Friday 20 December 2019

[Continuous] Ceaseless Flame Part 1

"Well I was afraid, once," jawab seseorang di hadapanku, sambil menggenggam gelas di tangan kanannya.

Aku memperhatikan orang ini, apakah masih sadar atau tidak. Matanya sudah tidak fokus, namun gerakannya tetap tegas. Someone like him, to be afraid and admit it? Am I hallucinating?

"A thought just came to my mind, and I suddenly was afraid imagining you wouldn't come back," ucapnya, sambil menatapku, dalam-dalam.

Aku memilih mengarahkan mataku ke kanan dan kiri, mencari topik lain untuk dibahas.

"I was wondering, even after waiting for 20 years, what if I still couldn't find you,"

"Well, but I am here now," jawabku, tersenyum.

Dia mengangguk. "Right. That's the most important. You're here,"

Dia menuangkan gelasnya kembali. Aku sudah tidak menghitung gelas keberapa kali ini. Tetapi postur dan gerakannya masih belum bergeming sama sekali. Kalau saja dia sudah hilang kesadaran, apa yang harus aku lakukan? Membawanya pulang? Bagaimana mungkin?

Saat aku bangkit ke toilet, dia menggenggam tanganku dengan sangat kencang. "I am just going to toilet, it's not like I will leave you again,"

Orang ini, aku yakin dia sudah terlalu mabuk dan hilang kesadaran. Airmata jatuh ke pipinya yang sudah memerah. Hanya tetesan demi tetesan, namun selain matanya, ekspresinya begitu datar yang membuatku kebingungan.

Aku melepas tangannya, dan dia tidak melawan.

Aku baru bisa menghela napasku setelah masuk ke dalam toilet. Sesuatu di dalam diriku, rasanya terbakar dan membuat jantungku berpacu. Aku bisa merasakan tubuhku merinding bukan main.

Untuk bertemu dengan orang itu, setelah sekian lama...

Aku membasuh wajahku dan berharap bahwa kesadaranku kembali.

Di saat aku kembali ke meja, dia sudah menatapku dari kejauhan. Seolah-olah begitu takut aku benar-benar akan menghilang lagi. Aku duduk di depannya dan dia terus-terusan menatap kemanapun aku bergerak.

Aku melambaikan tangan ke arahnya, namun tidak bisa mengenali apakah dia sudah benar-benar mabuk atau setengah sadar.

"You're drunk already, let's go home,"

"Whose home?" tanyanya.

Aku memperhatikannya. "Let me get you a cab," aku menarik tangannya. Yang mengejutkan, dia masih bisa menggunakan tenaganya sendiri untuk berdiri dan berjalan. Hanya saja langkahnya sudah sempoyongan dan tidak bisa berjalan lurus.

Aku berdiri di sebelahnya, menuntun orang ini sampai keluar pintu. Aku meminta seorang pelayan untuk memesankan taxi. Saat sang pelayan menanyakan berapa taxi, dengan cepat seseorang menjawabnya, "One please," tentu saja siapa lagi kalau bukan yang berdiri di sebelahku.

Aku meliriknya, namun terlalu enggan berdebat sehingga aku mengikuti kemauannya.

Kami berdua duduk di bangku pinggir jalan, menunggu taxi datang. Dia, yang entah memang mabuk atau masih sadar, menggenggam sambil memainkan tanganku seperti anak kecil. Seolah dia tidak bisa menahan kesenangannya saat melihatku lagi.

"Don't you feel dissappointed, seeing me like this?" tanyaku.

"Seeing you alive is already a big luck to me. It is just that you are now looking mature and calm, I love it,"

"I am married, now," dia seharusnya sudah tahu ada cincin di jariku sejak dia terus menggenggamnya. Ekspresiku datar, tidak tahu apa yang kurasakan pula sekarang.

Dia tersenyum masih dengan pipinya yang memerah. Aku ingat sejak dahulu dia terlahir dengan kulit putihnya, sehingga saat mabuk seperti ini, warna kemerahan di pipinya terlalu mencolok.

Dia seakan tidak mendengarku dan masih tetap bermain-main dengan tanganku. Sesekali dia menyusupkan jarinya ke jariku, terkadang menggenggam kencang-kencang tanganku dan setelah itu dia menepuk-nepukkan tanganku ke pahanya.

"I said that I am married," aku melepas tanganku yang terus dipegangnya sambil menunjukkan cincin yang kupakai tepat di depan matanya.

"So what?" Balasnya. Dia menatapku tanpa ada ekspresi sama sekali. "You rejected me before. You said you didn't love me and told me to go away. I did what you wanted. But it was only making me suffocated for 20 years. I only want to do what I always want to. Can't I see you even though you're married?"

"You can't," jawabku tegas.

"Can't I cherish you with all my love that I have?"

"You can't," balasku lagi, masih dengan nada tegas. Walaupun, apa yang kurasakan berbanding terbalik dengan apa yang kutunjukkan.

"Can't we meet each other, even just as friends?"

Aku meliriknya. Friends do not fall in love with each other.

"You can't. Moreover, I will be back in 2 weeks,"

"Where to?"

Aku meliriknya lagi. Matanya setengah terpejam setengah terbangun. Lagipula aku tidak menyangka setelah 2 minggu kembali ke tempat asalku, aku bertemu dengan orang ini.

"A small city," jawabku.

"Where?" Dia memaksa.

