Friday 11 October 2019

[One Shot] The Magnetic Force of Misery

Kami berdua tersenyum. Menyadari betapa kacaunya kehidupan yang kami miliki.

Di persimpangan ini, kami bertatapan satu sama lain, mencoba berdialog bisu. Sampai salah satu dari kami, aku, tertawa karena menyadari bahwa tidak perlu satupun kata untuk mengerti apa yang terjadi.

"Do you know what I like about reincarnation theory?" ujarnya.

Aku melihat bagaimana tubuhnya melayang bagai tidak ada satupun masalah yang mengganggunya.

"It gives us hope for a better chance to live in this beautiful yet horrible world,"

...
 
..
 
.

Hanya sebuah momen hening bagiku mencoba mengartikan segala kekacauan ini. Apa yang terjadi? Apa yang membuat kami bisa berakhir seperti ini?

"No, I am not giving you a goodbye, because I believe that we will meet in next chance,"

"You will not be resurrected. A suicide man is not approved," jawabku, mencoba tenang.

Dia hanya tersenyum. "I am not ending my own life," matanya terpejam sebentar. "I am letting myself to live,"

Dan kini langkahnya menghilang. Tidak ada lagi tatapan pelik yang menggangguku, sampai bisa membuat aku selalu lupa akan masalahku sendiri. Namun yang ada hanyalah beribu pertanyaan mengenai kematiannya. Apa maksudnya kali ini?

Si bodoh ini. Aku harap dia benar-benar tidak pernah kembali ke dunia ini!

Dan walaupun reinkarnasi itu ada, kuharap aku tidak akan pernah bertemu dengan sosok sepertinya lagi!

*****


Aku berjalan mengikuti kemana langkahnya pergi. Semakin lama menyadari, kami hanya terus berputar tanpa arah dan tatapannya terlalu kosong untuk tahu kemana kami seharusnya pergi.

"This is way too funny, you think?"

"What? In debt by your own torturing family?"

Dia memukul bahuku. "That is another thing. I just thought that life is too funny. It seems that problems never let me breathe in a relief. With such a great amount of debt that I have to pay, I still have to go to police for such ridiculous thing!"

"Do you still have a hope that all will be over?"

Dia tersenyum. "There will always be an end for everything.  But who knows what kind of end..." dia masih bisa melemparkan senyumannya saat semua yang ada di kehidupannya begitu salah.

Dia melirikku saat sudah hampir memasuki kantor polisi. Yang kumengerti, dia bertanya-tanya apa urusanku mengikutinya.

"What? You don't need a backup?"

Dia menghiraukanku dan membiarkan aku menemaninya.

Apa kau tahu apa masalah terbesar dalam hidupku belakangan ini? Berbagi masalah di kehidupanmu. Dan kau tahu apa yang lebih menyebalkan dari hal itu? Bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa menonton saja.

Adiknya baru saja meninggal karena kecelakaan. Disaat kedua orangtuanya meninggalkan hutang yang terlalu banyak untuk dipikul dia dan adiknya, kini dia hanya seorang diri untuk menebus seumur hidupnya.

"Do you feel upset to him?" tanyaku saat kami sedang menunggu untuk masuk ke ruangan.  

"The paperwork for the accident is too much, don't you think?" dia memperhatikan berlembar-lembar dokumen yang dipegangnya. "Ah? Upset to him? For leaving me too soon? Or for having a peaceful afterlife?"

"Both?"

"I'm happy for him instead. I always worried if I die too soon and let him lives pathetically like I do, I must have such a remorse even in the afterlife,"

Dan kau tahu? Itulah mengapa aku selalu memilih untuk berada di dekatmu dalam kondisi apapun.

"Then what is your plan?"

"Plan for what?" jawabnya, bingung.

"To pay your debt. You can't work with a small pay and let the interest piling up forever,"

Dia tersenyum lagi. "Do you have any plan or idea, then?"

Aku kembali diam. Mungkin pembicaraanku kali ini sudah terlalu jauh dan kelewatan. Seharusnya aku hanya duduk diam dan menemaninya.

"You can ask me, if you want," walaupun aku tahu dia bukanlah orang seperti itu. Aku adalah satu-satunya jalan keluar yang paling nyaman. Hanya satu kata, satu anggukan, persetujuan saja, hidupnya bisa berubah banyak.

