Monday 31 October 2016

[One Shot] Ignorance

Pria itu menatapku setelah aku berdiri di depan pintu. Aku melepas seluruh beban di pundak dan menghampirinya. Matanya mengamati seluruh penampilanku. Aku tidak pernah tampil terlalu buruk. Dia saja yang tidak mau mengakuinya.

Tangannya menyentuh pinggangku, melingkari dan memegang erat. Kepalanya bersandar ke bahu beserta seluruh pikirannya.

This is love, this is love. Seperti mantra, aku terus berbicara dalam hati. Aku selalu menerima di setiap masa sunyinya. Dia mendatangiku di kala sepinya. Dan pelukanku seperti obat penenang baginya.

Tetapi setiap kali dia datang dan memelukku, dia hanya ingin membuangku untuk kesekian kalinya.

"What is it again?" aku duduk di sampingnya setelah membawanya masuk ke dalam.

Dia tidak dalam keadaan ingin berbicara. Ini akan menjadi malam yang bisu. Hanya aku, dia, dan decit sofa yang bergerak pelan.

Aku berharap hari esok yang indah.

Dia tidak mau melepasku meski hanya untuk mengubah posisi. Karena pria ini, hidupku tidak pernah bisa bahagia seperti wanita normal. Karenanya pula aku tidak bisa hidup dengan tenang. Dia selalu datang tanpa berita dan pergi tanpa pamit.

Tetapi keberadaannya yang tiba-tiba semakin tidak bisa ditolak.

"You are pathetic,"

Maya melempar sebuah majalah ke arahku. Dia datang keesokan harinya dan melihat ada bantal dan selimut yang berantakan diatas sofa.

"Just shut him off! He is not even interested in you!"

Maya berkali-kali menceramahi betapa tidak berharganya apa yang kulakukan ini. Jatuh cinta kepada pria tanpa masa depan dan tak tahu arah, yang hanya memanfaatkan perasaanku demi keuntungannya sendiri.

My name is Charles, an aspiring song-writer, 23 years old, currently living in Brecker.

Aku masih mengingat betapa bodohnya hatiku untuk memilih menyukai seorang kandidat pemeran pembantu dalam sebuah teater musikal. Sebagai salah satu juri, aku bisa melihat bakatnya yang terpendam namun masih sangat mentah dalam berperan.

Dia gagal namun terus mengikuti audisi kesekian kalinya. Setiap kali datang, dia terus berkembang tetapi masih belum mencapai ekspektasi.

Aku masih ingat kepolosanku yang menawarkannya sebagai staf bagian audio setelah dia keluar dari ruang audisi. Sejak saat itu aku menjadi jembatan menuju karir pemain musikal yang bukan menjadi cita-citanya sejak awal.

Kini pria itu telah menjadi sutradara sekaligus scriptwriter yang mulai dikenal. Ketergantungannya dengan alkohol untuk mendapat inspirasi menjadi penyebab gaya hidup yang urakan. Dia minum tanpa tahu waktu dan kondisi. Ketika inspirasinya tidak datang hanya dengan puluhan botol alkohol, aku menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi kecemasan.

Aku percaya kalau kami saling mencintai, tetapi kata itu tidak pernah terucapkan dari mulutnya. Setiap dia pergi, aku selalu meragukan perasaannya. Tetapi setiap kali dia datang kembali, aku memilih percaya kepada perasaanku sendiri saja.

"Look!" Maya menyerahkan sebuah majalah. 

Di halaman awal terapat sebuah berita mengenai Charles. Kini dia sudah cukup terkenal sebagai sebuah sutradara film musikal yang sukses. Di berita itu nampak sebuah foto tersembunyi Charles sedang berkencan dengan salah satu aktris pemain utama filmnya. Di artikel tersebut juga tertulis kalau hubungan mereka sudah berlangsung kurang lebih 3 bulan lamanya.

3 bulan terakhir dimana dia hanya datang dalam kondisi terburuknya kepadaku. Selama itu aku sama sekali tidak tahu apa yang dikeluhkannya, kupikir kehidupannya berlangsung sangat buruk dan gagal.

"Maybe this is purposely made for promoting the movie," aku mencoba positif.

"How funny, all you know is only his worst and he won't ever share his happiness with you,"

Aku menatap Maya. Dia memang selalu membenci Charles karena sikapnya kepadaku. Sebagai seorang sahabat, aku bisa mengerti kalau Maya begitu peduli kepadaku.

"You should ask him whether he loves you or not,"

Aku menolak. Aku masih meragukan perasaannya. Aku takut selama ini yang kupegang hanyalah keyakinan kosong yang kubuat sendiri. 

