Saturday 8 August 2015

[One Shot] ADELIA

There is nothing here than darkness.

When you look into me, there is nothing. My world means nothing to me, so does my life. Having a great job with a good salary, a great wife with the best cooking skill, 

But what is the reason of living?

Candice sedang berbicara kepadaku selagi menyiapkan buah untuk makan malamku. Aku duduk terdiam dan tidak sekalipun mendengarnya, tidak juga melakukan hal lain.

"Tyson?"

Aku menengoknya dan memintanya mengulang apa yang diucapkannya.

"Kau tidak mendengarku? Kau dan aku diundang ke housewarming party keluarga Laurent, 3 blok dari sini. Mereka baru pindah ke daerah sini,"

Aku tidak menjawab ya, ataupun menolaknya. Kenyataan bahwa meskipun aku menolaknya, Candice pasti akan semakin rewel dan berakhir sesuai keinginannya.

Tersenyum, bodoh. Hanya sedikit senyuman untuk istrimu sendiri saja, apakah begitu sulit?

Besok malamnya, Candice sudah menyiapkan setelan yang pas untukku dengan warna senada dengan dress yang dikenakannya. Aku mengenakannya masih dengan diam dan tanpa mengeluh sama sekali meskipun dia tahu aku tidak suka sekali saat kami sepakat memakai pakaian senada.

"You must be Mr. Weltz,"

Seorang pria dengan tinggi tidak terlalu berbeda denganku menawarkan jabatan tangan. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Markus Laurent, sang warga baru di lingkungan ini. Dia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dia langsung memanggil sang istri untuk diperkenalkan kepada aku dan Candice.

"Perkenalkan, ini Adelia, istriku,"

I see her eyes, and i know it well. She is that woman.

Adelia menatapku dan tidak mampu menahan keterkejutannya. Dia mencoba menutupinya dengan tersenyum dan memperkenalkan dirinya. Adelia adalah wanita itu. Dia adalah wanita yang 4 bulan lalu kutemui.

Aku masih ingat jelas bagaimana pertemuan kami selama 1 minggu yang singkat dan perpisahan itu. Kali pertama kami bertemu adalah ketika aku sedang mengikuti training dari perusahaanku yang dia juga merupakan salah satu pesertanya.

"We met again,"

Aku mendekatinya yang sedang mengambil minuman. Candice sedang menemui tetangga lainnya dan akhirnya aku mencoba berbicara dengan Adelia.

Dia tampak tidak nyaman untuk berbicara denganku. Matanya menatap ke semua arah selain ke mataku.

"Kau tidak berkata bahwa kau sudah menikah,"

"Kau juga tidak mengatakannya,"

Aku dan Adelia akhirnya saling bertatapan. Sejenak, aku mengulang kembali seluruh peristiwa itu. Mungkin pada waktu itu, aku mulai menemukan setitik cerah alasan untukku agar tetap hidup. Aku akhirnya menemukan cara untuk menikmati hidup.

"Kau bilang kalau kita secara tidak sengaja bertemu lagi-,"

"Tyson, i'm married,"

Adelia langsung meninggalkanku yang tidak sempat menyelesaikan omonganku. Dia berjalan menjauhiku dan tidak sekalipun berniat menoleh ke belakang. Dia tahu, ucapannya pada saat perpisahan itu.

Suatu saat, ketika kita tidak sengaja bertemu lagi di lain kesempatan, mungkin pada saat itu adalah pertanda kita dipertemukan untuk bersama. Adelia, kau yang berkata hal itu.

Nyatanya, kami berdua sudah menikah satu sama lain. Selama 1 minggu pertemuan kami, mengapa tidak ada satupun dari kami yang menunjukkan rasa bersalah itu? Untuk sesaat, aku lupa bahwa aku memiliki Candice.

Aku mulai mengingat dengan jelas memori kebersamaan kami. menyadari bahwa Adelia berada di hadapanku seolah-olah dia ditakdirkan untukku membuatku begitu takjub

"Kau kelihatan berbeda malam ini,"

Candice tiba-tiba berada di sampingku. Aku sebenarnya menahan panik. Sejak tadi aku memperhatikan Adelia kemanapun dia pergi. Walaupun Candice seharusnya tidak akan menyadarinya, tetap saja aku begitu panik.

