Monday 20 April 2015

[Continuous] New Season (Part 3)

Aku mengetuk pintu Daniel berkali-kali tetapi tidak ada yang membuka. Mungkin dia sedang sibuk dengan band-nya, pikirku. Aku mendatangi studio band Daniel dan juga tidak menemukannya. Menurut teman-temannya, Daniel tadi pagi memang sempat datang dan setelah itu pergi entah kemana.

Kalau sejak tadi dia mengangkat teleponku, aku tidak akan serepot ini. Dia memang memiliki kebiasaan meninggalkan ponselnya sembarangan. Apalagi disaat kubutuhkan, dia sangat sulit untuk ditelepon dan lebih mudah kudatangi saja apartemennya.

Aku kini menyesal tidak pernah memiliki teman dekat selain Tyler dan Daniel. Sudah jelas di saat sekarang aku tidak mau menemui Tyler. Daniel adalah satu-satunya pilihan terakhirku. Aku akhirnya memberikan pesan kepadanya.

Kau kemana? Aku lapar sekali, butuh teman makan kalau tidak aku akan puasa sampai kau mengajakku makan.

Tiba-tiba beberapa menit kemudian, Daniel membalasku.

Aku sedang meeting, pulang sekitar jam 3. Masuk saja ke apartemenku. Kuncinya di bawah rak sepatu paling bawah.

Aku kembali ke apartemennya dan benar saja, dia menyimpan kunci di bawah rak sepatunya. Aku masuk dan langsung melihat kulkas. Ada beberapa lembar pizza dan spaghetti yang bisa kupanaskan dan dimakan.

Setelah makan, aku memilih menunggu Daniel dan berkeliling apartemennya. Aku belum pernah masuk sendirian ke kamarnya sebelumnya. Kalau dia memang pulang jam 3, masih ada waktu lama untuk melihat-lihat.

Aku masuk ke dalam kamarnya dan rupanya semuanya tertata rapi. Sulit sekali mengakui kalau vokalis band seperti dirinya peduli akan kebersihan.

Di salah satu meja, bertumpuk banyak barang yang diletakkan ke dalam kardus. Aku membuka dan mendapati barang-barang tersebut adalah kenangan kami saat kecil dulu. Ada juga album foto yang berisi kami berempat waktu kecil. Bahkan aku saja tidak menyimpan semua itu.

Aku menemukan sebuah liontin yang dulu kami miliki masing-masing. Tyler memberikan liontin tersebut kepada kami sebagai oleh-oleh. Dia berkata bahwa liontin ini akan mengabulkan permintaan dengan menyelipkan foto orang yang disukai di dalamnya. Menurut Tyler, liontin ini dapat membuat orang tersebut berbalik menyukai kami. Tentu saja aku meletakkan foto Tyler. Tetapi aku tidak tahu siapa yang dipilih Daniel karena kami semua merahasiakan pilihan kami masing-masing.

Tentu saja, Kak Aubrey...

Seharusnya aku tidak perlu menebaknya lagi. Pada saat aku melihat foto Kak Aubrey di dalam liontinnya, entah mengapa aku merasa ada sedikit kekecewaan.

Sebenarnya aku berharap menemukan foto lain selain Kak Aubrey. Tetapi selain Kak Aubrey, kakakku yang paling cantik di mata pria ini, siapa lagi yang memungkinkan.

Dasar laki-laki.

Aku teringat bahwa Daniel berkata dia tidak benar-benar menyukai Kak Aubrey. Setelah ini aku semakin yakin bahwa ucapannya memang bohong. Sejak awal alasannya itu tidak masuk akal.

Tetapi mengapa aku tiba-tiba menjadi begitu marah seperti ini? Hanya karena aku mengetahui kalau Daniel memang menyukai Kak Aubrey, yang sebenarnya sudah sejak lama aku mengakuinya.

Mengapa dia harus berbohong malam itu? Aku tidak paham lagi apa maksudnya.

