Friday 28 August 2015

[One Shot] The Match Made in Heaven (1 of 2)

The Oil Works.

Aku mengamati sebuah bangunan antik di hadapanku. Butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan diriku sendiri agar masuk ke dalam. Ellie, kau harus ingat kalau kau butuh sebuah palet dan brush no.3.

"Welcome," ucap seseorang setelah bunyi bel otomatis menyala setelah pintu toko kubuka. "Ada yang bisa kubantu?" Tanyanya lagi.

"Aku butuh palet dan brush,"

Dia langsung mengambil sebuah palet dan tiba-tiba dia kembali menanyaiku,

"Brush yang mana, ya?"

"No. 3," jawabku, sedikit gugup.
Dia lalu menyerahkan barang-barang yang kuperlukan. Aku mengambilnya dan membayarnya. Setelah itu, aku segera pergi, namun saat aku hendak membuka pintu lagi, dia kembali menyapaku.

"Terima kasih, sampai jumpa lagi,"

Mengapa dia bisa begitu yakin kalau aku akan mampir kesini lagi?

Tidak sampai seminggu kemudian, aku berjalan ke depan toko yang sama. Kali ini aku tidak hendak membeli sesuatu, hanya saja jalur pulangku tidak sengaja melewati toko tersebut. Maksudku, sedikit menyengajakan.

Dia sedang menyapu halaman tokonya saat aku sedang berjalan di trotoar. Semakin mendekatinya, mataku semakin menunduk dan tidak mau ketahuan olehnya. Sebenarnya lokasi toko ini cukup jauh dari rumahku.

"Selamat siang," sapanya saat aku berjalan sangat dekat dengannya.

Terpaksa aku berbalik menyapanya juga.

"Karyamu sudah selesai? Kau tidak membutuhkan sesuatu lagi?"

Aku hanya tersenyum sambil berkata, "Tidak, terima kasih". Dasar canggung. Bagaimana bisa kau nampak sekaku itu, bodoh.

Dia hanya mengangguk-angguk dan melambaikan tangannya kepadaku. Kurasa ini adalah waktu perpisahan kami, sepertinya. Sebelum aku sempat berjalan lebih jauh lagi, tiba-tiba seorang wanita berlari tergesa-gesa dan memeluknya dari belakang. Bahkan aku bisa merasakan betapa terkejutnya dia dengan tingkah perempuan itu.

"Tom! Apakah kau tidak merindukanku, tampan?" Wanita itu merangkul lehernya dengan begitu akrab.

Ah... jadi namanya Tom. Berkat wanita tersebut, aku akhirnya bisa mengetahui namanya. Nama yang begitu dewasa dan terdengar bijak. Aku tidak pernah membayangkan dia pantas dengan nama itu, hanya setidaknya nama itu sedikit mencerminkan sosoknya.

Wanita itu nampak seperti kekasihnya. Aku memperhatikan secara diam-diam dan merasa panik sendiri. Wanita itu menyentuh Tom tanpa ragu namun mereka berdua nampak nyaman satu sama lain. Aku ingin sekali mendengarkan pembicaraan mereka namun karena terlalu risih aku memilih untuk pergi.

Tidak ada yang tahu bahwa aku menyukai Tom diam-diam karena memang aku tidak memiliki seseorang yang cukup dekat untuk menjadi teman curhatku. Di dunia ini hanya aku yang mengetahui perasaanku. I have to deal with it, alone. Karena ini adalah pertama kalinya untukku menyukai seseorang, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Sulit sekali mengekspresikan perasaanku terhadap Tom meski hanya dengan menulisnya dalam jurnal. Kalau tiba-tiba aku meninggal esok hari, perasaan ini tidak akan akan pernah ada yang tahu. Menyedihkan, dan sangat tragis. Meski begitu aku masih hanya menyimpan perasaan ini di dalam hatiku.


"Welcome," sapa Tom lagi. Sudah tidak terhitung berapa kali aku datang kesini dan baginya aku bagaikan pengunjung reguler.

Aku tersenyum canggung. "Aku butuh kanvas ukuran besar," jawabku.