"I don't want to tell you,"

"So this is true. You hide yourself from me. I wonder why is it so hard to find you everywhere," jawabnya. "I looked for every name in every magazine, hoping that I might know where you worked. But I found nothing. I searched everywhere to look for you. I thought you lived abroad,"

Aku tertawa. He thinks too highly of me.




"I didn't work for any magazine. Just a local company," balasku.

"Which one?"

"What's the use of hiding it from you all these times if I tell you myself now?"

Dia melihatku. Dan taxi kami datang. Kami sama-sama duduk di belakang, dan dia terus menyandarkan dirinya kepadaku. Yang kutahu, dia berusaha keras untuk menegakkan kepalanya supaya dia bisa terus memperhatikanku.

"M Hotel, please," ucapku.

Di sepanjang jalan kami terus diam, dan saat kupikir dia sudah tertidur, aku meliriknya. Nyatanya dia masih memperhatikanku sejak tadi.

"Something wrong in my face?"

"I missed you a lot," jawabnya.

Aku tertawa kecil. "How is Dana?" Tanyaku.

Karena dia tidak menjawab, dan begitu lama dia diam, aku menoleh ke arahnya. Dia seolah membatu, mungkin terkejut saat aku mengucapkan nama itu.

"She's fine," balasnya.

Aku sejak tadi memperhatikan bahwa dia tidak memakai cincin di jarinya. Aku begitu ingin bertanya kepadanya, apa yang terjadi, namun yang keluar dari mulutku hanyalah nama itu, nama sahabatku, dahulu.

"You took a good care of her?"

"I suppose," jawabnya, terdengar ragu.

"Good," balasku, sedikit lega. "My marriage life is such a blessing also. I live in a such a small city, quite far from here. He is a local doctor, a famous one. Do you want to see what he's like?"

"No," elaknya, yang membuatku terkejut.

Aku baru saja ingin mengeluarkan ponselku untuk membuka galeri. Dengan penolakannya itu, aku terpaksa memasukkan ponselku kembali ke saku.

"I want to see how's Dana doing,"

"I don't want to talk about her," elaknya lagi.

Aku melempar pandanganku keluar jendela. Mencari topik pembicaraan untuk memecah hening tidak pernah sesulit ini.

Saat aku keluar dari taxi, aku menyadari kalau dia ikut turun pula.

"I am staying here with my co-worker," ucapku memperingatkannya.

"Well I just decided to stay here also," dia berjalan menuju front office dan mendapatkan kunci kamar.

Aku berusaha mengabaikannya.

"Guess which room I had," dia menunjukkan sebuah room tag yang dipegangnya. 507. Persis disebelahku, 509.

Saat aku mengerutkan dahi, sesuatu terlintas ke pikiranku.

"Glad to know you're staying in one of my hotels," ucapnya girang. Sepertinya tingkat kesadarannya sudah meningkat seiring dengan cara berjalannya yang tidak sempoyongan lagi.

Aku benar-benar tidak sadar dan terpikirkan kalau hotel ini salah satu miliknya!

Dan disaat itu pula, aku menyadari dan menjadi ingat betul alasan kami tidak mungkin bersama.

He and I are in such a different level.

Kami menaiki lift dan aku langsung meliriknya, "You don't bring any cloth to change,"

Dia hanya tertawa. Oh, bodoh. Aku berkali-kali harus mengingatkan kalau orang ini bukanlah orang biasa. Apa sulitnya menyuruh seseorang membawakan beberapa pakaian ke kamarnya, atau mungkin, membelikannya pakaian baru?

"Do you think Dana won't look for you?"

Mendengar nama Dana membuat dahinya berkerut lagi. "Why is it always her?"

"She's your wife, isn't it?"

Mungkin kalau pintu lift tidak terbuka, aku merasa dia akan meluapkan kekesalannya saat menjawabku. Kamar kami benar-benar bersebelahan. Saat aku hendak masuk ke kamarku, dia menarik bahuku.

"Your coworker must be asleep already. You shouldn't disturb her. Why don't you come to mine instead?" tanyanya.

"Get off of me," aku melepas tangannya. 

"We need to talk,"

"When you're sober enough," balasku sambil masuk ke kamar.

Tentu saja, rekan kerjaku sudah tertidur pulas di kasurnya. Aku melihat pukul berapa sekarang. 00.20 AM, whew. Pantas saja aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Terlebih lagi, setelah bertemu dengan orang itu.

Arthur Maier, setelah 20 tahun lamanya, nama itu kembali bergema...

*****

"You know it yourself what I feel to her," jawabnya kemudian mengunyah makanan di depannya.

Entahlah, kini setiap hari dia selalu menghabiskan waktu denganku. Rencananya, aku memang akan bermalam selama seminggu di hotel yang sama karena jadwal trainingku berada di aula hotel ini. Kemudian, seminggu setelahnya aku akan mengambil cuti untuk bertemu dengan keluarga serta teman lamaku disini.

Aku baru saja menanyakan apakah Dana tidak akan menanyakan kemana saja dia selama 3 hari belakangan ini. Sudah 3 hari dia bermalam di hotel yang sama. Dan setiap sore, tepat setelah sesi training berakhir, dia sudah menungguku di depan aula. Kemudian kami akan pergi untuk mencari makan malam. Dan terus berbincang-bincang, mengenai apapun. Rasanya malam berlalu begitu cepat hingga hampir tengah malam kami baru sampai ke kamar masing-masing.