Aku sedang duduk sambil menonton TV saat Daniel akhirnya datang. Wajahku tidak bisa kukendalikan dan terus merengut sejak tadi.

"Kau sudah makan?" Tanyanya sambil membuka jaketnya.

Aku hanya mengangguk.

"I bought you chicken," dia meletakkan bungkusan makanan di hadapanku.

"Aku sudah makan," jawabku dan tidak tertarik sama sekali.

Aku yakin Daniel pasti merasakannya. "What's wrong?" tanyanya sambil duduk di sampingku.

"Tidak, aku hanya teringat sesuatu," balasku. "Kau ingat liontin yang dulu Tyler berikan?" Aku menatap matanya.

"Oh... Yang kalau kita masukkan foto ke dalamnya nanti orang itu akan menyukai kita juga?" Dia membenarkan.

"Waktu itu siapa foto siapa yang kau masukkan?" Tanyaku, terus terang.

"You saw it in my room, right?"

Bingo. Bagaimana dia bisa tahu?

Daniel menyubit pipiku. "Bodoh," ucapnya. Selagi aku kesakitan karena dia cukup menggunakan banyak tenaga, dia akhirnya menjawabku. "Kau mengambilnya atau tidak?" Tanyanya.

"Tentu saja tidak. Liontin itu masih ada di kardusnya,"

Daniel akhirnya berjalan masuk ke kamarnya. Pada saat keluar, dia menunjukkan liontin tersebut. Dia duduk lalu memperlihatkan liontin dengan foto Kak Aubrey di dalamnya.

"Kau melihat yang ini, kan?" Aku mengangguk. Itu memang liontin yang kulihat tadi. "Ini punya Tyler. Dia meninggalkan ini dulu di rumahku,"

"Lalu dimana milikmu?" Tanyaku.

Dia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga, dia masih memakai liontin usang tersebut.

"Aku sudah melapisinya dengan bahan yang lebih bagus lagi, tetapi liontin ini masih disini," warnanya memang nampak masih baru tetapi bentuknya masih sama seperti milikku maupun Tyler.

"Dan siapa yang di dalam liontin itu?" Tanyaku. Mungkin aku terlalu banyak menginterogasinya kali ini.

"Kau," jawabnya. Matanya menatapku begitu serius sehingga leluconnya benar-benar menjadi tidak lucu.

He must be joking. "Nice," balasku. "Ayolah, Dan. Kalaupun itu Kak Aubrey, aku hanya minta kau jujur kepadaku dan tidak perlu berbohong,"

Daniel tersenyum. "Okay, it's Aubrey, for God's sake,"

Aku tertawa miris. "I knew it! Semua yang kau ucapkan itu bullshit,"

Karena terbawa kesal, aku mengambil jaket dan tasku untuk segera pergi dan menghilang dari hadapannya.

Daniel menarik tanganku, "Kau mau kemana?"

Aku menatapnya dengan sangat marah. "Away from you," jawabku.

"Aku tidak mengerti denganmu. Apa salahku kali ini?"

Dia masih menahanku. "Kau tidak salah apa-apa. Aku sedang cukup emosional hari ini. Anggap saja aku terlalu mengharap banyak darimu,"

Saat aku hendak pergi lagi, dia menarik tanganku lagi. Tanganku kesakitan karena cengkeramannya yang sangat kuat.

"Kau yang selalu menyangkut-pautkan semuanya dengan Aubrey, dan selalu berakhir seperti ini. Kau sangat keras kepala, tahu tidak?"

Tentu saja aku berbalik marah kepadanya. "Kau yang membuatku berharap kau berbeda dengan pria lainnya, tetapi nyatanya kau juga masih Aubrey-sentris,"

"Apakah aku perlu membuka liontin ini?" Tanyanya.

"Buat apa? Kau sendiri sudah mengakui kalau isinya Aubrey, kan?"

