Friday 20 December 2019

[Continuous] Ceaseless Flame Part 1

"Well I was afraid, once," jawab seseorang di hadapanku, sambil menggenggam gelas di tangan kanannya.

Aku memperhatikan orang ini, apakah masih sadar atau tidak. Matanya sudah tidak fokus, namun gerakannya tetap tegas. Someone like him, to be afraid and admit it? Am I hallucinating?

"A thought just came to my mind, and I suddenly was afraid imagining you wouldn't come back," ucapnya, sambil menatapku, dalam-dalam.

Aku memilih mengarahkan mataku ke kanan dan kiri, mencari topik lain untuk dibahas.

"I was wondering, even after waiting for 20 years, what if I still couldn't find you,"

"Well, but I am here now," jawabku, tersenyum.

Dia mengangguk. "Right. That's the most important. You're here,"

Dia menuangkan gelasnya kembali. Aku sudah tidak menghitung gelas keberapa kali ini. Tetapi postur dan gerakannya masih belum bergeming sama sekali. Kalau saja dia sudah hilang kesadaran, apa yang harus aku lakukan? Membawanya pulang? Bagaimana mungkin?

Saat aku bangkit ke toilet, dia menggenggam tanganku dengan sangat kencang. "I am just going to toilet, it's not like I will leave you again,"

Orang ini, aku yakin dia sudah terlalu mabuk dan hilang kesadaran. Airmata jatuh ke pipinya yang sudah memerah. Hanya tetesan demi tetesan, namun selain matanya, ekspresinya begitu datar yang membuatku kebingungan.

Aku melepas tangannya, dan dia tidak melawan.

Aku baru bisa menghela napasku setelah masuk ke dalam toilet. Sesuatu di dalam diriku, rasanya terbakar dan membuat jantungku berpacu. Aku bisa merasakan tubuhku merinding bukan main.

Untuk bertemu dengan orang itu, setelah sekian lama...

Aku membasuh wajahku dan berharap bahwa kesadaranku kembali.

Di saat aku kembali ke meja, dia sudah menatapku dari kejauhan. Seolah-olah begitu takut aku benar-benar akan menghilang lagi. Aku duduk di depannya dan dia terus-terusan menatap kemanapun aku bergerak.

Aku melambaikan tangan ke arahnya, namun tidak bisa mengenali apakah dia sudah benar-benar mabuk atau setengah sadar.

"You're drunk already, let's go home,"

"Whose home?" tanyanya.

Aku memperhatikannya. "Let me get you a cab," aku menarik tangannya. Yang mengejutkan, dia masih bisa menggunakan tenaganya sendiri untuk berdiri dan berjalan. Hanya saja langkahnya sudah sempoyongan dan tidak bisa berjalan lurus.

Aku berdiri di sebelahnya, menuntun orang ini sampai keluar pintu. Aku meminta seorang pelayan untuk memesankan taxi. Saat sang pelayan menanyakan berapa taxi, dengan cepat seseorang menjawabnya, "One please," tentu saja siapa lagi kalau bukan yang berdiri di sebelahku.

Aku meliriknya, namun terlalu enggan berdebat sehingga aku mengikuti kemauannya.

Kami berdua duduk di bangku pinggir jalan, menunggu taxi datang. Dia, yang entah memang mabuk atau masih sadar, menggenggam sambil memainkan tanganku seperti anak kecil. Seolah dia tidak bisa menahan kesenangannya saat melihatku lagi.

"Don't you feel dissappointed, seeing me like this?" tanyaku.

"Seeing you alive is already a big luck to me. It is just that you are now looking mature and calm, I love it,"

"I am married, now," dia seharusnya sudah tahu ada cincin di jariku sejak dia terus menggenggamnya. Ekspresiku datar, tidak tahu apa yang kurasakan pula sekarang.

Dia tersenyum masih dengan pipinya yang memerah. Aku ingat sejak dahulu dia terlahir dengan kulit putihnya, sehingga saat mabuk seperti ini, warna kemerahan di pipinya terlalu mencolok.

