Friday, 30 August 2013

[Collection] Cold, Black Eyes

Aku tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu,

Warna matanya yang hitam kelam…

Rambutnya yang jatuh karena basah air hujan…

Dan pakaiannya yang bersimbah darah.

Dia menatapku dengan matanya itu, menyibakkan rambutnya dan membalikkan badan,  enggan melihatku yang terkulai lemas. Senapannya berkilau memantulkan cahaya rembulan yang miris. 


Suaranya parau dan dalam,

“ Sekarang kau sudah tahu siapa aku. Aku ini pembunuh paling berbahaya di negara ini. Aku telah membunuh 97 manusia tanpa iba, dan apakah menurutmu aku masih mempunyai kesempatan itu ?”

Kakiku tidak sanggup berdiri dan berlari untuk mengejarnya. Dia meninggalkanku diantara mayat-mayat tidak bergerak ini. Warna genangan air di jalanan berubah merah, percampuran antara air hujan dengan darah mereka yang bercipratan. 


Sedangkan aku terkapar di tempat mengenaskan ini, bernapas sendirian.



*********************************************************************


Namanya Riffle, seperti kata yang familiar, tetapi tidak lazim untuk sebuah nama. Sekali lagi namanya Riffle Houff, bahkan nama keluarganya juga tidak lazim. Sosoknya sempurna, namun sayangnya ia sangat tertutup dan cenderung tidak mau bergaul sama sekali. Dan aku penasaran dengan anak ini, kuputuskan untuk mencari tahu tentangnya.

Arsip kampus sama sekali tidak pernah melampirkan data dirinya. Ketika aku mencari di Windows Live sekalipun, atau di manapun, hasilnya nihil. Ia terlalu misterius, atau memang tidak beridentitas.

Setiap hari aku melihatnya datang ke kampus, mengikuti pelajaran dengan rajin, membaca buku sendirian, segalanya sendirian, dan pergi entah kemana. Ketika aku membuntutinya juga, tempat tinggalnya tidak jelas. Terkadang ia pulang malam ke sebuah apartemen dan tidak keluar hingga larut malam, namun esoknya ke apartemen lainnya sampai pagi. Pernah ia bermalam di hotel selama 3 hari berturut-turut, lalu pindah lagi. Aku tidak mengerti tentang cara hidupnya. Apakah ia tipe pria pengelana karena wanita ? Adakah kemungkinan itu ? Dia kan tampan, siapa yang tidak mau ?

Rasa penasaranku ini melebihi apapun, hingga aku memberanikan diri untuk menemuinya sendiri.

“ Hai,” sapaku ramah. “ Adelle,” aku memperkenalkan diri.

Dia hanya melirikku sekali, lalu kembali berkonsentrasi dengan bukunya dan menghiraukanku.

“ Apakah kau sesombong ini untuk berkenalan dengan seorang asing, Riffle Houff ?”

Mungkin karena kata-kataku yang—memang—lancang, aku berhasil membuatnya menutup buku dan menatapku dengan matanya yang tajam itu. Astaga, dia terlalu menarik untuk dibilang keren.

“ Aku sedang melakukan penelitian untuk bahan tugasku nanti, jadi aku membutuhkan bantuanmu sebagai narasumberku, bagaimana ?”

Ia masih tidak mau berbicara. Aku belum pernah mendengar suaranya sama sekali. Seperti apa kira-kira suaranya ?

“ Prosesnya, pertama, aku harus menentukan siapa narasumberku, yaitu kau. Lalu, aku akan menyelami bagaimana sifatmu seluruhnya berdasarkan apa yang kau katakan. Kemudian aku akan mencari tahu juga apakah apa yang kau katakan itu sama seperti kelakuanmu yang sebenarnya. Jadi, bisakah kau menceritakan kepadaku bagaimana sifatmu, atau segala hal tentangmu ?”

Ia mendengarkan dengan seksama, namun ia seperti tidak setuju dan pergi begitu saja.

“ Riffle ! Tunggu !” aku menahannya. “ Kumohon, kupikir kalau aku memilihmu, nilaiku akan sangat bagus. Bukan maksudku menghina, tetapi kepribadianmu terlihat…lain,”

Ia menaikkan setengah alisnya, “ Lain bagaimana ?” itulah suara pertama yang akhirnya kudengar.

