Friday, 14 October 2016

[One Shot] Life's Appreciation

Suatu hari, seorang gadis dengan rambut sebahu mendatangiku. Pagi itu aku sedang menunggu temanku di sebuah halte bis dan duduk dibawah hujan. Kami berdua terperangkap di bawah kanopi yang untung saja cukup menahan derasnya air yang turun.

"Halo," ucapnya.

Aku meliriknya.

"Aku hanya ingin menyampaikan terima kasih,"

Kini aku melirik gadis itu untuk kedua kalinya. Semua ingatan di otakku tidak pernah mengenali wajah gadis ini. Bahkan aku juga tidak ingat pertemuan kami sebelumnya.

"Terima kasih untuk apa?" tanyaku, bingung.

Dia malah tersenyum. "Aku takut tidak sempat bertemu lagi denganmu, untuk itu aku buru-buru ingin sekali mengucapkannya,"

"Tetapi terima kasih untuk apa?"

Dia membalasku dengan senyum yang diikuti dengan seringai yang manis. "Kita sudah lama satu bis bersama dan kamu bahkan tidak sadar,"

"Maaf, aku memang tidak terlalu pintar mengenali orang,"

Dia memainkan kakinya yang berayun-ayun. "Aku baru saja menghadiri pemakaman seseorang," ucapnya yang langsung membuat senyuman itu menghilang begitu saja.

Apapun yang kutanyakan tidak pernah dijawab dengan jelas.

"Dia seorang nenek tua yang tinggal di dekat rumahku. Pekerjaannya tukang sapu dan dia memintaku untuk berterima kasih kepadamu beberapa hari sebelum kematiannya,"

Aku tidak pernah mengenali nenek yang dia maksud sama sekali. Sepertinya dia sudah salah orang.

"Tidak, aku tahu kalau yang dia maksud adalah kamu,"

Nenek Arum, yang dia sebutkan ini mengucapkan kalau seumur hidupnya, sudah bertemu denganku di halte ini lebih dari dia bertemu dengan anak-anaknya. Secara logika, mungkin agak masuk akal karena aku selalu menghabiskan waktu di halte ini, sejak sekolah hingga bekerja. Tetapi menyedihkan sekali saat tahu beliau tinggal sendiri dan anaknya diasuh oleh keluarga lain. Untuk mengurangi beban hidup, beliau merelakan buah hatinya agar hidup terpisah. Suaminya juga pergi dan tidak pernah ada kabar selama tahunan. Menurut kabar, sang suami sudah meninggal tetapi entah dimana. Nenek Arum juga tidak bisa mengurusi suaminya karena keterbatasan dana.

Singkatnya, Nenek Arum berkata kepada gadis ini untuk mengucapkan terima kasih kepadaku. Beliau berkata bahwa hidupku terlalu berat karena harus berjalan jauh dan menunggu angkutan umum. Setiap hari raut wajahku terlipat dan tidak nampak bahagia. Beliau menganggap kalau masalah yang kuhadapi semakin hari terus bertambah dan aku perlu bersyukur untuk segala hal sekecil apapun.

Berkat pertemuanku dengan beliau, Nenek Arum mulai bisa melihat betapa bahagia hidupnya. Sesusah apapun dia masih bisa mensyukuri hidup. Beliau tahu kalau hanya dengan ucapan terima kasih dari seseorang dapat membuatku tersenyum. Karena aku sudah terlalu lupa cara berterima kasih.

Kini aku mulai mengingat nenek ini. Beberapa kali beliau pernah mengajakku berbicara namun aku tidak bisa menanggapinya serius. Sesuatu menyangkut hal pekerjaan sudah membuat hidupku mumet dan aku tidak sempat mengurusi hal lain lagi. Aku mengingat nenek itu selalu memberikan wajah senyumnya namun melihat beliau malah membuatku semakin ingin menghindar. Rupanya dia hanya ingin menularkan aura positifnya kepadaku.

Melihat ke belakang, aku tidak tahu sudah seberapa buruk hidupku sekarang, sejelek apa karakter yang kumilliki. Aku hampir lupa caranya untuk bersyukur. Aku telah berubah menjadi seorang dewasa yang tidak pernah kuinginkan sejak kecil. Mimpi masa kecilku yang terdengar konyol, menjadi bahagia. Namun kehidupanku malah jauh dari mimpi itu sendiri. Kini rasanya semua yang kumiliki perlahan tak berarti.

"Aku berterima kasih kepadamu telah membuatnya selalu tersenyum dan merasa diberkati,"

Kenyataannya aku tidak pernah melakukan apapun kepadanya. Aku tidak tahu bagaimana bisa sesuatu negatif dariku menjadi sesuatu yang berarti bagi orang lain.

"Kamu tahu bagaimana aku bisa yakin kalau aku tidak salah orang?"

Dia berdiri dan ingin menembus hujan yang masih tidak mereda.

"Dari kejauhan, kamu sangat terlihat penuh bantuan,"

Dia berlari tanpa takut hujan membasahi sebuah pakaian lusuhnya. Kakinya yang tidak beralas melangkah dengan ringan ke setiap kubangan air. Gadis itu, gadis seperti itu, mendatangiku karena merasa dia perlu membantuku. Gadis yang satu bis bersamaku untuk bernyanyi karena mengamen adalah pekerjaannya. Gadis itu, dan Nenek Arum...

-end-