Tuesday 3 September 2019

[One Shot] Bad Habit

It is already my habit to lean on someone. 

“Jules, come on!” panggilnya sambil berteriak kencang.

Aku tersenyum saat melihatnya. “I am coming!” balasku dengan teriakan yang tidak kalah kencangnya.

And it is also my habit to grow such annoying feelings toward someone that I lean on to.

“What is it, Vic?” tanyaku saat mendekatinya.

Dia tersenyum begitu lebarnya. “You are slowing me down! We need to pass the gate before 7!” dia berlari sambil menarik tanganku.

Will you be annoyed by this feeling too, if I tell you the truth?

Aku mencoba mengatur napasku dan jantung yang terus berdegup kencang. Entah apakah karena berlari atau karena tangan kami yang saling bersentuhan.

“Hey! What are you thinking, huh?” aku tidak sadar setelah dia melambaikan tangannya kepadaku.

Saat melihat keadaan sekitar, aku baru menyadari bahwa kami baru saja berhasil masuk ke sekolah tepat waktu dan tidak akan dihukum. Aku tersenyum lega.

“I can’t believe that I won’t be punished today,” sulit dipercaya, aku berhasil masuk sekolah tepat waktu. Sesuatu yang sangat mustahil bagiku. Selama 3 bulan bersekolah, aku tidak pernah bisa datang lebih dari pukul 8. Entah mengapa aku pun tidak ingin berusaha keras untuk datang tepat waktu.

“Don’t worry, I will come to your place every day from now on, okay?”

Aku melihatnya dalam-dalam, lalu mengangguk.

But first, let me ask you one thing, what is your intention? What is your reason to come into my world, exactly?


*****

“Dude, seriously, why can’t you get up early?” dia berbaring di kasurku dengan seragam dan pakaian yang sudah sangat rapi.

Aku meliriknya dari balik kaca. Dengan sangat malas aku bersiap-siap dan berpakaian.

“I don’t have any motivation to come to school,”

“Nonsense? Are you okay for being punished, like every day?”

Aku mengangkatnya agar bangun dari kasur. “Rather than cutting down my sleep hours,”

“But you can sleep early the day before,”

“That is not the point, I am not a morning person, and sunshine is killing me,”

“What?” aku tahu, dia sangat suka bangun pagi dan beraktivitas sesegera mungkin. Dia terlalu berkebalikan denganku.

“Come on, or we will be late again,” aku menariknya keluar kamar dan kami berjalan kaki.

Waktu yang kami miliki masih cukup banyak sehingga kali ini kami berjalan sangat santai.

“Isn’t it good, walking like this?” aku melihat langkahnya begitu ringan dan ekspresinya senang bukan main.

Aku meliriknya saat dia juga melirikku.

“The weather is perfect, the road is quiet, and we have a lot of time!”

“I don’t get what you mean,”

“Morning is the best time of a day, if you waste it only for sleeping, you lose too much, dude,”

“Hey,” aku berhenti sebentar dan dia ikut berhenti. “I told you, not everyone is a morning person. I feel so weak and sick now,”

Dia tertawa. “I was never be a morning person at all. But one day I was done getting punishment every day so I tried to get up early. I thought that I overcame one of my weakness and I want you to achieve that also,”

“Why?” tanyaku.

Dia menoleh ke arahku saat dia sedang mengamati pepohonan di taman yang sedang kami lewati.

“Why should I achieve it?” tambahku.

“Why?” dia malah mengulangi pertanyaanku. “It is simply because you have no positive energy, so I am giving it to you now!” dia tertawa dan aku tidak kuasa untuk tidak tersenyum. Namun kutahan. Karena aku tahu ekspresiku akan sangat aneh baginya.

Ah… Apakah sudah saatnya aku untuk mengumpulkan seluruh energi positif darinya?