Yang kumiliki hanyalah uang dan waktu, dua hal yang tidak pernah dimilikinya. Tetapi bagaimanapun aku bersikeras membantu, dia tidak mau. Dia tidak pernah mau mengaitkan hubungan kami dengan uang.

Di sisi lain, aku selalu memberinya waktu, karena itulah yang tidak bisa dia tolak. Untuk seseorang yang sangat menghargai hubungan ini, uang tidak pernah masalah bagiku.

Dia memukul kepalaku. "Don't ever tell me again," dia tertawa. Di kehidupannya yang begitu berantakan, dia tertawa saat menolak bantuan seseorang.

"I can give you loans with smaller interest, or anything you want," uang tidak pernah menjadi masalah bagiku.

"Dude, come on," dari matanya, dia mengungkap kekecewaan. "I hate it when you are playing hero like this,"

"Just in case you change your mind and say yes,"

"I won't. I don't want to let you pity me, or lend me money or anything. I don't want to ruin our friendship. You're the only one I have left now,"

Mataku menatapnya yang begitu serius. "Okay... Okay..."

*****

Apa masalah terbesar dalam hidupku?

Tidak tahu tujuan hidup. Tidak memiliki semangat untuk menjalani hari demi hari. Well, kecuali saat menghabiskan waktu dengannya.

Aku mengenal Adrien sudah terlalu lama sekali. Namun, selama apapun kenangan itu, memori bersamanya adalah yang paling kuingat seumur hidupku.

"That girl always liked you since high school," ucap Adrien saat kami tidak sengaja bertemu dengan salah satu teman lama.

"I didn't like her, though," jawabku santai.

Kami sedang bermain PvP di sebuah coffeeshop. Perhatianku tidak pernah berpaling dari layar ponsel meski Adrien menyikutku keras. "She still looked at you," bisiknya.

Aku melirik sebentar perempuan di counter dan memang dia sedang memperhatikanku. Dia tersenyum, dan aku berbalik senyum pula lalu kembali menatap layar ponselku.

Adrien berbisik lagi. "She's cute, still cute as I remembered,"

"You're interested in her?"

"How dare I am to let her inside my messed up world? How shameless!" Suaranya meninggi namun masih berbisik.

"We're gonna die, focus!" Gertakku. Adrien langsung memusatkan perhatiannya di permainan lagi.

"What if she comes here?" Tanyanya saat permainan kami sudah selesai.

Aku memencet challenge baru, dan tiba-tiba saja Adrien menolak challenge tersebut. "She's coming!"

Dan benar saja, perempuan itu duduk di depan kami. Di depanku, lebih tepatnya.

"My friends are coming late, can I join you here instead?"

Sejak awal Adrien menyapa perempuan ini di counter, aku masih lupa namanya. Berkali-kali kucoba mengingat, hanya beberapa rangkai huruf yang melekat dan tidak menjadi sebuah nama.

"Sure, Lena," Adrien dengan ingatannya yang sangat-sangat berguna kali ini. "We're just finished playing,"

"Seeing you both reminded me of highschool days. You two were always together. What are you doing now?"

"I am working in a local company around here," jawab Adrien.

Lena melirikku dan menunggu jawaban dariku. "I am just handling my family's business,"

"What about you?" Tanya Adrien. Dia begitu aktif mengajak perempuan ini berbicara.

"Well I am also doing a small clothing business. It's not yet big though,"

"That's good!" Adrien menunjukkan semangatnya.

Dia kemudian mengalihkan ke berbagai topik yang tidak sepenuhnya kudengarkan. Aku mencoba memperhatikan sekitar kami dan mencari hal menarik lainnya.

"What about you, Randy?" Tanya Lena tiba-tiba.

"Sorry?" Sialan! Aku tidak tahu apa yang mereka baru saja bicarakan.

"Are you going to Becca's wedding this week?"

Aku tidak ingat apakah undangan yang belakangan ini kuterima adalah pernikahan Becca, salah satu teman sekolah kami atau tidak. Aku melirik Adrien, dan dia memberi kode untuk bagaimana menjawabnya.

"Yeah, I'll come with him," aku menunjuk Adrien.

Lena hanya mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba ponselnya berdering. Sepertinya temannya sudah datang. "I should go, thank you for the chair. Oh, Adrien, I am so sorry to hear about your brother,"

"Don't mention it," Adrien melambaikan tangan seiring dengan kepergian Lena.

Aku mulai membuka pembicaraan dengannya.