"Kau nampak menikmati pestanya. Berbeda sekali dengan sebelumnya,"

Candice tidak mengetahui bagaimana aku bisa memasangkan senyum di wajahku cukup lama seperti sekarang ini.

"Mood-ku sedang baik,"

Aku menenggak cocktail yang berada di tanganku. Sepertinya aku terlalu mengekspos kebahagiaanku hari ini. Melihat Adelia kembali benar-benar menjadi kebahagiaanku yang utama.

Adelia, apakah kehidupanmu sama membosankannya sepertiku?


Beberapa hari kemudian, aku tidak dapat bekerja karena terserang flu hebat. Candice meninggalkanku sendirian di rumah karena pekerjaan di kantornya juga menumpuk. Meskipun aku sudah disiapkan bubur, sup ayam hangat, teh hangat, dan kompres di rumah, penyakitku terasa tidak akan hilang dengan mudah. Aku menenggak banyak obat flu dan efeknya tidak tampak hingga sekarang.

Tok... Tok... Tok...

Aku begitu terkejut ketika melihat Adelia berdiri di depan pintu, dengan cardigan kuning pucat dan menatapku.

"Aku tahu dari Candice bahwa kau sedang sakit,"

Aku tidak bisa mendengar seluruh kata-katanya lagi. Entah apakah ini efek dari penyakit sialan itu atau kenyataan bahwa Adelia berada di hadapanku yang membuatku tertegun.

"Apakah kau baik-baik saja? Kau sudah makan?"

Adelia masuk dan segera menuju dapur. Dia menyiapkan makanan untukku dan menyuruhku untuk tidur di sofa. Aku menurutinya saja dan dia mulai memeras air kompres dan meletakkannya kembali di kepalaku.

Aku terus menatapnya, meskipun aku tahu Adelia merasa canggung saat aku melakukannya. Rasanya seperti mimpi. Setiap malam aku terus berdoa dan berharap bahwa aku bisa bertemu kembali dengannya, dan Tuhan akhirnya menjawabku.

Adelia begitu memperhatikanku dengan baik. Berkali-kali dia bertanya apakah aku ingin makan atau tidak dan aku terus menggeleng. Aku menolak untuk cepat sembuh, karena dengan itu dia tidak akan ada alasan lagi berada di sini.

"Bagaimana kau..."

Adelia memperhatikanku. Matanya tetap sama seperti yang dahulu kulihat, begitu muda dan bebas, mengharapkanku untuk membawanya pergi dari dunia nyata. Maksudku, aku masih tahu bahwa dia memang menyukaiku, dia masih menatapku dengan cara yang sama.

"Bisa datang kesini? Bagaimana kalau aku berkata bahwa aku merindukanmu?"

Aku juga merindukanmu, Adelia. Aku menatapnya, berusaha membayar semua kerinduanku terhadapnya, hingga akhirnya kami berdua hanya terus bertatapan satu sama lain tanpa ada gerakan lain.

Teleponku berbunyi, dan rupanya Candice menelepon dari kantornya.

"Kau sudah makan? Bagaimana dengan flu-mu? Sepertinya aku tidak bisa pulang cepat karena tugasku masih menumpuk disini,"

Candice, apakah aku salah kalau memintamu untuk menginap di kantor sekalian saja dan biarkan aku menghabiskan lebih banyak waktu bersama Adelia, berdua saja?

"Aku sudah membaik, tenang saja, urusi saja pekerjaanmu, ya,"

"Thanks, honey. Love you, get well soon,"

Aku tidak pernah dan tidak akan membalasnya selain dengan kata-kata sampai nanti. Candice sudah terbiasa dengan itu dan menganggapku romantis dan pemalu yang tidak mau mengungkapkan perasaanku. Terserah saja menurutnya.

Aku menjauhkan ponselku dan melihat Adelia masih berada di dekatku. Rasanya begitu melegakan bahwa ini bukanlah sekedar mimpi.

"Candice meneleponku. Katanya dia tidak bisa pulang cepat,"

Adelia tersenyum memaksa. Entah apakah dia merasa bersalah sekaligus senang, atau ada hal lain yang dimaksud.