“So…” suaraku sedikit pelan karena ragu. Namun karena dia pun tidak berbicara dan kami baru saja melalui sebuah taman yang sepi, dia memperhatikanku dengan seksama.

Melihatnya membuatku merasa tidak peduli akan apapun.

“Since I have no motivation at all, should we make one?”

Dia masih memperhatikanku.

“If I don’t receive any punishment for being late forever, what will you give me?”

“What do you want?” balasnya, tertarik.

Your heart, actually. “I want you not to visit me every morning but a breakfast on my desk every morning,”

“Deal,” ucapnya, dengan cepat.

Tidak mungkin aku langsung berterus terang mengenai apa yang kumau darinya. Dia pasti menganggapku hanya sebagai sahabat, dan aku tidak mau kehilangan sahabatku hanya karena memaksakan kehendakku sendiri.

Aku harus menunggu hingga waktu terbaik tiba, atau disaat aku akan merasa bosan dengan perasaan ini.

“Is that easy for you?” jawabku.

“Making you breakfast? You don’t specifically tell me what to prepare, so I can randomly buy any bread and milk, it’s easier than coming to your house,”

“Then why are you still coming to mine?”

“I care you, dude. It will be too boring if I wait you at class instead,”

Tetapi orang ini bukan tipe yang memilih berteman dengan satu orang saja. Dia terkenal di seluruh kelas bahkan angkatan sebagai anak yang ramah. Kenapa harus aku?

Why me?

Pertanyaan tersebut selalu datang ke benakku, tetapi aku sama sekali tidak berani untuk menanyakannya lagi.

Is it wrong that I expect a romance between us, really?


*****



Ketika aku memilih reward ini, aku tahu bahwa semakin sering aku bergantung kepadanya, semakin aku menyukainya.

Kenyataannya, dia tidak selalu membawakanku sarapan yang itu-itu saja. Sering kali, dia menyiapkannya dari rumah dan membuat 2 bekal, satu untukku dan juga untuknya. Pada saat memberikanku bekal, dia sama sekali tidak merasa malu dan malah begitu senang dan mengajakku untuk makan bersama.

Dan kini setiap pagiku selalu dihiasi oleh senyuman sapa serta bekal khusus darinya. Aku tidak tahu bagaimana lagi aku bisa merasa begitu bahagia di pagi hari selain dua hal tersebut. Dan itu terbukti dengan daftar absensiku yang tidak pernah telat sama sekali.

“Yoghurt again, seriously?” aku terkejut saat membuka bekalnya.

Belakangan ini dia terobsesi dengan greek yoghurt. Dan setiap kali aku memakannya, perutku selalu mulas dan bolak balik ke toilet.

“We need a detox, for a clearer mind,” dia berlagak seperti meditasi.

“You’re the dirtiest one here,” balasku.

Dia tertawa. “But isn’t it nice? Waking up early every day,” ujarnya.

“Yeah…” mataku tidak bisa menatapnya jelas. It’s nice since I get to see you earlier every day. “So what is next?”

“Detox, I said,” aku tidak tahu, dia seperti memiliki rencana untuk membimbingku ke hidup sehat.

“Food detox?” aku terkejut karena hal tersebut sangat berat bagi penikmat junk food sepertiku.

Dia mengangguk kencang.

“You’re not that healthy also as I know,” tunjukku.

“That’s why I need a partner,” life partner, you mean? Tetapi aku tidak mungkin membalasnya sama seperti di pikiranku ini.

Aku sangat lemah apalagi perihal keinginannya. Aku mengangguk pelan “Let’s try…”

“After that, we can start a workout every weekend and after school,”

Kalau itu berarti aku akan bertemu dengannya hampir setiap hari dan setiap waktu, mengapa tidak?


*****

“I read from somewhere, once you get healthy, your posture will get better,” ucapnya saat aku meminta istirahat sejenak. 

“Look at you now, fresh and fit,” dia melirikku dari atas hingga ke bawah.