"Don't tell me she was your high school crush?" Aku mulai curiga, walaupun Adrien memang ramah ke semua orang, aku tidak pernah merasa dia seramah ini apalagi ke seseorang yang belum terlalu dekat.

"I was trying to help you out! Can't you see that she only cared about you?"

"Help for what? What care?"

"You haven't been in love, have you? This is your chance, dude!"

Disaat dia sendiri juga belum pernah merasakannya, untuk apa dia masih memikirkanku? Aku merasa geram akan berbagai hal secara tiba-tiba.

"What about you?"

Adrien memangku kepalanya yang tiba-tiba menjadi berat dan berdesah seketika. "A bummer with millions debt like me, who will even love me?"

I do, though.

"But a prince with a cute face like you, it is very weird if girls reject you,"

Because I already chose you than those girls.

"Do you eagerly want me to date a girl?" Tanyaku.

"Why not?"

"Then let me help you, for one last time," ucapku. Topik ini lagi, pasti di pikirannya. Matanya langsung menjauh dan menghindariku. "You cannot live in hiding anymore. Don't you have such a big dream, to be a cartoonist? I never see you sketching anymore these days,"

"Randy, please stop it. When the time comes, until I can't handle it anymore, our friendship will be the last thing that I would sacrifice,"

"Nothing will happen if I pay your debt. You won't owe me anything. I am sincerely willing to help. I just want you to be free. It is so frustrating seeing you like this when I know I can do something,"

"It's not something. It's everything to me. I am willing to pay each penny of that bastard's debt forever just to content my heart with resentment towards him, so that I can meet him in hell and mock him with a proud face,"

Sejak awal hutang keluarganya sudah menumpuk hingga orangtuanya memilih untuk bunuh diri, meninggalkan Adrien dengan adik laki-lakinya yang belum selesai sekolah. Tanpa keluarga lain di sekitarnya yang bisa membantu, Adrien benar-benar sudah merasakan pahitnya kehidupan sejak dini.

Dan aku adalah saksi mata setiap kepahitan itu. Untuk seseorang dengan masa muda seperti Adrien, aku tidak tahu bagaimana bisa dia masih berdiri tegak dengan senyuman di setiap ekspresinya.

Namun aku sendiri bersyukur mereka bunuh diri. Selama hidupnya, kedua orangtua Adrien sangat abusive dan selalu menyiksa Adrien. Dia tidak pernah melawan, tidak pernah depresi, dan wajahnya tetap netral seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda trauma, dan dia masih terlihat sangat normal dibandingkan anak-anak lainnya.

Bagiku apa yang diucapkannya terdengar masuk akal dan normal-normal saja. Sudah sewajarnya dia melampiaskan amarah dan kebenciannya, dan caranya begitu luar biasa.

"What's wrong?" Tanyanya saat aku terus memperhatikannya dalam-dalam.

"How cool, indeed," aku memberikan jempolku untuknya. Terlepas dari bagaimana perasaanku, dia memang sangat keren di mata pria lain.

*****

"Randy,"

"Randy?" Suara orang yang sama memanggilku. "Randy!" Kali ini nadanya meninggi dan begitu keras.

Aku terbangun dari tidurku. Tidak ada siapapun di sekitarku. Siapa yang baru saja memanggil?

Aku kembali memejamkan mata. Namun saat menyadari sesuatu yang aneh, aku kembali membuka mata. Pakaian yang kukenakan adalah pakaian untuk pasien rumah sakit. Apakah aku sedang dirawat? Tetapi untuk apa?

Setelah melihat pakaian yang kupakai, aku mulai merasa bahwa kakiku menggantung dan di-gips. Tanganku hanya bisa digerakkan sebelah, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh.
Seorang suster datang setelah beberapa lama dan mengecek kondisiku. Dia kaget saat melihat kalau aku sudah terbangun. "Do you feel pain anywhere?"

It's everywhere, I must say.

"Let me check your anesthesia," dia mengecek kesana sini dan menulis di jurnalnya. Entah apa yang dia lakukan setelah itu, jarak pandangku sangatlah terbatas.

Sampai akhirnya aku tertidur lagi dan saat terbangun, seseorang sudah duduk di sebelahku. Lena.

"You're awake?" Tanyanya. Matanya nampak khawatir. Sepertinya aku baru saja bermimpi tentang memori saat bertemu lagi dengan Lena. Dan kali ini Lena sendiri sudah duduk di sampingku.