Dia seakan tidak mendengarku dan masih tetap bermain-main dengan tanganku. Sesekali dia menyusupkan jarinya ke jariku, terkadang menggenggam kencang-kencang tanganku dan setelah itu dia menepuk-nepukkan tanganku ke pahanya.

"I said that I am married," aku melepas tanganku yang terus dipegangnya sambil menunjukkan cincin yang kupakai tepat di depan matanya.

"So what?" Balasnya. Dia menatapku tanpa ada ekspresi sama sekali. "You rejected me before. You said you didn't love me and told me to go away. I did what you wanted. But it was only making me suffocated for 20 years. I only want to do what I always want to. Can't I see you even though you're married?"

"You can't," jawabku tegas.

"Can't I cherish you with all my love that I have?"

"You can't," balasku lagi, masih dengan nada tegas. Walaupun, apa yang kurasakan berbanding terbalik dengan apa yang kutunjukkan.

"Can't we meet each other, even just as friends?"

Aku meliriknya. Friends do not fall in love with each other.

"You can't. Moreover, I will be back in 2 weeks,"

"Where to?"

Aku meliriknya lagi. Matanya setengah terpejam setengah terbangun. Lagipula aku tidak menyangka setelah 2 minggu kembali ke tempat asalku, aku bertemu dengan orang ini.

"A small city," jawabku.

"Where?" Dia memaksa.

"I don't want to tell you,"

"So this is true. You hide yourself from me. I wonder why is it so hard to find you everywhere," jawabnya. "I looked for every name in every magazine, hoping that I might know where you worked. But I found nothing. I searched everywhere to look for you. I thought you lived abroad,"

Aku tertawa. He thinks too highly of me.


Friday 11 October 2019

[One Shot] The Magnetic Force of Misery

Kami berdua tersenyum. Menyadari betapa kacaunya kehidupan yang kami miliki.

Di persimpangan ini, kami bertatapan satu sama lain, mencoba berdialog bisu. Sampai salah satu dari kami, aku, tertawa karena menyadari bahwa tidak perlu satupun kata untuk mengerti apa yang terjadi.

"Do you know what I like about reincarnation theory?" ujarnya.

Aku melihat bagaimana tubuhnya melayang bagai tidak ada satupun masalah yang mengganggunya.

"It gives us hope for a better chance to live in this beautiful yet horrible world,"

...
 
..
 
.

Hanya sebuah momen hening bagiku mencoba mengartikan segala kekacauan ini. Apa yang terjadi? Apa yang membuat kami bisa berakhir seperti ini?

"No, I am not giving you a goodbye, because I believe that we will meet in next chance,"

"You will not be resurrected. A suicide man is not approved," jawabku, mencoba tenang.

Dia hanya tersenyum. "I am not ending my own life," matanya terpejam sebentar. "I am letting myself to live,"

Dan kini langkahnya menghilang. Tidak ada lagi tatapan pelik yang menggangguku, sampai bisa membuat aku selalu lupa akan masalahku sendiri. Namun yang ada hanyalah beribu pertanyaan mengenai kematiannya. Apa maksudnya kali ini?

Si bodoh ini. Aku harap dia benar-benar tidak pernah kembali ke dunia ini!

Dan walaupun reinkarnasi itu ada, kuharap aku tidak akan pernah bertemu dengan sosok sepertinya lagi!

*****

Tuesday 3 September 2019

[One Shot] Bad Habit

It is already my habit to lean on someone. 

“Jules, come on!” panggilnya sambil berteriak kencang.

Aku tersenyum saat melihatnya. “I am coming!” balasku dengan teriakan yang tidak kalah kencangnya.

And it is also my habit to grow such annoying feelings toward someone that I lean on to.

“What is it, Vic?” tanyaku saat mendekatinya.

Dia tersenyum begitu lebarnya. “You are slowing me down! We need to pass the gate before 7!” dia berlari sambil menarik tanganku.

Will you be annoyed by this feeling too, if I tell you the truth?

Aku mencoba mengatur napasku dan jantung yang terus berdegup kencang. Entah apakah karena berlari atau karena tangan kami yang saling bersentuhan.

“Hey! What are you thinking, huh?” aku tidak sadar setelah dia melambaikan tangannya kepadaku.

