

The Oil Works tetap buka seperti biasanya, namun kini aku yang harus bertanggung jawab penuh dengan urusan toko karena Tom sedang bekerja keras untuk menjadi seorang kurator. Walaupun cukup sulit, tetapi dia nampak bersemangat. Aku begitu menyetujui keputusannya menjadi kurator, dan dia nampak begitu senang.

"Tom?" Panggilku.

Dia menghampiriku yang berada di dekat gudang penyimpanan. Aku menunjuk kanvas-kanvas lukisan yang ditutup oleh sebuah kain.

"Kita butuh ruang lebih untuk menyimpan pesanan nanti, apa kau tidak bisa pindahkan lukisanmu ke suatu tempat?"

"Ah... baiklah," dia mengangkat lukisan tersebut. "Omong-omong, Ellie," dia melirikku. "Selama aku tidak ada kau tidak mencoba melihat lukisanku, kan?" Tanyanya.

"Tentu saja aku sudah lihat," jawabku, bohong.

"What did you see?"

"Some nude paintings," jawabku asal.

Tom tertawa, "It's good you haven't seen it yet,"

"Apa? Apa yang kau sembunyikan memangnya?"

"Lupakan," ujarnya sambil mengangkut lukisan tersebut.

Suatu hari Kat datang dan hanya ada aku di toko. "Halo, Ellie," sapanya. Setelah mengetahui bahwa dia adalah sepupu Tom, aku sedikit lebih ramah kepadanya. Cukup mudah berteman dengannya, bahkan dia tidak segan-segan menceritakan apapun kepadaku.

"Dia memang selalu begitu sejak dulu. Disaat orangtuanya meninggal, dia tidak mau keluar rumah sama sekali dan aku tidak tahu apa yang dilakukannya selain berdiam diri. Kakek lalu datang dan mengasuhnya, sehingga dia sangat bergantung pada kakek akhirnya,"

"Tetapi aku cukup terkejut tidak ada yang menemaninya setelah itu. Bukannya dia memiliki banyak teman?"

"Kau tidak tahu?" Kat terkejut dengan pertanyaanku. "Dia memang ramah dengan semua orang dan bisa berteman dengan mudah. Tetapi selain itu, dia tidak memiliki orang yang dia ajak berbagi bersama. Yah, dia memang tidak pernah ingin dekat dengan siapapun dan membiarkan orang lain selangkah lebih dekat dari sekedar teman. Kupikir itu karena dia trauma saat ditinggal oleh orang yang disayanginya,"

Rupanya Tom tidak sekuat yang ditunjukkannya selama ini. Aku bisa memahaminya, namun seketika aku juga ingin berusaha membantunya.

"Itulah mengapa aku pikir kau spesial, Ellie," tambah Kat. "Aku senang sekali kau bersedia berada di sampingnya setelah kepergian Kakek,"

"It's really nothing," balasku. "Aku juga senang dia dapat menerimaku berada di sampingnya,"

"What do you think of marrying him?"

Aku tidak percaya Kat menanyakan hal itu kepadaku. "Apa maksudmu?"

"Ayolah, kalian sudah cocok satu sama lain, bukan? Apa kau tidak tahu? Belakangan ini Tom hanya membicarakan hal tentangmu kepadaku," ucap Kat. "Sepertinya dia benar-benar menyukaimu," kata terakhir Kat begitu mengejutkanku.

"Aku tidak yakin dengan hal itu," jawabku. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa cukup terbuka dengan Kat dalam masalah ini. "Tom tidak melihatku seperti yang kau bayangkan,"

"Dia tidak mengucapkan apapun kepadamu?"

Aku malah bertanya-tanya apa maksudnya.

"You're not dating him?"

Tentu saja aku menolak. Kat semakin kebingungan. "No,"

"Seriously?" Dia nampak tidak percaya.

"Seriously, no," jawabku singkat.

"Tetapi bagaimana... mengapa kau... Ellie, kau tidak sedang bercanda, kan?"

"Kau tidak lihat betapa seriusnya aku sekarang?"

"Unbelievable," aku penasaran apa yang membuatnya tidak percaya akan ucapanku, tetapi aku memilih untuk tidak bertanya.