Suaraku tidak bisa keluar. Tenggorokanku terasa panas dan kering. Aku ingin teriak pun tidak bisa.

"Ad..." Aku benar-benar kesulitan untuk mengucapkan nama Adrien, ingin memastikan bahwa dia tidak apa-apa.

Lena memberikanku segelas air dengan sedotannya. "Taking care of yourself is the most important,"

No, Adrien is also important. He cannot be compared than anything or anyone.

"Where...?" Mungkin efek anestesi masih melekat sehingga mulutku masih terlalu kaku dan semuanya nampak berat bagiku.

"He texted me, to take care of you," Lena menunjukkan smlayar ponselnya.

Lena, I beg you to take care of Randy from now on. Please be there for him no matter what. I entrust him to you. I know you can and you will.

3 hari yang lalu. Apakah artinya aku sudah tidak sadar selama itu?

Aku meminum gelas ketigaku sampai akhirnya rasa panas di tenggorokan sudah mulai mereda.

"Where is he now??" Aku panik bukan main namun tubuhku tidak ada yang bisa digerakkan.

"He was gone. He was thrown to the bottom of the cliff. You were found near the top of cliff, unconscious. He could not be saved,"

Aku tidak tahu apakah Lena menyadari kalau Adrien bunuh diri atau tidak. Tetapi dia mengirimi pesan seperti itu sebelum ditemukan tidak bernyawa, apakah tidak disebut terlalu kebetulan kalau hanya sebatas kecelakaan?

"I heard that you pretended to be him and was beaten to death by debt collectors. What were you thinking?" Dia menarik gelas yang sudah tidak kuminum lagi. "Police said that you were about to be thrown by them before he came. The debt collectors knew that he placed the life insurance so they threatened to jump and let him dead as if it was accident,"

Aku tidak ingat kalau kejadiannya seperti itu. Bagaimana bisa polisi mendapatkan informasi seperti itu? Lagipula, aku baru dengar kalau Adrien mendaftar life insurance untuknya.
Apakah ini sudah direncanakan olehnya?

"I just happened to be at his room when the debt collectors came. They thought that I hid him somewhere and beaten me to inform them where he was. I remembered that day was a year when his brother got into accident. So I went to the location and found him there," aku menggunakan sisa kekuatanku untuk berbicara dan melawan rasa sakit di tenggorokanku.

Aku masih ingat bagaimana ekspresinya saat melihatku waktu itu. Dia begitu marah saat tahu kini aku ikut campur terlalu jauh dengan masalah hutangnya. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri yang telah membuatku babak belur.

Dan aku sangat ingat bagaimana dia memejamkan mata seolah sangat siap untuk melemparkan dirinya, sama seperti adiknya.

"I also found it strange when I received the text and heard what the police said,"

Aku tidak terlalu memperhatikan Lena dan terus fokus dengan pikiranku sendiri. Kata terakhir Adrien begitu melekat di benakku dan aku penasaran setengah mati apa maksudnya.

Namun di sisi lain, penyesalan dan kesedihan dalam mulai merasukiku. Entah apakah saat itu aku pingsan karena rasa sakit yang sudah memuncak atau memang tidak bisa menerima kenyataan atas apa yang baru saja kulihat.

My dearest friend and love of my life has met his own death and I witnessed it in silence, hopelessly.

Suara itu. Suara yang memanggil namaku saat aku tidak sadarkan diri, apakah itu suara Adrien?

Apakah dia ingin menjelaskan sejuta pertanyaan dariku dan apa maksud dari kata-kata terakhirnya itu?

*****

-recorded 3 months ago-

Pria berbahu tegak duduk dengan sangat santai di depan kamera. Background di belakangnya berwarna cokelat muda yang tenang, sama seperti ekspresi pria ini.

Siapapun akan melihat bahwa tidak ada yang salah dengannya. Tidak selain suicidal thought yang dapat dibaca dari catatan seorang psikolog yang duduk di balik kamera, sambil menghadap pria itu.

Apakah anda percaya kalau seseorang berkata dia baik-baik saja setelah mengalami masa lalu yang sama seperti yang saya alami?

Setiap hari, setiap kali, saya tidak pernah tidak membayangkan cara terbaik untuk mengakhiri hidup saya. Ini terjadi tepat setelah kepergian adik saya. Setiap kali saya merasa bahwa hari itu adalah hari yang terbaik untuk mengakhiri penderitaan ini, seseorang datang dan membiarkan pikiran itu pergi dengan sendirinya.