“ Yah… Kau terlalu tertutup untuk ukuran manusia, itu saja sih,”

Lalu ia mengerutkan dahinya, “ Kupikir itu bagus,” lalu kembali berjalan dengan santai meninggalkanku.

“ Tunggu dulu, Riffle. Kumohon, ya ???” padahal aku berbohong tentang tugas itu. Seharusnya ia bertanya mata kuliah apa, karena kami mempunyai 3 kelas bersama.

“ Kalau kau memilihku, kalau kau mengetahui bagaimana kepribadianku, kau akan menyesal, Adelle,” ia rupanya masih mengingat namaku.

“ Aku tidak akan bisa menyesal sebelum mencobanya, kumohon, Riffle,”

“ Aku sangat berterima kasih sekali kau telah memilihku, Adelle, tetapi jawabannya tetap tidak,”

Kata-katanya memang santai, namun bulu kudukku bergidik. Ada sebuah charm yang ia miliki, yang berbeda dari siapapun. Dan aku sangat ingin tahu apa itu.

*********************************************************************          


Peluangku tidak mungkin kurang dari 1:100. Tidak mungkin  walaupun 100 kali aku berusaha untuk menyelami dirinya, tidak ada satupun yang berhasil.

Kenyataannya, karena lelah menolak, ia akhirnya setuju dengan ide “Yes or No Rapid Question”. Ia hanya perlu menjawab ya atau tidak untuk setiap pertanyaanku. Aku telah siap dengan ratusan pertanyaan yang telah tersusun rapi. Kami sepakat untuk bertemu di taman kampus saja.

“ Baiklah, aku mulai ya. Pertanyaan pertama, apakah kau mempunyai keluarga ?”

“ Tidak,”

“ Orang tuamu telah meninggal ?”

“ Tidak,”

“ Mereka meninggalkanmu ?”

“ Tidak,” aku lelah mendengar kata tidak di mulutnya.

“ Oke, jadi kau tidak mempunyai orang tua, begitu ?”

“ Ya,” oh, astaga.

“ Tidak ada relative sama sekali ?”

“ Ya,”

“ Aku bisa membayangkan betapa sepinya hidupmu,” ujarku.

“ Pertanyaan selanjutnya, tolong…” nampaknya ia tidak suka dikomentari.

“ Oh ya, maaf. Selanjutnya, apakah kau mempunyai pacar ?”

“ Tidak,”

“ Kau pernah berpacaran ?”

“ Tidak,” gila ! Mustahil !

“ Hei, kau berjanji akan berkata jujur, ya,” ingatku.

“ Aku tidak berbohong,” kedengarannya ia memang jujur.

“ Baiklah, apakah kau mempunyai seseorang yang kau cintai saat ini ?”

“ Tidak,”

Aku menutup daftar pertanyaanku sementara. “ Kau tidak punya keluarga, relative, dan kau tidak punya cinta di hidupmu ? Seberapa kelam hidupmu, sih ?” aku kebingungan.

“ Aku hanya akan menjawab pertanyaan ya atau tidak,” kini ia yang mengingatkanku.

“ Ya ya … Maaf … Apakah kau pernah mencintai seseorang ?”

“ Tidak,”

“ Kau tidak pernah jatuh cinta ?”

“ Ya,” ya untuk setuju atau… Gila anak ini !

“ Apakah kau pernah mencintai seseorang sebelumnya ? Menyukai ?”

“ Apa bedanya ?” tanyanya.

“ Jangan bilang kepadaku kau tidak tahu apa artinya cinta,”

“ Ya,”

“ Ya untuk apa ? Kau tahu apa artinya cinta ?”

“ Tidak,” jawabnya tegas.

“ Apa artinya menyukai ?”

“ Tidak,”

“ Apakah kau manusia ?”

“ Kupikir, ya,” ia memutar bola matanya.

Aku melongo tanpa sadar. Membayangkan bahwa di dunia ini ada manusia yang tidak pernah kenal cinta itu membingungkan.

“ Pertanyaan selanjutnya,” ucapnya.

“ Oh,” aku membuka kembali daftarnya. “ Kau menyukai musik Jazz ?”

“ Tidak,”

“ Rock ?”

“ Tidak,”

“ Hip-hop ?”

“ Tidak,”

“ Pop ?”

“ Tidak,”

“ Oke, kau tidak menyukai musik ?”