Kat tidak bisa berlama-lama dan dia pamit pergi lagi kepadaku. Aku juga baru tahu dia adalah seorang host di sebuah acara khusus travel di suatu tv kabel, sehingga dia sering pulang-pergi ke berbagai belahan dunia. Saat dia baru datang kembali, dia pasti menyempatkan diri ke toko.

Tom akhirnya datang tepat sekali saat aku mendapat telepon dari Mama.

"Ma, aku masih belum memikirkan hal itu, bisakah kau membicarakan hal lain?"

Aku selalu kesal setiap kali Mama meneleponku. Pertanyaannya selalu sama dan tidak pernah berubah.

"Apa yang kalian bicarakan?"

Aku melirik Tom dan menghela napas, "Marriage," jawabku singkat sekali.

"You seem upset,"

"Siapa yang tidak? Dia bersikeras untuk memperkenalkanku dengan anak temannya setiap kali meneleponku, lalu dia... sudahlah," menjelaskannya membuatku kesal sendiri.

"Tell me,"

Aku menghela napas, lagi, "Dia menyuruhku untuk membawa calonku sendiri kalau tidak mau dijodohkan. Maksudku, aku masih muda dan sama sekali terpikirkan untuk menikah, mengapa dia begitu terburu-buru?"

Tom mengangguk-angguk. "But you have no boyfriend now, just meet him then,"

Aku memukulnya cukup keras. "No way!"

"Kau belum melihatnya mengapa langsung menolak? Bagaimana kalau dia sangat tampan dan super kaya?" 

Dia tidak mungkin serius, kan?

"Menikah itu bukan hanya karena fisik dan harta, tahu. It's beyond those. Pria heartless sepertimu tidak akan mengerti,"

Tom kelihatan tersulut oleh ucapanku.

"What's beyond appearance and wealth?"

Satu kata. "Love," jawabku.

Tom tertawa. "You're in love? With whom?"

Siapa lagi memangnya. Tetapi aku tidak mungkin memberitahunya. Jelas sekali dia membenci jawabanku. Aku memilih membuang muka dan tidak menjawab lagi.

"Ellie, aku bertanya baik-baik,"

"Memangnya apa pedulimu kalau aku menyukai seseorang atau tidak?"

Tom terkejut ketika aku terlihat makin kesal dari sebelumnya. Dia masih memaksa, dan aku tidak akan pernah memberitahunya, untuk sekarang ini.

"Kau belum pernah menghadiri pernikahan, bukan? Bagaimana kalau besok kau temani aku sebentar saja?" walaupun kesannya aku ingin memberitahunya bagaimana cinta bekerja dalam pernikahan, sekaligus agar aku juga tidak datang sendiri nanti.

Tom tidak mengelak. Akhirnya, keesokan harinya aku mendatangi pernikahan teman lamaku, maksudku teman sekelasku. Aku cukup tidak percaya bahwa ini adalah undangan pernikahan pertama yang kudapat, dan menurutku mereka sangat berani untuk menikah muda.

Meskipun ini adalah undanganku, aku juga tidak terlalu mengenal tamu lain yang datang. Setelah memberikan selamat kepada mempelai, aku akhirnya berdiri di pojok bersama Tom.

"Ellie?" seseorang memanggilku, dan aku masih ingat namanya Violet. "Apa kabar? Kau kelihatan semakin cantik," dia memujiku, omong kosong. Lalu dia melirik Tom yang berdiri di sampingku, "Ini... Pacarmu?" tanyanya.

Aku panik bukan main, walaupun aku hanya bereaksi dengan senyum-senyum saja, dia menunggu jawabanku secara verbal.

"Ya, namaku Tom," pria itu berjabatan tangan dengan Violet dan tersenyum licik. Aku mengerti maksudnya, dia pasti mengiyakan supaya Violet tidak bertanya lebih jauh lagi.

"How cute! Kapan kalian akan menyusul Hillary?" Hillary adalah nama teman sekelasku yang menikah.

"Bagaimana denganmu?" aku mengalihkan pembicaraan.