Hidup sehat yang dia gencarkan ini sudah berlangsung hampir 6 bulan tanpa ada sekalipun cheating. Walaupun aku tidak terlalu merasakan perbedaannya dari hari ke hari, tetapi kalau aku melihat ke belakang lebih jauh, tubuhku memang terasa bugar dan bersemangat. Saat memperhatikannya, aku semakin yakin bahwa kami cukup berubah menjadi lebih baik dari segala aspek.

Haruskah kujelaskan lagi kalau kini ketampanannya sudah menjadi sangat maksimal? Walaupun sebelumnya aku tidak terlalu tertarik dengan fisiknya apalagi wajahnya, namun memang dia sudah terlahir tampan.

"What?" tanpa sadar, aku memperhatikannya cukup lama.

"No, you look better than I remember also," jawabku.

Dia tersenyum senang. "Maybe now girls will approach me, huh?"

Yang benar saja. "Dude, girls always come to you, but you refuse them all,"

"Is it?" tanyanya, seperti tidak tahu saja.

Tentu. Aku adalah saksi mata dari semuanya.

"Whatever, I am not interested of them," dia melanjutkan berlari dan aku langsung mengikutinya.

"What does it mean?" Pelan-pelan, Jules, pelan-pelan...
Dia melirikku.

"Which one?"

"You said you're not interested of what?" kubilang pelan-pelan!

"Girls," jawabnya, sangat santai. 

Dari apa yang kuperhatikan, dia tidak tertarik dengan perempuan hanya karena belum menemukan sosok yang tepat. Bukan karena memang preferensinya yang berbeda.

"What kind of girls?" Jules... 

"What do you mean, exactly? I don't get it,"

"All of them?" Jules! Hentikan!

Dia memperhatikanku yang sangat menunggu jawabannya. 

"Why is it important to you?"

"Just curious... Since I am not interested of them also.... yet," jawaban yang cukup aman kurasa.

I am only interested of you.

"Who cares? As long as we have each other, right?" dia merangkulku dengan erat.

"Vic, your sweats!" ketiaknya menempel ke lenganku.

Dia hanya tertawa dan berlari semakin menjauh.


*****


Aku tidak tahu harus menceritakan dari mana.

Suatu hari aku memilih bermalam di rumah Vic. Kedua orangtuanya sedang pergi jauh dan Vic mengajak untuk bermain playstation hingga suntuk. Aku mengiyakan ajakannya tanpa mempersiapkan apapun.

“Lend me some clothes,” pintaku.

“Going to sleep already? Seriously?” Vic tidak terima bahwa aku sudah mengantuk.

“My eyes are tired, dude,”

Dia berjalan malas dan melempar beberapa baju tidur. Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang cukup khas dan belakangan ini kukenali dengan baik.

“I am going to sleep. Turn off the light once you're finished, okay?”

Aku meninggalkannya yang masih bermain playstation. Lampu kamar masih menyala terang saat aku sudah terlelap. Entah mengapa aku begitu lelah dan ingin tertidur. Mungkin efek seharian menatap layar tv membuat mataku sudah ingin terpejam.

Setelah cukup lama tertidur, aku setengah sadar merasa lampu kamar sudah dimatikan dan sepertinya Vic sudah berbaring di sebelahku. Rasa kantuk yang masih belum hilang namun perasaan seperti diperhatikan membuat tidurku kurang pulas. Atau mungkin di rumah Vic memang ada hantu, dan aku sedang diganggu.

Sampai akhirnya aku tiba-tiba saja membuka mata dan melihat wajah Vic tepat diatasku. Matanya terpejam namun dengan pasti terus mendekat. Setelah itu aku menyadari kalau dia menciumku. Ya, bibir kami saling bertemu dan dia baru melepaskannya setelah beberapa detik. Saat dia mengangkat kepalanya, aku memaksa terpejam dan pura-pura tidur.