“ Ya,”

“ Kau tidak mendengarkan musik ?”

“ Ya,”

“ Gila !” ucapku tiba-tiba. “ Maaf,” kupikir omonganku keterlaluan.

“ Tidak apa, aku lebih senang dibilang begitu,”

“ Sudahlah, lupakan… Aku tidak bermaksud memanggilmu begitu juga, kok,” ucapku. “ Selanjutnya, kau menyukai buku misteri, ya ?”

“ Ya,”

“ Supernatural maupun pembunuhan ?”

“ Ya,”

“ Drama ? Romance ? Komedi ? Filosofi ?”

“ Tidak, tidak, tidak, dan ya,”

“ Kau tipe yang bertindak dengan logika dibandingkan kata hati ?”

“ Ya,”

“ Kupikir aku mulai jelas bagaimana mengklasifikasi tipe-mu,” gumamku. “ Ada titik terang, itu bagus, setelah semuanya hanya jalan buntu,” aku terus bergumam tanpa peduli ia dengar atau tidak.

*********************************************************************            


“ Dengar, kau harus mencoba bagaimana rasanya jatuh cinta, Riffle,” aku mengomelinya sambil melahap roti-ku.

Entah mengapa, setelah beberapa percakapan kami, aku merasa lebih santai dengannya. Bahkan dia bisa jadi kusebut sebagai sahabatku. Tetapi dia tidak terlalu menunjukkan keakraban denganku secara nyata. Dia masih menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang aku tahu bukan hanya akan menjadi masalah kecil saja kalau kuketahui.

“ Kau mengatakan hal itu seperti pernah merasakannya saja,” balasnya. Hebat kan aku bisa membuatnya seperti ini ?

“ Tentu saja aku pernah,” aku memukul lengannya yang berotot. “ Aku sudah 3 kali patah hati, bayangkan 3 kali, tetapi aku selalu ingin jatuh cinta, karena rasanya menyenangkan. Kau akan merasa dirimu sangat ringan, seakan kau mempunyai sayap setiap kali melangkah, atau apapun yang kau lihat menjadi berkali lipat lebih indah, pokoknya kau harus merasakannya setidaknya sekaliii… saja sebelum kau mati,”

“ Kalau begitu, ajarkan aku caranya jatuh cinta, kau bisa tidak ?” ia mengatakannya seakan tahu jawabannya. Tidak. Aku jelas menggeleng.

“ Kalau aku bisa, aku sudah mengajarkanmu sejak dulu. Kau harus tahu, cinta itu dicari, ditemukan, atau datang sendiri, tanpa perlu diajari, hei…” aku menyentil hidungnya yang kelewat mancung.

“ Kalau begitu jangan membicarakan cinta-cinta melulu, tunggu sampai cinta itu datang sendiri, bukan ?”

“ Atau kau mencarinya,” aku memperingatkan.

“ Baiklah, lalu dimana aku harus mencarinya ?” ia menganggap hal ini tidak pernah serius.

“ Di lapangan basket, di parkiran, di perpustakaan…Bodoh ! Mana kutahu ?” jawabku asal.

Ia lalu meraih bukunya yang tergeletak di sampingnya, dan membuka halaman berdasarkan yang ia tandai.

“ Aku tahu, di buku ini,” serunya.

Aku menutup bukunya tanpa peringatan lagi. “ Ya, kalau yang kau baca itu ber-genre drama dan romance, bodoh,”

Riffle tiba-tiba menghela napas. “ Kau tahu sesuatu ? Tidak pernah ada yang berani melakukan hal ini kepadaku,”

“ Apa ?”

“ Kau terlalu dekat denganku, Adelle,” matanya menatapku tajam.

“ Benarkah ? Jadi aku yang pertama menurutmu ? Wow,” aku mengungapkan kesenanganku.

“ Itu bukan sesuatu yang menyenangkan, orang-orang akan lebih senang menjauhiku,”

“ Kalau begitu aku berbeda dengan mereka,” aku menempelkan bahuku ke bahunya, dan mendorongnya pelan. Sangat kekanakan.

*********************************************************************


Dan malam itu datang, ketika aku sedang berbincang-bincang dengannya di perjalanan pulang dari kampus. 

Aku masih tidak lelahnya menyuruh anak itu untuk jatuh cinta, atau belajar mencintai setidaknya.

