Tuesday 3 September 2019

[One Shot] Bad Habit

It is already my habit to lean on someone. 

“Jules, come on!” panggilnya sambil berteriak kencang.

Aku tersenyum saat melihatnya. “I am coming!” balasku dengan teriakan yang tidak kalah kencangnya.

And it is also my habit to grow such annoying feelings toward someone that I lean on to.

“What is it, Vic?” tanyaku saat mendekatinya.

Dia tersenyum begitu lebarnya. “You are slowing me down! We need to pass the gate before 7!” dia berlari sambil menarik tanganku.

Will you be annoyed by this feeling too, if I tell you the truth?

Aku mencoba mengatur napasku dan jantung yang terus berdegup kencang. Entah apakah karena berlari atau karena tangan kami yang saling bersentuhan.

“Hey! What are you thinking, huh?” aku tidak sadar setelah dia melambaikan tangannya kepadaku.

Saat melihat keadaan sekitar, aku baru menyadari bahwa kami baru saja berhasil masuk ke sekolah tepat waktu dan tidak akan dihukum. Aku tersenyum lega.

“I can’t believe that I won’t be punished today,” sulit dipercaya, aku berhasil masuk sekolah tepat waktu. Sesuatu yang sangat mustahil bagiku. Selama 3 bulan bersekolah, aku tidak pernah bisa datang lebih dari pukul 8. Entah mengapa aku pun tidak ingin berusaha keras untuk datang tepat waktu.

“Don’t worry, I will come to your place every day from now on, okay?”

Aku melihatnya dalam-dalam, lalu mengangguk.

But first, let me ask you one thing, what is your intention? What is your reason to come into my world, exactly?


*****

“Dude, seriously, why can’t you get up early?” dia berbaring di kasurku dengan seragam dan pakaian yang sudah sangat rapi.

Aku meliriknya dari balik kaca. Dengan sangat malas aku bersiap-siap dan berpakaian.

“I don’t have any motivation to come to school,”

“Nonsense? Are you okay for being punished, like every day?”

Aku mengangkatnya agar bangun dari kasur. “Rather than cutting down my sleep hours,”

“But you can sleep early the day before,”

“That is not the point, I am not a morning person, and sunshine is killing me,”

“What?” aku tahu, dia sangat suka bangun pagi dan beraktivitas sesegera mungkin. Dia terlalu berkebalikan denganku.

“Come on, or we will be late again,” aku menariknya keluar kamar dan kami berjalan kaki.

Waktu yang kami miliki masih cukup banyak sehingga kali ini kami berjalan sangat santai.

“Isn’t it good, walking like this?” aku melihat langkahnya begitu ringan dan ekspresinya senang bukan main.

Aku meliriknya saat dia juga melirikku.

“The weather is perfect, the road is quiet, and we have a lot of time!”

“I don’t get what you mean,”

“Morning is the best time of a day, if you waste it only for sleeping, you lose too much, dude,”

“Hey,” aku berhenti sebentar dan dia ikut berhenti. “I told you, not everyone is a morning person. I feel so weak and sick now,”

Dia tertawa. “I was never be a morning person at all. But one day I was done getting punishment every day so I tried to get up early. I thought that I overcame one of my weakness and I want you to achieve that also,”

“Why?” tanyaku.

Dia menoleh ke arahku saat dia sedang mengamati pepohonan di taman yang sedang kami lewati.

“Why should I achieve it?” tambahku.

“Why?” dia malah mengulangi pertanyaanku. “It is simply because you have no positive energy, so I am giving it to you now!” dia tertawa dan aku tidak kuasa untuk tidak tersenyum. Namun kutahan. Karena aku tahu ekspresiku akan sangat aneh baginya.

Ah… Apakah sudah saatnya aku untuk mengumpulkan seluruh energi positif darinya?

“So…” suaraku sedikit pelan karena ragu. Namun karena dia pun tidak berbicara dan kami baru saja melalui sebuah taman yang sepi, dia memperhatikanku dengan seksama.

Melihatnya membuatku merasa tidak peduli akan apapun.

“Since I have no motivation at all, should we make one?”

Dia masih memperhatikanku.

“If I don’t receive any punishment for being late forever, what will you give me?”

“What do you want?” balasnya, tertarik.

Your heart, actually. “I want you not to visit me every morning but a breakfast on my desk every morning,”

“Deal,” ucapnya, dengan cepat.

Tidak mungkin aku langsung berterus terang mengenai apa yang kumau darinya. Dia pasti menganggapku hanya sebagai sahabat, dan aku tidak mau kehilangan sahabatku hanya karena memaksakan kehendakku sendiri.

Aku harus menunggu hingga waktu terbaik tiba, atau disaat aku akan merasa bosan dengan perasaan ini.

“Is that easy for you?” jawabku.

“Making you breakfast? You don’t specifically tell me what to prepare, so I can randomly buy any bread and milk, it’s easier than coming to your house,”

“Then why are you still coming to mine?”

“I care you, dude. It will be too boring if I wait you at class instead,”

Tetapi orang ini bukan tipe yang memilih berteman dengan satu orang saja. Dia terkenal di seluruh kelas bahkan angkatan sebagai anak yang ramah. Kenapa harus aku?

Why me?

Pertanyaan tersebut selalu datang ke benakku, tetapi aku sama sekali tidak berani untuk menanyakannya lagi.

Is it wrong that I expect a romance between us, really?


*****