Tuesday 30 June 2015

[Continuous] New Season (Part 5)

Seriously, Ash?”

Aku menghela napasku dan menjawab telepon Tyler. “I can’t, Tyler, sorry,” setelah mengucapkan salam, aku langsung menutup teleponnya.

Aku mengetuk-ngetuk pulpen di tangan sambil memainkannya. Padahal banyak sekali tugasku belakangan ini, tetapi pikiranku sangat kacau. Aku terus mencoba untuk mengerjakan dan hasilnya nihil. Walaupun aku sudah memaksa otakku bekerja di depan tumpukan buku ini, aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.

Sampai hari ini, di hari keberangkatan Daniel, aku belum bertemu dengannya. Kejadian seminggu lalu membuatku sangat ragu untuk bertemu. Sepertinya aku telah mengecewakan Daniel pula. Lagipula, dia juga tidak mencoba untuk menghubungiku selama ini.

 No, this isn’t right.

Bodoh. Kalau hari ini aku tidak bertemu, kemungkinan aku akan bertemu dengannya akan bertahun-tahun kemudian. Aku seharusnya pergi sekarang juga. Masih ada waktu sekitar 3 jam sebelum jadwal keberangkatan Daniel. Seharusnya masih banyak waktu untuk menemuinya secepat mungkin.

What is this, God?

What are you doing here?” tanyaku, tidak percaya.

Daniel melihatku. Wajahnya begitu kurus, membuatnya sedikit berbeda darinya yang biasa kukenal. Dia tersenyum namun aku tidak membalas senyumannya.

Seeing you,” jawabnya. Suaranya terdengar kelelahan. Aku tidak tahu apa yang selama ini terjadi kepadanya hingga membuatnya seperti sekarang. “Aku ingat hari ini kau ada kelas, kan? Aku kesini untuk melihatmu, Ashley,” jelasnya.

I’m also on my way to see you.

“Kau seharusnya sudah siap-siap berangkat ke bandara sekarang,” aku melihat jamku. Aku seolah-olah bersikap cuek walaupun tidak sanggup menahan bahagia.

Mengapa aku selalu menarik diriku sendiri setiap di depannya? Setiap kali Daniel melangkah lebih dekat, aku menarik diriku mundur lebih jauh.

“Semuanya sudah siap,” jawabnya. “Hanya perasaanku saja yang tidak,” tambahnya lagi.

“Kau harus sukses disana, Dan,” aku beralih.

Do you feel nothing?” tanyanya.

Of what?

My departure,

I feel happy for you, of course,” akhirnya aku tersenyum. Senyum palsu seperti waktu itu.

Daniel melihatku dan berkata, “You’re doing it again,” ucapnya.

Apa yang kulakukan?

You’re lying, and I can see it clearly,”

What lie?” tanyaku menutupi keterkejutanku.

Daniel melangkah semakin dekat kepadaku dan aku masih menarik diriku. Dia lalu cepat-cepat berjalan sambil menarik tanganku.

“Katakan kalau aku benar, mengapa kau selalu berbohong kepadaku?”

Aku menepis tangannya. “Aku tidak mengerti maksudmu,” jawabku.

“Hanya tinggal beberapa jam lagi sebelum aku berangkat dan kau masih akan bersikeras membohongiku?”

Bagaimana… tidak. Tidak mungkin Daniel tahu. Tetapi dari matanya, dia nampak sangat yakin kali ini. Bagaimana mungkin dia bisa benar-benar mengenaliku?

Aku mengecek jamku sekali lagi. Mengetahui semakin banyak waktu yang kuhabiskan sia-sia, aku bertambah panik. Sesuatu di dalam diriku yang saling berlawanan sedang bertengkar habis-habisan.

Kiss me,” ucapku, jelas.

Bukan hanya Daniel, aku cukup terkejut saat menyadari apa yang baru saja aku katakan. Mungkin akhirnya aku tahu pihak mana yang menang dan berhasil mengontrol diriku. You should have no regret, Ashley.

Daniel tidak ragu lagi berjalan dan berusaha menciumku. Sebelum menutup mata, aku sangat yakin dapat melihat raut senyum di wajah Daniel meski hanya sepersekian detik. Berbeda dengan Daniel, aku merasa gugup. Aku yang memintanya, namun aku sendiri yang ragu.

Yes, you should know it now.

You did it.

Aku tidak mau membuka mataku dan kembali menghadap kenyataan. Meski Daniel sudah melepaskanku, aku tidak mau mengakui bahwa beberapa detik tadi adalah hal terhebat yang pernah kurasakan.

Bahkan aku sendiri akhirnya mengerti sudah seberapa besar perasaanku ini berkembang.

Tidak ada penyesalan, Ashley.

Disaat aku mulai mencoba berbicara, Daniel membungkamku.

I understand it clearly,” ucapnya.

Don’t go…” akhirnya, setelah berkali-kali suaraku tertahan untuk mengatakan hal ini.

Aku tahu, walaupun aku mengucapkannya sekarang, semua sudah terlambat. Aku hanya ingin tidak memiliki penyesalan lagi selain semua kepalsuan yang pernah kukatakan kepadanya. Ini hanya ucapan egois untuk memenuhi keinginanku saja.

Now you say it,” dia masih tersenyum, seperti puas denganku.

Aku berjalan mendekat dan meraba sesuatu di lehernya. Daniel masih mengenakan liontin itu, dan aku membukanya. Aku tersenyum saat melihat fotoku di dalam liontin tersebut.

“Bolehkah aku minta satu hal kepadamu?”

Daniel mendengar baik-baik, “Saat debutmu nanti, bisakah kau masukkan lagu ‘One and Only’ di albummu?” pintaku.

Lagu tersebut belakangan ini kudengarkan saat aku sedang menunggu Daniel di apartemennya. Aku jarang sekali mendengar lagu-lagu Vocation, tetapi saat aku menemukannya, lagu tersebut sangat adiktif.

You’re my one and only, the first that goes lastly,

There is no goodbye for us…

 *****