"Moreover, our married life is purely business related. I think she may have another man,"

Aku hampir tersedak saat mendengar bagaimana tenangnya dia. "And you're okay with that?" Tanyaku, tidak percaya.

"Why? She knows I can't give what she wants, so I am okay if she finds it from another man,"

What kind of 'it' that he means, actually?

Tetapi Dana yang kutahu, sangat mencintai Arthur. Agak sulit membayangkan dia dekat dengan pria lain selagi membawa status sebagai istri seseorang. Tetapi membayangkan hidup dengan seseorang yang tidak membalas perasaanmu... Kupikir lebih menyakitkan lagi.

"I've told you many times before, she loves you very much,"

Dia mendekatkan dirinya ke padaku. "And I also answered to you many times also, I don't care of it. I only care you,"

Aku berusaha lebih fokus pada makanan di depanku untuk menyamarkan apa yang baru saja kurasakan. Setiap kali dia mencoba menggodaku, sepertinya respon diriku ini begitu tidak terkontrol.

Aku hanya bisa tertawa. "So if she walks by this restaurant and find us like now, you will still choose me over her?"

"With no doubt," jawabnya dengan tenang lalu meneguk segelas wine. Kuperhatikan, dia begitu menyukai Cabernet Sauvignon. Setiap malam, dia selalu memesan wine tersebut, kecuali di malam pertama kami bertemu.

"It will be such an unpleasing to watch. I don't even dare to think about it," di sisi lain, aku sadar kalau yang kami lakukan beberapa hari inipun juga memancing kejadian itu datang. Namun, sialnya tidak ada satupun dari kami yang ingin ini untuk berhenti.

Hanya beberapa malam lagi untuk membahas trivia kehidupan kami selama ini, apakah begitu salah? Lagipula, kupikir saat ini kami hanya berhubungan sebatas teman lama saja. Apakah teman tidak boleh saling bertemu?

"I told you to treat her well, she's my best friend after all. If I wasn't her friend, we wouldn't meet each other,"

"You're wrong," elaknya dengan cepat. "I would always find you and recognize you in every chance. I would let myself falling in love like I used to. Our history would be much better without her,"

"Liar. You didn't even recognize me the first time we met," jawabku sambil menertawakan masa lalu. Ah, masa itu. Aku yakin dia tidak akan mengingatnya sama sekali.

"What did you say?"

"Dana was the one who let you 'saw' me. If it weren't because of her, you wouldn't even know that I exist," aku memutar gelas wine yang isinya sudah hampir habis. "I visited your office during your interview with E-Biz magazine. I was still an assistant back then, I even gave you the script and everything. But not once you ever saw me,"

Arthur terdiam.

"I thought you forgot me back then. When we were in Fiji Island, you said you didn't know me,"

Kini aku yang terdiam.

"That's not the first time we met. I often saw you waiting for Amy at our office and since she also put your photos together in her desk, I always recognized you. I accepted E-Biz interview in one condition, that you would come as one of staff also. But I was too afraid to talk to you. There were so many people. I just hoped that Amy introduced me to you. But she never did. I guessed it's all mine to blame. If only I had the courage to talk to you first, we wouldn't be like this,"

Aku tidak tahu cerita ini sebelumnya.

Amy adalah salah satu teman baikku. Semenjak interview itu, aku baru tahu kalau Amy adalah sekretarisnya. Kali kedua aku bertemu di Fiji Island, aku terkejut saat bertemu dengan bos temanku ini.

Sejenak, saat membahas Fiji Island, aku teringat akan pertemuan kami saat itu. Awal dari segala drama yang pernah terjadi di kehidupanku.

Tetapi membahas memori itu hanya akan membuat perasaanku tidak pernah berpaling, bukan?

"I lied when I told you that I didn't know you. Come on, I worked in a business magazine, and to not recognize the Maier heir? Moreover, I always listened to Amy complaining about you being a crazy workaholic," aku samar-samar mulai mengingat masa-masa itu. Sejenak, aku sempat melempar senyum dan tawa kecil.

"Where is she now?" Tanyanya.

"I think she still lives around here, somewhere," Amy adalah sekretaris kesayangan Arthur. Namun pilihannya untuk resign, selain karena banyak hal, Amy pun tahu apa yang terjadi kepada kami. Dia memilih untuk berada di pihakku, sehingga keputusannya sudah sangat bulat saat itu. Bersahabat denganku baginya berarti memutuskan kontak dengan seseorang yang kuhindari juga.

Meskipun aku merasa bersalah dengannya, tetapi aku sangat senang. Pasti sulit baginya untuk tidak membahas bosnya disaat bersamaku. Dan di sisi lain dia memang sudah begitu ingin pergi dari perusahaan tersebut.

"Arthur," panggilku. Aku menekankan bahwa pembicaraan kami kali ini akan berlangsung serius. "You can't choose me over Dana. What would happen with your marriage? Your business? Maier's business is at its peak now, as I know,"

"How boring, let's talk more about us than others, can't we?"

"This is serious. I am being serious right now. I agreed to be here considering you as an old friend,"
.
"Well, I don't want it. I want us to be more than friends,"

"That's wrong. We both know we are just forcing ourselves. Nothing worked for us,"

"I don't even care anymore if it's forced, even if destiny won't let us," matanya semakin serius dan penuh tekad.