Aku tidak tahu apakah ini nyata atau tidak. Ataukah tadi aku salah mengenali wajah hantu menjadi wajah Vic. Dan aku membuka mataku lagi untuk memastikan kalau sebenarnya aku hanya bermimpi.

Namun wajah Vic masih berada di depanku, dan kami saling bertatapan kemudian dia berhenti terdiam. Seolah-olah ingin menciumku lagi.

Apakah ini gila? Apakah ini nyata? Kalaupun tidak nyata sekalipun, aku sudah sangat bahagia. Tetapi mimpi ataupun khayalan ini terasa terlalu nyata untuk terjadi.

Kini aku yang mengangkat kepalaku untuk menciumnya. Karena aku ingin memastikan kalau semua ini nyata, dan orang yang di depanku ini bukanlah hantu. Dan benar. Aku akhirnya bisa merasakan sentuhan bibirnya yang selama ini hanya bisa kubayangkan bagaimana rasanya.

Namun setelah itu aku kembali memejamkan mata. Aku terlalu takut untuk mempertanggung jawabkan tindakanku. Aku hanya berharap kalau dia berpikir aku sekedar mengigau.

Tetapi yang pertama kali jelas menjawab semua pertanyaan yang terus menghantui. Bukan aku sendiri rupanya yang melibatkan perasaan terhadap hubungan kami.

Selama ini aku tidak bertepuk sebelah tangan. Dan rasanya lega sekali.

Entah apakah aku tidur semalam dengan nyenyak, tetapi pada saat membuka mata, cahaya matahari terasa begitu terik dan sudah lewat pukul 9.

Vic sama sekali tidak ada di kamarnya dan aku mendapati sebuah memo yang menempel di depan pintu. Tanpa perlu mencari, dia sudah jelas tidak ada di rumahnya.

Run for some errands early. No need to wait for me if you want to go home.
-Vic

Aku mulai merasa seperti kesalahan besar untuk mengungkapkan perasaanku semalam. Terlepas bahwa dia yang melakukannya lebih dahulu, tetapi kini aku yakin dia berusaha menghindar dariku.

Walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa salahku. Toh kenyataannya dia sendiri pun juga menyimpan perasaan yang sama.

Atau mungkin ini sama sekali tidak seperti yang kupikirkan dan yang dia lakukan hanya sebatas iseng?

Namun dipikir berkali-kalipun, aku tidak mungkin bisa mendapatkan penjelasan apapun. Yang bisa kuketahui hanyalah persahabatan kami sudah hancur sejak malam itu. Entah siapa yang menyebabkan ini. Apakah dia, aku, atau kami berdua ikut andil satu sama lain.


*****


“What the fuck?” tanya Annie sebelum duduk di sampingku.

Aku sedang duduk sendirian di taman sambil melamun saat Annie mendatangiku. Enggan rasanya merespon perempuan ini.

“What's wrong with you both?”

Aku melirik Annie. “With who?”

“You and Vic,”

“Nothing,” jawabku malas.

“Come on, I know he's never into Paula and you’re avoiding each other,”

Ya, Vic tiba-tiba saja berpacaran dengan Paula, salah satu senior di sekolah. Sebelumnya bahkan aku tidak tahu mereka pernah dekat, atau tahu kalau Vic sempat tertarik dengan orang itu.

Aku tidak menanggapi Annie.

“Is it because of the rumor?” tanyanya lagi.

“What rumor?”

Aku melirik Annie dan mengalihkan pandangan lagi.

“That you’re such a couple,”

Haruskah aku pura-pura terkejut?

“We're best friends,” jawabku santai.

“But way too close and too intimate,”

Aku tertawa. “So boys can't be close to each other as friends now?”

“Not like what you do,”

Annie adalah salah satu teman sejak kecil yang kukenal. Walaupun kami tidak pernah sangat dekat, tetapi kami sudah saling menyadari satu sama lain di berbagai kesempatan.