Tanganku menggapai pergelangan tangan Adelia. Aku bisa menyadari bahwa suhu tubuhku begitu kontras dengan dirinya.

"Semakin lama kau disini, semakin besar kemungkinan kau akan tertular olehku,"

Adelia meletakkan tangannya satu lagi diatas tanganku. Dia menolak untuk pergi sampai aku sudah cukup sembuh dari penyakit ini. Di dalam hati aku terus berdoa agar Tuhan tidak segera mengangkat penyakitku ini. Meskipun aku tidak ingin menularinya, tetapi melihatnya pergi menjauhiku juga bukanlah keinginanku.

Aku merangkul lehernya dengan satu tangan, lalu menggunakan tanganku yang satu lagi untuk memeluknya dengan erat.

"It feels really good,"

Aku memejamkan mataku dan merasakan bahwa tubuhku dan tubuhnya bersatu. Rasnaya begitu nyaman saat aku merasakan suhu tubuhnya yang begitu normal.

"Kau harus makan,"

Adelia mulai mengambil mangkuk bubur dan menyuapiku. Dia melakukannya dengan telaten yang membuatku semakin menyukainya semakin dalam.

"Aku ingin bertemu lagi denganmu,"

Sebelum Adelia pulang karena hari sudah hampir malam, aku menahannya sebentar. Dia nampak sedikit ragu, namun tiba-tiba dia menjawabku.

"00 Building hari Jumat pukul 7 malam,"

Aku melihatnya menjauh membelakangiku, dan mulai tidak sabar menanti hari jumat tiba. Candice datang sekitar setengah jam setelah Adelia pergi. Dia nampak tidak curiga sama sekali dan aku berharap dia tidak akan pernah menyadari apapun.

Aku datang di tempat yang telah ditunjuk Adelia tepat waktu. Dia sudah nampak kelihatan saat aku hendak memasuki pintu sebuah restoran. Dengan balutan kemeja putih dan rok hitam mengkilap, dia menantiku di dekat pintu masuk dan tersenyum kepadaku. Dia sudah memesan tempat khusus untuk kami atas namanya, sekaligus course menunya juga.

Adelia mulai berbicara saat kami telah diantar ke table. Dia memasang wajah serius sambil menatapku dalam-dalam. "Apa yang membuatmu tidak memberitahuku kalau kau sudah menikah?" Tanya Adelia. "Pertanyaan yang sama berlaku untukmu," balasku dengan santai. 

Dia menatapku, dibalik cahaya lampu restoran yang temaram namun memberikan kesan intens yang membuatku tidak sanggup berpaling ke lain arah. Semenjak pertemuan kami kembali, aku merasakan bahwa ada sebuah pembatas diantara kami yang dibangun oleh dirinya dan menahanku untuk bertindak gila. Entah apakah benar atau tidak, tetapi aku ingin berusaha menembusnya sebisa mungkin.

"Kalau kubilang sejak awal aku tertarik kepadamu dan tidak ingin melepaskanmu, apakah itu alasan yang ingin kau dengar? Aku takut kau menghindariku ketika kau tahu statusku," aku menggenggam tangannya. Dia melihatku, berusaha mencari tahu apakah aku berbohong atau tidak.

"Kau berbicara seakan kau sedang melihat ke dalam isi hatiku,"

Aku tersenyum saat mengetahuinya. Saat aku menyentuh pipinya, dia memcengkeram tanganku agar tidak melepaskannya dengan cepat. Dia memejamkan matanya seakan begitu meresapi sesuatu.

"Bagaimana ini? Aku tidak ingin melepaskanmu?"

"Then don't, don't ever think about it,"

Andai saja dia bisa melihat ke dalam isi hatiku, aku ingin Adelia tahu bahwa aku benar-benar yakin dengan seluruh ucapanku.

"Kalau aku melakukannya, aku harus siap dengan semua kejutan di esok hari,"

Aku menangkap sesuatu di matanya yang membuatku memohon kepadanya, seakan inilah hal yang ingin didengarkannya.

"Apakah kau ingin memperjuangkan hubungan kita bersamaku?"