Tom berjalan menuju area kanvas dan aku mengikutinya dari jauh. "Kau seorang painter?" tanyanya. "Kau nampak aktif sekali melukis, sepertinya melukis bukan hanya sekedar hobi bagimu, ya?"

Caranya berbasa-basi dan ramah kepada orang lain adalah salah satu alasanku menyukainya. Bagi seseorang yang terbiasa kesepian, aku begitu ingin Tom bertanya lebih banyak tentang kehidupanku.

"Tidak, hanya hobi. Tetapi suatu saat nanti aku ingin menjadi seorang painter sebagai profesi,"

Tom tersenyum mendengar jawabanku. "What a passionate girl," ucapnya.

"Bagaimana denganmu? Kau seorang painter?" Tanyaku. Ini merupakan awal yang sangat bagus, Ellie. Kau harus bisa menjaga pembicaraan ini agar terus berlanjut.

"Belum, aku masih kuliah, memangnya kau pikir usiaku berapa?"

Aku memperhatikannya. Pria ini jelas nampak lebih tua secara penampilannya. "Sekitar 26-29," jawabku.

Dia tertawa. "Aku baru 21 tahun," jawabannya membuatku terkejut. "Toko ini milik kakekku dan aku masih bekerja paruh waktu disini,"

"Umm... sorry,"

"Tidak perlu. Bagaimana denganmu? Kau nampak masih seperti anak sekolah,"

"Ya, senior year,"

"Aku tahu aku pasti benar. Well, setelah ini apa yang akan kau lakukan? Kalau kau memang memiliki passion, mengapa kau tidak mendaftar di kampusku?"

Ellie, kau sungguh luar biasa.

"Kau yakin?"

"Mengapa tidak?"

Tentu saja! Tentu saja aku akan mendaftar dan mengikutimu kemanapun kau akan pergi meski harus ke pintu neraka sekalipun!

Karena pembicaraan kecil kami tersebut, aku akhirnya selangkah lebih dekat dengan Tom. Dia adalah pria yang sangat baik, dan karena ketertarikan kami pada bidang yang sama, aku lebih mudah berbicara dengannya. Well, kedekatan aku dan Tom tidak seperti yang dibayangkan, namun setidaknya aku tidak merasa canggung lagi berada di sampingnya.

Dan tentu saja, wanita itu sering datang lagi ke toko dan berpapasan denganku. Namanya Katerina dan Tom memanggilnya Kat. Aku masih belum bertanya apa hubungan Tom dengannya dan Tom juga tidak pernah menjelaskannya. Setiap kali wanita itu datang, aku langsung terburu-buru pergi. Siapapun pasti mengerti bagaimana rasanya melihat orang yang disukai bersama dengan wanita lain dan mereka nampak mesra satu sama lain bahkan lupa dengan sekelilingnya.

"Good evening, handsome," ucap Kat setelah dia masuk ke dalam toko ketika aku baru saja hendak membeli kanvas baru. 

Mataku melihat Kat dalam jarak dekat dan seketika aku ingin buru-buru pergi. Kat memiliki tubuh yang proporsional dan matanya begitu indah. Dia memakai maxi dress dengan sebuah scarf yang serasi dan setiap kali ia masuk ke toko, ia baru saja melepas kacamata hitamnya. Aku penasaran apakah dia seorang model atau tidak, apakah aku pernah melihat wajahnya di suatu tempat atau majalah tertentu.

Tom melambaikan tangan ke arahnya selagi mengurusi pembayaranku. Setelah satu lirikan tersebut aku tidak berani menatap Kat lagi. "I should get going," ucapku setelah membayar kanvas.

"Kenapa terburu-buru sekali?" Tom menahanku.

"Kau punya tamu lain," jawabku agak menunduk.

"Maksudmu Kat? Tenang saja dia bukan tamu," ucapnya. Aku melihatnya dan menanti sesuatu. Ya, kupikir saat ini aku akan mengetahui siapa Kat sebenarnya, apa hubungan mereka pada akhirnya.