Sejenak aku merasa kalau yang kubutuhkan adalah teman untuk berbagi, dan mungkin Annie bisa menjadi pilihan yang tepat. Perempuan ini bukan tipe penyebar bahkan penebar gosip. Yang kulihat darinya sekarang adalah sosok yang ingin peduli.

“The fact that he's dating Paula is such a nonsense,”

“I wronged him but I don't know which one,” aku mulai mengangkat pembicaraan.

“Why don't you ask?”

“He avoids me. How can I ask?”

“Then what to expect? Him telling you out of nowhere?”

Akupun tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.

“Why do you care?” balasku, menyimpang dari topik.

“Vic is becoming a better person since he is close with you and I want it lasts,”

“You like him?” Seharusnya aku tidak perlu terkejut.

Namun anggukan perempuan ini semakin membuatku tidak bisa menahan reaksi. “I once confessed to him and getting rejected. But that didn't stop me to care for him. I like him whenever he's around you,”

“He has never been a faithful friend. He smiled a lot but if you looked it thoroughly, it felt too fake. But with you, he's becoming true to himself,”

Aku tidak tahu hal ini sebelumnya. Malahan aku merasa kalau dia sedang membicarakanku. Akulah yang menjadi sosok lebih baik karenanya. Akulah yang semakin menjadi diriku yang sebenarnya di hadapan orang lain.

Akulah yang sebenarnya sangat menyukai setiap kali kami bersama.

“But now he doesn't want to be around me anymore,” dan itulah kenyataannya.

“The key is being true to yourself,” dia menepuk pundakku dan pergi begitu saja.

Aku terus melamun sambil memikirkan pembicaraan kami. Mungkin memang harus aku yang memulai meluruskan masalah diantara kami.

Setelah pulang sekolah, aku berjalan mengikuti Vic di perjalanan menuju rumahnya. Awalnya dia tidak sadar sama sekali sampai di pertengahan jalan, dia membalikkan badan dan aku berdiri tanpa berusaha untuk bersembunyi.

“Is it because of what happened that night?” Tanyaku langsung.

“Which night?” dia ini pura-pura bodoh atau lupa ingatan?

“Is it because I kissed you?”

Wajahnya nampak panik saat aku mengucapkan itu. Akhirnya ucapan itu keluar juga dari mulutku.

Dia menghampiriku dan berusaha mengajak ngobrol dengan suara yang lebih pelan.

“What kiss?” pembohong. Dia tidak mungkin lupa begitu saja.

“I know you kissed me first. I was awake at that time but was it wrong when I kissed you after that? You did that before even without my consent,”

Matanya tidak mau menatapku sama sekali.

“Do you even like that Paula girl?” tanyaku malah semakin lantang karena tidak ada satupun pertanyaan yang dia jawab. “Or dating her is only an excuse?”

Namun dia semakin memalingkan wajah.

“You are avoiding me. But I don't know why,”

Matanya mulai berusaha menatapku. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa detik karena setelahnya dia kembali berpaling.

“What I did was wrong so I couldn't face you like usual,” akhirnya sosok di depanku ini mengeluarkan suaranya. “It's too disgusting every time I remember it again but what upset me is the reason that made me do it,”

Disgusting, you said...

“We both know that this is wrong,” balasku. “But I don't even care anymore,”

“But I can't,” suaranya keras, dan bergetar. “I am sorry,”

Aku melihatnya dan mengerti bahwa dia tidak ingin semua ini terjadi. Dia tidak mau mengakui perasaannya sendiri dan sebaiknya aku tidak memaksa juga.

“I get it,” balasku. “I am sorry if I annoy you,”

“Jules?” panggilnya saat aku sudah pergi sekitar beberapa langkah.

Aku menolehnya lagi. Mungkin ini kali terakhir kami saling bertatapan.