Yang kuingat hanyalah, 3 orang misterius dengan gaya ala mafia mendatangi kami, menodongkan pistol, membuatku tiarap. Namun tidak dengan Riffle, yang masih tenang sekali.

Dan… Begitulah selanjutnya.

*********************************************************************                 


Aku membuka sebuah arsip kriminal dan data buronan yang paling dicari. Diantara sekian ratus wajah, aku tiba-tiba bisa mengenali sosok Riffle. Namanya tidak pernah asli, begitu pula nama Riffle Houff ini. Dan aku tercengang melihat riwayat kasusnya. Pembunuhan, pembunuhan, pembunuhan massal. Apa yang ia lakukan ? Apakah dia seorang psikopat ? Sakit jiwa ?

Di kampus, dia masih datang. Aku langsung mendatanginya untuk meminta keterangan.

“ Rahasiamu ada di tanganku, jelaskan semua yang ingin kuketahui atau, kau tahu sendiri,” ancamku.

Dia malah tersenyum liar. “ Kau bukan ancaman bagiku,”

“ Setidaknya aku butuh penjelasan, Riffle, atau siapapun namamu, sial,” bisikku. “ Siapa kau yang sebenarnya ? Dan apa yang kau lakukan ?”

“ Duduk,” perintahnya. “ Aku adalah seorang pembunuh bayaran. Dengar ? Dan aku mempunyai misi untuk membunuh anak pewaris perusahaan yang kuliah disini, kau puas ?” ia memelankan suaranya.

“ Siapa dia ?” tanyaku.

“ Kau tidak perlu tahu, dan jangan pernah mencoba untuk menahanku, menggagalkan rencanaku, atau ikut campur, karena aku tidak akan segan membunuhmu,” ancamnya.

“ Kau bukan ancaman bagiku,” aku mengulang kata-katanya. Meskipun nyatanya tanganku gemetaran sekarang.

“ Anggap pembicaraan ini dan apa yang terjadi semalam tidak pernah terjadi, dan kau aman,” serunya. Lalu ia kembali berjalan menuju kelas.

“ Riffle,” aku menahan tangannya ketika berdiri. “ Apakah kau hidup untuk ini ?”

Tanpa ragu ia menjawab, “ Ya.”

Mataku tiba-tiba lelah, “ Apakah ini yang kau inginkan ?”

“ Dan apa yang sebenarnya yang kau mau, Adelle ?”

“ Kau tetap mempunyai kesempatan itu, Riffle. Mencintai dan dicintai, kau masih bisa mengubah hidupmu dengan hal itu, cobalah,” aku menjawab pertanyaannya semalam. “ Aku percaya kau adalah orang yang sangat baik,”

“ Tidak pernah ada orang yang mengatakan hal itu kepada seseorang sepertiku,”

“ Kau baru akan mulai mengerti arti hidupmu ketika kau mengenal cinta, Riffle,”

Namun ia tetap menghiraukan perkataanku, seperti biasanya.

*********************************************************************          


Aku tahu siapa yang dia incar. Setelah usahaku untuk mencari tahu, ternyata orang itu adalah Gustave, dia memang anak pewaris perusahaan besar. Hanya saja aku tidak tahu untuk apa membunuhnya. Gustave juga sepertinya tahu dirinya diincar, karena ia mempunyai 2 body-guard bertubuh besar yang melindunginya. 

Kupikir Riffle disewa oleh musuh perusahaan Gustave.

Pertumpahan darah itu akan terjadi di perpustakaan pada pukul 5 sore. Aku mengetahuinya, aku bisa tahu karena Gustave pernah melempar pesan dari Riffle untuk menemuinya di sana pada pukul tersebut.

Saat aku berusaha mendatangi perpustakaan, pintunya terkunci. Ada tanda “CLOSED” di pintunya, dan aku kecewa sekali. Namun sebuah tangan dengan sapu tangan putih membungkam mulutku. Tenaga orang itu sangat besar, hingga aku menyerah untuk melawan. Kulihat si kuat itu adalah body-guard Gustave. Gustave sendiri berdiri di samping body-guard yang lain dengan angkuhnya.

“ Jadi kau yang mau membunuhku ?” tanyanya.

Aku menggeleng. Bukan aku !!

Sebuah angin cepat tiba-tiba menyambar dari belakangku. Ternyata peluru baru saja lewat persis disamping telingaku. Aku terkejut, begitu pun Gustave dan si body-guard, hingga mereka mengeluarkan pistol untuk pertahanan, dan yang satunya lagi masih menawanku.