Saat melihat keadaan sekitar, aku baru menyadari bahwa kami baru saja berhasil masuk ke sekolah tepat waktu dan tidak akan dihukum. Aku tersenyum lega.

“I can’t believe that I won’t be punished today,” sulit dipercaya, aku berhasil masuk sekolah tepat waktu. Sesuatu yang sangat mustahil bagiku. Selama 3 bulan bersekolah, aku tidak pernah bisa datang lebih dari pukul 8. Entah mengapa aku pun tidak ingin berusaha keras untuk datang tepat waktu.

“Don’t worry, I will come to your place every day from now on, okay?”

Aku melihatnya dalam-dalam, lalu mengangguk.

But first, let me ask you one thing, what is your intention? What is your reason to come into my world, exactly?


*****

“Dude, seriously, why can’t you get up early?” dia berbaring di kasurku dengan seragam dan pakaian yang sudah sangat rapi.

Aku meliriknya dari balik kaca. Dengan sangat malas aku bersiap-siap dan berpakaian.

“I don’t have any motivation to come to school,”

“Nonsense? Are you okay for being punished, like every day?”

Aku mengangkatnya agar bangun dari kasur. “Rather than cutting down my sleep hours,”

“But you can sleep early the day before,”

“That is not the point, I am not a morning person, and sunshine is killing me,”

“What?” aku tahu, dia sangat suka bangun pagi dan beraktivitas sesegera mungkin. Dia terlalu berkebalikan denganku.

“Come on, or we will be late again,” aku menariknya keluar kamar dan kami berjalan kaki.

Waktu yang kami miliki masih cukup banyak sehingga kali ini kami berjalan sangat santai.

“Isn’t it good, walking like this?” aku melihat langkahnya begitu ringan dan ekspresinya senang bukan main.

Aku meliriknya saat dia juga melirikku.

“The weather is perfect, the road is quiet, and we have a lot of time!”

“I don’t get what you mean,”

“Morning is the best time of a day, if you waste it only for sleeping, you lose too much, dude,”

“Hey,” aku berhenti sebentar dan dia ikut berhenti. “I told you, not everyone is a morning person. I feel so weak and sick now,”

Dia tertawa. “I was never be a morning person at all. But one day I was done getting punishment every day so I tried to get up early. I thought that I overcame one of my weakness and I want you to achieve that also,”

“Why?” tanyaku.

Dia menoleh ke arahku saat dia sedang mengamati pepohonan di taman yang sedang kami lewati.

“Why should I achieve it?” tambahku.

“Why?” dia malah mengulangi pertanyaanku. “It is simply because you have no positive energy, so I am giving it to you now!” dia tertawa dan aku tidak kuasa untuk tidak tersenyum. Namun kutahan. Karena aku tahu ekspresiku akan sangat aneh baginya.

Ah… Apakah sudah saatnya aku untuk mengumpulkan seluruh energi positif darinya?

“So…” suaraku sedikit pelan karena ragu. Namun karena dia pun tidak berbicara dan kami baru saja melalui sebuah taman yang sepi, dia memperhatikanku dengan seksama.

Melihatnya membuatku merasa tidak peduli akan apapun.

“Since I have no motivation at all, should we make one?”

Dia masih memperhatikanku.

“If I don’t receive any punishment for being late forever, what will you give me?”

“What do you want?” balasnya, tertarik.

Your heart, actually. “I want you not to visit me every morning but a breakfast on my desk every morning,”

“Deal,” ucapnya, dengan cepat.

Tidak mungkin aku langsung berterus terang mengenai apa yang kumau darinya. Dia pasti menganggapku hanya sebagai sahabat, dan aku tidak mau kehilangan sahabatku hanya karena memaksakan kehendakku sendiri.

Aku harus menunggu hingga waktu terbaik tiba, atau disaat aku akan merasa bosan dengan perasaan ini.

“Is that easy for you?” jawabku.

“Making you breakfast? You don’t specifically tell me what to prepare, so I can randomly buy any bread and milk, it’s easier than coming to your house,”

“Then why are you still coming to mine?”