“I knew from a long time ago about the rumor around us but it never bothered me. I only wanted you to know that my intention was never bad towards you, it's only because I am not ready for such thing…”

Aku tersenyum kepadanya, “I never thought that I was gay also, at least not until I met you,”

Aku pergi, menahan semua perasaan yang membludak dan sambil berjalan, aku mencoba melupakan ini semua. Seharusnya tidak ada yang kurang jelas lagi.

Semuanya salah. Aku. Dia. Perasaan ini. Sudah saatnya aku menghentikan semua ini.


*****


Aku sedang membawakan minuman untuk Annie saat seseorang menabrakkan dirinya kepadaku selagi berjalan keluar Mall.

Vic. Seperti sudah terlalu lama aku tidak melihatnya sedekat ini. Di sekolahpun, kami sudah tidak pernah bertegur sapa lagi. Ditambah dia kini menjadi tim inti futsal sehingga di setiap waktu senggang dia selalu pergi keluar untuk bermain.

Lucu sekali saat sadar kami masih satu kelas namun hampir tidak pernah aku memperhatikannya lagi. Memang karena aku terlalu fokus untuk mengabaikan perasaan ini.

“I saw Annie outside,” aku tidak menyangka dia mengajakku berbicara.

“Yeah, I am going to her,” jawabku sambil mengangkat salah satu minuman yang dipesan perempuan itu.

Dia mengangguk-angguk, sedangkan aku merasa tidak perlu memperpanjang pembicaraan kami lagi, jadi aku melangkah lagi tanpa berkata apapun.

“Jules,” orang ini suka sekali menahan langkahku.

Aku membalikkan badan dan menunggu apa yang mau dikatakannya. “Are you meeting with Paula?” aku memilih untuk memotong saat dia cukup lama berpikir untuk membicarakan sesuatu.

“Hmm? Sort of…”

“Good, bye then,” es di minuman Annie sudah hampir meleleh semua dan aku tidak mau disalahkan oleh nenek lampir itu.

“I noticed you're close with Annie now,” tambahnya saat aku sudah beberapa langkah menjauh, namun suaranya masih terdengar.

“I knew her long times ago. It just happened that we share some similarities,” ya, sama-sama patah hati karenamu, maksudku.

Dia tersenyum. “It's good seeing you now,” aku tidak mengerti maksudnya. Apakah karena pertemuan ini?

Apa yang dia lihat dariku sekarang?

“Annie hates if the ice cube is all melted, I must go, bye,” sepertinya aku terlalu menunjukkan bahwa aku sangat menjauhinya sekarang.

Annie duduk di depan taman yang berada di sebelah Mall. Dia melihatku dan mengamati minumannya, dan langsung tersenyum. Perempuan ini, tidak pernah aku sedekat ini selama bertahun-tahun mengenalnya. 

Hanya karena dia yang bisa mengerti kondisiku, dan dia mau berbagi keluhan denganku, akhirnya kami mulai dekat. Tapi sangat jarang kami membicarakan Vic dan lebih mengalihkan perhatian ke fokus lain. Kecuali kali ini.

“I met Vic,” ucapku dan Annie membulatkan matanya.

“With who?” tanyanya.

“He's meeting with Paula,”

“Are you sure? Did you see the girl?”

Aku meliriknya, “No but I asked him, why?”

“They broke up months ago. Their relationship was also not good, I did not think he’s seeing her,”

Ah, sudah berapa lama aku tidak mengikuti perkembangannya?

“Maybe he's meeting with anyone, I don't know, he even did not care to correct me,” jawabku. Setiap kali membahasnya, aku mulai mati rasa. Tidak tahu apa yang kurasakan, apakah kekesalan, kerinduan, atau memang karena terlalu pasrah. “But he said he saw you,”

“So what did you feel just now?”

Annie bertanya langsung ke intinya. “I was terrified. I felt like being humiliated by his stare. I really hated exposed myself to him now,”

“Well… Well… Did you still love him?”

