Tuesday, 5 May 2015

[Continuous] New Season (Part 4)

Aneh sekali. Belakangan ini aku kesulitan menemui Daniel. Apartemennya selalu kosong dan disaat aku meneleponnya, dia selalu berkata ada urusan penting. Karena aku selalu datang ke tempatnya, dia memberikan kunci cadangan apartemennya untukku. Aku sering masuk dan menghabiskan makanannya lalu pergi begitu saja. Tetapi kali ini, aku sengaja berbelanja untuk membayar seluruh makanan yang sudah kuhabiskan tanpa izin.

Sebenarnya aku cukup kecewa tidak bisa melihatnya selagi aku sedang begitu berbaik hati memberikan banyak makanan untuknya. Aku meletakkan isi belanjaan satu persatu ke tempatnya. Daniel mengatur suplai dapurnya dengan begitu rapi dan teratur sehingga membuatku yang perempuan merasa malu. Pola hidupnya benar-benar berbeda dengan penampilannya. He's a total weirdo.

Karena cuaca di luar begitu panas, aku merasa tenagaku habis hanya karena berjalan sebentar saja. Kasur Daniel nampak menggiurkan bagiku, apalagi dengan bedding-nya yang rapi dan sangat nyaman. Tidak sadar aku sudah melemparkan diri menarik bantal dan selimut. Sepertinya Daniel tidak akan datang kurang dari 2 jam, jadi aku bisa tidur cukup lama.

"You look very cute while sleeping," ucap seseorang yang langsung membangunkanku.

Astaga. Aku bisa melihat Daniel berbaring di sebelahku sambil memangku wajahnya dan menatapku dekat-dekat.

"Lain kali jangan pernah tidur di hadapan pria lain," balasnya.

Saking terkejutnya, aku loncat dan menarik diri jauh-jauh. Setelah melihat sudah berapa lama aku tertidur, mataku terbelalak. Sialan, baru 1 jam tertidur dan terbangun karena pengganggu ini. Tidur siangku benar-benar tidak berkualitas sama sekali.

"Where have you been?" tanyaku mengusap mata.

"My band just signed a contract with our new label," jawabnya sambil bangkit dari tidurnya.

"Benarkah? Apa label kalian sekarang?" tanyaku.

"S International,"

Aku menatapnya tidak percaya. Label tersebut adalah salah satu yang terbesar dan paling terkenal. Bagaimana bisa band indie-nya masuk ke dalam label tersebut?

"Awalnya aku menolak tawaran mereka, tetapi member lain selalu mendesakku untuk menerimanya. Aku tidak tahu, tetapi kurasa visi mereka begitu berbeda denganku,"

Melihat Daniel merasa tidak nyaman, aku mengerti apa maksudnya. Daniel benar-benar menyukai hidupnya yang tenang dan bisa bermusik dengan santai. Dia adalah tipikal musisi berbakat yang memang mencintai musik bukan karena uang ataupun popularitas. Itulah salah satu alasannya dia selalu memilih jalur indie selama ini. Tetapi bersikukuh dengan keinginannya tersebut selagi member lainnya berlawanan dengannya adalah hal yang egois.

"Lihat sisi baiknya, setidaknya kau kini lebih sibuk dari biasanya, kan?"

Daniel menatapku. "Tidak sama sekali. Kalau begitu artinya waktuku bersamamu akan semakin berkurang lagi dan aku tidak mau,"

Ah, aku lupa. Pria ini menyukaiku. Dia terus menunjukkannya sekarang meskipun aku terus-menerus menolaknya. Bagiku Daniel tidak lebih dari kakak dan sahabat baik.

"Tetapi itu masih hal yang bagus menurutku, membiarkan seluruh dunia mendengar musikmu, bukankah itu sangat hebat?"

Daniel nampak ragu. "Do you like it?" tanyanya.

"Melihat kesuksesanmu? Tentu saja! Siapa yang tidak?"

"I'll do it for you, then"

Daniel tersenyum, nampak tidak sanggup menahan kebahagiaannya.

*****



"Bagaimana?" tanyaku lewat telepon.

"No. Don't use that dirty way," balas Tyler.