Riffle keluar dari persembunyiannya, menodongkan pistolnya ke arah Gustave. “ Itu aku,” jawabnya. Dia membulatkan matanya ketika melihatku. “ Sudah kubilang kau jangan ikut campur,” katanya kepadaku.

“ Aku tahu siapa dirimu, kau yang membunuh Camelia,” seru Gustave. Amarahnya terpendam sangat dalam dan membara.

“ Ah…” ia baru ingat. “ Wanita berambut hitam yang berada di samping Tuan Polisi itu ? Dia kekasihmu ? Pantas dia memakai liontin dengan fotomu,” lalu ia merogoh kantung celananya, “ Ini bukan ?” sebuah perhiasan bertahtakan berlian digenggamannya.

Gustave semakin geram. “ Jadi benar kau yang membunuhnya.” Nadanya terlalu ditahan untuk tidak berteriak. “ Selamat, hari ini adalah hari terakhirmu, aku tidak akan pergi dari sini sebelum melihatmu mati,” ucapnya penuh dendam.

“ Kupikir kau tahu bahwa kata-kata itu untukmu,” ia sama sekali tidak ketakutan.

Lalu aku baru menyadari Gustave melirikku. “ Apakah dia gadismu ?” tanyanya.

Aku menggeleng kencang, atau gemetaran karena mulut pistolnya menekan pipiku. “ Lepaskan dia, dia sama sekali tidak ada hubungannya,”

“ Oh Tuhan. Kupikir aku akan bersenang-senang dahulu dengan dia. Kau harus merasakan apa yang kurasakan dahulu sebelum mati,” Gustave tertawa dengan lirih, sama gilanya dengan psikopat.

“ Lepaskan dia, kubilang,” Riffle masih menodongkan pistolnya ke arah Gustave, tetapi Gustave mengancamnya dengan menodongkan pistolnya ke pipiku.

“ Kau tembak aku, dan aku akan menembaknya, menyenangkan bukan ?” ucap Gustave. “ Jadi yang mana yang akan kau pilih ? Nyawamu atau nyawanya ?” dia nampak senang dengan keadaan ini.

Riffle tidak bersuara. Pistolnya bergetar, aku tidak tahu mengapa. Ia nampak ragu untuk sementara.

Kalau ia menyerah sekarang, dia akan mati. Tetapi kalau ia tetap bersikeras membunuhnya, aku yang akan mati. Kematian sudah dihadapanku, tinggal menunggu Malaikat Maut memilihku. Jadi…Aku akan mati, ya ? 

Mengapa rasanya tidak seseram yang pernah kubayangkan ?

“ Sakit bukan membayangkan orang yang kau cintai akan mati ?” tanya Gustave.

Bukan hanya aku, bahkan Riffle tampak terkejut mendengarnya.

“ Diam kau,” geram Riffle. “ Lepaskan dia, cepat,” paksanya.

“ Oh ya ? Bagaimana kalau…..begini ?”

Tiba-tiba kakiku terasa sangat sakit, seperti tulangnya terpecah dua. Rupanya Gustave menembak kaki kiriku, dan aku tumbang seketika. Jadi ini rasanya tertembak itu… Menyakitkan sekali.

Aku melihat Riffle memejamkan matanya. Lucu sekali, bukankah dia sudah membunuh puluhan orang, tetapi ia malah tidak sanggup melihatku ?

“ Hentikan !” teriaknya.

“ Sudah kubilang, aku tidak main-main,” seru Gustave. “ Kau harus merasakan apa yang kurasakan waktu itu,” ia serius. Ia sangat ingin membunuhku.

Aku tersenyum kepada Riffle. Rasa sakit di kakiku terlalu menjadi. Aku menginginkan penderitaan ini berakhir. Dibunuh bukan akhir yang menyedihkan juga kupikir, daripada aku terus kesakitan seperti ini.

Tembakan yang kedua, Gustave menembakku di bahu, bahu yang pernah menempel di bahu Riffle sebelumnya. Bahu itu mengeluarkan banyak darah, dan rasa sakit yang berkali lipat dibandingkan yang tadi. 

Aku tidak tahan, sampai aku menutup mataku.

Penderitaan ini akan berakhir juga, bukan ?