Adelia berhenti memejamkan matanya dan akhirnya menatapku dengan begitu serius. Apa yang dipikirkannya sekarang?

"Kau tidak mengerti betapa berartinya keberadaanmu bagiku sekarang. Setiap hari aku merasa seperti mayat hidup. Kau yang membuatku kembali bersemangat seperti aku mengerti untuk apa aku masih hidup hingga hari ini,"

Mataku mengunci matanya. Siapapun tidak akan mengerti betapa intensnya pembicaraan kami di meja ini. Kalau aku sedang berada di medan perang saat ini, aku seperti satu-satunya prajurit yang bertahan hidup dan harus menyebrangi pertahanan musuh demi menyelamatkan kemerdekaanku sendiri. Aku ingin Adelia jujur dengan perasaannya dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan kami.

"But we're married. Pernikahan bukan hanya tentang 2 orang, seluruh keluargaku akan merasakan dampaknya. Markus adalah salah satu alasan keluargaku bisa hidup serba berkecukupan,"

"Aku bisa memberimu lebih dari yang Markus berikan,"

Adelia masih berusaha menahan dirinya. Sampai kapan aku harus membuatnya terbuka dan kami berdua bisa bebas secepat mungkin?

"Aku dan keluargaku dulu tinggal di sebuah kota kecil dan alasanku menikahi Markus adalah karena nenekku. Dia yang mengenalkan dan menjodohkan kami karena Markus adalah cucu dari teman lamanya. Karena pada saat itu aku sama sekali belum merasakan jatuh cinta, aku menyetujuinya saja. Markus membawaku dan seluruh keluargaku untuk pindah kesini, ke kota besar ini dan memberiku kesempatan berkarir disini. Rumah pertama yang dibelinya kini ditempati oleh keluargaku dan rumah baru kami hanya ditempati oleh aku dan Markus berdua,"

"Mengapa kau bercerita tentang dirimu dan Markus kepadaku? Apa maksudmu?

"Kau harus tahu semuanya. Kau harus tahu ini, kumohon aku tidak pernah membicarakan hal ini kepada siapapun bahkan orangtuaku sekalipun. Sejak awal pernikahan kami, aku tidak pernah hidup hanya berdua dengannya. Kini akhirnya aku tinggal berdua, dan aku..."

Bibirnya terkulum dan cukup sering dia menelan ludah. Sesuatu menahannya, entah apa yang dia rasakan sekarang karena aku belum mengerti maksud ceritanya.

"Rumah kami yang dulu berada cukup jauh dari rumah kami sekarang. Sebagai orang baru di kota ini, aku tidak memiliki teman ataupun kenalan sama sekali kecuali kolega di perusahaanku dan itupun aku jarang bersosial dengan mereka. Kau tahu mengapa? Karena Markus akan begitu marah besar dan mengancam akan membunuh siapapun yang bisa membuatku menomorduakan dirinya. Aku tidak bisa melihat sisi posesif ini sebelumnya, dan dia benar-benar serius dengan ucapannya. Aku merasa seperti seekor burung di sebuah kandang kecil. Bernapas bagiku saja begitu sulit. Dia selalu mengungkit betapa bahagianya kehidupan keluargaku setelah dinafkahi olehnya apalagi selama kami mulai merasakan hidup mewah dibandingkan sebelumnya. Aku mengerti maksudnya, dia ingin mengancamku. Aku harus mematuhi semua omongannya demi kebahagiaan keluargaku,"

Aku terdiam. Aku baru mengerti apa maksudnya. Sang burung mulai menitikkan air mata. Dia tahu membuka pintu kandangnya sendiri bukanlah cara terbaik untuk bisa lepas. Betapa besar keinginannya untuk bebas, sayapnya mungkin beresiko patah. Kalaupun dia bebas, dia tidak bisa terbang dan menghindar pula.

"Setiap menit lebih lama kuhabiskan denganmu, semakin besar resiko aku akan kehilangan pekerjaanku," dia mulai gelisah tiba-tiba. "Kalau Markus pulang lebih dulu dariku, aku..."

"Adelia,"

Akhirnya aku bisa melihat ke dalam dirinya. Aku merasakan semua yang dirasakannya seakan hati kami telah bersatu.