“I care you, dude. It will be too boring if I wait you at class instead,”

Tetapi orang ini bukan tipe yang memilih berteman dengan satu orang saja. Dia terkenal di seluruh kelas bahkan angkatan sebagai anak yang ramah. Kenapa harus aku?

Why me?

Pertanyaan tersebut selalu datang ke benakku, tetapi aku sama sekali tidak berani untuk menanyakannya lagi.

Is it wrong that I expect a romance between us, really?


*****

Saturday 27 July 2019

[One Shot] At The Most Desperate Moment of Our Times

Tertawa. Kemudian terdiam.

Lalu tersenyum. Dan berpisah.

Suatu hari, di kala masa terpurukmu dan kau sendirian, apa yang sebaiknya dilakukan selain bunuh diri?

Pertanyaan di dalam diri ini terngiang begitu saja. Padahal belum sempat aku menurunkan tanganku yang melambai kepada seseorang di seberang sana.

Bukan sendiri yang memaksamu bunuh diri. Tapi kesepian, yang tidak bisa terobati walaupun seseorang datang memelukmu dan menemanimu sepanjang waktu.

Aku berjalan pulang sambil membiarkan dua sisi dalam diriku berdiskusi terus menerus. Yang mereka bahas hanya kesepian dan bunuh diri.

Karena tidak ada kebahagiaan yang mampu memuaskanmu. Tidak dengan tawa kosong dan senyuman itu. Bohong kalau kau menikmatinya dan berpura-pura baik-baik saja.

"Hey," aku mencari sumber suara tersebut. "Ice cream," panggilnya.

Walaupun dengan gerutu, aku mengikutinya. Di malam yang dingin ini, kami menikmati es krim yang tidak kalah dinginnya.

"Rasa apa?"

"Kebahagiaan," jawabku asal. Dia memberiku rasa yang sama seperti miliknya.

"Dingin sekali, sialan," dia menggerutu padahal dia sendiri yang mengajak makan es krim.

Aku meliriknya. "Aku mau rasa yang membuatku bahagia, bukan yang kecut seperti ini," rasa markisa rupanya.

"Bodoh, rasa apapun asal bersamaku pasti membuatmu bahagia,"

Ya... Ya... Terserah dia saja. Walau mengeluh, aku tetap menghabiskan es krim itu. Rasanya menghilangkan kejenuhanku seharian ini. Not bad.

"Hey," panggilku. "Ada apa denganmu sampai mengajakku kesini?"

Dia tertawa sebentar. "Aku hanya bosan dan ingin pergi keluar,"
"Jangan pikir aku orang yang paling tidak ada kerjaan di dunia ini sepertimu ya,"

"But you're here,"

Aku menjilati es krimku lagi. Rasanya kecut namun ada sedikit manis terakhirnya. Kalau saja orang ini tidak ada untuk berbagi kesepianku ini, apa yang mungkin kulakukan?

"Kupikir malam ini yang tepat untuk bunuh diri,"

"Kupikir juga begitu, tapi tiba-tiba rasa es krim ini terngiang-ngiang di kepalaku. Rupanya aku masih merindukan banyak hal nanti,"

Saat memperhatikannya, aku baru menyadari banyak hal. Kalau pada akhirnya aku tidak ada, kepada siapa lagi dia akan membagi malam sepi seperti sekarang ini.

Apa sebenarnya itu sudah menjadi salah satu tujuan hidupku?

"Apa yang kau tertawakan?" Aku tidak sadar kalau pikiran-pikiran itu membuatku menertawakan diri sendiri.

"Kalau aku tidak ada dan kau sedang ingin makan es krim, siapa yang akan kau ajak kesini?"

"Aku akan makan di kuburanmu," jawabnya. "Lagipula memangnya kau pikir di bawah sana tidak akan semakin kesepian? Aku lebih takut kesepian disana dan tidak bisa makan apapun yang aku mau,"

"Mungkin benar juga," aku tertawa. Menertawakan malam ini dengan segala perbincangan bodoh yang tidak jelas arahnya.
Setelah es krim kami habis, kami langsung pulang dan berhenti di persimpangan untuk berpisah.

"Jangan malam ini. Besok aku ingin makan daging yang banyak," ucapnya.