Namun cukup lama aku menunggu, Tom tidak berkata apapun lagi dan menyapa Kat. "Kat, this is Ellie, she's a junior of mine, sort of," Tom memperkenalkanku kepada Kat. Astaga, aku benar-benar tidak tahu cara memberikan impression yang baik kepada orang lain dan akhirnya aku hanya tersenyum dan melambai canggung.

Dan... ya. Aku benar-benar mengikuti langkah Tom dan mendaftar ke universitas dan bahkan jurusan yang sama. Keberuntungan masih berpihak kepadaku karena aku bisa diterima dengan cukup mudah tanpa halangan apapun.

"Maksudmu dia bekerja part time disini juga?" tanya Kat.

"Ah..." Tom melihatku. "Ya, dia juga bekerja part time disini, starting next Tuesday," dia tersenyum penuh licik kepadaku dan mataku tidak berhenti menatapnya. 

This must be a dream, right?

Aku? Bekerja part time disini? Di Oil Works? Bersama Tom?

"Oke... Apa dia sama-sama gila sepertimu?" tanya Kat. Aku cukup kebingungan apa maksudnya dan melirik Tom.

"Tidak, tenang saja, dia nampak normal dan baik-baik saja," jawab Tom. Dia lalu berbicara kepadaku, "Kat pikir aku gila karena tidak pernah meninggalkan apron ini karena sibuk berurusan dengan cat setiap hari," jelasnya.

"Maksudku kau tidak bisa tidur selama 5 hari berturut-turut sebelum lukisanmu selesai sepenuhnya," balas Kat. "Dan hidupmu tidak pernah lepas dari painting," tambah Kat sekali lagi.

Aku hanya mengangguk-angguk dan membiarkan mereka berdua berbicara karena aku sama sekali tidak pintar dalam ikut campur pembicaraan orang lain.

"Kat, hentikan," ucap Tom dengan nada yang tidak terlalu serius.

Tidak lama, Kat segera pergi karena dia memiliki urusan lain katanya. Setelah aku berdua kembali dengan Tom, dia mulai menjelaskan beberapa hal kepadaku.

"Kakek sudah terlalu tua untuk mengurusi toko ini katanya dan dia butuh satu orang part timer dan menurutku kau cocok dengan pekerjaan ini, bagaimana?"

"That's..." aku kehabisan kata-kata dan berusaha mendeskripsikannya dengan tepat, " perfect!" dan pada akhirnya pemilihan kataku benar-benar rendahan.

Tom tersenyum dan berkata satu hal yang membuatku tidak berhenti tersenyum hingga jalan pulang, "Senang sekali bisa mengenalmu, Ellie,"

Sebagai seorang introvert di kampus, aku kesusahan mendapatkan teman dekat dan akhirnya aku selalu mendatangi Tom. Suatu hari aku mengetahui kabar mengenai diriku. Seluruh kampus mengatakan bahwa aku adalah si aneh yang terus membuntuti Tom kemanapun dia pergi. Meskipun aku tidak begitu mengurusi ucapan orang lain, aku hanya khawatir Tom merasa risih dan menjauhiku.

Dan kenyataannya tidak. Karena Tom begitu ramah dengan orang lain, dia menjelaskan kepada semua temannya bahwa aku adalah anak yang pemalu dan karena aku hanya mengenal Tom disini, maka aku tidak memiliki pilihan lain. Dia bahkan meminta teman-temannya untuk mulai berteman denganku. Sejak saat itulah aku mulai bisa bergaul dengan yang lainnya, berkat dirinya.

Sebagai anak semester baru, jadwal kuliahku lebih sering pada pagi hari, sedangkan Tom biasanya pada siang hari. Karena toko buka pada pukul 10, Tom berjaga dari pukul 10 hingga pukul 6 sore dan akan pergi saat ada jadwal kuliah, sedangkan aku biasanya baru datang pada pukul 2 siang hingga tutup. Walaupun kelihatannya aku memiliki 4 jam waktu bersamanya, kenyataannya lebih dari itu. Disaat tidak ada jadwal kuliah, dia akan berjaga sampai tutup bersamaku. Saat senggang, dia memilih menghabiskan waktu dengan melukis di ruang kosong dekat gudang.