Aku baru saja memberitahunya sebuah rencana untuk menggagalkan pernikahan Olivier dan Kak Aubrey. Setelah beberapa penelitian, aku mendapatkan bukti-bukti yang bisa menjerumuskan Olivier ke dalam penjara. Orang ini cukup pintar untuk menghapus jejak usaha ilegalnya, tetapi aku lebih jenius lagi dan berhasil mengumpulkannya. Tetapi semua usahaku ini langsung ditolak oleh Tyler. Kecewa? Pikir saja sendiri.

"Kalau begitu apa kau punya cara lain?" aku sebenarnya kesal. Cara yang paling benar adalah menyatukan Tyler dan Kak Aubrey, pasangan yang saling menyukai satu sama lain tetapi sama-sama keras kepala. Semakin lama kami mengulur waktu untuk bergerak, akhirnya Kak Aubrey benar-benar akan jatuh ke tangan pria kotor itu. Kasihan sekali Kak Aubrey.

Tanpa salam, aku menutup telepon karena Tyler tidak menjawab apapun. Beberapa saat kemudian aku menerima telepon dari Kak Aubrey. 

"Olivier mengajakmu makan malam di Hourglass Restaurant, bagaimana?"

Tck, pria ini benar-benar memiliki kelas sendiri dengan memilih fine dining restaurant seperti Hourglass.

Tiba-tiba saja aku memiliki ide. "Oke, nanti malam ya, kak," balasku.

"Wear a pretty dress, okay?" pintanya.

Setelah Kak Aubrey menutup telepon, aku kembali menelepon Tyler. "Malam ini kau bisa temani aku makan di Hourglass, tidak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Kenapa tiba-tiba...?" 

"Sudah, pokoknya pakai tux yang rapi dan jemput aku jam 7 pas ya," aku langsung menutup teleponnya tanpa mendengar kata 'iya'. Hari ini aku menjadi wanita tanpa basa-basi dan pelit kata-kata.

Tidak lupa, aku menelpon Daniel juga, "Malam ini aku mau makan malam dengan Tyler, jangan sekali-kali kau datang dan mengganggu rencanaku kali ini," ancamku, dan langsung menutup teleponnya lagi tanpa mendengar satu katapun darinya.

Aku sudah mengenal Tyler sangat lama dan tahu dia akan datang sesuai permintaanku. Dia keluar dari mobilnya dengan tux hitam bercorak biru yang sangat memukau. Tyler juga terkejut melihatku yang biasanya sangat casual memakai cocktail dress selutut berwarna biru yang tidak sengaja sangat cocok dengan penampilannya malam ini.

"Mengapa kau tiba-tiba saja mengajakku ke Hourglass?" tanyanya di perjalanan.

"Kau akan tahu sendiri nantinya," jawabku singkat.

Saat sudah sampai, aku menanyakan table atas nama Olivier dan waitress mengantarkan kami kepada Kak Aubrey dan Olivier yang sudah sampai rupanya. Kak Aubrey terkejut bukan main melihat Tyler di sampingku, dan begitupun Tyler. Aku langsung mengambil posisi berhadapan dengan Olivier, selagi Tyler terpaksa harus berhadapan dengan Kak Aubrey.

Suasana benar-benar kikuk setelah kami duduk. Olivier yang tidak tahu apa-apa menanyakan pesanan aku dan Tyler sambil memanggil waitress. Setelah memesan duck confit dan mocktail, Kak Aubrey mulai berkomentar.

"Kau tidak sekalian mengajak Daniel kali ini, kan?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Kebetulan aku dan Tyler sudah punya rencana makan malam, dan kakak mengajakku jadi aku sekalian mengajaknya saja," tentu saja aku berbohong.

"Aren't you one of Aubrey's old friend?" tanya Olivier.

Belum sempat Tyler menjawab, aku langsung menyelanya, "They even had history together, if you want to know,"

Kak Aubrey menatapku geram.

"What kind of history?" tanya Olivier lagi.

"Rumit sekali. They are in love with each other but... it's complicated,"

"Are?" Olivier tidak salah dengar.