Aku mengangguk. Dia tidak perlu khawatir untuk itu.

Tuhan seperti sedang menamparku. Di saat aku terlalu mengeluh kesepian, rupanya aku tidak sesepi itu. Mungkin kehidupanku lebih sibuk dari kebanyakan orang, dan juga banyak orang yang mengelilingiku.

Hanya saja aku yang terlalu rakus akan perhatian namun tidak mau memperhatikan orang lain.

"Hey," aku meneleponnya bahkan saat belum sampai di rumah. "Daging mana yang enak besok?"

Karena kalau kau ingin bunuh diri dan merasa depresi, kau tidak mungkin menantikan esok hari, bukan?

Sunday 3 February 2019

On My Way to Set Up a Heartbreak Club

Hi.

Good day to you and I wish that you all have a very good start to become a better person in this new year. This is me again. With all of useless thing that I want to share to you.

I recently realized that this blog is full of sadness, unclear emotion, and too abstract. Is it really that I have no intention of creating happiness here? Or is this already considered as a happy ending to me? What is my objection at the end?

I must admit that I hate a sad ending, I hate conflict, that may be one of reasons that I tend to create a "flat" story with less climax since I hate to put one. I always failed to finish a long story, and I don't really know if I am good at this or not. But all I know is that I need to do this as one of my breather. I treated each story as a milestone that marked the emotion I faced during the period.

But I now see the pattern. It is always about unrequited feeling, a loudest silence (p.s I am in love with this phrase nowadays) and the longing mind of the heroine. Because to me, it is harder to create such a happy ending instead of what I've done. I never felt amused when reviewing a happy story, or even how to end it happily. Am I peculiar? Or does it mean that I am not happy in reality? I don't know either.

Maybe it is because I cannot define what is happiness. To me, happiness is too broad and general. But again, I can proudly say that I am happy enough to be what I am now. This is too funny, my mind is too messed up, isn't it?

Well, I just want to let you know, that I admit most of stories that I posted here are too identical, coincidentally. I don't know if I would like to find a different approach. It will up to my mood, but then, a girl's mood cannot be predicted. So you have to accept it after all.

Wow, too much talk.

I now have to leave. I really faced such a writer's block now. Pray with me that I am going to be fine and post various idea from now on, okay?

But again, here I share to you what I found during my trip to Seoul, located in Understand Avenue, near Seoul Forest Park. It said "worrying solves nothing" which is true.

I learned to not worry over unnecessary thing. And I am still trying to. I was that type of person who used to over-think everything, but I learned how bad it was, how it affected myself, my mind, my personal life, my viewpoint, everything. Now since IDGAF of any unnecessary matter, I feel free at a certain point.




Saturday 2 February 2019

[Monologue] Endless Loop of Disappointment

Kembali kecewa.

Setelah sekian lama aku lupa dan melupakan kesalahan bodoh yang terus terulang ini, aku terus kecewa.

Aku duduk di sebuah bangku berwarna biru yang berhadapan persis dengan sebuah patung kecil di galeri. Seluruh emosi terasa tumpah seketika saat melihat karya seni itu.

Bukan, bukan karena aku memahami seni dan menikmatinya.

Aku tidak pernah menjadi orang seperti itu dan hidupku hanya menyukai hal receh dan tidak berarti. Pikiranku begitu simpel namun kali ini emosi itu memuncak hanya karena satu pemikiran konyol.

Aku bukanlah satu-satunya yang sedang mengatasi kesepian disini. Patung ini tidak kalah kesepian dan kecewa sama sepertiku. Dia pasti sangat kecewa saat tidak diukir dengan utuh seperti biasanya. Dan harus berdiri sendirian diantara ruangan kosong namun tidak tampil memukau untuk bisa dilihat, perasaan yang begitu mirip seperti yang kurasakan sekarang.

"Bad day?" Tanya seseorang yang rupanya telah duduk di sampingku.

Aku membuka mata yang awalnya terus terpejam. Sejak tadi aku berusaha memahami dan memaknai kesunyian di ruangan ini. Mungkin dengan itu aku bisa menata sedikit demi sedikit perasaanku.

"Not really," jawabku enggan membuka diri.

