Wednesday, 2 November 2016

[One Shot] Something That is More Beautiful Than Flowers

Aku melihat dia, yang menatap orang itu. Aku mengenggam tangannya, yang terus merangkul orang itu.

Meski aku berdiri selamanya, matanya tak melirikku sebagai yang terpenting. Aku hanya bisa diam dan memandangi langit yang biru dan deruman kendaraan di hari yang sangat sibuk. Cuaca yang indah untuk bunuh diri, bukan?

Saat pintu terbuka, aku melihat seseorang keluar tanpa perlu sungkan menyapaku dan langsung pergi. Bahkan berbagi lirik yang tidak henti kulakukan saja tidak.

Aku masuk ke dalam ruangan yang terlalu familiar. Bau rumput basah dan seprai linen baru, tumpukan bantal yang berantakan dan juga aroma tubuhnya yang sangat unik. Aku tidak tahu sudah berapa lama menikmati hal kecil seperti ini.

Melihatnya membuatku ingin memeluk dan menghirup aroma tubuhnya tanpa henti.

Namun karena aku tahu hal tersebut akan sangat canggung, aku memilih berbaring dengan ceroboh diatas kasur. ini aneh sekali, seperti memiliki fetish tidak lazim. Setiap hari aku mendapati diri semakin gila dengan dirinya.

Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dengan apa. Amarahku sudah menghilang seiring dengan aura maskulin yang ikut keluar dengan kepergian orang itu.

"What were you talking about?" tanyaku karena tidak tahan.

Dia menatapku dalam-dalam sedangkan aku memilih berbaring dan menatap langit-langit kamar. Menatapnya yang sudah hampir ingin menangis membuatku tidak mampu menguasai diri. Aku ingin memeluknya dan mengutarakan perasaanku. Tetapi tidak mungkin.

"He will marry her but asking me to stay with him also,"

Aku tidak mengerti dosa apa yang dia telah perbuat sampai membuat hidupnya kacau seperti ini. Tetapi siapa aku yang bisa menilai kehidupan seseorang? Kalau saja tidak melibatkan perasaan, aku tidak mungkin mau mengurusinya.

"You will be blamed and accused as a home-wrecker, a kept woman, think about it clearly," aku menutup mata dan mencoba untuk tetap tenang. Semua tentang hidupnya memang menyedihkan.

Matanya seperti mata kucing yang begitu ingin kuelus. Kalau aku terus membuka mata dan bertatap mata dengannya, seluruh bayangan nakal selalu terbesit tiba-tiba. Aku memilih untuk berbaring, mungkin aku sedikit kurang tidur.

"And that's not a good impression, you will live a hard life,"

Memangnya aku sendiri menjalani hidup yang bagaimana?

Memang apa bedanya aku dan dia?

Dan di kala itu, ketika dia akhirnya memanggil namaku, "You know what, Maya?" dengan nada serak dan mengundang seluruh pikiran kotor di dalamku.

Aku mencoba memejamkan mata namun panggilannya membuat energiku terisi penuh. Aku begitu ingin memeluknya dan melakukan semua hal yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Aku begitu ingin mengutarakan perasaanku ini, tanpa memikirkan hal lain dan segala norma yang ada. Tanpa perlu menilai dan menyalahkan orang lain, seperti yang dia lakukan kepada dirinya sendiri.

"I can't thank you enough to have you in my life," kalimatnya kemudian membuat sebuah peringatan di dalam diriku.

Mengapa dia tiba-tiba berterima kasih kepadaku? Apakah dia ingin mengakhiri sesuatu? Apa itu nyawanya, kehidupan percintaannya, etika, apa yang dia maksud dengan ucapan itu?

Aku terbangun dan tidak mungkin tidak menatapnya. Aku begitu ingin memahami maksudnya.

"Why are you saying that?" aku tidak lagi ingin membawa pembicaraan ini menjadi lebih berat. Senyuman dan tawa kecil palsu yang terlintas begitu menjelaskan betapa kacaunya pikiranku sekarang.

Ah... Tetapi kau tahu apa yang membuatku begitu menyukainya, melebihi seorang sahabat yang perhatian?

