Friday, 27 November 2015

[One Shot] Life in a Scattered Puzzle

Wesley melingkarkan sebuah scarf ke leherku untuk menghalangi udara dingin yang luar biasa menusuk hingga ke tulang. Aku memperhatikan pria ini dan tiba-tiba tersenyum. Dia menyadarinya dan bertanya, dan aku menjawab tidak ada apa-apa.

Wesley, apakah kau benar-benar menyukaiku? Sangat menyukaiku sampai kau rela menyerahkan scarf milikmu dan menahan udara dingin ini agar aku tetap hangat? Apakah perhatianmu kepadaku yang berlebihan selama ini adalah bentuk perasaanmu? Wesley, bagaimana kalau aku berkata kepadamu,

Aku tidak bisa menyukaimu sebesar kau kepadaku.

Wesley membawaku ke sebuah tea saloon. Dia tahu kalau aku tidak menyukai kopi meski dia adalah penikmat berat kopi. Terkadang aku berkata kepadanya kalau tidak masalah kami mendatangi coffeeshop, namun Wesley menolak. Dia juga hendak mengurangi konsumsi kopi, menurutnya.

Apakah kau tidak tahu semakin sering kau memaksa dirimu untuk menyesuaikan denganku, semakin berat beban ini harus kupikul?

Dia memesankan darjeeling tea untuk kami berdua. Aku memperhatikan caranya meminum teh. "You're not supposed to put a lot of sugar in your tea," ucapku.

Dia menatapku. "It's plain," dia mengecap teh tersebut, "And a little bit bitter,"

"But it's less bitter than coffee," aku hampir tertawa.

"Ya, dan aromanya juga sangat menarik," aku senang Wesley nampak menikmati tehnya.

Aku dan Wesley menikmati udara dingin di luar sambil menghangatkan diri dengan secangkir teh. Kami membicarakan banyak hal dan memikirkan banyak hal juga.

"Kalau kita menikah nanti, kau ingin tinggal dimana?"

Aku terkejut namun mencoba menutupinya. Menikah dengan Wesley tidak pernah menjadi keinginanku, meski Wesley adalah pria terbaik yang pernah kutemui. Walaupun dia merasa cocok satu sama lain, aku tidak berpikir demikian.

"Aku suka sekali daerah pegunungan seperti ini," ucapku sambil memperhatikan pemandangan di luar.

"Apakah aku sudah harus menginvestasikan sebuah rumah disini?"

Aku meliriknya. "Tetapi tempat ini sangat jauh dari kantormu," dan jauh dari perkotaan.

"Ah, begitu ya? Lalu bagaimana?"

Pertanyaan ini mengarah ke hal-hal yang sangat kuhindari. Aku tidak ingin memberi harapan palsu kepadanya. Tetapi aku juga tidak memiliki jawaban dari pertanyaannya.

"Let's not think about it and focus on our present," elakku.

Wesley nampak kecewa. Sepertinya dia mulai merasakan bahwa aku tidak melihat masa depan bersamanya. Ya, kalau dia berpikir seperti itu, dia benar. Sayangnya dia tidak pernah menanyakannya kepadaku.

"Good night," ucap Wesley setelah mengantarkanku ke depan pintu studio milikku.

"Good night," balasku.

Dia mengecup dahiku dan melambaikan tangannya kepadaku selagi berjalan pulang. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman kecil sampai dia tidak terlihat lagi dari penglihatanku.

Setelah selesai mandi dan bersiap tidur, seseorang mengetuk pintuku. Kupikir orang itu adalah Wesley. Dia sering melakukannya dan berkata bahwa dia sudah merindukanku meski baru beberapa menit berlalu.

Tetapi siapa yang kutemui di hadapanku kali ini bukanlah Wesley. Seseorang yang tidak pernah kuharapkan untuk datang kini berada tidak lebih dari 30 cm di depanku.