Always. Tapi tentu saja aku tidak menjawabnya.

“It's funny to know that we shared such a feeling towards one bastard,” Annie tiba-tiba tertawa. “And talked about him like this, this is such a new,”

Aku ikut tersenyum dan mulai tertawa. Seolah lupa kalau adrenalinku bekerja keras sewaktu bertemu dengan Vic tadi.

“But we kissed, so I am one step forward from you,”

Annie mencengkeram bahuku. Aku lupa kalau dia tidak pernah kuceritakan tentang itu.

“You both kissed, or you kissed him? Those are two different terms,”

“Both. Did it twice,” entah mengapa saat mengenangnya, aku merasakan konyol dan melihat reaksi Annie aku semakin histeris dan tidak bisa menahan geli.

“Did it mean that he had some feelings for you also?”

“Maybe, or maybe not. I did not understand also,”

“So… how was it? The kiss,”

Aku melirik Annie yang tidak sabar menunggu ceritaku. Saat mengingatnya, aku menjadi terngiang perasaan lama itu.

“It's dark, but deep. It felt like a horror movie but with a low suspense, it just happened when no one expected it ever,”

“What a poet,”


*****


Aku tidak menyangka bertemu dengan Vic lagi di suatu pagi di hari Minggu saat jogging. Di trek yang biasa kulalui di sekitar komplek, orang itu berdiri di depanku dengan baju olahraganya dan handuk di bahu. Namun aneh mengetahui dia memilih jogging disini karena daerah ini terlalu jauh baginya.

Tetapi, ini adalah tempat yang biasa kami lalui saat dahulu dia terobsesi dengan hidup sehat dan mengajakku jogging setiap hari libur. 

“Still keep a healthy life?” tanyanya.

A healthy life for a clearer mind, katamu. Dan aku sangat butuh energi positif dan pandangan positif di kehidupanku.

“It's already a habit,”

“What a good habit,” balasnya.

My bad habit is only you. “What are you doing here? Does Paula lives here?” walaupun aku sudah tahu, aku hanya berusaha mengalihkan perhatian.

“I broke up with her,” akhirnya dia mengklarifikasinya.

“So… new girl?”

“No, no girl, no one I know lives here but you,” apa ini? Apa maksudnya? Apakah dia sengaja bertemu denganku?

Aku tidak membalasnya sama sekali dan hanya menunggu apa yang mau dia bicarakan.

“I just want to ask… Which university are you going to?”

“Kale Uni, why?”

“What major?”

“Civil engineering,”

“So tough,” responnya.

“What about you? What do you ask?”

Dia hanya tersenyum. Senyuman yang sudah 2 tahun lamanya tidak kulihat. Senyuman yang setiap pagi kudapatkan saat dia datang kepadaku atau menyapaku di kelas.

“Same,”

Apa maksudnya? Apakah dia juga memilih universitas yang sama? Dengan jurusan yang sama pula?

“Same Uni? Same major? Same what?”

“Same with you, both uni and major,”

Aku mengerutkan dahi. Betul-betul tidak mengerti. Bukankah selama ini dengan sangat jelas kami menghindar satu sama lain, dan sekarang dia datang menghampiriku dan berkata bahwa dia mengikutiku, atau memang semuanya serba kebetulan saja kalau kami akan bertemu kembali?

“Look, Jules, I just realized that I have nothing to do that excites me unless I am with you. I don't even know what will I be in future, what is my aspiration or what should I reach for next. But when I looked back, I achieved more whenever I was with you. I had many things to do in my mind beside you. It was not until months ago I realized that you are my aspiration. I need a partner, and it's you. And all I want to do is being with you,”

“I screamed at myself knowing that you want to approach civil engineering which I never be good at. Then I studied hard to pass and also learned that your choice was not that bad. I achieved one more thing because of you, Jules. I passed the bar that you set too high for me, I passed the exam,”

“I don't get it. Why did you do it?”