"Don't make things hard for us, Arthur,"

Dia bangkit dari tempatnya dan melangkah menuju kasir. "Let's go back,"

Selalu seperti ini. Saat perdebatan yang selalu menyudutkan kami seperti ini, dia tidak pernah ingin menyelesaikannya.

Saat sampai di depan pintu kamar, dia berkata, "You'll check out tomorrow? You can stay at my room from tomorrow,"

"Don't be ridiculous!" Geramku. Walaupun seluruh rekan kerjaku sudah pulang semua, aku tidak bisa membiarkan diriku terperangkap ke situasi seperti itu. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku sempat terbesit untuk mengiyakan saja.

*****

Saat selesai sarapan dan mengantar semua rekan kerjaku sampai ke lobby, Arthur sudah memperhatikanku sejak awal tanpa berbicara apapun. Wajahnya nampak kelam dan menyembunyikan sesuatu.

Dia tidak berbicara ataupun memanggilku. Dia memastikan jarak kami cukup berjauhan namun terus mengikutiku dari lift sampai ke depan pintu kamar.

"My room, now," ucapnya.

"What for?"

"No? Then your room it is,"

Dia langsung menarik kartu dari tanganku dan membuka pintu kamarku. Dengan paksa, dia menarikku ke kamar. Aku terkejut bukan main sampai tidak bisa berpikir sama sekali.

"Tell me the truth,"

"What truth?"

"That thing, why did you still wear it?"

Dia menunjuk cincinku. "What's wrong with this?"

"He's dead already, I know it. You're nobody's wife!" Dari ekspresinya, aku bisa melihat perasaan senang namun kesal sekaligus.

"How did you...?"

"You're staying at my hotel, I know where you work, how can't I know everything about you now?

Aku tidak bisa menutupi apapun. Mungkin dia pun sudah tahu alamatku pula. Dengan kenyataan ini, apa yang bisa membuatku lari darinya sekarang?

"Why did you lie? Why did you hide this to me? If I knew it earlier, we can... We can..."

"Ellin," panggilnya sambil menyentuh bahuku. Sial, dia mungkin bisa merasakan bahwa aku gemetaran. Aku begitu takut terekspos seperti ini.

Dia mengecup keningku, disaat aku lengah. Aku semakin terkejut namun rasa takut itu tiba-tiba menghilang.

"What are you afraid of, Ellin?" Suaranya begitu lembut sampai membuat airmataku tiba-tiba mengalir.

Banyak hal. Aku memang mencintai almarhum suamiku. Walaupun kehidupan rumah tangga kami tidak dikaruniai anak, tapi dia selalu mencintaiku dengan sepenuh hati. Kehidupanku benar-benar bahagia saat itu. Walaupun di sisi lain, selama 20 tahun ini, aku merasa bahagia yang dia berikan saja tidak cukup. Tidak pernah ada sesuatu yang bisa membuatku melupakan Arthur.

Setiap kali pikiranku lengah, aku selalu membayangkan apa yang terjadi kalau saat itu aku memilih untuk bersama dengannya. Bagaimana kehidupanku di pilihan yang berbeda itu. Apakah pada akhirnya aku menemukan kebahagiaan yang selama ini kudambakan, ataukah perjuangan kami masih terus panjang. Apakah akan banyak airmata dan aku mulai menyadari kalau semua ini salah.

Bahkan selama setahun kepergiannya, aku selalu mencoba melupakan angan-angan untuk bertemu dengan Arthur.

"I am still that coward girl that refused to fight with you, even after these 20 years,"

"You have me, let's fight this together,"

Logikaku masih bertahan. "No, I will be the one who suffer. I will be the one to be blamed by everyone. This is all wrong, nothing is going right for us,"

"But I believe this is destined. Look, we met after all, after these past years,"

"Please don't make things hard for me,"

"Ellin," dia melingkarkan tubuhnya kepadaku sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. "I know you still love me. And I always love you too. I am done living up to everyone's expectation and we are too old not to think of ourselves more,"

Aku bisa merasakan detakan jantungnya yang begitu tenang saat memelukku, jauh berbeda denganku yang tidak karuan ini. Dia selalu begitu, pembawaannya selalu tenang di saat apapun. Dan dibalik itu, dia membuatku merasa bahwa mungkin ada jalan bagi kami.

Saat aku merasa lebih tenang, dia akhirnya melepas pelukanku dan menatapku dalam-dalam.

"I will let you stay here for a while. What is your plan here?"

"I promised to meet Amy tomorrow,"

Dia mengangguk-angguk. "Okay, good. I have something to take care of first and let's meet after that,"

Aku mengangguk. Tiba-tiba saja dia mengecup pipiku saat aku lengah. "I love you," aku kebingungan saat dia berkata hal itu. "I will never let you go again and please don't leave me ever,"

"That night, why didn't you ask me what was happened?" Aku melihat dia mengerti maksudku. Disaat aku memilih untuk menghilang dan mengucapkan salam terakhirku kepadanya.