Aku mengangguk. "Ashley," Kak Aubrey menggertakku.

"Apa? Aku benar, kan?"

Tyler yang sejak tadi diam, masih tetap diam. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menyulut pria ini.

"Do you know, Olivier? Kalau saja dia percaya diri dengan kemampuan finansial dan masa depannya, they would end up together,"

Biar saja kalau mereka menganggapku tidak sopan, tetapi orang-orang pasif seperti Kak Aubrey dan Tyler apalagi butuh dorongan kuat sekarang. Semakin aku melihat Olivier nampak tidak nyaman, semakin aku berusaha agresif lagi.

"Bukannya aku tidak menyukaimu, Olivier. Tetapi..."

Aku berhenti bukan karena kehabisan kata-kata. Seseorang tiba-tiba menyelaku.

"Yes, i'm a coward, and you're right, Ashley," secara mengejutkan Tyler akhirnya berbicara. Aku bisa melihat dari sorot matanya bahwa aku membangunkan sesuatu dari dalam dirinya. I did it.

Tyler melihat Kak Aubrey dalam-dalam.

"Aubrey is the love of my life. My first and only woman that i love. Selama ini dia hidup dalam kebahagiaan dan aku hanya bisa mengagumi di sampingnya. Karena aku sadar dengan diriku sendiri yang tidak pantas bersanding dengannya, itulah mengapa aku selalu menarik diri dari keinginan untuk memilikinya,"

Aku ingin menarik Olivier dari meja ini dan membiarkan dua orang ini berbicara satu sama lain, tetapi tidak mungkin. Olivier nampak sangat penasaran mengenai apa yang terjadi. Sayang sekali aku tidak mau menjelaskannya demi tidak mengganggu momen Tyler dan Kak Aubrey sekarang.

"Tetapi sekarang aku menyadari, meskipun aku tidak bisa menjanjikan masa depan baginya, tidak ada seorangpun yang bisa mengerti dirinya lebih dariku. Tidak ada seorangpun yang mampu mencintainya melebihi cintaku kepada Aubrey,"

Tyler manatap Olivier dan menghadapnya. Dia lalu menundukkan kepalanya sambil berkata,

"I'm really sorry Olivier, but please let her go," jawabnya. 

Aku ingin berteriak kegirangan karena rencanaku berhasil. Ini seperti sedang menonton drama dalam dunia nyata. Karena tidak sanggup menahan reaksiku, aku menonton sambil menutup mulutku saja.

"W...What are you talking about?" tanya Olivier.

Tyler menatapnya lagi dengan mata yang berapi-api. "I can't let you marry her,"

"Tyler," panggil Kak Aubrey. "That is not your decision," ah benar, semua ini tergantung pada Kak Aubrey. "Olivier," kini Kak Aubrey memanggilnya. "Can we leave now?"

Aku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti. Apa yang baru saja kakakku lakukan?

"What are you doingStay," pintaku.

"Ashley kalau kau masih bersikeras seperti ini, i will really mad at you." rupanya Kak Aubrey membenci situasi ini.

"Aubrey, semua ini bukan salah Ashley," balas Tyler.

"If you want to be cruel, i can too. Kau pikir aku tidak tahu kalau selama ini kau sangat menyukai Tyler? Jangan mengelak lagi karena hanya orang bodoh yang tidak bisa melihatnya selama ini. Apa kau mengerti apa yang kau lakukan sekarang?"

Aku terdiam. Seperti ribuan palu menghantam kepalaku, begitu banyak hal yang langsung menghantuiku. Bagaimana Kak Aubrey bisa mengetahuinya? Sejak kapan dia mengetahuinya? Dan mengapa, diantara sekian banyak kesempatan, Tyler mengetahuinya tidak melalui diriku sendiri?

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Aubrey. This is so unlikely you. How could you do that to your sister?"

"And how could you do this to me?"

"Aubrey, what is going on?" tanya Olivier mengganggu mood saja.

Kak Aubrey yang baru saja hendak membalas Tyler langsung menarik diri seolah-olah tersadar bahwa Olivier masih ada disini. Kasihan sekali peran Olivier disini tetapi dia memang harus mendengar ini semua.