“Because I want to be with you," ucapannya kali ini sama sekali tidak masuk akal. "Listen, I came here gathering all of my courages to see you. I just called Annie to ask about your relationship. I thought you two were dating and I was afraid that I would not have any chance,"

"Hold on, why do you think that we're dating?"

"I notice you everytime at school. You are always with her, inseparable. I hate to see that,"

Ha ha. Andai saja Annie ada disini. Annie, Vic is jealous with you.

"After Annie clarified your relationship, I was never too excited like now so I came to you this early," ucapnya. "Jules, focus on me. I said I want to be with you, are you okay with that?"

"Now you asked me? You were the one who said that you were not ready,"

"That's the old, foolish me. I was enough to think of others. I don't care anymore as long as I have you,"

"Wow, so gay," aku meledeknya.

Dia mulai tertawa. "I wasn't. At least not until I met you," dia mengulangi ucapanku, kan?

"But seriously, civil engineering is not for you," Vic yang kutahu tidak pernah bersahabat baik dengan angka apalagi fisika. Kalau aku bisa mendeskripsikannya, he is more athletic person than academic one.

"Then what about you? I never hear the reason,"


"Parents, but I agreed since I don't know what to choose also,"

"Right, we should not be worried for such things, for me as long as I have a goal together with you, it is okay. Besides, I already have something in mind for us,"

"What is it?"

"Start a construction business together and live happily ever after, then I'll have such a loving both business and life partner,"

"Fuck you,"

"Would love to," jawabannya membuatku tidak bisa menahan tawa.

"Super gay," balasku. 

Apakah ini artinya aku kembali mendapatkan sosok Jules yang sudah terlalu lama kurindukan?

Apakah ini artinya pilihan apapun yang akan kami ambil, sesulit apapun, aku akan berjuang bersamanya?


*****



Extra-1.

"You won't believe what happened,"

"Urgh. Vic just called me in the morning. Come on, don't think I can't imagine what happen next,"

Annie terdengar tidak bersemangat di telepon.

"You're right," akupun lupa dengan pernyataan Vic.

"But... I want to hear what actually happened," balas Annie.

"Prepare your heart since I am now totally will break it,"

"Whose heart? Who are you talking to?" tiba-tiba saja Vic menghampiriku.

"You're with him now?" tanya Annie.

Aku mengangguk dengan bodohnya walaupun tahu kami sedang menelepon.

"Okay, I get it, but can I be around whenever you're dating? I'd love to watch such a couple,"

"Vic, Annie is asking to come with us when we're dating," aku berbicara dengan Vic yang sudah duduk di sebelahku.

"Go to hell," suaranya cukup kencang dan aku yakin Annie juga mendengarnya.

Tiba-tiba saja Vic menarik ponselku dan berbicara dengan Annie.

"Don't talk to him again since he is mine now," ucap Vic.

Sepertinya pipiku memerah dan aku tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Ekspresiku tidak bisa terkontrol, apalagi dengan hatiku.

"She liked you though," aku tertawa sambil berbicara kepada Vic. "Remember when I said that she and I shared some similarities? Well, it's about broken-hearted by you,"

"Jules," aku mengaktifkan mode speaker. "I am her cousin," Annie tertawa keras. Bahkan Vic juga terlihat bingung, sama sepertiku. "I lied to you that I liked him and confessed to him. It's just that I like it very much seeing you together so I thought that I should intervene,"

Ini menjawab bagaimana Annie cukup tahu beberapa hal tentang Vic walaupun di sekolah mereka sama sekali tidak dekat. Dan juga bagaimana Vic bisa tahu nomor Annie begitu saja. Kupikir memang sebelumnya mereka pernah dekat dan setelah penolakan itu, mereka menjauh satu sama lain.

"Now, since I may have some credits for your happiness, can I join the club?" Annie tertawa.

*****