Aku pernah mencintai seorang wanita. Namanya Katherina Serge.
Matanya yang berwarna Turquoise memerangkapku. Rambutnya yang hitam bergelombang menghempaskan keraguan dalam diriku. Aku mencintainya di kala gelora jiwa mudaku membara.
Aku selalu memandangnya di antara pepohonan yang menghalau matahari membakar kulitnya. Aku mengaguminya di setiap lembaran buku yang dibaliknya. Dan aku mengalihkan pandanganku darinya di saat dia berpaling dari bacaannya. Terkadang dia tersenyum membaca bukunya, terkadang juga muram. Aku mencintainya meskipun dia tidak pernah mengenalku.
Tidak, maksudku meskipun dia telah melupakanku. Kami pernah bertemu dan saling berkenalan. Tetapi aku tidak yakin dia mengingatku.
Aku selalu memandanginya di setiap hari minggu pagi, dimana dia menghabiskan waktunya untuk membaca buku dibawah pohon beringin. Aku mencintainya kali pertama aku melihatnya, dan aku tidak bisa menahan betapa inginnya aku memandanginya setiap hari.
Setelah membaca buku, dia akan pergi ke sebuah kafe dan memesan waffles.
Dia memakai sebuah scarf di lehernya setiap waktu. Pakaiannya selalu berupa dress sebetis dengan lengan panjang. Tak lupa pula sebuah ikat pinggang pita. Dia bagaikan wanita jaman dahulu yang kolot dan melankolis. Dan aku tetap mencintainya.
Setelah menghabiskan waffles yang dipesannya, dia lalu berjalan menuju halte bus. Tetapi kali ini berbeda dari biasanya. Dia menyeberang jalan dan aku menahan diriku untuk terkejut. Aku berada di seberang jalan itu.
Apa yang kau lakukan mengikutiku setiap minggu, tanyanya. Untuk kedua kalinya dia berbicara denganku. Aku terkejut dan terdiam.
Dia berkata bahwa dia sudah tahu kalau aku selalu mengikutinya selama sebulan ini. Dan tiba-tiba dia memanggil namaku. Philip. Aku terpaku mengetahui bahwa dia mengingat namaku.
Aku ingat pertama kali percakapan kami adalah ketika kami berdua terjebak di halte bus di tengah guyuran hujan yang begitu deras. Dia mengajakku berbicara untuk pertama kalinya, dan pada saat itu pula aku menemukan sorotan mata terindah yang pernah kutemui. Dia tersenyum dan tampak menikmati percakapan kami. Tetapi percakapan itu berakhir saat sebuah bus datang menjemputnya. Dengan penuh etika dia melambaikan tangannya kepadaku, memberikan salam perpisahan. Tepat pada saat itu pula aku ingin sekali menahan tangannya dan memintaku untuk tetap bersamaku. Tetapi aku terlalu malu untuk berbuat hal sebodoh itu.
Katherina berkata bahwa bagaimana dia bisa melupakan namaku karena aku adalah pria pertama yang berbicara dengannya.
Aku bertanya-tanya bagaimana bisa pria lain tidak mau mengajaknya berbicara. Atau mungkin mereka juga terpaku pada keindahannya sehingga menahan diri untuk bersikap bodoh di depannya. Dan aku adalah pria yang nekat mengambil resiko menjadi bodoh di depannya.
Katherina tertawa dan bertanya apakah mungkin aku menyukainya. Andai aku bisa menjawabnya seketika itu pula, tetapi rupanya aku masih terdiam di hadapannya.
Dia lalu mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Kami berjalan bersampingan, dan dengan kaku memberi jarak satu sama lain.
Dia berhenti secara tiba-tiba dan menunjuk sesuatu dengan kedua tangannya. Katanya kali ini dia tidak akan menaiki bus seperti biasanya karena ada sesuatu yang berbeda. Dan dia menunjuk seseorang di kejauhan.