"Kupikir aku sudah sedekat ini untuk bisa bebas darinya dengan bertemu denganmu. Tetapi aku... keluargaku..."

Jadi dia berusaha memberitahuku betapa sulit bagi dirinya untuk mengiyakan permintaanku meskipun dia tahu jawaban yang diinginkannya.

"Sampai kita bisa mengetahui  rencana yang terbaik"

Aku menepuk pergelangan tangannya berusaha menghangatkan dirinya. Ya, sampai saatnya tiba, aku baru akan bisa membebaskanmu. Itu yang kau inginkan, bukan?

Sampai saatnya tiba, kapankah hari itu ?

Aku mengantar Adelia hingga depan komplek saja karena menurutnya Markus pasti sudah pulang larut malam begini. Tetapi sebelum dia sampai ke depan rumahnya, aku tidak bisa menjalankan mobilku.

Hari-hariku bersama Adelia membuat semangat hidupku muncul. Gairahku untuk menyambut hari esok terasa sangat positif. Walaupun masih tidak ada kemajuan sama sekali, kini tiap hari berhasil melihat wajahnya di teras rumahnya sudah membuatku bahagia bukan main.

Aku ingin buru-buru memiliki Adelia sepenuhnya.

"Belakangan ini mood-mu bagus sekali,"

Candice baru saja mencuci piring di dapur saat aku duduk di ruang tamu. Dia duduk di sampingku dan memperhatikan wajahku. Aku sedikit menjauh darinya. Perasaan bersalahku kepadanya masih menyelimuti pikiranku. Aku ingin sekali membahagiakannya, apapun permintaannya akan kukabulkan segera. Asalkan dia bersedia bercerai denganku, aku akan melakukan segalanya.

"Apa sesuatu terjadi di kantor?"

Candice menyandarkan kepalanya ke bahuku.

"Uhm... Aku akan dipromosikan menjadi vice president minggu depan,"

Candice segera bangkit dan melihatku.

"Benarkah? Bukankah itu bagus sekali? Mengapa kau kelihatannya tidak sebahagia itu?"

"Aku bahagia,"

Tidak ada yang bisa membandingkan kebahagiaanku bersama Adelia. Moodku benar-benar sedang bagus kalau aku sedang memikirkan Adelia walau hanya di bayangan saja.

"Kita harus merayakan ini. Kurasa Adelia bisa membantuku memasak,"

Aku melihat Candice yang begitu santainya menelepon Adelia. Aku sendiri baru tahu kalau Candice dan Adelia sudah berteman baik. Candice berkata bahwa Adelia akan mulai membantu memasak disini besok.

"Hai,"

Melihat Adelia masuk ke dalam rumahku dan menyapa Candice membuatku terpana. Aku bisa berada di dekatnya tanpa perlu memikirkan hal lain lagi.

Namun aku bisa melihat sesuatu hal yang lain. Adelia sama sekali menghindariku. Entah apakah dia tidak ingin Candice menyadarinya, tetapi hal itu cukup membuatku terdiam sementara. Aku tidak tahu harus bagaimana.

Ketika aku mendapati waktu berdua tanpa Candice perhatikan, aku langsung menariknya dekat-dekat.

"Mengapa kau menghindariku?"

Adelia nampak sangat ketakutan kalau-kalau Candice melihat kami, dan dia membalas sambil berbisik,

"I can't do this,"

Aku mencengkeram pergelangan tangannya dan dia meringis kesakitan. Perasaanku berkata bahwa ada sesuatu yang salah, dan rupanya aku benar. Aku bisa melihat lebam di tangannya. Dan bekas seperti pasti bukan karena ulahku barusan.

Markus. Pria brengsek itu.

"What happened to you?" Tanyaku sambil mengamati bagian mana lagi yang lebam-lebam oleh pria bangsat itu.

"Kumohon, Tyson, aku tidak bisa melakukannya lagi,"

Aku mendapati bahunya juga kesakitan, begitupun lengannya, dan entah bagian mana lagi yang menjadi korban.

"Apa yang dia lakukan kepadamu?" Aku berusaha menahan amarahku. Kalau pria itu berdiri di hadapanku kali ini, kurasa aku akan langsung membunuhnya tanpa ragu lagi.