Dengan wajah sendunya dia langsung memelukku tanpa izin. Di pelukanku, dia menangis dan tubuhnya gemetaran. Aku mulai mengerti apa yang terjadi kepadanya.

Berapa kali kau harus mengalami patah hati?

Saat duduk di sofa, dia mulai menceritakan masalahnya. Benar saja dugaanku. Dia baru saja putus dengan seorang wanita yang kuingat bernama Claire. Setidaknya hubungannya kali ini sudah berjalan lebih lama dibandingkan sebelumnya. Namun semakin lama hubungan mereka, semakin lama pula curhatannya.

Katakan kepadaku, berapa lama lagi kau ingin terpuruk seperti ini dan tidak pernah melihat keberadaanku di sisimu?

"Apakah kau muak denganku?" tanyanya.

Aku menolehnya dan sedikit kaget karena sedang memikirkan hal lain, "Eh?"

"Aku selalu datang kepadamu di saat seperti ini. Kau pasti muak denganku, bukan?"

Apa yang harus kukatakan kepadamu? Aku hanya ingin kau berhenti mencari wanita lain dan memandangku sebagai wanita juga.

"It's okay, really," balasku. "I will always be there for you, Clive,"

"Thank you, Iris,"

Ketika dia memanggil namaku, rasanya seluruh bulu kuduk ini berdiri. Aku balas tersenyum dan menawarkan sebuah susu hangat untuk mengobati dirinya saat ini.

Wesley, pria ini adalah satu-satunya alasan mengapa aku tidak bisa menerimamu sepenuhnya. Kau tidak seharusnya menyalahkan Clive. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya aku masih tidak bisa mengakhiri perasaan sepihak ini.

Aku menyerahkan segelas susu hangat kepadanya. Dia selalu menyukai susu cokelat dan saat meminumnya, raut wajah Clive nampak sedikit lebih tenang. Dia masih tidak berhenti berbicara banyak hal mengenai perasaannya kepada Claire.

"You know? Sometimes finding your true love is like finishing a puzzle," ucapku kepadanya.

Dia menggenggam gelas hangat tersebut erat-erat karena cuaca benar-benar sedang dingin. Clive begitu memperhatikan omonganku.

"Kau akan menemui banyak potongan puzzle yang kau pikir cocok untuk melengkapi gambarnya. Namun disaat kau memasangkannya, ternyata kau salah. Dan yang harus kau lakukan adalah mencari potongan lain yang benar, bukan?"

Clive mengerti maksudku.

"Namun terkadang kau tidak harus menyocokkan semua potongan tersebut. Kau perlu menganalisa potongan mana yang sesuai dengan kriteria yang kau butuhkan. Ada kalanya juga kau memasangkannya dalam posisi yang salah sehingga tidak cocok,"

Sebelum dia mulai berbicara lagi, aku menyela.

"Saat kau mengetahui bahwa potongan puzzle tersebut adalah salah, bukankah kau merasa tertantang untuk mencari yang lain?"

Ada jeda beberapa belas detik hingga akhirnya Clive berbicara, "Jadi yang kau maksud adalah aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih tepat?"

Can't it be me?

Aku hanya mengangkat bahu. "Dunno. Pikiran itu terlintas begitu saja,"

"Bagaimana denganmu? Apakah kau sudah menemukan potongan yang cocok untukmu?"

Aku menatapnya. Pria ini benar-benar tidak sadar. Apakah semua orang bersedia membukakan pintu untuknya dan mendengarkan keluh-kesahnya di tengah malam seperti ini? Apakah siapapun bisa tahan bersama pria egosentris sepertinya? Apa dia tidak sadar kalau aku sedang menahan kantuk yang luar biasa?

"Mm... Maybe. Kupikir aku sudah menemukan satu tetapi belum pernah memastikannya,"

"Why?" tanyanya, clueless.

Because it's you, Clive.