"Olivier, can't we just leave?" Kak Aubrey memohon dengan tidak sabar.

"No, Aubrey. Don't leave," ucap Tyler. Astaga drama ini semakin seru saja.

"I'm really sorry, tetapi aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi disini. Kau... Namamu Tyler, benar? Apa maksudmu dengan memintaku melepaskan Aubrey?"

"Don't mind it, Olivier," timpal Kak Aubrey.

Setelah melihat Kak Aubrey, Tyler menatap Olivier lagi. "Lupakan ucapanku tadi, aku tidak akan memintamu untuk melepasnya begitu saja,"

Apa ini?

"But i'm warning you to hold her tight, because i will come to take her back to me,"

Oh Tuhan... Astaga... Meskipun bukan aku yang dia maksud, kupikir pipiku merona mendengarnya

*****

"I don't believe you really said that!" ucapku di perjalanan pulang.

Setelah kejadian itu, Kak Aubrey akhirnya pergi bersama Olivier. Mulai saat ini, Tyler akan berjuang sendirian dan bukan karena aku tidak mau membantunya, tetapi akan lebih baik kalau dia mampu sendiri.

Setelah ucapanku tadi, tiba-tiba saja suasana menjadi sangat canggung. Aku teringat bahwa Tyler sudah mengetahui perasaanku, dan hal itu membuatku canggung. Sepertinya Tyler juga teringat hal itu.

"Mengenai ucapan Kak Aubrey tadi..." aku mulai berbicara tetapi kehabisan kata-kata.

"Ah... Aubrey sepertinya sengaja mengataiku bodoh. I'm really a senseless man,"

"Jangan dipikirkan. I used to like you very much but it doesn't matter now, really,"

"Thank God. Maafkan aku tetapi aku selama ini menganggapmu seperti adikku sendiri,"

Tanpa sadar aku tertawa. Saat Tyler bertanya apakah ada yang lucu, aku hanya menggeleng.

"I think i've heard it somewhere," sepertinya aku sedang menerima karma-ku sendiri. Pernyataan tersebut sangat persis seperti saat aku menolak Daniel. 

So karma does exist.

"Aku harus memberitahu Daniel kabar baik ini," dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mulai mengiriminya pesan.

"I assumed you like him now," ucap Tyler.

"Siapa? Daniel?" Aku terkejut saat Tyler mengangguk. "Yang benar saja,"

"Ashley, mungkin aku memang senseless man, but it's really obvious,"

Tidak mungkin. Benar-benar tidak mungkin.

"He's like big brother to me,"

"You smiled while texting him," balasnya.

"Itu karena aku merasa senang sekali hari ini,"

"Orang pertama yang terpikirkan olehmu saat sedang senang adalah Daniel?"

"Itu karena hanya dia yang tidak tahu hal ini, tentu saja"

"Jangan bodoh dan terus mengelaknya, Ashley,"

Aku tidak mengelak apapun. Mengapa semua orang seolah lebih tahu isi hatiku dibandingkan aku sendiri?

"Aku sudah tahu kalau Daniel menyukaimu selama ini. He just told me last time. Aku benar-benar terkejut sekaligus senang untuk kalian,"

"Excuse me, but we're not dating,"

"Kau baru saja menggunakan kata 'we', Ashley," Tyler melirikku sebentar dan tersenyum.

"Does it count?"

Tyle tertawa. "Oke kalau kau tidak mau mengakuinya. Tetapi kupikir kau dan Daniel benar-benar cocok,"

Aku tidak membalasnya lagi. Selagi diam, aku menyadari sesuatu. Meskipun Tyler berada di sampingku, aku merasa tidak grogi sama sekali. Aneh namun sepertinya ini adalah hal baik. Bahkan saat Tyler tahu perasaanku, aku merasa begitu santai.

Apakah benar ini semua karena Daniel?

Karena aku sekarang menyukainya sehingga aku tidak merasakan apa-apa dengan Tyler?

Kalaupun iya, pertanyaannya, bagaimana dan sejak kapan ini bisa terjadi? Sedangkan aku sendiri masih tidak merasa menyukainya.