Dia tidak tersenyum bahkan berekspresi apapun. "You already decided to leave. I didn't dare to ask more,"

"I met your father. He was such a considerate person, to think of it now, he looked more like you. He said that being a conglomerate was meant to set aside your personal things for greater good. Thousands of families were relied on your family. Love was a weakness for people like you and him. You would somehow realize it and when the time came, everything was too late and I would be left out with nothing,"

 Dia tiba-tiba tertawa. "No we're different but he was somehow right actually. You are my weakness. But I've been thinking a lot about this. I already became a person he wanted to be all my life, now it's time for me to live as I want. I need to settle this soon,"

Dia mengecup dahiku kali ini. Mungkin saat melihat raut wajahku, dia melihat sebuah kejanggalan.

"Tell me what you are thinking,"

Aku baru menatapnya. "I don't know if this is right..."

"Ellin, I know this will be very tough. But you have me. I will never make the same mistake again," jawabnya.

"You never did anything wrong before," balasku, mencoba mencari tahu yang mana yang dia maksud.

"No, I regretted not to hold your hand back then," tambahnya. "If only I was sure to choose you over anything else, you wouldn't leave,"

Mungkin dia benar. Atau mungkin juga tidak. Semua ini seharusnya bukan salah siapapun. Dan aku tidak mau menyalahkan siapapun karena aku sendiri tidak tahu apakah ada yang disesalkan.

Mungkin yang bisa kupastikan hanyalah, aku memang menyukainya sejak dulu sampai pertemuan kami sekarang. Dan selama ini aku hanya mengabaikan diri sendiri sampai tidak mengakui betapa aku merindukannya.

*****

Aku begitu terkejut saat Amy sudah duduk di sebuah meja di kafe yang kami sepakati sebelumnya, bersama dengan Dana di sebelahnya.

Pikiranku sudah melayang kemana-mana mencari tahu bagaimana bisa Dana datang kesini.

"Did you hide yourself from me? Why didn't you invite me also?"

Aku, Amy, dan Dana? Kami bukanlah tiga serangkai seperti itu. Aku dan Dana saling kenal sejak SMA, namun dengan Amy aku lebih mengenalnya jauh sejak SMP. Amy dan Dana pun saling kenal melalui aku. Dan kami jarang sekali pergi bersama-sama. Aku tidak tahu apakah selama ini Amy dekat dengan Dana, namun dia juga tidak pernah memberitahuku.

"She worked at my dad's company now, didn't she tell you before?"

Aku tidak tahu, atau mungkin Amy pun baru tahu belakangan ini?

"But she resisted to come here, to see you, I didn't tell her anything," cegat Amy.

"I met her just now and told me she was going to meet you! Why couldn't I join? Are you purposely hiding from me?"

"No, I intended to contact you but I forgot that I lost my phone. I only knew Amy's number," balasku. Pembohong, aku memang menghindar darinya. Walaupun aku tidak bertemu dengan Arthur sebelumnya, aku terlalu takut untuk bertemu dengannya sambil membawa suaminya itu.

"Since when did you come here?" Nadanya berubah dan membuat bulu kudukku merinding.

Di pikiranku, dia sedang berspekulasi kemana perginya Arthur dengan kedatanganku kembali.

"Yesterday," balasku, dengan penuh kebohongan.

Dana hanya mengangguk-angguk. "I see,"

"Until when?" Tanya Amy. Kini perhatianku teralih ke Amy lagi.

"Why? Fear to miss me already?" Godaku dan Amy mengangguk.

"Of course! Please stay here forever," Amy masih seperti dirinya dahulu, tidak bisa menahan jiwa kekanakannya.

Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Kami kemudian membicarakan banyak hal, mulai dari keluarga Amy dengan anak kembarnya, kehidupan pernikahannya, dan sampailah pada saat aku harus menceritakan tentang kehidupanku semenjak pindah. Dan mereka berdua, Amy dan Dana tidak bisa menahan ekspresi terkejut saat tahu kalau suamiku telah meninggal.

"Don't mind it, it's been a year now," aku tidak melepaskan nada ceriaku. Well, akupun juga sudah lepas dari masa kesedihan itu.

"Then? How is it now?" Tanya Dana.

Kalau bisa kujelaskan bagaimana sosok Dana, dia memang berbeda denganku apalagi Amy. Sebagai anak yang terlahir kaya dan konglomerat ditambah anak tunggal, sejak dahulu Dana memang tidak pintar bergaul dan membawa diri. Walaupun dia memiliki paras cantik luar biasa, tetapi raut senyumnya sangat sulit ditemukan. Aku sendiri sudah terbiasa dengan kepribadiannya ini, karena dia tipe yang tidak menyembunyikan perasaannya dan apapun yang dia pikirkan.

"I don't know... Just keep on living..." Sulit untuk tersenyum rasanya, dan akupun tidak berusaha untuk melakukannya.

"My husband, he didn't come home for days," Dana mulai berbicara. Mungkin dia merasa sekarang adalah waktu untuk melampiaskan keluhan hidup? Atau memang dia ingin memancingku untuk berbicara?

"You mean, Arthur?" Tanya Amy menyebut nama mantan bosnya sendiri.

Dana mengangguk. "His secretary also didn't know where he is. It mustn't be business related,"

Aku hanya terus diam sambil memperhatikan ekspresinya. Dia sama sekali tidak melirikku saat curhat. "Then what do you think?" Amy nampak penasaran.

Dana menatap Amy, "Where do you think he is now?" Dana pun tahu kalau Amy adalah mantan sekretarisnya. Aku tidak yakin apakah Amy datang ke pernikahan mereka, mengingat Arthur sangat sayang kepada mantan sekretarisnya itu.