"Markus... Dia mulai mencium gelagat aneh dan memaksaku untuk menyebutkan satu nama," suaranya begitu rintih.

"Dimana dia sekarang?" Aku tidak bisa lagi menahan gejolak amarah ini.

"Kumohon, Tyson, jangan lakukan ini. Aku tidak menyebut namamu atau siapapun. Aku juga tidak mau Candice ikut terlibat dalam masalah ini. Biar saja kita yang-"

"Apa maksudmu?" Aku menyelanya dengan suara yang sangat lantang. Aku tidak bisa lagi menahan diriku.

Membayangkan perpisahan kami adalah satu-satunya hal yang tidak pernah bisa kulakukan.

Mengapa harus kami yang berpisah?

Sebenarnya apa yang wanita ini inginkan?

Aku selalu yakin bahwa dia juga ingin memilikiku sama seperti aku kepadanya. Aku mengerti hambatan-hambatan diantara kami dengan baik. Entah Markus atau Candice, mereka sama-sama menghalangi jalan kami. Tetapi aku selalu teguh pada keinginanku untuk memperjuangkan perasaan ini.

Lalu bagaimana dengannya? Denganmu?

Kalau kau sedang mengirimiku sebuah pesan tersirat, kumohon katakanlah secara langsung karena aku sama sekali tidak mengerti!

Karena suaraku yang terlewat lantang, Candice datang dan melihat kami berdua. Masih dengan tanganku yang tidak pernah melepaskan Adelia, Candice melirik mata kami perlahan dan tangan kami kemudian.

Adelia, dengan sangat mengejutkan menarik dirinya. Kini aku merasa tertolak. Amarah ini sudah sejak lama terpendam sehingga membunuh indera-ku yang lain.

Aku memegang tangannya lagi, dan Adelia terus menariknya. Mataku hanya bisa menangkap dirinya meskipun aku mendengar suara Candice dengan jelas.

"Tyson, apa yang kau lakukan?"

Aku mengabaikan suara itu dan hanya terus menatap Adelia. Dia nampak tidak nyaman dan semakin menghindariku.

"Lihat aku dan katakan dengan jelas apa yang sebenarnya kau inginkan!"

Aku bahkan tidak bisa menyadari bahwa aku sudah meneriakinya. Seluruh panca indera yang kumiliki sudah malfungsi dan hanya mampu menanti jawabannya.

"Tyson?" Candice kembali memanggilku, namun aku sama sekali tidak menolehnya.

"Dear God, what is happening to you?" aku bisa merasakan Candice yang sedang menjauhkanku dari Adelia. Dia menarikku ke satu sisi yang membuat jarak yang semakin jauh antara aku dan Adelia.

"Please, Adelia, kau berkata bahwa kau perlu waktu dan aku terus memberikannya. Apakah kau masih perlu waktu lagi? Aku akan terus menunggumu,"

Oh, akhirnya aku sudah kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Adelia masih hanya diam dan tidak menjawabku.

"Apakah si bajingan itu yang melakukan semua itu kepadamu? Luka-luka itu? Aku harus membunuhnya segera,"

"Tyson! Have you lost your mind?" suara Candice terdengar seperti membentakku.

Aku seolah-olah kehilangan logika dan meskipun menyadari Candice melihatku, aku mengabaikannya. Bahkan mataku tahu siapa yang lebih berarti untukku sekarang.

Adelia terus-terusan menjauhiku meski aku selalu mendekatinya lagi. Dia melirik Candice dan tidak pernah mau melihatku.

"Maaf, kurasa aku harus pergi," ucap Adelia.

Aku menariknya, namun dia tetap mengelak. Setelah Candice menahanku untuk melakukannya lagi, Adelia baru akhirnya pergi tanpa menoleh sama sekali.

Oh my God... Apa yang baru saja kulakukan?

Rasanya seperti terhantam palu tepat di ubun-ubun. Aku tidak berani menatap Candice, tetapi dengan hanya ada kami berdua di rumah ini, aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Terlebih lagi dengannya yang terus berteriak histeris seakan baru saja melihat hantu. Candice terus bertanya apakah yang salah darinya sehingga aku berani menyakitinya seperti ini.