*********************************************************************              


Kau bilang aku tetap memiliki kesempatan untuk mencintai dan dicintai, bukan ? Meskipun aku bukan manusia, manusia yang seharusnya, aku masih memiliki kesempatan itu, bukan ? Meskipun aku sudah membunuh banyak orang sekalipun, aku masih bisa jatuh cinta, bukan ? Cepatlah jawab aku dan katakan dengan senyummu itu.

Ternyata Malaikat Maut itu belum memilihku untuk dicabut nyawanya hari ini. Buktinya aku masih bisa mendengar suara itu, aku masih hidup.

Mataku terbuka perlahan. Cahaya matahari menusuk sekali ketika aku membuka mata. Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri ?

Aku mendapati diriku terbalut perban disana-sini. Infus tertancap, tetapi aku tidak perlu bantuan oksigen untuk bernapas. Kepalaku pening, segalanya tampak berputar. Tetapi tidak lagi setelah aku melihat siapa yang sedang terjaga menungguiku.

Riffle. Ah, siapapun namanya. Dia nampak segar bugar, tidak mati sama sekali. Kutebak dia berhasil membunuh Gustave. Aku duduk untuk memastikan aku sudah membaik.

Riffle mendekatkan kursinya ke arahku, lalu ia menyentil dahiku. “ Bodoh … Bodoh …” ucapnya. Hei, aku kan masih hidup, apanya yang bodoh ? “ Aku sangat ketakutan waktu itu hingga kalap. Kutembak saja kepala anak itu dan kedua orang tololnya dengan cepat, lalu membawamu ke rumah sakit, berterima kasihlah kepadaku, hidupmu sangat tergantung kepadaku,” ia membanggakan dirinya sendiri.

Aku tidak percaya hal ini. Siapa yang dihadapanku sekarang ?

“ Kau juga bodoh, R….” aku bingung memanggilnya.

“ Namaku benar-benar Riffle. Itu nama asliku,” ucapnya.

“ Ya, kau juga bodoh, Riffle. Mengapa tidak kau tembak dia saja dan urusanmu selesai ?” aku seperti orang yang baru bangun dari tidur saja yang bisa memarahi orang lain, bukan korban tembak.

Ia menyentil dahiku lagi. “ Bodoh,” ucapnya. “ Nyawamu lebih berharga daripada apapun,”
Aku terkejut, sangat-sangat terkejut. Aku bahkan mengedipkan mataku seperti orang yang memang kelewat bodoh.

“ Jangan tunjukkan wajah bodohmu itu, dong,” ia menggenggam tanganku. “ Bisa-bisa aku semakin jatuh cinta denganmu,” serunya gamblang.

“ Kenapa kau malah terkejut begitu ? Bukankah kau yang paling gigih menyuruhku untuk jatuh cinta ? Sekarang setelah aku jatuh cinta, kenapa reaksimu begitu ?” dia……sudah kupastikan gila.

“ Riffle, kumohon serius,” pintaku.

Akhirnya tidak ada senyuman lagi diwajahnya. “ Aku tahu, sulit bagimu untuk mengetahui bahwa si pembunuh ini mencintaimu ya ?”

Benarkah aku begitu ?

“ Sudah kubilang, aku tidak pantas sama sekali, sudah kubilang kau akan menyesal,” Oh Tuhan, aku tidak bermaksud mengecewakannya.

“ Hei…Tuan Bodoh,” panggilku. “ Ternyata kau juga bisa merendahkan diri, ya…lucu sekali,” ledekku. “ 

Bagaimana aku tidak bisa mencintaimu juga kalau kau semenarik ini ?”

Senyumnya merekah. Sungguh, aku tidak peduli apa yang telah dilakukannya. Setiap orang yang sudah menemukan cinta, disanalah hidupnya bermula. Dirinya yang dulu bukanlah apa-apa. Aku bukan orang yang perlu menghakimi apapun, jadi bukan masalahku untuk menghukumnya juga. Karena sudah sangat jelas sekali,

Sejak awal aku tertarik kepadanya. Semakin aku mendekatinya, semakin aku menyukainya. Dan hingga saat ini, aku telah jatuh cinta kepadanya.



------ end of story ------

Yeaaaay !!!!
This is one of my "hidden" collections. I haven't posted anywhere before, but finally, I DID IT !!!
Enjoy~~