Dia membuka liontin itu.

Aku terkejut. Bukan foto Aubrey di dalamnya, namun aku. Daniel benar. That's me inside.

"Aku sudah menjawabnya sejak awal, kan? Tetapi kau begitu tidak mempercayaiku, sehingga aku terpaksa mengikuti kemauanmu dan berkata di dalamnya adalah Aubrey,"

Daniel melihatku. "Ashley, tidak bisakah aku meminta satu hal saja darimu?"

Firasatku mulai tidak enak.

"Apapun yang terjadi kepada Tyler, kurasa dia tidak akan pernah melirikmu. Kalau kau masih bersikeras seperti sekarang, kau hanya akan terus menyakiti dirimu sendiri,"

"Kau memintaku untuk berhenti mengharapkannya? Setelah selama ini?" Aku kesal bukan main. "Percaya kepadaku, Dan. Seharusnya kau juga menyadarinya. Kalau aku bisa semudah itu menghapus dirinya, sudah sejak dulu kulakukan dengan senang hati,"

Tyler hanya memberiku airmata dan harapan kosong. Tetapi semua orang juga tahu melupakan seseorang dan mengabaikan perasaan ini bukanlah pekerjaan mudah. Aku menyukainya sekaligus membencinya.

"Tetapi kau bisa mulai melupakannya dengan membuka hatimu untuk orang lain,"

Aku menatapnya. "Kau?" Dia mengangkat kedua bahunya. "Daniel, you're like a big brother to me, and the best one,"

"Just look at me, Ashley," pintanya. Dia menyandarkan kedua tangannya di bahuku. Matanya menatapku semakin dalam yang membuatku kebingungan dan terpaksa menatapnya juga.

"Please." dia mengucapkannya dengan nada surau, dan terus bergema di pikiranku.

*****


Aku mengamati kakakku yang sedang mengunyah di depanku. Sesuatu menyekikku, semacam pertanyaan yang terus menyelimuti pikiranku. Terkadang aku terus membandingkan diriku dengannya, meskipun aku tahu hal tersebut sia-sia.

She is gorgeous, in every way.

"Kau masih mau menikah dengan Olivier?" tanyaku tiba-tiba.

Aku melihat Kak Aubrey mulai kehilangan nafsu makannya. "Seriously? Kau masih menanyakannya kepadaku?"

"You had doubt in your eyessis," jawabku.

Dia menyentuh kedua matanya seakan dia tidak sadar hal itu. Belakangan ini dia sering melamun dan kurasa aku tahu apa yang dia pikirkan.

"Olivier is not a right man to you," balasku lagi.

"Kau mulai lagi, Ashley. Then who is the right one for me?" tanyanya.

Suaraku tercekat. Seharusnya aku tidak pernah mengucapkannya, "Tyler," dan aku sangat menyesal berhasil menyebut namanya. Kau tidak sekuat itu, Ashley.

Kak Aubrey nampak terkejut mendengar namanya.

"Setidaknya dia tidak seburuk image Olivier yang sok malaikat di depan tetapi sangat busuk di belakang," Kak Aubrey menatapku marah saat aku mengucapkan hal itu. Tetapi aku benar. Dan aku tidak mau kakakku satu-satunya mendapatkan sampah sepertinya.

"But what's the point if he wouldn't fight for me..."

Ashley. kalau kau ingin terus terluka seperti ini, lakukan terus. Mungkin suatu saat kau akan menikmati rasa sakitnya.

"Then fight for him," ucapku, meskipun aku tahu ini adalah ide buruk.

"Mungkin dia tidak benar-benar menyukaiku, Ash," jawabnya. "Mungkin selama ini dia hanya main-main, you know, laki-laki memang seperti itu,"

"No, he's not," tiba-tiba seseorang duduk di kursi sampingku. Aku sangat mengenal suara ini.