"Yeah, i'm getting married in 3 months. Aku belum menyebar undangannya, tapi nanti akan aku berikan kepadamu secepatnya,"

Mengapa semuanya sudah ingin menikah di usia yang terlalu muda?

"Sudah berapa lama kalian saling kenal?" tanya Violet lagi.

"3 Tahun, lebih," jawabku.

"Great, aku baru mengenal calon suamiku yang 4 tahun lebih muda selama 6 bulan dan kami akan segera menikah, bukankah itu mengejutkan?"

Aku tidak bisa berkata-kata. Setelah itu, Violet segera pamit dan meninggalkan aku berdua dengan Tom lagi. Beberapa orang menyapaku dan menanyakan hal yang sama seperti Violet. Bahkan mereka juga mengomentarinya,

"You both look perfect together," atau "So compatible," atau juga "You're like a match made in heaven," dan untuk ucapan terakhir tadi aku yakin adalah kedua kalinya kudengar lagi.

Aku menunjuk Tom disaat kedua mempelai saling bertatapan satu sama lain dan tersenyum bahagia. Seakan hidup mereka begitu lengkap setelah bertemu satu sama lain.


"You see, that's how love works," ucapku mengomentari Violet. "When you realized there's a spark, you just... know it," aku meliriknya, "Ah, percuma, kau tidak akan mengerti," ucapku.

Tom sangat membenci kata itu. Setelah membuka jati dirinya, dia begitu mengungkapkan mengapa dia tidak pernah dan tidak mau mencintai orang lain. Sepertinya, diantara banyak orang yang kukenal, dia adalah yang paling traumatis yang kutemui. Aku begitu ingin menguliahinya tentang membuka diri terhadap orang lain, tetapi aku tidak yakin dia mau mendengarkan.

"Kalau aku sudah tidak bisa berada di sampingmu lagi, apa yang akan kau lakukan?" tanyaku. "Kau sudah harus memikirkan baik-baik masalah pernikahan,"

Ellie, lihat dirimu. Bagaimana denganmu?

"Kalau aku memilih untuk melanjutkan karirku di Italia, bagaimana?" tambahku.

"You can't, You're stuck on me forever," jawabnya.

"Seriously, Tom. Kau sudah cukup tua untuk bisa mandiri. Memangnya siapa aku yang harus selalu ada untukmu?"

Setelah ucapanku tadi, aku dan Tom saling bertatapan satu sama lain. Ada sesuatu yang canggung diantara kami, namun aku benar. Aku bukan siapa-siapa baginya. Walaupun aku memang tidak pernah terpikir untuk meninggalkannya, tetapi siapa tahu suatu saat nanti.

"Kau sudah berjanji kepada Kakek," aku tidak yakin apakah dia bermaksud mengancam atau tidak.

"How childish. Kakek berkata seperti itu karena kau tidak sedang dekat dengan seseorang waktu itu dan dia begitu berharap kita berdua menikah," aku mengucapkannya seakan hal tersebut tidak berarti apapun.

Lagipula meskipun aku telah berkata seperti itu, dia seakan tidak menganggapnya sebagai masalah. He is so clueless. Sangat berbeda dengan kali pertama aku bertemu dengannya yang nampak dewasa dan berkharisma.

"Marry me, then," jawabnya, asal.

Aku menatapnya dan begitu kesal. "I am so done with you," amarahku sudah berada di puncaknya. "Bisa-bisanya kau mengucapkan hal itu dengan mudah. Kau bahkan tidak tahu betapa berartinya hal itu bagiku, kan?" you, selfish, rude, childish, fool.

Aku benar-benar membencinya. Entah dia benar-benar tidak pernah memikirkan alasan apa yang membuatku bertahan untuk bersamanya selama ini, atau dia memang hanya seorang egois. Aku tidak pernah mengharapkan dia bisa mengucapkan kata sakral itu secara asal-asalan. Hal tersebut menunjukkan betapa dia tidak akan pernah siap untuk menjadi dewasa.

Meski Tom mengejarku berkali-kali, aku tidak menoleh. Aku tidak mau lagi peduli dengannya kalau dia juga tidak peduli dengan apa yang kurasakan.

