Sunday 24 July 2016

[One Shot] The Day We Meet, Again...

Malam itu, aku ragu untuk datang. Corsage biru yang senada dengan dress yang kukenakan masih tertutup rapi di bungkusnya, menanti dibuka.

Ini adalah pernikahan temanku. Seharusnya aku datang untuk merayakan hari bahagianya ini.

Namun setelah kembali menatap cermin, nyaliku menciut. Aku merasa tidak siap untuk bertemu dengan teman-teman lamaku disana nanti. 

Terutama Ian.

Delilah sudah meneleponiku dan bertanya kapan aku siap untuk dijemput. Dengan enggan aku berkata kalau dia bisa jalan sekarang juga.

Kalau saja aku pergi sendiri, mungkin aku akan memberi alasan agar tidak jadi pergi. Tetapi ini Delilah. Dia tahu aku masih ragu untuk datang dan bersikeras agar menjemputku.

Dia tidak tahu perasaanku kepada Ian. Dia tidak pernah mengerti apa yang akan kuhadapi. Cinta pertama yang tak pernah terucapkan. Kalau dia tahu sejak dahulu, aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan.

"Kau sedikit... wow... sejak kapan kau seperti ini?" Reaksi Delilah membuatku cemas.

"Seperti apa?"

"You put an effort for your looks tonight,"

Karena Ian, Delilah. Aku tidak mungkin berpenampilan biasa saja ketika mata Ian kemungkinan melirikku walau kurang dari sedetik. Sepersekian detik tatapannya sudah cukup membuat jantungku berdegup tidak karuan.

"Is it bad?"

"What? No. You look gorgeous, dear," puji Delilah.

"You too, by the way," Delilah tersenyum sambil merapikan red halter dress yang cukup mengekspos keseksian area leher hingga bahunya.

Aku cukup senang hasil memilih-milih dress baru dan kursus makeup kilat via tutorial yang kurang dari seminggu kupersiapkan ini diakui oleh Delilah, gadis paling feminin diantara yang kukenal. Meski hanya sebuah sheath dress biru polos yang terlalu simpel dibandingkan sebelahku ini, aku puas dengan pujiannya.

Saat sampai di venue, Delilah menyeretku bertemu teman-teman lama kami. Aku masih bisa mengingat beberapa dari mereka, walau terkadang sedikit tertukar namanya. Mataku masih berkeliaran mencari sosok pria yang kunanti sejak lama.

Aku berusaha membayangkan perubahan pria itu setelah sekian tahun tak bertemu. Mungkin kini dia sudah sangat tidak bisa kukenali hingga sulit kutemukan di balik kerumunan. Atau mungkin kesempatanku satu-satunya untuk bertemu lagi berakhir sia-sia, Ian terlalu sibuk untuk mendatangi pesta pernikahan teman lamanya ini.