Aku ingin sekali meyakinkan diri bahwa dia sengaja melakukan hal itu agar menemaniku sampai malam. Meskipun sebenarnya alasan tersebut begitu tidak masuk akal, aku hanya berusaha menyenangkan diriku sendiri.

"Mengapa kau belum pulang juga?" Tanyaku disaat toko sepi.

"Lukisanku belum selesai," jawabnya.

"Memangnya kau tidak punya kesibukan lain?"

Tom menggeleng. "Jangan menghilangkan fokusku," ucapnya. Kat memang benar, hidupnya tidak pernah lepas dari melukis. Meskipun hobi kami sama, aku tidak pernah mendedikasikan seluruh hidupku hanya untuk 1 hobi saja.

Aku menghela napas, "Kalau kau memang sengaja untuk menemaniku sampai malam, tidak perlu repot-repot, Tom,"

Dia meletakkan brush-nya dan menolehku. "Kurasa tidak akan ada yang merampok toko peralatan lukis ini, buat apa aku harus menemanimu?"

Aku dibuat malu bukan main.

"Disini begitu damai, aku menyukainya," jawab Tom, dan aku bisa melihatnya berseri-seri. Apakah ada suatu memori khusus yang dia miliki disini? Bersama seorang perempuan?

Ah, mengapa aku selalu begini. Mengapa sulit sekali mengontrol pikiran-pikiran aneh saat bersama dengannya. Karena aku begitu ingin mengetahui setiap detil hidupnya, aku tidak mampu menahan hipotesis aneh seperti itu.

Atau mungkin dia memiliki masalah dengan keluarganya? Ah benar, dia hampir tidak pernah membahas mengenai orang tuanya.

Ellie, hentikan. Mengapa kau tidak menanyakannya sendiri secara langsung?

"Apa yang sedang kau lukis?" Aku mengintip kanvasnya.

"Jangan pernah melihat karya yang belum selesai," Tom menyembunyikan lukisannya dengan cepat saat aku hendak mengintip. "Jangan coba-coba mengintip, kalau kau berani..." dia tidak melanjutkan kata-katanya. Mungkin dia hendak mengancamku dan tidak jadi.

"Baiklah, tenang saja," jawabku, meskipun aku penasaran bukan main apa yang dilukisnya. Tetapi menyelinap dan mengintip juga sepertinya tidak harus kulakukan.

Isi hatiku mengatakan dia sedang melukis seorang perempuan, dan kalau itu benar aku tidak akan senang melihatnya. Aku memilih untuk tidak melihatnya kecuali dia sendiri yang menunjukkannya kepadaku.

Mungkin aku harus belajar bagaimana memuji apapun yang dilukisnya nanti dengan baik meskipun figur seorang wanita cantik yang tidak bisa kubayangkan sebelumnya?

Toko tidak pernah terlalu ramai hingga kami kelelahan, namun pengunjung terus berdatangan satu persatu sehingga bisnis terus berjalan hingga sekarang. Aku terkadang merasa tidak enak karena Tom hampir setiap hari bekerja dari awal hingga tutup, sehingga saat aku tidak ada jadwal, aku selalu datang pada jam buka toko. Biasanya aku membawakannya sarapan dan berbohong kalau aku membawa bekal karena telat sarapan. Tentu saja aku akan memilih untuk makan berdua dengannya.

Tom selalu tersenyum seolah-olah setiap hari adalah hari keberuntungannya. Senyumannya yang begitu ringan dan sepenuh hati adalah salah satu alasan mengapa aku begitu menyukainya. Dia bagaikan energi baru untukku menjalani hidup. Tidak pernah kupikir kebahagiaan berpihak kepadaku seperti ini.

"Ellie," suatu hari Kakek Tom datang ke toko. Tubuhnya terlihat lemah dan semakin menua.

"Kakek," aku menyapanya dan langsung menghampirinya. Tom masih belum kembali dari kampus dan aku memberitahunya.

"Aku tahu, aku hanya ingin bertemu denganmu," Kakek Hansen tersenyum melihatku. Aku membawakannya minum dan dia duduk dengan santai.

