Aku pernah mencintai seorang pria. Namanya Frederic West.
Namun sayangnya, dia tidak pernah bisa membalas perasaanku ini.
Aku selalu berada di sisinya dan menemani setiap langkahnya. Dan di setiap kali aku menyadari posisiku bagi dirinya, kami tidak lebih hanyalah sahabat di matanya.
Mungkin dia tidak bisa hidup tanpaku, dan aku juga tidak bisa hidup tanpanya. Tetapi alasan kami berbeda satu sama lain.
Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai mengerti bahwa aku mencintai Fred, tetapi yang kuingat bahwa hal itu terjadi sudah terlalu lama.
Aku tersenyum disaat dia berkata bahwa aku adalah yang terbaik untuknya, dan hanya bisa membisu saat dia menambahkan terbaik diantara sahabatnya yang pernah ada.
Fred adalah pria yang baik dan ramah. Dia pantas dicintai oleh siapapun yang mengenalnya. Fred memiliki senyum yang indah dan dia selalu memamerkannya setiap kali bertemu dengan orang lain.
Dia jarang menunjukkan kesedihannya, dan aku adalah salah satu yang dipercayainya untuk berbagi kesedihan itu. Dia datang kepadaku ketika dia ragu akan sesuatu dan meminta pendapatku. Dia datang ketika airmatanya sudah tidak tahan dibendung lagi. Dan aku menerimanya dengan segenap hatiku.
Segala kebahagiaannya,
Kesedihannya,
Keraguannya,
Ataupun kesunyiannya.
Fred tidak pernah bisa melihatku sebagai seseorang yang pantas untuk dicintainya. Aku selalu bertanya-tanya mengapa dia tidak bisa melihatku sebagai seorang wanita secara utuh, yang perlu dicintai dan dihargai pula.
Tetapi aku sudah cukup bahagia. Menjadi sahabat terbaiknya adalah kebahagiaan tersendiri untukku.
Suatu hari Fred mendatangiku dengan senyum yang tidak biasa. Aku bisa melihat auranya yang berapi-api. Dia hendak melamar seorang wanita, dan dia bertanya apakah dia sudah bertemu yang terbaik untuknya atau belum.
Kau sudah bertemu dengan yang terbaik untukmu, jawabku dengan senyum yang tertahan. Aku ingin berkata kepadanya, akulah yang terbaik untuknya dan dia memang sudah menemukannya. Bukan wanita itu.
Tetapi mulutku tertahan.
Dia menggenggam tanganku dan mengucapkan terima kasih. Aku masih bisa mengenang senyuman yang paling indah yang pernah kulihat meskipun pemiliknya sudah pergi meninggalkanku.
Dan aku mulai meragukan keinginanku. Aku mencintainya dan mengapa aku tidak berusaha untuk mendapatkannya. Aku berdoa dan berharap bahwa wanita itu menolaknya dan memberikanku kesempatan sekali lagi untuk berterus terang kepada Fred.
Aku pernah mencintai seorang pria, dan hal tersebut membuatku menjadi seseorang yang buruk secara tiba-tiba.
Aku menyalahi kejahatanku yang telah berharap untuk merenggut kebahagian orang yang kucintai demi keinginanku sendiri.
Fred datang dengan kondisi terburuknya. Penolakan wanita itu berakhir dengan hilangnya senyuman di wajahnya. Perlahan Fred menjadi seseorang yang muram dan tidak peduli akan sekitarnya.
Aku masih mencintainya tidak peduli dia bukan lagi Fred yang kukenal atau bukan.
Aku bertanggung jawab dengan perubahannya. Kalau saja aku menahannya pada saat itu, menanyakan apakah dia sudah yakin dengan keputusannya, atau mungkin memastikan semuanya akan baik-baik saja, aku masih bisa melihat senyuman itu. Tidak seperti ini.
Aku pernah mencintai seorang pria, dan karenanya aku mengabaikan perasaan lainnya.
Aku pernah mencintai seorang pria, dan aku berharap untuk tidak pernah mencintainya lagi. Aku menyesali perasaan ini dan berharap untuk menghapusnya sejak awal.
Aku melihat pria yang kucintai, menatapnya dan kemudian menangis di bahunya saat dia terus menangisi kenyataan pahit itu. Aku menangisi keputusanku yang begitu egois ingin mendapatkannya dan berakhir fatal.
Aku pernah mencintai seorang pria, namun bukan begini caranya. Aku ingin selalu bersamanya dikala suka maupun duka, dikala ragu maupun bisu. Tetapi mencintainya membuatku buta. Aku tidak bisa lagi menentukan pilihan yang terbaik bagiku dan juga baginya.
Kalau saja penolakan wanita itu karena Tuhan mengabulkan permohonanku, pemikiran tersebut selalu menghantuiku. Aku bertanggung jawab akan Fred, akan perubahannya. Aku selalu berusaha mengembalikan Fred yang dahulu. Tanpa bosan aku membantunya untuk bangkit, hingga akhirnya dia muak denganku.
Aku tidak membutuhkanmu lagi, Agnes, pergi dari hadapanku, pergi dari kehidupanku, sudah cukup usahamu, aku tidak mau melihatmu lagi.
Itulah kata terakhirnya. Kata yang terucap sesaat sebelum dia terlelap tidur dalam keletihan. Aku hendak membantunya berjalan memasuki rumahnya setelah seseorang meneleponku karena menemukan Fred terbaring di pinggir trotoar. Dia habis dipukuli oleh orang tak dikenal, dan aku tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
Aku pernah mencintai seorang pria, dan pria itu menyadarkanku. Setiap kejahatan yang pernah aku lakukan, ada kalanya kejahatan tersebut kembali kepadaku lagi.
Aku sempat menginginkan Fred dengan begitu meluapnya hingga berharap untuk merenggut kebahagiannya demi kebahagiaanku semata. Dan kini aku mendapat ganjarannya. Aku harus menjauhinya dan tidak pernah bertemu lagi dengannya seumur hidupku.
Aku pernah mencintai seorang pria, dan aku sangat menyesalinya. Tidak ada kebahagiaan yang bisa kurasakan lagi.
Aku pernah mencintai seorang pria, dengan segenap hatiku, sepenuh jiwaku, dan meskipun pria itu tak mencintaiku kembali, tidak menginginkan keberadaanku lagi, aku tidak pernah sanggup berpikiran untuk menghapus sosoknya di hatiku.
Apakah aku bisa melupakanmu dan mencintai pria lain? Aku tidak tahu...
Aku pernah mencintai seorang pria, dan meskipun aku menyesalinya, aku tidak bisa melupakan perasaan ini.
----------end of story----------
This time, i made another one shot story about woman's perception. There is a lot of difference, and i just picked one of them, FRIENDZONE, i think.
Hope you enjoy it!