Don't you know, dear?

Aku ingin sekali duduk di sebelah Candice dan menjelaskannya dari awal.

Our marriage life is so perfect. Kau adalah sosok istri yang paling sempurna yang bisa kubayangkan. Kau mampu mengisi segala kekuranganku dengan baik, tidak pernah mencoba membuatku berkeluh kesah, dan kau selalu nampak riang. Tetapi kau pasti tahu, segala hal yang baik tidak akan pernah memuaskan seseorang, kan? Kau memang sosok istri yang sempurna untuk dinikahi, tetapi tidak untuk dicintai sepenuhnya. Kesempurnaanmu membuatku bertanya-tanya apakah aku pantas mencintaimu. Hidupku nampak begitu bahagia, dari luar. Tetapi semua ini, kau, pekerjaanku, kekayaan kita, aku merasa begitu kosong. Tidak ada gairah sama sekali. Dan ketika aku berada pada titik terkosongku, aku bertemu Adelia dengan segala keunikannya. Dia begitu tidak dapat diprediksi, selalu mengejutkanku. Dia berhasil membuatku menemukan tujuan hidup lagi. Mungkin dia juga telah membangunkanku dan aku menyadari bahwa bukan kehidupanku yang sekarang inilah yang salah. Aku sedang berjalan di arah yang salah, karena itulah aku tidak menikmatinya sama sekali. Keberadaan Adelia yang sulit kuraih dan nampak mustahil memberiku gairah baru. Ah... Sepertinya aku tidak perlu membicarakannya lebih panjang lagi, kau mungkin tidak akan menyukainya. Lebih tepatnya, Candice, aku meminta maaf karena semua ini bukan salahmu. Kau telah menghabiskan waktu untuk pria pembohong besar selama ini. Ya, kau sudah menyia-nyiakan waktumu karena pria yang selama ini tinggal bersamamu adalah palsu. Aku tidak akan berusaha kembali ke kehidupanku sebelumnya karena sekarang aku merasa tujuan hidupku sudah sangat jelas. Aku ingin membuka lembaran baru bersama Adelia. Maafkan aku, Candice.

"Go away," ucapnya menahan amarah meskipun aku tidak mengucapkan sepatah katapun.

Aku pergi sesuai dengan kemauannya. Kini aku sama sekali tidak memiliki tempat untuk singgah. Rumah orang tuaku terlalu jauh dan memakan waktu sangat lama. Kalau aku mendatangi Adelia, apakah dia akan menyambutku?

Oh, tidak.

"You, bastard!" suara itu bergema selagi aku merasakan sebuah sakit yang luar biasa. Rasanya seperti ujung tombak menusuk dadaku. Apakah itu Markus?

Apakah ini waktuku untuk mati? Disaat aku baru melangkah menuju kehidupan baruku?

Karena terlalu sakit, aku tergeletak tak berdaya. Tubuhku terkapar dan terasa darah mulai mengalir deras. Rupanya Adelia benar. Markus benar-benar segila itu. Di detik-detik menuju kematianku, aku sibuk bertanya-tanya dari mana dia bisa mengetahui hubunganku dengan Adelia.

Adelia, dimana kau?

Setidaknya di momen seperti ini, aku ingin sekali melihatmu untuk terakhir kalinya sebelum aku menutup mataku. Ah... Life never felt so free before. Aku ingin menyebutkan namanya dengan terang-terangan kali ini.

"Adelia..."

Sesosok wanita tiba-tiba mendatangiku dengan waktu yang terasa begitu tepat sekali. Adelia, kemana saja kau? Rasanya seperti setahun tidak melihatmu. Waktu terasa berlalu begitu lama dan menyakitkan sekali.

Dia nampak panik dan melihatku sambil menyeka tangisnya. Karena terlalu lama, aku tidak sanggup untuk terus membuka mata lagi. Aku membalasnya dengan tersenyum dan mengucapkan kata terakhir yang tidak pernah kubayangkan akan menjadi penutup perjalananku kali ini.

"Sampai jumpa," di kehidupan selanjutnya.


-end-