Kakek Hansen melihatku cukup lama hingga akhirnya dia mulai berbicara, "Tom sudah tidak memiliki orang tua dan aku yang mengurusnya sejak kecil. Aku merasa belakangan ini tubuhku makin melemah dan..."

"Jangan bilang begitu, Kakek. Kau masih bugar dan tampan seperti biasa," ucapku.

"Tidak, tidak. Aku tahu umurku tidak akan panjang lagi, Ellie. Aku kesini untuk memberitahumu sesuatu,"

Aku mendengarkan ucapannya dengan sangat seksama. Suaranya semakin pelan dan aku terus mencoba semakin dekat untuk mendengar lebih jelas.

"Tom belum pernah menyukai seseorang dalam hidupnya. Setelah aku meninggalkannya, aku takut tidak ada yang memperhatikan dia. Ellie, bolehkah aku memintamu satu hal?"

Aku merasa sedikit gugup, Kakek Hansen nampak sedang memberikan wasiat untukku.

"Tolong jaga Tom dengan baik. Mulai hari ini kau harus merawat dia dengan baik, kau mengerti?"

Aku tersenyum kecil, "Kakek, Tom bukan anak kecil lagi. Dia sudah bisa menjaga dirinya sendiri,"

"Dia benar-benar bukan anak yang mandiri, Ellie. Harus ada seseorang yang mengingatkan dan membantunya berdiri sendiri. Setelah pemakamanku nanti, kau pasti akan mengerti. Aku ingin kau yang berada di sampingnya, ingat?"

"Baik, kek," jawabku.

"Aku sangat ingin melihatmu dengan Tom di pelaminan," ucap Kakek Hansen, tiba-tiba.

Wajahku merona dengan cepat. Aku juga begitu menginginkannya, Kakek. Tetapi untuk mewujudkannya perlu persetujuan pihak kedua, dan aku ragu kalau Tom mengiyakannya.

"Kalau kakek begitu ingin melihatnya, kau harus tetap sehat untuk jangka waktu yang lama," balasku, menyemangati.

Kakek Hansen tertawa dengan suara yang rapuh, "Aku sudah begitu tua dan sepertinya hanya bisa melihat pernikahan kalian dari kejauhan,"

"We're not even dating," jawabku cepat.

"Aku tahu," balasnya lagi. "For now," tambahnya lagi.

"Apa maksud kakek?" Karena terlalu senang, aku tidak sanggup menahan tawa.

"You're in love with him. I knew it from the beginning, that's why i asked you,"

"Aku bukan satu-satunya. Tom adalah anak yang sangat baik dan sopan. Banyak perempuan cantik dan pintar yang menyukainya,"

"Kau tahu siapa saja?" Tanyanya penasaran.

"Hmm... Katerina,"

Dalam seketika Kakek Hansen tertawa terbahak-bahak dan membuatku bingung, "How could you? Katerina adalah cucuku, sepupu Tom. Mereka memang sudah dekat sejak kecil dan Katerina tinggal di luar negeri, jadi setiap kali dia kembali pasti akan datang kesini,"

Perasaanku bercampur aduk. Antara malu bukan main namun bahagia. Akhirnya aku tidak perlu khawatir lagi setiap kali Kat datang.

"Ellie, kau sangat cantik, pintar, dan baik. Saat menyadari kau menyukai cucuku, aku sangat bahagia. Kuharap Tom dapat membalas perasaanmu segera,"

"Terima kasih, kakek,"

"You and Tom are such a match made in heaven to me,"

Tidak lama, Tom akhirnya datang ke toko. Dia cukup terkejut melihat kakeknya dan bertanya mengapa Kakek Hansen berada di toko.

"Urusanku sudah selesai sekarang, kau antar aku ke rumah," perintah Kakek Hansen.

Dengan keadaan bingung, Tom menemani kakeknya keluar dari toko dan akhirnya mengantar dengan motor miliknya.

Tidak sampai 2 bulan setelah kedatangannya ke toko, Kakek Hansen meninggal dunia. Menurut Tom, penyakitnya sudah komplikasi sehingga memang tidak ada harapan lagi.