Daniel. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa dia duduk disini. Bahkan Kak Aubrey juga terkejut melihatnya datang tiba-tiba.

"I didn't tell him," jawabku saat melihat Kak Aubrey melirikku seakan bertanya bagaimana dia bisa tahu kami disini.

"She told me," Daniel menunjukku sekaligus menuduh. "Dia bilang kepadaku kalian berencana makan siang bersama, dan aku sangat yakin kalian disini,"

Kak Aubrey melotot seolah marah. Aku akhirnya sadar kebodohanku sendiri. Tempat ini adalah favorit kami dan sangat jarang sekali kami makan di tempat lain. Memberitahunya rencanaku sama saja dengan memberitahu lokasinya sekaligus.

"Aubrey, Tyler sangat serius menyukaimu. You're his first and only love. Dia hanya takut tidak mampu membahagiakanmu, kau mengerti kan, masalah finansialnya yang masih tidak stabil," ujar Daniel.

"Itu adalah alasan terbodoh yang pernah kudengar, Dan. Aku tidak akan pernah meninggalkan orang yang kucintai hanya karena masalah uang,"

"He really loves you, and that's why he is too scared to ruin you," Daniel mengambil kentang goreng dari steak milikku.

"Aku tidak bisa membiarkan perasaanku saja untuk urusan ini. Aku tidak mungkin selamanya menunggu pria itu sampai berani melamarku. Kalian berdua sudah cukup memaksaku seperti ini,"

Kak Aubrey kembali fokus menghabiskan makanannya. Aku akhirnya juga mulai mengunyah kembali. Sedangkan Daniel benar-benar mengganggu.

"Cut it for me," pintanya.

Steak ini? Aku menunjuk steak milikku, dan Daniel mengangguk. Aku akhirnya memotong sebagian dan menyuapinya.

"You both looked so cute together," ucap Kak Aubrey.

Daniel tersenyum dan membuat Kak Aubrry semakin ingin bertanya,

"I supposed, something happened between you two?" Dia masih dengan memotong daging steak miliknya.

Aku cepat-cepat menggeleng. Namun Daniel malah merangkulku tiba-tiba.

"Is it okay?" Tanyanya.

Kak Aubrey mulai tersenyum, seolah kekesalannya menghilang pelan-pelan.

"No, it's really okay for me," balasnya. "Aku lebih tenang kalau menyerahkan adikku satu-satunya kepadamu, Dan," dia menambahkan.

"Kita juga, kalau begitu. Kita akan sangat tenang kalau kau dengan Tyler dibandingkan stranger seperti pria itu," tiba-tiba Daniel menambahkan.

"Olivier namanya. And he's not a stranger,"

"Kalau Ashley berkencan dengan seorang punk dengan latar belakang yang tidak jelas, apakah kau setuju, Aubrey?" Entah apa yang dipikirkan Daniel.

Kak Aubrey melirik Daniel sebentar, hanya sekitar kurang dari 2 detik. "Of course not,"

"Kalau begitu wajar Ashley juga sangat khawatir kau dengan pria itu," kemungkinan Daniel bisa mengucapkan hal seperti ini memang langka sekali, sehingga aku cukup terkesan dia bisa berpikiran seperti ini. Atau mungkin saja dia memang sudah merencanakannya sejak lama.

"What's your problem here, Dan?" Tanya Kak Aubrey.

Dengan senyum dia membalas Kak Aubrey, "Kau. Aku lelah sekali melihat kau dan Tyler seperti sekarang. Kalian sama-sama mencintai tetapi saling menghindar, dan aku kesal ada di antara kalian  berdua, ya kan, Ash?"

Aku terkejut saat Daniel meminta jawabanku. Karena responku sangat telat, Daniel akhirnya berbicara lagi,

"I should get going," dia berdiri dan langsung keluar setelah menyalami kami berdua.

Aku melihat Kak Aubrey dan langsung berpaling ke makananku lagi.