Nyatanya, hariku tidak seburuk perkiraan. Hanya saja perasaanku yang kalang kabut tidak karuan.

"Feeling upset?" Tanyanya kini mengganti pertanyaan.

Aku tertawa remeh. "Life is always upsetting," seperti lingkaran setan, kehidupanku mengecewakan dan aku terus yang membuat diriku sendiri kecewa. Kecewa sudah seperti dimana-mana.

"Then..."

"Nothing happened," balasku.

Aku memperhatikannya. "I just did something stupid and I hate myself," ucapku, setelah memilih untuk mengalah dan mengakui kalau aku butuh teman berbagi.

Dia tidak menunjukkan senyum tetapi aku tahu dia lega saat aku mulai membalasnya.

"I fell for million times and still I did not learn from the past," aku kembali menutup mata dan ribuan momen-momen bodoh langsung terlintas.

"That's not true," ucapnya. "You learned something,"

Aku meliriknya dan gagal memahami apa maksudnya.

"You learned how to not be selfish, that your life is not only about you," dia mengelus kepalaku.

Aku tersenyum sambil melihatnya. Apakah aku sudah menjadi orang yang sedikit lebih baik dari yang sebelumnya?

"That everytime you fall, you always stand back again. I am proud of you," senyumannya, yang membuat kekosongan ini tak terasa lagi.

Senyuman nampak di wajahku, meski di dalam hati aku meremehkan semua pujiannya.

"Then what about my heart?" tak terasa, senyuman langsung menghilang saat aku mulai memikirkan hal lain. Karena tidak bisa menemukan jawabannya, dia terdiam.

Aku memangku kepala ke bahunya. Kontemplasi seharian membuat tenagaku terkuras.

"Sometimes, you just need someone for a reason. A reason why you should live and keep moving forward. Or maybe to remind you that you are also a human with a feeling,"

Aku hanya bisa terdiam dan menutup mata di atas bahunya. Ditemani seseorang mampu membuat perasaanku lebih tenang.

"I wish you were really here," ucapku kepadanya.

Kepada sesosok bayang-bayang di sampingku ini. Seseorang yang hanya bisa dilihat olehku saja.

"I am here,"

"You were here," aku tersenyum kepadanya. "We met at this place, only once. But you died too soon. You only live here now," aku menunjuk diriku sendiri, tepat di dada.

Dia hanya menatapku dengan senyuman.

"You are one of my dissapointment. One of regrets that I could not forget. If only I was brave enough to tell you that I like you, things might be going differently,"

Dia kini menggeleng.

"There is always a reason for everything. You just have not found that out yet,"

Ya, dia adalah kekecewaan terbesarku. Yang membuatku tidak bisa berhenti mencari penggantinya. Yang tidak pernah menjadi awal namun telah mengakhiri begitu saja.

Berkali-kali aku mencari perempuan lain yang bisa membuatku melupakannya, namun hanya perasaan kecewa yang tertinggal. Bayangannya selalu ada, pertemuan yang hanya beberapa jentik namun hanya berbuah penyesalan.

If only I ever talked to you before, could you tell me what was the reason that we met?

Sunday 6 January 2019

[One Shot] An Encounter

Disaat semua orang mengatakan bahwa aku salah, kamu meraih tanganku dan berkata dengan senyuman tulus, bahwa tidak ada yang salah. Bukan aku, bukan pilihanku. Dan mereka tidak salah.

Karena bagimu, semua ini hanya berdasarkan persepsi. Dan aku menyukai setiap kata yang terucap darimu.

Kamu tahu?

Memang tidak boleh ada yang bersalah dalam hal ini. Tidak seharusnya siapapun menghakimi. Bahkan aku sendiri. Seluruh pikiran negatif itu hanya tidak mengerti yang terjadi.

Karena itu, aku hanya ingin mendekapmu erat. Aku ingin bertemu denganmu, mengenggam tanganmu, dan merasakan semua itu. Hanya aku, untukku.

Aku bertanya-tanya apa yang mengawali ini.

Siapa yang akhirnya menemukan siapa. Apakah aku yang akhirnya menemukanmu, ataukah kamu juga dari dulu mencariku.