She reminds me of myself.


Pertemanan kami dimulai sejak bertemu di kelas teater. Waktu itu aku hanya menemani mantan pacarku yang sudah sangat lama mengikuti kelas tersebut. Aku masih ingat melihat seorang perempuan pemalu yang hanya memperhatikan mantan pacarku itu dengan kagum dari kejauhan.

Orang lain mungkin tidak bisa menyadari kekaguman tersebut namun aku tahu benar. Karena dia sama sekali tidak bertindak genit, aku mengabaikan dan tidak ambil pusing. Namun suatu hari, dia berjalan menghampiriku dan mengutarakan perasaannya. Dia kagum hanya sebatas idola dan role model. Dia begitu ingin banyak belajar dari mantanku ini.

Dasar bodoh. Aku tahu perasaan sebenarnya. Dia bisa sekali menahan diri dan sangat berusaha tidak menunjukkan ketertarikannya.

Sama seperti aku yang selalu berusaha berpura-pura menyukai orang lain meski dalam hati sangat tidak peduli. Kami berdua menutupi diri dengan topeng yang berbeda namun pada akhirnya sama-sama berdusta.

Aku berkata kepadanya kalau dia bisa memiliki mantanku itu dan dia terkejut. Saat aku membuka topeng itu, dia ikut melakukannya. Pada saat dia menjadi pacar dari mantanku sendiri, hubungan yang rumit dan aneh ini dimulai.

We crossed the norm. Bersahabat dengan pacar dari mantan pacar sendiri. Then, I crossed it again. Semakin lama aku semakin membuka diri kepadanya dan tahu perhatian yang kuberikan sudah melebihi sekedar sahabat.

I understood that I have loved Rachel, unconsciously.

Kehidupannya yang berjalan dengan berantakan terasa seperti sebuah pekerjaan rumah yang perlu kuperhatikan. Meski pada kenyataannya hidupku tidak beda berantakan pula, aku begitu senang mengurusinya dibandingkan diriku sendiri.

Tetapi aku mengerti, perasaan ini lebih salah dari yang dia miliki kepada Charles.

Disaat dia telah berani melepas topeng itu dan terbuka, aku menahan diri untuk melakukan hal yang sama. Tentu saja aku paham mengutarakan perasaanku hanya akan memperparah keadaan. Perasaan ini hanya satu arah dan tersembunyi, terselimuti oleh status pertemanan biasa.

Dia kemudian berbicara banyak hal yang sama sekali tidak bisa kucerna dengan baik. Intinya tetap sama, dia begitu mencintai pria brengsek itu dan rela dengan segala konsekuensinya.

"You ignorant bitch. Why are you doing this to your own life?" aku memanggil namanya dengan kata itu, yang seharusnya tidak perlu kuucapkan. You're the bitchiest here, don't you know?

Senyumannya yang tersimpul untukku begitu melekat dalam pandangan. Harus kuperjelas lagi. Senyuman yang dia berikan khusus untukku. Dan hal tersebut adalah yang terindah yang kulihat hari ini.

Namun di akhir aku mendengar jelas apa yang dia katakan sekaligus saat memanggil namaku lagi.

Karena aku tahu kalau aku memilikimu. 
Ini memang salah, tetapi aku memilikimu yang akan selalu mengingatkanku. 
Aku memilikimu yang bisa kusandarkan sedangkan pria itu tidak. 
Tolong biarkan aku melakukan apa yang kuinginkan, Maya...

Airmataku tiba-tiba saja mengalir.

Astaga, dia sudah tahu mengenai perasaanku. Dan menyadari kalau dia tahu namun tidak merasa terganggu, aku begitu ingin memeluknya dan berbagi beban yang sudah lama kupikul ini.

Dan aku melakukan hal itu, memeluknya.

Apa bedanya dia dengan pria itu, memanfaatkan perasaan seseorang tanpa ingin membalasnya?

Tetapi apa bedanya aku dengan dia, tidak memedulikan masa depan dan hanya ingin selalu mencurahkan perasaan ini saja?

-end-

P.S: This is the side story of [One Shot] Ignorance, please read it also.