"Just Daniel being Daniel..." gumam kakakku.

Aku cekikikan. Aku tidak menyangka bertemu dengan pria seperti itu, seakan-akan dia selalu ada di setiap pembicaraanku.

*****

Saat aku masuk ke dalam apartemen Daniel, aku terkejut melihat Tyler sedang duduk dan bersiap menonton pertandingan tinju.

"Hi, Ashley," dia menyapaku seperti tidak ada masalah apapun.

Ah, aku lupa, hanya aku yang bermasalah disini.

"Hi," balasku sangat canggung.

Aku berbalik mengarah ke pintu dan memejamkan mataku sebentar. Okay, Ashley, calm down, just act normal, you can do it.

Mantranya berjalan sehingga aku memilih duduk di samping Tyler seperti biasa. Dia juga nampak sangat biasa dan malah memegang lenganku.

"You look skinnier," balasnya.

Oh, God, mengapa sulit sekali mengabaikan perasaan ini, sebentar saja?

Aku hanya tersenyum canggung. Beruntung Daniel datang dan bergabung dengan kami. Dia duduk di sampingku dan mengambil mangkuk besar berisi popcorn.

"Kau mau?" Tanyanya kepadaku. Aku menggeleng.

"Kau mau nonton bersama kami juga, Ash?" Tanya Tyler. Aku menggeleng juga.

Aku lupa juga kenapa aku harus kesini. Karena terlalu sering menjadi rutinitas, aku terbiasa datang kesini tanpa tujuan. Dan kehadiran membuatku merasa sangat janggal.

"I have nothing to do, so i thought i could play cards here," jawabku mengasal.

Daniel mengerutkan dahinya. Dia tahu aku jarang sekali bermain kartu, apalagi datang kesini hanya demi permainan yang membuang waktu.

"Daniel's booked for the next 3 hours," balas Tyler.

Kalau aku berkata pertandingan tinju tersebut sangat membosankan, pasti Tyler akan marah. Aku hanya diam dan berjalan-jalan mengelilingi ruangan. Daniel tentu saja tidak betah melihatku dan memilih untuk menghampiriku.

"What are you doing?"

Aku tersenyum. Mengetahui kalau Daniel akan memilihku dibanding pertandingan tinju tersebut membuatku senang bukan main.

"Distracting you," aku tersenyum lebar.

Kau menang, setidaknya begitulah yang bisa kulihat dari sorot matanya. Aku tidak mengerti lagi apa yang membuatku senang bukan main sekarang.

"Let's go out," ajakku.

"Kemana?" Tanyanya.

"I don't know, some cafes, maybe? A cup of latte?"

Daniel nampak memutar otak cukup lama, dan akhirnya dia menghampiri Tyler,

"Ty, sepertinya kau harus nonton sendiri. I have something to do with her now,"

Tyler melirikku, lalu Daniel. "You owe me an explanation," dia setuju-setuju saja.

Satu hal yang membuatku takjub dengan pertemanan pria adalah bagaimana mereka bisa santai-santai saja kalau orang lain membatalkan rencana awal mereka. Aku tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temanku di kondisi sekarang, kalau aku memiliki teman dekat.

Daniel akhirnya bersiap pergi. Tyler dibiarkan menonton dan aku menunggu di dekat pintu. Tidak lama, Daniel sudah rapi dan kami akhirnya keluar.

"Siberian Cafe?" Aku mengajaknya ke sebuah cafe dimana kami bisa bermain dengan anjing husky di dalamnya.

"Sounds good," Daniel sangat suka dengan kopi disana.

Saat datang ke cafe tersebut, tidak banyak pengunjung yang datang. Aku langsung menghampiri Dolly, husky berwarna kecokelatan yang sangat manis. Daniel duduk di sampingku dan nampak ingin bergabung.

"Dolly sudah besar sekali sekarang," aku ingat terakhir aku kesini dia masih bisa kugendong.

