Saturday 27 July 2019

[One Shot] At The Most Desperate Moment of Our Times

Tertawa. Kemudian terdiam.

Lalu tersenyum. Dan berpisah.

Suatu hari, di kala masa terpurukmu dan kau sendirian, apa yang sebaiknya dilakukan selain bunuh diri?

Pertanyaan di dalam diri ini terngiang begitu saja. Padahal belum sempat aku menurunkan tanganku yang melambai kepada seseorang di seberang sana.

Bukan sendiri yang memaksamu bunuh diri. Tapi kesepian, yang tidak bisa terobati walaupun seseorang datang memelukmu dan menemanimu sepanjang waktu.

Aku berjalan pulang sambil membiarkan dua sisi dalam diriku berdiskusi terus menerus. Yang mereka bahas hanya kesepian dan bunuh diri.

Karena tidak ada kebahagiaan yang mampu memuaskanmu. Tidak dengan tawa kosong dan senyuman itu. Bohong kalau kau menikmatinya dan berpura-pura baik-baik saja.

"Hey," aku mencari sumber suara tersebut. "Ice cream," panggilnya.

Walaupun dengan gerutu, aku mengikutinya. Di malam yang dingin ini, kami menikmati es krim yang tidak kalah dinginnya.

"Rasa apa?"

"Kebahagiaan," jawabku asal. Dia memberiku rasa yang sama seperti miliknya.

"Dingin sekali, sialan," dia menggerutu padahal dia sendiri yang mengajak makan es krim.

Aku meliriknya. "Aku mau rasa yang membuatku bahagia, bukan yang kecut seperti ini," rasa markisa rupanya.

"Bodoh, rasa apapun asal bersamaku pasti membuatmu bahagia,"

Ya... Ya... Terserah dia saja. Walau mengeluh, aku tetap menghabiskan es krim itu. Rasanya menghilangkan kejenuhanku seharian ini. Not bad.

"Hey," panggilku. "Ada apa denganmu sampai mengajakku kesini?"

Dia tertawa sebentar. "Aku hanya bosan dan ingin pergi keluar,"
"Jangan pikir aku orang yang paling tidak ada kerjaan di dunia ini sepertimu ya,"

"But you're here,"

Aku menjilati es krimku lagi. Rasanya kecut namun ada sedikit manis terakhirnya. Kalau saja orang ini tidak ada untuk berbagi kesepianku ini, apa yang mungkin kulakukan?

"Kupikir malam ini yang tepat untuk bunuh diri,"

"Kupikir juga begitu, tapi tiba-tiba rasa es krim ini terngiang-ngiang di kepalaku. Rupanya aku masih merindukan banyak hal nanti,"

Saat memperhatikannya, aku baru menyadari banyak hal. Kalau pada akhirnya aku tidak ada, kepada siapa lagi dia akan membagi malam sepi seperti sekarang ini.

Apa sebenarnya itu sudah menjadi salah satu tujuan hidupku?

"Apa yang kau tertawakan?" Aku tidak sadar kalau pikiran-pikiran itu membuatku menertawakan diri sendiri.

"Kalau aku tidak ada dan kau sedang ingin makan es krim, siapa yang akan kau ajak kesini?"

"Aku akan makan di kuburanmu," jawabnya. "Lagipula memangnya kau pikir di bawah sana tidak akan semakin kesepian? Aku lebih takut kesepian disana dan tidak bisa makan apapun yang aku mau,"

"Mungkin benar juga," aku tertawa. Menertawakan malam ini dengan segala perbincangan bodoh yang tidak jelas arahnya.
Setelah es krim kami habis, kami langsung pulang dan berhenti di persimpangan untuk berpisah.

"Jangan malam ini. Besok aku ingin makan daging yang banyak," ucapnya.

Aku mengangguk. Dia tidak perlu khawatir untuk itu.

Tuhan seperti sedang menamparku. Di saat aku terlalu mengeluh kesepian, rupanya aku tidak sesepi itu. Mungkin kehidupanku lebih sibuk dari kebanyakan orang, dan juga banyak orang yang mengelilingiku.

Hanya saja aku yang terlalu rakus akan perhatian namun tidak mau memperhatikan orang lain.

"Hey," aku meneleponnya bahkan saat belum sampai di rumah. "Daging mana yang enak besok?"

Karena kalau kau ingin bunuh diri dan merasa depresi, kau tidak mungkin menantikan esok hari, bukan?