Aku akan menikah dengan pria itu dan dia sudah menungguku selama 2 jam dan tidak pernah berniat untuk meninggalkanku sama sekali, jelasnya. Seorang pria dengan tuxedo abu-abu yang ditunjuknya itu sedang duduk dengan pandangan kosong. Katherina berkata dia sengaja terlambat untuk mengetahui seberapa cintanya pria itu kepadanya. Dan dia ingin aku menilainya juga.
Aku berkata kepadanya bahwa seorang pria yang dapat menahan diri untuk menunggu seorang wanita selama itu menunjukkan betapa cintanya dia kepada wanita tersebut. Dia kelihatan senang mendengar pendapatku, dan berterima kasih kepadaku.
Rupanya pria itu bernama Adrian. Adrian melamarnya kali pertama mereka bertemu. Katherina terpukau dengan keberanian pria itu dan kejujurannya. Dia menerima lamaran tersebut seketika itu pula. Dia mengaku bahwa memang aneh menerima lamaran seorang pria asing secara tiba-tiba. Tetapi hal tersebut menurutnya memberikan sebuah pengalaman baru untuk mengeksplorasi perasaannya.
Aku hanya bisa tersenyum pahit. Mengapa pada saat itu aku tidak benar-benar menahan tangannya dan memintanya untuk tetap bersamaku. Kalau aku menahannya, mungkin akulah pria yang yang sedang menunggunya disana. Tidak masalah berapapun jam yang perlu kuhabiskan hanya demi menunggunya, karena aku juga telah menunggu kehadirannya selama berbulan-bulan. Beberapa jam penantian lagi demi mendapatkannya, tentu saja aku bisa melakukannya.
Aku bertanya kepadanya apakah dia menyukai Adrian atau tidak. Dia hanya tersenyum sambil menyipitkan matanya. Menurutnya perasaan tersebut tentu saja dapat tumbuh seiring waktu.
Kini aku mengerti siapa Katherina. Seorang wanita tanpa pengalaman cinta dengan persepsi yang begitu unik mengenai cinta. Dia tidak memuja adanya cinta sejati dan percaya bahwa cinta adalah dibuat dan terbiasa, bukan ditakdirkan dan ditemukan. Cinta menurutnya sangat sederhana.
Seorang wanita yang menghabiskan minggu paginya membaca novel romantis yang bertentangan dengan prinsipnya.
Namun kenyataan tersebut tidak pernah membuatku menghapus cintaku kepadanya. Aku masih menatap mata turquoise indahnya seakan kedua pasang bola mata itu milikku. Aku tetap menghela napasku untuk setiap wewangian yang berasal dari parfumnya. Bahkan aku masih mengagumi keindahan dirinya secara diam-dia saat dia berjalan mendekati Adrian.
Aku pernah mencintai seorang wanita, dengan segenap hatiku. Meskipun tanpa pernah berbicara, tanpa berbalas.
Dan aku mengerti cintaku ini tidak pernah sia-sia karena dengan begitu aku mulai bisa memahami betapa inginnya aku dicintai seperti yang pernah kurasakan kepadanya pula.
Kalau aku pernah jatuh cinta sedalam itu kepada seorang wanita, mengapa aku tidak bisa melakukannya lagi kepada wanita lain untuk kedua kalinya?
Mungkin pada saat itu pada akhirnya aku bisa mendapatkan cintanya pula.
Aku pernah mencintai seorang wanita, dan perasaan itu mengajariku untuk dewasa dan menerima kenyataan. Belajar untuk menikmati semua pengalaman yang kehidupan berikan.
------------end of story------------
I wrote this story in one night and one song. It was "Lucky" by EXO. The song gave me a feeling of how lucky someone to love and to be loved. Even though the story didn't tell the luck of being loved, but there is also the luck for the unrequited love. That's my message of this story.
Please look forward for more stories!!!
Lovely,
Me.