Dasar bodoh. Apakah 3 tahun baginya masih kurang cukup untuk melihat ke dalam isi hatiku?

Aku tidak kembali ke toko setelah itu. Aku memblokir kontaknya di ponselku setelah dia mencoba meneleponku berkali-kali. Dan setiap kali dia mencoba bertemu di kampus, aku selalu menghindarinya. Kali ini aku benar-benar merasa muak dengannya dan tidak mau lagi melihat sifatnya yang terlalu egois.

Suatu hari, Kat meneleponku. Dia baru saja dari toko dan bertanya mengapa dia tidak melihatku dan Tom nampak murung. Aku bertanya bagaimana Tom menjelaskan masalah kami, dan menurut Kat dia sama sekali tidak mau menjawab apapun.

"Aku juga tidak bisa menjawab apapun," aku berasumsi dia masih tidak mengerti apa kesalahannya.

"Ellie, jangan buat aku berada diantara kalian," balas Kat. "Selama ini kalian selalu akur, apa yang membuat kalian menjadi seperti ini?"

Aku tidak tahu darimana harus menjelaskannya kepada Kat, dan akhirnya memilih bungkam. Aku memintanya untuk tidak mengurusi masalah ini lagi dan dia setuju.

"Kau tidak sibuk besok, kan? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," ujar Kat. Aku setuju-setuju saja karena setelah tidak lagi bekerja di toko, jadwalku menjadi kosong.

Esok harinya Kat mengajakku pergi ke sebuah tea salon dan menikmati sebuah afternoon tea set yang elegan. Ada banyak sekali pilihan teh yang ditawarkan, dan juga kue-kue kecil yang tersusun cantik. Aku tidak terbiasa dengan tempat seperti ini, namun Kat terlihat adalah pelanggan reguler disini.

"Kau tahu? I'm craving for this canele from here," dia mengambil sebuah kue dan mengangkat cangkir tehnya dengan anggun.

Dengan sangat canggung aku mencoba menjadi anggun sepertinya, namun gagal sehingga aku tidak lagi peduli dengan yang kulakukan dan menikmati semuanya dengan santai.

"Tell me now, what happened with both of you?"

Aku tidak tahu harus dimulai dari mana.

"I loved him. Pertama kali aku melihatnya di Oil Works, aku sudah begitu menyukainya. Dia adalah cinta pertamaku, Kat. Aku selalu mengikutinya kemanapun dia pergi dan berusaha selangkah lebih dekat dengannya. Apa kau tahu?"

"Kau pikir aku bodoh? Aku sudah tahu dari awal melihatmu, dari caramu menatapnya,"

Aku mempercayainya. Hanya Tom yang cukup bodoh untuk tidak menyadarinya.

"Aku memintanya untuk menjadi mandiri dan mulai memikirkan masalah pernikahan karena aku tidak selamanya bisa mendampinginya. Lalu dengan mudahnya dia berkata untuk menikahiku,"

Kat masih menyimak dan seperti tidak sadar bahwa aku sudah selesai berbicara.

"That's it?" Aku tidak tahu apakah maksudnya dia kurang puas dengan penjelasanku atau bagaimana. "The thing is, Ellie, he doesn't realize what do you feel towards him," tambah Kat.

"Aku tahu, Kat. Tetapi setelah kepergian Kakek, dia menjadi begitu kekanakan dan egois. Aku ingin memberinya waktu untuk merefleksikan dirinya sendiri supaya menyadari apa yang salah,"

"Bagaimana kalau dia tidak tahu apa yang salah dan mencari orang lain sebagai penggantimu?"

Aku tersenyum, meski aku tahu bahwa senyuman itu palsu. "Then we're not a match made in heaven like he said," seperti apa yang Kakek pernah katakan.

"Oh, Ellie, I'm really sorry to you," ucapnya. "Kau tahu kan aku adalah sepupunya? Saat kau bilang untuk tidak mengurusi masalah kalian, aku tidak bisa,"

Aku tidak paham apa maksudnya.