"Can you contact him?" Tanya Amy.

Dana tertawa sebelum membalasnya, "You know what kind of couple we are, don't you?" Dan Amy hanya diam sambil mengangguk kecil. "If his secretary cannot contact him, how can I?"

Amy mengangguk-angguk lagi, dan kemudian Dana melirikku. Dia seperti memastikan bagaimana aku bereaksi akan hal itu. Dan aku memastikan kalau ekspresiku sangat datar dan seolah tidak tahu menahu.

"What do you think, Ellin?"

Sejak kejadian di Fiji sampai semua drama tersebut berjalan 20 tahun lalu, aku memastikan kalau Dana tidak tahu sama sekali apa yang terjadi antara aku dan Arthur. Yang Dana tahu, Arthur sempat menolak pertunangan mereka apalagi pernikahan. Pernikahan mereka sempat tertunda 3 bulan lamanya, sebelum akhirnya Arthur setuju. Tidak mungkin Amy memberitahu Dana apa yang terjadi saat itu, atau bahkan Arthur sendiri, kan?

"How do I know, Dana?" Aku kebingungan.

Dana tertawa tiba-tiba. "Well, it is such a pain to have a husband like him. Even after 20 years, he never changes at all," tawanya jelas sekali menggambarkan kekesalan sekaligus kesedihan.

Apakah akhirnya aku mulai merasakan penyesalan, untuk melibatkan Dana seperti ini dan membuatnya tersiksa dengan pernikahannya?

Ataukah aku mulai mengurungkan niat untuk semakin menyiksanya lagi karena memilih bersama dengan Arthur?

Dana, if being her wife is so painful to you, will it be okay if I stop the pain now?

Tetapi aku sendiri tidak tahu bagaimana bereaksi dan membohongi Dana. Aku semakin takut kalau dia tahu bahwa aku berbohong dan dia akan semakin membenciku setelah tahu yang sebenarnya.

Tetapi, cepat atau lambat, pada akhirnya, aku pasti akan menghancurkan persahabatan kami pula. Dan semua ini hanya masalah waktu dan momen, bukan?

Berbicara momen, aku tidak menyadari bahwa seseorang mendatangi meja kami dan duduk di sampingku. Reaksi Dana dan Amy saat melihatnya membuatku tidak ingin percaya siapa orang ini.

Arthur Maier.

Reaksi Dana yang terkejut bukan main, apalagi Amy yang tidak bisa menahan keterkejutannya, aku melihat semua itu sebelum akhirnya memberanikan diri melirik orang ini.

Dia duduk, di hadapan Dana setelah melirikku sebentar.

"Where were you?" Tanya Dana.

"I'm sorry," suaranya lembut namun begitu tegas.

"What are you sorry for?" Tanya Dana lagi.

"I'm sorry to bring this up while you guys are here. But I have to make things clear from now on,"

Bukan seperti ini caranya. Arthur, kumohon aku masih belum siap dengan semua ini...

"It seems that I shouldn't bother you," aku mulai bangkit dari tempat dudukku sambil memberi kode kepada Amy untuk ikut denganku.

"No, you both, stay," suara Arthur membuat kami berdua merinding dan tidak berani berdiri.

"I know where you've been. I let your secretary know who I am going to meet, and I know you'll come here," ucap Dana.

Pernyataannya mengejutkanku. Dana melirikku dan tersenyum kecil.

"Good," jawabnya. Berada diantara mereka, memperhatikan sikap dingin satu sama lain namun seolah-olah ada perkelahian sengit dibalik tatapan mereka, tidak mungkin membuatku bisa tenang duduk dan melibatkan diri. Namun, tentu saja sejak awal permasalahan ini akan melibatkanku.

"I received the paper," balas Dana.

"I think this is for the best,"

Wajah Dana benar-benar begitu kesal. "Is it her? So this is all about her?"

Tidak mungkin aku dan Amy tidak tahu siapa yang dimaksud dengan Dana. Tentu saja aku. Surat apa yang dimaksud Dana? Apakah surat cerai yang Arthur berikan?

Arthur mengangguk.

"Are you okay for the consequences? Everything?"

Arthur mengangguk lagi.

"What did you not tell me?" Dana menatapku sekarang. "I have no idea why you are a part of this? Since when do you know him?"

Sebelum aku membuka mulut, Arthur membalasnya, "It is you actually that are in our way,"

Dana terlihat semakin kesal bukan main. Sebelum amarahnya terluapkan, aku mulai memberanikan diri untuk membuka suara, "Dana, I am sorry. I should have told you this long ago,"

"Take back your words. You shouldn't apologize," ucap Arthur. Tentu saja aku melihat ekspresi Dana semakin kelam.

"I don't get it. Was something happened during Fiji Island? Before? Or after? Since when? You never told me anything,"

Aku menunduk. Sempat terpikir bagaimana aku menjelaskan kepada Dana tentang kami, namun sekarang tidak satupun skenario yang kubuat terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu harus mulai darimana.

"It's a long story. We met before Fiji Island, and she was the reason I tried to call off the wedding," walaupun Dana jelas-jelas bertanya kepadaku, Arthur menjawab pertanyaannya.

"Then why you agreed to the wedding again?" Kini pertanyaan Dana membuatku ikut penasaran apa yang akan dijawab oleh Arthur.

"Because it's what she wanted. Since I loved her so much and I respected her choice, I agreed to marry you,"

"You," Dana menunjukku. "How could you?"