This person, this one particular person. He came to my life as if everything was okay, like I was such a normal person to be friended to.

Mungkin dia menyadari saya sangat senang setiap kali dia menghabiskan waktu dengan saya, sehingga sebisa mungkin dia melakukannya setiap kali ada kesempatan. Diantara sekian banyak rasa benci dan iri yang tertanam di diri saya, apa yang saya rasakan terhadapnya tidak pernah negatif walaupun di segala aspek saya ingin sekali memiliki apa yang dia miliki.

But comparing to what he has, I only yearn to have him in whole, romantically.

Saat saya tahu kalau saya menyukainya, saya pikir saya memang manusia normal, namun bukankah apa yang saya rasakan ini lebih tidak wajar?

Mungkinkah karena masa lalu saya, atau memang karena takdir, hanya penderitaan yang datang kepada saya?

He came from such a respected and privileged family. His facial feature was so distinctive that can even sway a man like me.

Untuk membuang waktunya kepada seorang sakit seperti saya, apakah saya masih harus menghancurkan kesannya di keluarga dan lingkungannya?

Pikiran itu terus membayangi saya sampai akhirnya saya merasa kalau orang ini mungkin saja merasakan hal yang sama.

We might be in love, unknowingly. We filled our time caring of each other, and I was the first to realize.

(Psikolog bertanya, bagaimana anda bisa tahu kalau dia menyukai anda?)

I lived with parents that despised my existence. I am honed to be sensitive of other feelings and what are they thinking about.

It is very easy to be manipulative once you are sensitive.

Tetapi saya baru menyadari, dia tidak pernah peduli dengan siapapun di sekitarnya, kecuali saya. Ada satu perempuan yang saya rasa akan sangat cocok dengannya, dan saya tahu kalau perempuan ini juga sudah lama menyukainya. Namun bagaimanapun cara saya untuk mendekatkan mereka, dia tidak pernah berkutik dan melirik perempuan ini.

(Adrien menitikkan air matanya dan mengambil tisu diatas meja)

I love him. I truly love him. Even though I know that I don't deserve him, I still yearn for him. I only want him and I am willing to let away everything only to belong with him.

But I don't want him to be labeled as a gay. I don't want any misperception to harm him. I want to protect him all I can no matter what it cost. Even if it means that I have to let him with any woman.

(Psikolog bertanya, apakah dengan menyadari kalau anda sedang jatuh cinta, adakah harapan untuk memperbaiki kehidupan anda?)

(Adrien tertawa, lepas dan terbahak-bahak)

Memperbaiki? Apa anda pernah mendengar sebuah teori reinkarnasi? Saya yakin ini bukanlah hal yang awam bagi anda juga, bukan?

Apa yang terjadi di kehidupan saya, semua ini sudah terlalu berantakan untuk diperbaiki. Kalaupun hidup saya bisa diperbaiki, jiwa dan pikiran saya masih menyisakan diri saya yang lama. Kalau saya saja membenci diri saya sendiri, bagaimana mungkin saya berani untuk membiarkan orang yang paling saya sayangi tahu sosok asli saya? Siapa yang bisa menjamin bahwa dia akan tetap menyukai saya?

Kalau saya bisa memilih satu hal saja yang bisa dikabulkan oleh Tuhan, saya hanya berharap bahwa saya dilahirkan kembali ke dunia ini, untuk bertemu dengannya lagi di kehidupan kami selanjutnya. Tanpa pernah mengingat kehidupan di sebelumnya, saya hanya ingin menjadi yang terbaik di kesempatan berikut. Sehingga saya akan berani mengutarakan perasaan saya dan dia bisa melihat versi terbaik dari saya.

Dan kalau permintaan ini tidak terlalu berlebihan, akan lebih baik kalau salah satu diantara kami adalah perempuan, atau kalaupun memang berlebihan, saya bersedia menunggu beberapa lama lagi sampai kami ada di suatu masa bahwa apa yang kami rasakan ini adalah hak setiap manusia dan tidak akan ada lagi tatapan menghakimi.

Jadi, bukankah satu-satunya cara yang harus saya lakukan adalah dengan menghentikan siklus ini agar siklus baru dimulai?

(Adrien tersenyum dan menghentikan sesi hari ini)

-end