Tiba-tiba, seseorang berdiri di hadapanku. Tom, tentu saja. Aku langsung mengerti apa yang Kat bicarakan. Dia sedang membantu Tom dengan apapun itu yang sedang dia lakukan.

"Hai," sapanya, canggung. "Pertama, aku ingin bertanya mengapa kau langsung memutuskan kontak denganku sebelum aku menjelaskan satu halpun?"

Aku tidak menjawabnya, bahkan membuang muka.

"Baiklah kalau kau tidak menjawabku. Kedua, aku ingin bertanya apa kesalahanku sampai kau seperti ini. Aku mencoba menemuimu tetapi kau selalu menghindar,"

Pria ini masih belum menyadarinya. Dengan masih kesal, aku bangkit dari tempat dudukku dan ingin pergi begitu saja. Tom menahanku. Dia membuatku duduk kembali dan memintaku untuk mendengarkannya.

"Kalau ini masalah ucapanku waktu itu, aku tidak mengerti. Aku serius mengucapkannya dan aku tahu jelas betapa berartinya hal itu bagimu, bahkan bagiku juga,"

Akhirnya, aku menolehnya.

"Marry me, kata itu kan? Bagaimana kau bisa menganggap aku bercanda untuk mengucapkan hal seserius itu?"

Entah apa yang terjadi kepadaku, tetapi aku tidak bisa memahami ucapannya.

"Aku benar-benar ingin menikahimu, Ellie,"

No, i don't really believe this.

"Aku tahu kau tidak mencintaiku juga, Tom. Kau selalu berkata kau tidak akan pernah mencintai siapapun, kau membenci kata itu, dan mengapa kau mau menikah denganku?"

"Aku memang tidak pernah menyukai kata itu. Aku tidak mencintaimu, Ellie,"

Aku semakin tidak paham dengannya.

"Tetapi setelah kau pergi, aku mulai menyadari sesuatu. Aku menyukai setiap kebahagiaan yang kurasakan setiap bersamamu. Dan aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana caranya aku mendapatkan kebahagiaan itu meski tanpamu. Aku tidak bisa menemukan caranya, Ellie. Karena kebahagiaan itu adalah keberadaanmu, dan aku tidak mau melepasmu sama sekali,"

"Aku tidak tahu apakah ini yang kau maksud dengan cinta. Aku tidak peduli perasaan apa ini, tetapi aku ingin memilikimu dan membuatmu bersamaku. Aku benar-benar ingin menikahimu, Ellie,"

Tidak, dia salah.

"Kau hanya terbiasa tergantung olehku setelah kepergian Kakek, Tom. Kau tidak benar-benar menginginkanku, kau hanya menginginkan sosokku yang selalu bersamamu dan itu tidak berarti harus aku,"

Disaat itu pula, dia menunjukkan sebuah lukisan kepadaku. "Sekarang kau sudah melihat lukisanku yang selama ini kusembunyikan darimu,"

Aku memperhatikan lukisan itu. Benar dugaanku, lukisan itu menunjukkan figur seorang perempuan. Hanya saja aku melihat diriku sendiri di lukisan itu.

"Aku sudah lama tertarik denganmu. Kalau tidak, mengapa aku membiarkanmu berada di dekatku selama ini?"

Semakin kupandangi, lukisan ini nampak begitu indah. Dia melukisku dengan cukup detil dan semuanya nampak indah bahkan bagiku sendiri. Karena terlalu siap dengan penolakan, aku malah tidak siap dengan hal ini.

"Ellie," dia berlutut di depanku. "Will you marry me?" tanyanya.

Aku tertawa meskipun mataku sudah cukup lama berair setelah mengetahui lukisan tersebut. "Kau tahu aku tidak suka menikah muda,"

"Ah," dia nampak panik, "Kalau begitu 3 tahun lagi, apakah kau bersedia menikah denganku?"

"Bagaimana dengan selama 3 tahun itu?" Tanyaku.

"Kau harus terus bersamaku dan tidak boleh pergi kemanapun sampai akhirnya kita benar-benar menikah,"

Aku tertawa sambil menyeka air mata yang terus keluar tanpa kuperintah.

It's an obvious answer, you dumb.

Yes, i do.


-end-