"Dana, I knew you loved him, that's why I chose to leave everything behind and start a new life. I didn't know that you are unhappy with it,"

"And now you think you want to take back whatever you claimed to be yours?"

"I just..." Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sebenarnya.

"I already said it to you, I could not be a good husband that you wanted. We would live separately, purely for business. Yet you still agreed to it," Arthur menyela pembicaraanku dengan Dana.

"I always hoped that someday you would look at me and start loving me dearly so we could live as a normal couple. How fool I was all these years..." Awalnya kupikir Dana akan menyiram minumannya ke Arthur saat dia memutar-mutar sedotan di minumannya itu. Tetapi dia malah meminumnya dalam sekali teguk.

"What if I refuse to divorce?" Tanya Dana. Wajahnya nampak tidak terlalu fokus, seperti minumannya tadi mulai bereaksi terhadap kesadarannya.

"But I will still marry her and live with her from now on,"

"Don't you care of what others think?" Ekspresi Dana begitu dingin.

Arthur menggeleng, "I don't want to think of anything else but myself and her,"

"I will ask my father to withdraw the partnership," kini suara Dana seolah mengancam.

"Please," Arthur tidak kalah tenangnya. "It will be okay, I already expected this anyway,"

Dana hanya menatap Arthur kemudian aku, kemudian dia berdiri dari tempatnya. "Whatever, I will not sign the paper,"

Saat dia berjalan melintasi tempatku, dia berhenti sejenak, "Let's talk again after I clear my head later, just two of us. I try to hate you but I don't know why I can't. You're still my best friend after all, I only hate to realize it,"

"Please just hate me, I deserve it," balasku.

"It is too simple, I want you to suffer instead," tawa Dana terasa mencekam dan membuatku merinding. Aku tidak tahu apa yang di pikirannya.

Setelah Dana benar-benar pergi, Arthur menggenggam tanganku. "It's going to be okay,"

"No it's not," bantah Amy tiba-tiba. Dia kemudian menatapku. "Is this your decision?" Tanyanya kepadaku.

Aku mengangguk pelan.

"Okay then. Who am I to interrupt? You have to protect her, understand?" Kini matanya mengarah ke Arthur.

Arthurpun mengangguk.

"Ellin, you have me and him. It's okay. It should be okay," Amy mengelus tanganku yang gemetaran.

Selama ini hanya dua kali aku merasa ketakutan yang luar biasa. Saat suamiku meninggal dan aku harus hadir di pemakamannya, dan hari ini. Kali ini aku begitu takut untuk mundur dan terus berharap kalau semua keputusan bodoh ini memang yang kuinginkan sejak dulu.

*****

"What if I am being very poor and have nothing?"

Aku memperhatikan langit-langit dan mulai memejamkan mata. Apa yang kubayangkan? Apakah semua ini sudah pernah terbesit di benakku?

"Do I look like that kind of person? Is that what you think of me?"

Dia meringis. "Don't worry, I saved something so that our life can't be too miserable. I have a villa under my own name with a great air and view. We can seclude ourselves there, how is that?"

"Arthur," panggilku saat berhenti terpejam dan mulai menerima kenyataan. "Your family needs you now,"

Dia bangkit dari sebelahku dan kemudian menatapku penuh kesal.

"The situation may get worsened," meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, berita di berbagai media sudah mulai mengangkat permasalahan bisnis keluarga Maier.

"I drove here for 3 hours only to meet you, and you shoo me away?" Dia kemudian membanting badannya lagi. Aku bisa melihat kalau dia lelah secara fisik maupun pikiran sekarang.

"I mean... I don't know exactly what is happening but I think now is not a good time for you being here,"

Dia membalikkan badannya dan memunggungiku.

"I refuse to talk that matter anymore, period,"

Mungkin aku sempat lupa betapa keras kepalanya pria ini. Namun sosok yang kukenal adalah seorang workaholic, dan kini perusahaannya sedang dalam masa kritis.

Tentu saja ini semua karena keluarga Dana. Mereka menyatakan mundur dari kerjasama mega proyek yang sedang berlangsung. Dan dari apa yang diberitakan, perusahaan Maier sedang kesulitan mencari investasi untuk kelancaran mega proyek ini. Ditambah, salah satu direksinya sedang mangkir dari pekerjaannya.

"Your father asked for a meeting, again,"

Dia akhirnya membalikkan badannya agar bisa menatapku. "Then? What did you say?"

"I haven't agreed when and where,"

"Then don't. I don't want you to leave again. Moreover, I don't know whether we'll meet again or not,"

Aku tidak menyadari bahwa aku terkikih mendengarnya, "You said that you believe in destiny. Even if we are apart countless time, then the destiny will let us meet again, right?"

Dia nampak tidak menganggap remeh pembicaraan ini. "No, I won't let us apart anymore,"

Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. "Arthur," panggilku dari kejauhan. Setelah itu aku bisa mendengar suaranya membalas dengan, 'Mn,'.

"This time, our choice may affect people's lives. What will happen to your company? Will everyone be okay?"

Aku bisa mendengar Arthur bangkit dan berjalan ke arahku. Benar saja, saat berbalik, dia sudah begitu dekat denganku.

"Everything will be fine, Maier is not a small company to ruin in a flash, we can move further even without anyone support. This is only Dana and her trick to sway you," dia tersenyum yang membuatku bisa sedikit lega.