Mungkin aku sudah terlalu terbiasa dengan kehadirannya. Ya, benar, ini semacam ketergantungan. Aku cukup yakin dengan hal itu. Karena Daniel begitu intens di sampingku, aku sudah merasa nyaman dengan pria itu.

"You do?" tanyaku.

Tyler mengangguk cepat. "Mungkin karena aku sering melihat kalian berdua jadi kalian terlihat saling melengkapi satu sama lain. Disaat kalian bersama, rasanya aku melihat kebahagiaan di sorot mata kalian,"

"Kau berlebihan sekali," aku tidak sanggup untuk tidak cekikikan.

Ponselku berdering dan rupanya Daniel meneleponku. Aku segera mengangkatnya.

"Kau sedang bersama Tyler sekarang?" pertanyaan pertama sesaat setelah aku mengangkat telepon.

"Ya. Mengapa?"

"Kau sudah mau pulang?" tanyanya.

"Ya, Daniel. Ada apa?" suaranya terdengar datar. Aku tidak tahu apa maksudnya.

"Berapa lama lagi kau sampai?"

"Sekitar 20 menit. Ada apa sebenarnya? Katakan saja sekarang,"

"Aku ingin bertemu denganmu, aku ke rumahmu sekarang ya," dia langsung menutup teleponnya.

Aku menatap layar ponselku penuh kebingungan. Daniel tidak sedang seperti Daniel yang biasanya.

"Yang barusan tadi Daniel?" Tanya Tyler.

"Ya, tetapi dia aneh sekali," aku masih tidak mengerti apa yang terjadi kepadanya.

"Aneh bagaimana?"

"Dia bilang mau bertemu denganku. Itu saja,"

Tyler tertawa. "Mungkin dia sudah sangat merindukanmu,"

Tidak, firasatku berkata bahwa dia tidak hanya sekedar ingin bertemu biasa. Seakan-akan sesuatu telah terjadi atau akan terjadi dan itu sangat mengganggunya.

*****

"London?" aku yakin telingaku tidak pernah salah mendengar, tetapi aku tetap mengulangnya.

Daniel tidak menjawabku.

"Mungkin sekitar 3 bulan," balasnya. Bibirnya bergetar seolah memberitahuku kalau dia tidak yakin dengan ucapannya.

Setelah aku turun dari mobil Tyler, Daniel sudah menungguku di luar pagar. Wajahnya cukup pucat ketika pertama kali aku melihatnya. Aku pikir awalnya itu hanya efek pantulan cahaya dari lampu jalan, tetapi rupanya bukan karena hal itu. Aku penasaran kapan terakhir kali dia makan. Wajahnya sering memucat ketika terlalu fokus bekerja sampai lupa makan.

"Apa yang akan kau lakukan di London selama 3 bulan tadi katamu?" Tiba-tiba pikiranku kosong. Padahal aku sudah bertanya hal yang sama berkali-kali.

"Album recording dan promosi band," jawabnya datar.

"Kedengarannya mustahil hanya 3 bulan untuk melakukan semua itu,"

Aku merasa sedih, tidak tahu mengapa. Tetapi aku pikir sebaiknya aku tidak menunjukkan kesedihanku apalagi menentang rencananya itu.

"Mengapa London?" Ya, itu jauh sekali.

"Seorang produser disana merasa bahwa warna musik kami sangat cocok dengan telinga orang-orang Inggris. Dia meminta kami untuk mencoba masuk ke industri musik disana,"

"Dan kalau kalian sukses disana?" Ashley, pertanyaanmu bodoh sekali.

Daniel tidak menjawabnya. Malahan, matanya menatapku tanpa ekspresi.

Ya, kau mungkin akan tinggal disana lebih lama dari 3 bulan. Mungkin bertahun-tahun.

"Bukankah ini langkah yang sangat bagus?"

Aku tersenyum. Bahkan aku sendiri tidak pernah merasa senyumanku dapat sepalsu sekarang.

"Tentu saja sangat bagus. Aku sudah bisa mencium kesuksesan dari auramu,"

"Please tell me to stay," ucap Daniel tiba-tiba.

"What?"