"Why?" tanyaku, dengan airmata yang tiba-tiba saja jatuh. "Me liking him is enough, I'm happy enough,"

"Stop, you're only fooling yourself," apa yang dia maksud airmata atau perasaanku?

"Who cares about his feeling? As long as he needs me, that's also love," airmataku terus mengalir deras seolah apa yang kuucapkan tidak sejalan dengan yang kupikirkan.

Aku memperhatikan artikel tersebut dan meratapi sosok Charles disana.

"You see? He is becoming more radiant than ever," dia sudah bisa membuktikan kalau hidupnya juga layak meraih kesuksean. Charles kini memiliki kehidupan yang sangat terarah, berbeda jauh dengan kali pertama kami bertemu.

Malamnya, dia datang lagi. Dengan beberapa alkohol dia datang menghampiriku. Senyuman pahitnya tersimpul penuh makna. Setengah mabuk, dia berjalan menuju sofa kembali. Aku tidak ingin mengingat artikel tadi pagi, namun hal tersebut kerap menghantui dan meminta untuk ditanyakan.

Dia menarik sebuah tanganku dan meletakkannya ke dada. Tangannya menggenggam erat seolah tidak ingin melepasku, seperti keberadaanku begitu berarti untuknya. Seperti hari-hari yang telah ia lalui terlalu berat untuk dipikul sendiri. Dia memintaku untuk tetap berada di dekatnya.

Tell me, what kind of life you're living on...

"Hug me," pintanya dengan lirih.

Aku mendekatkan diri dan merangkul tubuhnya. Pria ini meminta terlalu banyak dariku namun aku selalu memberikan semua yang kupunya. Aku memeluknya untuk kesekian kali di setiap malam yang tidak bisa terhitung lagi.

"You must have seen the news," ucapnya. Aku mengangguk pelan sampai tidak yakin dia dapat merasakannya.

"Is it true?" akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Sort of," aku tidak mengerti maksud dari jawabannya.

"Do you really love her?" tanyaku lagi.

"I do," aku berharap dia memiliki rasa penyesalan dibalik nada bicaranya.

"If you do, then what are we doing all this time?" apa yang selama ini kau lakukan kepadaku? 

Kalau semua itu benar, kalau  kau benar mencintai perempuan itu, mengapa kau tidak menghabiskan malam dengannya?

Alih-alih melepas pelukanku, dia mendekap lebih erat lagi. "You're my muse," jawaban yang belum pernah terpikirkan olehku. "You are everything beyond love," sekali lagi, aku tidak tahu apakah senyuman yang begitu saja tersimpul menandakan secercah kebahagiaan.

"I can't even think of losing you forever," dekapan Charles kini terasa semakin hangat dan menenangkan.

Apakah ini artinya keyakinanku bukanlah hal kosong semata?

"Oh, God," di pagi hari, Maya melihat Charles masih tertidur di sofa. "Get out, you piece of shit!" Maya menarik Charles pergi.

Aku menahannya untuk mengusir Charles. Tentu saja Maya sangat marah dengan tindakanku. Amarahnya kini ditujukan kepadaku, dia memarahi semua hal yang menurutnya salah, termasuk kebodohanku yang masih menerima Charles meski aku tahu dia sudah menjadi kekasih perempuan lain.

"He doesn't love you! Don't you understand??" Maya sangat buta oleh emosinya yang terus meledak-ledak.

"He said I am his muse!" balasku.

Maya terdiam dan tidak melanjutkan ocehannya. Dia berusaha mencerna ucapanku. "You're what?" tanyanya lagi.

"His muse, he needs me because I'm his muse,"

Percaya atau tidak, Charles masih ada dan mendengar semuanya. Aku membela Charles dibandingkan sahabatku sendiri, Maya. Lalu Maya melirik Charles. Dia mendorong tubuh pria tersebut yang masih terlihat hangover. Aku bisa merasakan kekesalan Maya dari tatapan matanya.

"Don't you have smarter excuse to tell her?"

Charles yang bertubuh lebih besar dan kuat masih setengah sadar karena efek alkohol yang ia konsumsi semalam. Bahkan untuk menahan tenaga Maya saja dia masih tidak sanggup.

"Why didn't you just lie to her?" Maya terus mendorong Charles hingga akhirnya dia terpojokkan.

"Maya," aku terus menarik tangan Maya agar tidak menambah pelik masalah.

"Do you think being his muse is everything? Does that satisfy you?" Maya melirikku dengan amarah yang terus terpendam. "He uses you as a worthless shit, don't you get it?"