"Meskipun kupikir cocok, belum tentu pihak lain merasakan hal yang sama,"

"Jadi katamu pria itu tidak merasa cocok denganmu?" Katanya seolah tidak mengerti. "Come on, Iris,"

"What?" Tanyaku.

"Kalau kita tidak berteman sejak lama, aku pasti sudah tergila-gila denganmu,"

Huh, noted.

Sekitar pukul 2 dini hari, Clive akhirnya pergi dan merasa sedikit tenang menurutnya. Aku masih mengantarnya hingga ke luar jalan dengan kantuk yang luar biasa meradang.

Setelah kepergian Clive, meski tubuh ini terasa lelah dan aku terus menguap, aku tidak ingin tidur. Sesuatu terlintas di benakku, Wesley.

Aku merasa sangat berdosa terhadap Wesley. Setidaknya hari ini hingga malam tadi dia selalu mengisi hariku dan aku juga merasa senang. Setelah keberadaan Clive yang hanya sebentar saja, secara langsung aku tahu bahwa yang kuinginkan memang hanya Clive.

Apakah aku salah, Wesley? Aku menginginkan Clive namun aku tidak benar-benar ingin melepasmu.

Beberapa hari kemudian Wesley mengajak bertemu di sebuah cafe sekitar pukul 7 malam. Aku mengiyakannya. Sejak pagi aku bersiap memakai pakaian terbaikku untuknya. Well, tidak hanya untuk Wesley seorang, karena pada siang harinya, aku sudah memiliki janji dengan Clive tanpa sepengetahuan Wesley.

Clive menjemputku dan dia sedikit tertawa melihatku yang sedikit over-dressed. Aku berkata bahwa aku memiliki janji lain malam nanti dan dia masih saja merasa aku terlalu berlebihan.

Alih-alih kesal, aku tidak merespon apapun dan bersikeras untuk memakai apa yang sudah kupersiapkan sejak kemarin malam. Padahal aku sangat ingin mendengar pujiannya hari ini, namun yang ada dia malah menertawaiku.

Aku mematikan ponselku ketika bersama Clive agar lebih fokus saat bersamanya. Kali ini dia meminta bantuanku untuk berbelanja. Aku tidak keberatan sebenarnya, kalau dia memberitahu bahwa dia hendak membelikan sesuatu untuk seorang wanita yang akan menjadi blind date-nya nanti. Lagi-lagi, aku hanya bisa menelan ludah saat bersamanya.

Meski kekesalanku semakin bertambah, aku tetap saja bersedia membantunya berbelanja. Karena beberapa hal, Clive dan aku masih belum menemukan sesuatu yang tepat sampai pukul 6 lewat. Aku memperhatikan jam dengan gelisah. Ponselku juga lupa kubawa dan masih di mobil Clive.

"Kau lapar, tidak? Bagaimana kalau sebelum pulang kita makan dulu saja?" ajaknya.

Aku memperhatikan pria ini. Apakah dia sudah lupa kalau aku memiliki janji dengan orang lain?

"But I already had an appointment with someone," ucapku.

"Siapa? Apa sangat penting?"

That look. 

That gaze of yours.

Mengapa setiap kali aku menghadapimu, mulut ini sulit sekali berkata tidak?

Karena tidak menjawab, Clive mendorongku untuk jalan lagi. Dia menunjuk sebuah restoran di dalam mall. Dia duduk dan memilih menu dengan santai sekali.

"I left my phone in your car," ucapku.

"Kau mau mengambilnya? Tempat parkirnya jauh sekali," ucapnya sambil meletakkan kunci mobil di atas meja.

Aku mengambil kunci tersebut dan segera bangkit dari tempat duduk.

"Iris," panggilnya sebelum aku bergegas pergi. "Kau tidak akan meninggalkanku sendiri disini, kan?"

Aku melihatnya dan merasa tidak bisa pergi begitu saja. Sesuatu terpikir olehku.