"Kalau aku menerima tawaran ini dan mulai berkarir disana... Aku tidak tahu kapan aku akan kembali. Ini benar-benar menyiksaku, Ashley. Bagaimana kalau aku tidak akan pernah kembali?"

"Nonsense. Kalau kau mau pasti kau bisa kembali," aku membalasnya dengan ringan.

Padahal, aku benar-benar terkejut mendengarnya. Bagaimana kalau Daniel benar? Apakah ini artinya sama saja dengan perpisahan?

"Tell me to stay," pinta Daniel.

"Kau tidak mau menerima tawaran ini?"

Daniel menggeleng.

"Mengapa? Kau belum tentu mendapat tawaran sebagus ini dua kali, Dan,"

"Kau. Aku tidak mungkin meninggalkanmu," jawabnya tanpa basa-basi. "Kehidupanku disini sudah sangat sempurna bagiku,"

Aku tidak boleh menjadi alasannya untuk menahan bakat yang dimiliki pria inii. Tidak boleh.

"Being success is everyone's dream. London is a great step for your success, Dan,"

"I'm not going anywhere without you," ucapnya.

"But i'm not leaving here. Kau bisa pergi kemanapun dan memperkenalkan musikmu, sedangkan aku akan tetap disini,"

"Tell me to stay then," pintanya.

Stay.

"You must go," jawabku mengabaikan isi hatiku.

"Go to London with me," pintanya lagi.

Yes, I do.

"Aku tidak bisa," tolakku.

Daniel melihatku. Tatapannya mengisyaratkan sesuatu yang samar-samar mulai kumengerti. Dia tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Mungkin dia terlalu memikirkan penawaran ini sehingga lupa makan.

"Seluruh member band-mu pasti menyutujui tawaran ini, kan?"

Dia tertunduk dan mengangguk pelan.

"Kalau begitu tidak ada pilihan lain untuk tidak pergi,"

"Kecuali kalau aku keluar dari band,"

Dia tidak mungkin serius. "Seriously? You're the heart of the band. They are nothing without you,"

"And I'm nothing without you, too,"

Sejenak, aku merasa bahwa aku perlu menahannya untuk pergi. Tetapi tidak boleh. Aku hanyalah penghalang kesuksesan Daniel.

"Daniel, please stop this. You must go. If it doesn't work, you can come back here. If it does, you have to be success there first and come back here again. You will come back, i knew it," semoga saja ini argumen terakhir kami mengenai topik ini.

Aku hampir lupa kalau wajahnya sudah semakin pucat.

"Oh, God. Kapan terakhir kali kau makan?" Aku mendekatinya dan melihat kondisi pria ini.

"2 days a go," jawabnya.

"Jangan bilang pada saat makan siang denganku,"

Dia tidak menjawab yang berarti aku benar.

"You should eat something, come in," aku mengajaknya masuk.

"No, i'll leave first," dia menolaknya. "Good night," dia akhirnya pergi dan menghilang dari pandanganku.

Setelah dia pergi, aku merasa napasku semakin berat. Kupikir setelah menutupi ekspresiku tadi, aku seharusnya menjadi lega. Tetapi perasaan ini lebih membingungkan dari yang kuduga.

Mengapa rasanya sesak sekali?

Mengapa sulit sekali untuk bernapas?

Mengingat percakapan tadi, aku mulai sadar akan  sesuatu. Aku mulai paham mengenai diriku sendiri.

Perasaan nyaman dan ketergantungan dengan Daniel tidaklah sesimpel yang kupikirkan. Kehadirannya yang sudah menjadi hal biasa denganku juga bukanlah hal remeh.

Daniel, mungkin memang benar aku mulai menyukaimu...

*****

Setelah kupikir-pikir sekali lagi, keputusanku adalah hal yang sangat bodoh. 

Aku tidak memiliki teman baik selain Daniel dan Tyler. Hubungan Kak Aubrey denganku sepertinya sedang kurang baik karena ucapanku saat makan malam waktu itu. Tyler sangat sibuk dan aku masih tidak terbiasa terbuka dengannya mengenai kehidupanku. Dan kalau Daniel juga pergi ke London, siapa lagi yang bisa menemaniku?