Aku tidak tahu lagi batas antara realita dengan mimpi. Semua yang diucapkan Maya mungkin ada benarnya, namun ketika aku melihat Charles, rasanya aku tidak ingin menjadi benar.

"But he said he can't think of losing me..." airmataku mengalir saat mengucapkannya. Aku tiba-tiba saja merasa bahwa semua yang dia ucapkan semalam terasa begitu palsu. Mungkin dia tidak sadar dan berbohong karena pengaruh alkohol. Atau mungkin selama ini dia tidak sadar sudah datang kepadaku.

Aku menatap Charles yang perlahan matanya cukup meyakinkan kalau dia sudah sadar sepenuhnya. "You weren't lying, were you?" aku mencoba untuk mempercayai ucapannya semalam.

Namun mata Charles yang melihatku dengan tatapan miris, seolah semua ini hanya imajinasiku saja langsung terasa menampar tepat di depanku.

"It's true that I can't lose you," ada makna tetapi yang tersirat dibalik suaranya... tetapi apa?

"Please, Maya," aku meminta Maya untuk bisa berbicara dengan Charles berdua saja. Meski masih marah, Maya bersedia keluar sebentar.

"I really can't give up on you, Rachel," ketika Charles memanggil namaku, seluruh keraguan rasanya langsung runtuh.

Aku hanya mengangguk.

"I do love Meredith and we planned to marry each other. And I also need her for my career's sake,"

Meredith mempunyai keluarga yang kuat dan erat dalam dunia perfilman. Setelah cukup lama berkutat di dunia teater, dia begitu ingin menjadi sutradara film yang hebat dan Meredith adalah sebuah jembatan yang baik untuk mengejar obsesinya.

Di sisi lain, aku mengerti bahwa dia sudah menggantikan posisiku dan tidak membutuhkan koneksi dariku lagi. "So you don't need me anymore," jawabku.

"No, please. Listen, you are my muse, my inspiration, my everything. I really can't stand not seeing you and holding you, like this," dia menggenggam tanganku seolah aku boneka yang sudah di-label dengan namanya.

"Do you even love me?" tanyaku, akhirnya. Setelah sekian lama aku tidak pernah berani bertanya.

Charles tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Matanya terus menatapku seperti diliputi rasa bersalah.

"You said that you love Meredith easily. What about me? Do you love me?"

Dia berada di ujung tanduk. "It's not that I don't love you, but love to me is not the most important,"

"What are you saying?"

"Please, let me stay with you just the way before,"

Dia jelas sekali berkata kalau tidak mencintaiku namun membutuhkanku sebagai inspirasinya. Tidak ada masa depan dan itu artinya dia memilikiku namun tidak sebaliknya.

"You will be blamed and accused as a home-wrecker, a kept woman, think about it clearly," Maya merebahkan diri di kasur. Setelah Charles pergi, Maya benar-benar menunggu di luar dan akhirnya masuk namun amarahnya sedikit mereda. "And that's not a good impression, you will live a hard life,"

Aku tidak bisa merasa lebih bersyukur lagi dengan Maya. Dia adalah sahabat terbaik yang kumiliki. Setidaknya dia mampu meluruskan masalah secara rasional dan membantuku yang sudah buta dengan perasaan.

"You know what, Maya?" aku menatap Maya yang ingin memejamkan matanya namun tidak bisa. "I can't thank you enough to have you in my life,"

"Why are you saying that?" Maya langsung bangun dan melihatku. Wajahnya nampak cemas dan mungkin sesuatu terlintas di benaknya.

"But I can't think of losing Charles," aku berusaha tersenyum. "It seems okay for me being a kept woman in spite of the fact that I have to let him with another woman. He needs me, Maya. Someone whom I love and care the most needs me. Even if he may continue living without me, but I can't. I am the only one who actually need him. I don't care how people will see me, or what kind of life that I will live on. I really don't care,"

"You ignorant bitch. Why are you doing this to you own life?" aku bisa melihat Maya kesal dengan pilihanku.

"Because I know that I have you. This is wrong, but I have you who will always remind me. I have you to lean on while that guy has no one to. Please let me do what I want, Maya,"

Hari itu, aku dan Maya menangisi keputusan gadis bodoh yang sudah buta mata. Maya berjanji akan selalu mencaci perbuatanku, dia berjanji tidak akan meninggalkanku sendirian.

Karena aku tahu, dia terjebak di lubang yang sama denganku.


-the end-

P.S: I labeled this as prologue, which means there will be an after story from different perspective. Please anticipate.