Kakek Hansen benar. Aku tidak pernah melihat Tom kelihatan murung dan lesu sebelumnya. Dia menutup toko yang sekarang menjadi miliknya selama 1 minggu setelah pemakaman dilakukan. Banyak sekali teman Tom yang datang untuk menyemangatinya di hari berkabung, namun tidak ada yang menemaninya hingga akhir.

Aku sangat ragu untuk menempatkan diri di sisinya, tetapi ini sudah menjadi wasiat Kakek Hansen.

Tom membuka pintu rumahnya setelah aku memencet bel. Wajahnya begitu lusuh dan seluruh hidupnya nampak berantakan. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa seorang pria yang penuh ceria selama ini berubah menjadi pemurung dengan cepat?

"Kau tidak perlu melakukan ini semua," ucap Tom.

Aku datang dan membantunya melakukan pekerjaan rumah. Seluruh ruangan rumahnya nampak berantakan, sama seperti kondisinya. Setelah aku masuk ke dalam rumah, aku langsung membereskan ruangan tanpa izin sang pemilik.

"Tidak, aku harus melakukannya," jawabku sambil sibuk merapikan ruang tengah.

"Ellie, toko sedang tutup dan kau harusnya istirahat,"

Aku tidak menjawabnya dan fokus bersih-bersih.

"I can do it all by myself,"

"No, you can't," elakku.

Aku lupa memberitahu, tempramen pria ini juga secara drastis berubah tiba-tiba. Seolah-olah sisi yang berbeda darinya selama ini mengontrol dari atas hingga bawah, dari luar sampai ke dalam dirinya.

"Ellie kau bukan siapa-siapa dan kau tidak perlu merepotkan dirimu seperti ini," nadanya sudah semakin tinggi dan tegas.

Aku menoleh ke arahnya. "Aku memang bukan siapa-siapa, aku hanya seorang part-timer bagimu, kan?" Tetapi bagiku kau segalanya dan kau tidak perlu tahu.

"Stop it, get out of my house," dia menahan tanganku dan membuatku berdiri saat hendak memungut pakaian kotor yang berserakan.

"Kakek benar, kau tidak semandiri yang kubayangkan," ucapku. "Meskipun kau melarangku, aku harus melakukannya, aku sudah berjanji kepada kakek,"

Aku menarik tanganku sendiri dan mulai memunguti pakaian kotor yang terjatuh.

"Janji apa?" Tanyanya.

"Menjaga dan merawatmu, menemanimu setelah kepergiannya," jawabku singkat.

Tom tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke sofa dan nampak larut dalam kesedihannya lagi. Mungkin ucapanku tadi membuatnya teringat akan Kakek Hansen lagi.

Aku merasa perlu duduk di sampingnya.

"He's the only relative that i know," ujar Tom pelan.

"I know,"

"Aku sendirian sekarang... Aku... Aku... Aku belum siap,"

"You must be ready, Tom," aku mencoba menyemangatinya. "Besides, i'll always be with you,"

Tom melirikku. Perlahan tanpa kusadari, dia semakin mendekatkan wajahnya kepadaku. Hingga akhirnya aku merasa ada sesuatu yang salah, aku langsung menahannya.

"No, this is wrong," ucapku. 

Secara sangat sadar, aku baru saja menolak untuk dicium oleh Tom. Aku tahu dia sedang dalam masa depresi, dan aku tidak mau keputusan yang diambilnya berdasarkan emosi yang masih labil.

"Embrace me, then," pintanya.

Aku bersedia untuk memeluknya, kupikir dia memang membutuhkannya untuk dapat mengumpulkan tenaganya lagi.

Sebelumnya aku tidak pernah tahu kematian akan berakhir penuh kesendirian seperti ini. Baik yang meninggal maupun yang ditinggalkan, dua-duanya sangat kesepian. Bagi seorang Tom yang selalu dikelilingi teman khususnya, pada akhirnya juga merasa kesepian. Aku memeluknya agar dia mengetahui bahwa aku akan selalu bersamanya mulai hari ini.

"Stay," ucapnya.

"I will," jawabku.

-tbc-

P.S: I am really sorry to split this story. I just realized that it's too long to be one post, so i decided to split it. The next part will be posted soon, i promise.