Aku memberikan gelas untuknya.

"But, let me ask you one last time," baik suara maupun tatapannya tiba-tiba berubah begitu serius. "I see a lot of doubt and worry inside you. Ellin, I am going to fight for us, and I ask now, are you?"

Aku kembali berjalan sedikit menjauh darinya. Pikiranku bercabang dan tidak bisa kukendalikan. Tidak ada jawaban satupun yang hendak keluar dari mulutku. Diluar sedang hujan deras, namun mengapa aku merasa gerah dan panas?

Namun, secara singkat, aku mulai mengumpulkan seluruh kesadaranku dan merasa bahwa pijakanku semakin jelas.

"I never asked you before, why did you love me?"

Awalnya aku tidak berani untuk menatapnya. Namun sosok di belakangku tidak terdengar mengeluarkan suaranya, ataupun menimbulkan suara gerakan. Sehingga aku ingin melihat apa yang dia rasakan, dan mendapati bahwa matanya terus menatapku dalam-dalam.

"Did I love you? I did. Do I even love you until now? I do. And what's the reason? If you asked this to me, I could revert to you, which part of you that I couldn't love?"

"What is it?"

Aku ingin tertawa rasanya, "Nothing, you are too unreal to come into mine. You are just everything that I ever asked and also never asked for. You are everything while I am nothing!"

Mungkin Arthur mulai menyadari kalau aku sudah bertingkah seperti orang gila.

"I feel inferior to you and that is the fact. I felt that we were never supposed to be together, you deserved someone better than me, and even if I insisted, who knew what would happen in future?"

Aku berjalan kesana kemari, mencoba mencari tempat yang cukup nyaman untukku. Kini napasku seperti tercekik. Aku tidak tahu apakah ini semacam panik, namun aku terus mencoba melawannya.

"And everytime, I eagerly wanted to ask, what is it that you see in me? Is this real? Are you actually playing with me? Or if it is truly real, is it forever? Who can guarantee?"

Arthur masih terus diam. Wajahku panik, keringat keluar dari sekujur tubuhku, terutama telapak tangan. Akhirnya, akhirnya semua pikiran liar yang selama ini tertahan didalamku berhasil kukeluarkan.

Perlahan Arthur menghampiriku dan memelukku. Kini aku mulai menyadari bahwa tubuhku gemetaran. Apa yang kutakutkan? Apakah aku memang sedang ketakutan? Apakah ini sebuah serangan panik, tetapi sejak kapan aku memilikinya?

"Thank you for letting me know what you think," dia mengecup kepalaku. "I may not have every answer for them, but I can only tell you this,"

"Ellin," suaranya yang tenang, membuat kepanikanku mulai mereda. "I don't remember why I love you, but I can assure you this is real, I never want anyone beside me but you. I know very well what I want. I only you to believe in me. From now on, let's be selfish for ourselves, okay?"

Aku hanya terdiam di dalam pelukannya.

"But I remembered this one particular moment. Amy always talked about you and everytime she did, I imagined you in my mind, eagerly waited for a moment to prove whether the person inside my mind was true or not. Did you believe that if she said I was crazy to my career, you were crazier than me?"

"It's when I met you during the interview, I never saw such an energetic person, going here and there, being bossed around, but still smiling to everyone while wiping off the sweats. Not only you were so stubborn, but you understood very much what to do and what others needed. I was ecstatic to find out that you were exactly like what I imagined. At that time, I was sure that I wanted to keep you in my own life,"

"I know that I am not a grateful person, to live a life anyone wanted, but still, I yearned for you to come into mine. Is it wrong? Is it really sinful to be selfish of something you yearned the most? It's as if I am okay to throw everything away just to be with you,"

"But, knowing that you like me who have everything, I absolutely won't let anything off easily. Don't worry, everything will be very fine,"

"No, it's not like that!" aku cepat mengelaknya, namun aku melihat dia terkikih. "Even if you have nothing, I... I..."

"I know, don't worry, I know you very well," balasnya sambil mengelus kepalaku. "It's just that I have to be greater than you could think of so you won't turn away from me,"

"No, you misunderstood! I will never..."

"I know, Ellin. It's only me to set a goal for my own self. It feels better to have a goal for my life now..."

"So..." aku melepaskan diri beberapa langkah darinya.

"Hhh," dia menghela napasnya. "I know, I have to go," dia berjalan mengambil miliknya untuk segera pergi. "But promise me you won't see that old man, moreover, you won't disappear again,"

Aku tersenyum, "I promise," namun siapa tahu, aku sendiri tidak yakin akan janjiku ini.

*****

[Arthur] 
You promised.

Aku melihat pesan yang baru saja kuterima. Sepertinya dia baru saja datang ke tempatku dan mendapati bahwa tidak ada aku di sana. Terlebih, tidak ada tanda-tanda seseorang tinggal di sana.

[Ellin]
I know. I am sorry.

[Arthur]
Where are you now? Why didn't you pick up the phone? Don't freak me out.

Bagaimana mungkin aku bisa bertemu lagi dengannya? Setelah semua yang terjadi?

 [Arthur]
I told you not to meet that psycho old man. 

Aku tiba-tiba tersenyum, he's not the one. It's me! I am the mental one! Namun, sekali lagi, mana mungkin aku berani mengungkapkan hal itu kepadanya?