Apartemen Daniel pasti akan kosong dan tidak ada stok makanan gratis. Dia juga tidak akan ada kalau aku sedang bosan. Kehilangan Daniel sama saja kehilangan orang paling penting di kehidupan sehari-hariku.

Walaupun Daniel masih belum memberi kabar kapan dia akan berangkat, aku menjadi semakin resah setiap hari. Kalau tidak ada kegiatan penting, aku pasti mendatangi apartemennya dan menemukan bahwa Daniel masih sibuk di luar sana.

Sendirian di apartemennya membuatku semakin mengerti bahwa kesepian seperti inilah yang akan kurasakan dalam waktu lama. Cepat atau lambat, aku harus menerimanya.

Aku tidak pernah khawatir kapan Daniel akan pulang ke apartemennya sebelumnya. Tetapi belakangan ini, kekhawatiranku semakin menyita pikiranku. 

Bahkan beberapa kali aku merasa takut kalau dia tidak akan mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa untukku.

Bisa saja dia merasa kesulitan untuk mengucapkannya langsung kepadaku dan memilih meninggalkan pesan. Atau mungkin tidak ada pesan sama sekali dan poof... dia menghilang begitu saja.

Akhirnya, setiap kali aku menunggunya pulang, aku selalu menanyakan kapan dia akan berangkat ke London.

"Next week," kali ini dia menjawabku sesaat setelah melihatku duduk di sofa.

"Apa?" aku memastikan bahwa pendengaranku masih bagus atau tidak.

"Aku akan berangkat minggu depan,"

Senyuman palsu itu kembali menempel di wajahku. "That's good," balasku.

"What's good?"

"Kau punya waktu 1 minggu untuk melakukan apapun yang aku mau sebelum kau meninggalkanku,".

"But let me take a rest first," dia duduk di sebelahku dan membaringkan kepalanya ke pahaku.

Sebenarnya aku cukup risih saat dia melakukannya, tetapi aku menikmati kondisi risih ini. Daniel juga tidak kelihatan canggung sama sekali yang akhirnya membuatku terbawa suasana dan membiarkan tanganku menyentuhnya.

Aku membiarkan Daniel memejamkan matanya. Dia kelihatan cukup lelah hari ini, sehingga aku tidak berusaha mengganggunya. Tanganku yang awalnya menyentuh lengannya perlahan mulai tergoda untuk menyentuh kepalanya.

Beberapa saat kemudian Daniel terbangun. Karena dia tiba-tiba saja bangkit dengan cepat, aku memperhatikan apa yang hendak dia lakukan. Daniel melihatku. Matanya seolah mengucapkan sesuatu tetapi sayangnya aku bukan pembaca pikiran yang baik.


Oh my God...This isn't happening...


Entah karena terbawa suasana atau apapun yang dia pikirkan, Daniel mulai mendekatkan wajahnya ke arahku. He's trying to kiss me. Sebuah kejutan yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.


Semakin dekat jarak antara aku dan Daniel membuatku sangat gugup. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. 


No. It's not right. Tanganku menyentuh bahunya dan menahan tubuhnya untuk bergerak lebih dekat lagi. Sebuah pemikiran tiba-tiba saja datang dan membuatku memutuskan untuk menolak ciumannya. 1 minggu lagi. Waktu yang bisa kuhabiskan dengannya hanya 1 minggu lagi. Apapun yang terjadi, semua ini hanya berlangsung dalam kurun waktu yang singkat. Semakin aku menerima Daniel, bukankah akan semakin sulit bagiku saat ditinggalkan olehnya nanti?


Daniel nampak kecewa. Dia kembali bersandar di salah satu sisi sofa sambil melihatku.


"I can't even win your heart, after all this time," ucapnya.


"Dan..." panggilku.


Daniel berdiri dan berjalan ke kamarnya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku bisa saja menghampirinya dan memberitahukan perasaanku. Tetapi sepertinya hal tersebut adalah salah. Aku memiliki firasat dia tidak akan pergi ke London pada akhirnya kalau aku melakukannya.


Just keep our relationship as the way it used to be, huh?