Shy menghampiriku, seekor husky bermata biru terang yang juga menjadi favoritku disini. Dia menggesekan tubuhnya di badanku, lalu bermanja-manja denganku. Sejak awal aku memang sangat suka sekali dengan husky, tetapi aku masih ragu bisa merawat mereka dengan baik kalau kupelihara nanti. Aku saja kesulitan merawat diriku sendiri.

"Hello, Shy," ucapku kepadanya. "Have you eaten yet? You looked very energetic today," Shy mengibas ekornya dan kesana kemari tanpa arah.

Aku masih memegang Dolly yang lebih kecil ukurannya dibandingkan Shy. Di tempat ini, ada sekitar 20 ekor lebih husky dengan jenis yang berbeda-beda. Aku selalu datang kesini untuk bertemu dengan Shy dan Dolly. This is absolutely my healing place

Tiba-tiba Daniel tertawa cukup kerasa sehingga perhatianku beralih kepadanya.

"Kau lupa kalau ada aku disini," ucapnya. "Kau selalu lupa diri kalau datang kesini," sepertinya Daniel benar kali ini.

"Sorry, these babies are way cuter than you," balasku.

"Mengapa kau tidak merawat husky saja?" tanyanya.

"I will, kalau aku sudah bisa hidup mandiri. Lagipula Mama dan Papa tidak suka binatang, kan," jawabku.

"Aku suka binatang," aku tidak mengerti apa maksudnya berkata hal ini.

"Lalu?"

"Dan kau bisa pindah ke apartemenku semaumu," tambahnya lagi yang semakin membuatku kebingungan.

Aku berhenti bermain dengan Shy maupun Dolly. "Maksudmu?" Tanyaku. Mungkin aku sedikit mengerti ucapannya, tetapi aku sangat tidak yakin.

"What?" Dia tersenyum penuh arti. "Is it not clear enough for you?" Tanyanya. "We may raise one or two puppies in my place,"

"Kau... Aku tidak salah dengar, kan? You just proposed me for moving in..."

"Ya..." dia nampak santai saja, seperti ucapannya tadi tidak ada masalah sama sekali.

"Daniel, yang benar saja," jawabku.

"Apa? Apa salahku lagi kali ini?"

Aku tidak tahu bagaimana cara pikir orang ini sebenarnya. Dia nampak sangat tenang dan lepas mengucapkannya.

"Kumohon, Daniel..."

"I'm just trying," ucapnya. "Mungkin mulai sejarang kau akan mulai memikirkannya, dan aku siap menerimamu kapan saja,"

Aku menatapnya untuk terakhir kali, melihat apakah pria ini benar-benar serius. Dia nampak tidak bercanda sama sekali. Setelah itu aku tidak membalasnya lagi dan mengalihkan perhatianku kepada  Dolly.

"Apa yang akan kau katakan kepada Tyler nanti?" Tanyaku tiba-tiba. Aneh sekali rasanya aku dan Daniel berdekatan tapi saling diam.

"Masalah apa?"

"Kau berhutang penjelasan kepadanya, kan,"

"Oh... itu..." dia baru mengerti. "Ya... yang sebenarnya. Kau lebih penting dari apapun di mataku," jawabnya. "Aku tidak boleh memberitahu Tyler?" dia berbalik bertanya.

Aku tidak tahu. Rasanya aku sudah tidak peduli lagi. "Terserah kau saja,"

"Apa ini? Akhirnya kau sudah berhenti berharap?" bahunya menyinggung bahuku.

Aku menarik diri dan melihatnya. "Daniel... Aku tidak mungkin merebutnya dari Kak Aubrey juga, sangat mustahil," dia harusnya bisa melihat betapa lesunya aku saat membahas hal ini.

"This is the right time for moving on..." ucapnya.

Perlahan, aku merasa diriku mulai menyetujui ucapannya dan mengangguk pelan.