Friday 20 December 2019

[Continuous] Ceaseless Flame Part 1

"Well I was afraid, once," jawab seseorang di hadapanku, sambil menggenggam gelas di tangan kanannya.

Aku memperhatikan orang ini, apakah masih sadar atau tidak. Matanya sudah tidak fokus, namun gerakannya tetap tegas. Someone like him, to be afraid and admit it? Am I hallucinating?

"A thought just came to my mind, and I suddenly was afraid imagining you wouldn't come back," ucapnya, sambil menatapku, dalam-dalam.

Aku memilih mengarahkan mataku ke kanan dan kiri, mencari topik lain untuk dibahas.

"I was wondering, even after waiting for 20 years, what if I still couldn't find you,"

"Well, but I am here now," jawabku, tersenyum.

Dia mengangguk. "Right. That's the most important. You're here,"

Dia menuangkan gelasnya kembali. Aku sudah tidak menghitung gelas keberapa kali ini. Tetapi postur dan gerakannya masih belum bergeming sama sekali. Kalau saja dia sudah hilang kesadaran, apa yang harus aku lakukan? Membawanya pulang? Bagaimana mungkin?

Saat aku bangkit ke toilet, dia menggenggam tanganku dengan sangat kencang. "I am just going to toilet, it's not like I will leave you again,"

Orang ini, aku yakin dia sudah terlalu mabuk dan hilang kesadaran. Airmata jatuh ke pipinya yang sudah memerah. Hanya tetesan demi tetesan, namun selain matanya, ekspresinya begitu datar yang membuatku kebingungan.

Aku melepas tangannya, dan dia tidak melawan.

Aku baru bisa menghela napasku setelah masuk ke dalam toilet. Sesuatu di dalam diriku, rasanya terbakar dan membuat jantungku berpacu. Aku bisa merasakan tubuhku merinding bukan main.

Untuk bertemu dengan orang itu, setelah sekian lama...

Aku membasuh wajahku dan berharap bahwa kesadaranku kembali.

Di saat aku kembali ke meja, dia sudah menatapku dari kejauhan. Seolah-olah begitu takut aku benar-benar akan menghilang lagi. Aku duduk di depannya dan dia terus-terusan menatap kemanapun aku bergerak.

Aku melambaikan tangan ke arahnya, namun tidak bisa mengenali apakah dia sudah benar-benar mabuk atau setengah sadar.

"You're drunk already, let's go home,"

"Whose home?" tanyanya.

Aku memperhatikannya. "Let me get you a cab," aku menarik tangannya. Yang mengejutkan, dia masih bisa menggunakan tenaganya sendiri untuk berdiri dan berjalan. Hanya saja langkahnya sudah sempoyongan dan tidak bisa berjalan lurus.

Aku berdiri di sebelahnya, menuntun orang ini sampai keluar pintu. Aku meminta seorang pelayan untuk memesankan taxi. Saat sang pelayan menanyakan berapa taxi, dengan cepat seseorang menjawabnya, "One please," tentu saja siapa lagi kalau bukan yang berdiri di sebelahku.

Aku meliriknya, namun terlalu enggan berdebat sehingga aku mengikuti kemauannya.

Kami berdua duduk di bangku pinggir jalan, menunggu taxi datang. Dia, yang entah memang mabuk atau masih sadar, menggenggam sambil memainkan tanganku seperti anak kecil. Seolah dia tidak bisa menahan kesenangannya saat melihatku lagi.

"Don't you feel dissappointed, seeing me like this?" tanyaku.

"Seeing you alive is already a big luck to me. It is just that you are now looking mature and calm, I love it,"

"I am married, now," dia seharusnya sudah tahu ada cincin di jariku sejak dia terus menggenggamnya. Ekspresiku datar, tidak tahu apa yang kurasakan pula sekarang.

Dia tersenyum masih dengan pipinya yang memerah. Aku ingat sejak dahulu dia terlahir dengan kulit putihnya, sehingga saat mabuk seperti ini, warna kemerahan di pipinya terlalu mencolok.

Dia seakan tidak mendengarku dan masih tetap bermain-main dengan tanganku. Sesekali dia menyusupkan jarinya ke jariku, terkadang menggenggam kencang-kencang tanganku dan setelah itu dia menepuk-nepukkan tanganku ke pahanya.

"I said that I am married," aku melepas tanganku yang terus dipegangnya sambil menunjukkan cincin yang kupakai tepat di depan matanya.

"So what?" Balasnya. Dia menatapku tanpa ada ekspresi sama sekali. "You rejected me before. You said you didn't love me and told me to go away. I did what you wanted. But it was only making me suffocated for 20 years. I only want to do what I always want to. Can't I see you even though you're married?"

"You can't," jawabku tegas.

"Can't I cherish you with all my love that I have?"

"You can't," balasku lagi, masih dengan nada tegas. Walaupun, apa yang kurasakan berbanding terbalik dengan apa yang kutunjukkan.

"Can't we meet each other, even just as friends?"

Aku meliriknya. Friends do not fall in love with each other.

"You can't. Moreover, I will be back in 2 weeks,"

"Where to?"

Aku meliriknya lagi. Matanya setengah terpejam setengah terbangun. Lagipula aku tidak menyangka setelah 2 minggu kembali ke tempat asalku, aku bertemu dengan orang ini.

"A small city," jawabku.

"Where?" Dia memaksa.

"I don't want to tell you,"

"So this is true. You hide yourself from me. I wonder why is it so hard to find you everywhere," jawabnya. "I looked for every name in every magazine, hoping that I might know where you worked. But I found nothing. I searched everywhere to look for you. I thought you lived abroad,"

Aku tertawa. He thinks too highly of me.