Suaramu terus bergema. Aku menyukai setiap detiknya. Disaat aku tersenyum sendiri karena fantasi-fantasi tentangmu.

Dan sayangnya, setiap senyuman itu akan selalu berakhir dengan air mata. Setiap kali aku ingin menyelimuti diri dengan kebahagiaan, rasa sedih malah memuncak dan mengalahkan semuanya.

Jangan pergi. Ucapku. Di dalam hati.

Karena di setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Meski semua orang telah mengetahuinya, tetap saja tidak ada yang pernah siap untuk perpisahan.

Anggap saja kita tidak pernah berpisah. Bayangkan kalau kita hanya berjalan di jalur masing-masing dan entah kapan jalur itu akan menyatu kembali.

Kalau kubilang aku hanya memilikimu di dunia ini, apakah kau akan kembali? Kalau aku mengakui bahwa aku terlalu membutuhkanmu saat ini hingga selamanya, apa kau tidak akan pergi?

Tetapi kau sudah berjalan terlalu jauh sampai aku tidak bisa menghampirimu.

*****

"Oh yes, I am living happily,"

Kau berada di depanku dengan senyuman itu. Senyum yang hampir tidak bisa kulupakan sejak terakhir kali di malam itu.

"That's a relief,"

Aku berusaha ikut senang bersamamu. Aku hanya berharap kau tidak membalikkan pertanyaanku tadi.

"I may not live as I want to, but there is no harm to try and enjoy,"

Ya, itu yang selalu kau ucapkan. Coba saja dan nikmati. Kau masih seperti dahulu.

"What about you?"

Aku melihatmu yang menunggu jawaban dariku. Aku memasukkan tangan ke dalam jaket yang kukenakan. Aku tidak mau terlihat gugup saat menjawabmu.

Ini pertanyaan yang selalu kutunggu, dan aku tidak tahu apakah jawabanku sudah sempurna atau belum.

"I am fine. I am living just fine since you left,"

Kau yang membawaku kesini. Dan aku sedang tertatih untuk bertahan di dunia ini. Tentu saja aku baik-baik saja, setidaknya itu yang akan kukatakan kepadamu.

"Do you like it?"

Apakah aku menyukainya? Apa yang dia tanyakan? Apakah tentang kehidupanku sekarang?

"I am just trying to have no regret in my decision,"

Ekspresimu nampak sedikit terkejut.

"Is something wrong?"

"Nothing wrong at all," aku berusaha tersenyum saat mengucapkannya. "I am grateful enough to meet you, but I regret that I have no chance to say thank you. So I really want to say thank you now,"

Kau hanya diam menunggu kelanjutanku.

"The reason that I come here and ask to meet, is only to say thank you, for everything that you taught me,"

"You don't have to,"

"You let me show my weakness to you, which I never did that to anyone in my life. I learned everything in hard way, and you were there. How can I not thank you for that?"

Karena bagaimanapun caranya, apapun yang kuucapkan kepadamu, kau tidak akan membiarkanku masuk ke dalam duniamu, kan?

"You are welcome," balasnya sambil tersenyum. Senyuman bodoh yang tidak pernah peka dengan apa yang kurasakan.

Kalau waktu bisa diputar, apakah aku masih ingin bertemu denganmu, atau tidak sama sekali?

"Be healthy and happy, Sir,"

Aku menjabat tangannya. Dan meyakinkan diri di dalam hati,

Yes, I never regret to meet you like this.

Meski waktu diputar, aku tetap ingin bertemu denganmu, dengan hubungan tak terikat seperti ini, persis seperti yang kita jalani sekarang.

Dan aku akan menyukaimu dalam diam dan memperhatikanmu dari kejauhan. Kemudian disaat aku sudah cukup siap, aku akan meminta untuk bertemu. Untuk berterima kasih kepadamu.

Seperti hari ini. Sama seperti sekarang.

Hanya untuk berterima kasih dan terus menyembunyikan perasaanku. Menjadi dewasa dan menganggap ini bukan perpisahan.

Karena jalanmu bukan berada di sebelah jalanku. Dan tidak ada ruang untuk jalan berdua bagi kita.

"You too,"