Friday, 7 August 2015

[Prologue] Redemption

"If you could describe him in 3 words, what would they be?"

"Unexpectedly luscious person.

Kau selalu tahu bagaimana aku melihat orang lain bagaikan sebuah boneka kapas. Mereka semua tidak pernah membangkitkan nafsuku, sampai akhirnya aku bertemu dengannya.

Kau tahu apa yang selalu kubayangkan setiap kali melihatnya?

Kematian.

Oh, sebuah akhir yang indah, seperti perpisahan dan air mata. Aku selalu penasaran bagaimana kalau belati menusuk tepat ke jantungnya.

Aku sangat tidak sabar melihatnya memejamkan mata sedangkan aku adalah orang terakhir yang dilihatnya. Dan dia memegang tanganku selagi aku terus memegang belati tersebut dan merasakan darah mulai mengucur dan membasahi tanganku.

So... irresistible."

*****

"If you could describe her in 3 words, what would they be?"

"Unconsciously Fragile Woman.

Aku selalu tahu ada yang salah darinya. Dia sama sekali berbeda dengan perempuan lain yang pernah kutemui. Sorot matanya yang tidak pernah nampak ragu bagaikan seorang sociopath, bahkan tingkah dan cara berpikirnya juga mirip psikopat. Semua orang pasti akan menganggapnya aneh.

Tetapi aku melihatnya sebagai seorang gadis yang rapuh. Dia butuh perhatian dan seseorang di sampingnya.

Aku bersedia.

Even if it takes my life as a bet."

*****

"Whitney, bangun,"

"Whitney, ini bukan dirimu,"

"Whitney,"

"Whitney,"

"Whit-,"

Dan suara itu menghilang. Sesaat kemudian aku mulai melupakan suara itu. Suara pria yang seharusnya kukenali dengan baik, namun aku malah mengabaikannya.

"Whitney," suara itu kembali, beserta sebuah pelukan.

Berbeda dengan sebelumnya, kini mataku dapat melihat bahwa aku sedang berjalan entah kemana tanpa mengenakan alas kaki sama sekali. Awalnya semua ini hanya alas putih, dan rupanya aku sudah terbangun lagi.

Dengan sebuah pisau dapur yang dipenuhi oleh darah.

Darah siapa ini? Apakah ini milik Mike? Tidak, dia tampak begitu sehat dan mengkhawatirkanku. Aku mendekatkan pisau itu ke bagian perutnya, berusaha mengelap bekas darah yang menempel di mata pisau.

Dan keinginan itu muncul kembali. Aku sangat menyukai pria ini sampai pada tahap bahwa aku menginginkan dia mendapatkan kebahagian yang hakiki.

Mereka bilang kematian hanyalah salah satu bentuk terlelap tidur dalam jangka lama. Kau akan mendapatkan ketenangan disana, sayang.

Dan, entah diantara sekian banyaknya keinginanku untuk membuatnya beristirahat dengan tenang, aku tidak bisa.

"Whitney, aku mencarimu dari tadi!"

Tubuhnya kini sedikit menjauh. Dia nampak cemas dan terlihat sekali dari sorot matanya. Hngg? Keinginan itu tiba-tiba menghilang. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku sempat berpikiran hal itu.

Mike mengambil pisau tersebut dari tanganku. "Darah siapa ini, Whitney?"

Mataku menatapnya, kosong. Melihatnya membuatku bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan.

Sebelum aku mengucapkan sebuah nama, aku tersenyum. Tidak seharusnya Mike nampak panik seperti itu. Semuanya baik-baik saja.

Ia sudah pergi dengan bahagia, tentu saja.

-tbc-