"Lend me your phone," aku meminjam ponselnya.

Aku menelepon nomor kantor Wesley. Untung saja dia belum pergi dan bisa menerima teleponku.

"Wesley? Maafkan aku, sepertinya aku tidak bisa menemuimu malam ini,"

"Ah... Benarkah? Bagaimana kalau jam 8?" Tanyanya.

"I can't, sorry," balasku. "Bagaimana kalau besok?"

"Besok? Aku ada meeting sorenya, tetapi akan kuusahakan," jawabnya. "Sampai jumpa besok," dia lalu menutup teleponnya.

Aku duduk kembali sambil memberikan ponsel tersebut kepada Clive. Dia kemudian bertanya.

"Who was it?" Tanyanya.

"Aku baru saja membatalkan janjiku malam ini," mataku terfokus pada menu yang akan kupesan.

Seharusnya aku merasa bersalah sekarang. Namun ketika melihat Clive di depanku, aku tidak bisa mengakui bahwa yang kulakukan ini adalah salah. Bersama Clive sedikit lebih lama lagi dengan mengorbankan hal lain, apakah dia benar-benar layak dipertahankan?

"Halo? Ah, ini Bright Media?" Saat melihatnya, dia sedang menelepon nomor yang kutelepon tadi. Dia langsung menutupnya dan menatapku.

"Kau ada janji dengan Bright Media?" Tanyanya.

Aku melihatnya. Sebenarnya aku cukup ragu memberitahunya, tetapi aku selalu penasaran dengan reaksi Clive. "My boyfriend, he works there,"

"Kau sudah punya pacar?" Ya, dia sama sekali tidak tahu. "Sejak kapan?"

"6 bulan," jawabku.

"Lalu pria yang kau bilang tidak merasa cocok denganmu adalah pria ini?"

No, it's you.

"It's different," jawabku.

"Maksudmu kau menyukai pria lain selain pacarmu?"

Apakah itu salah?

"What?" Tanyaku saat melihat reaksinya.

"What? What?" Dia berbalik tanya.

"That look, what do you mean?"

"Nothing," balasnya. "I'm only thinking,"

Beruntung sekali minuman pesanan kami sudah datang. Tenggorokanku berasa kering sekali dan sedikit gugup karena pembicaraan yang cukup sensitif ini.

"Jadi pria yang kau sukai ini, siapa dia?"

Isn't it too obvious?

Siapa lagi yang bisa membuatku membatalkan janji dengan pacarku sendiri hanya karena sebuah keinginan bodoh yang tak berdasar ini?

"Bisakah kita tidak membicarakannya?"

"Baik baik," ucap Clive. "Satu pertanyaan lagi. Kalau kau menyukai pria lain, mengapa kau bisa menerima pria ini?"

Mengapa? Ya, mengapa aku bisa menerima keberadaan Wesley di kehidupanku?

"Apa maksudmu?"

"Kalau kau tidak menyukai pria ini juga, tidak mungkin kau menerimanya, bukan?"

Apakah aku menyukai Wesley?

"Apa dia lebih baik dari pria yang kau sukai itu?" Tanyanya.

"Not really,"

"Lalu apa yang membuatmu menerimanya? Apa kau tipe yang menerima semua pria yang menyukaimu?"

Dia tahu aku bukan wanita seperti itu.

"Dan hubungan kalian juga sudah berjalan cukup lama, kalau kau tidak benar-benar serius, seharusnya tidak selama itu juga"

"Jadi apa sebenarnya yang kau ingin katakan?" Dia nampak sok tahu dengan segalanya.

"If i must choose between to love or to be loved, it must be better to be loved by someone," jawabnya. "Apa gunanya terlalu fokus pada orang yang tidak membalas perasaanmu sedangkan ada seseorang yang menyukaimu dengan sepenuh hati?"

Pria ini... Apakah sebenarnya dia tahu siapa yang kusukai?

Kalau iya dan selama ini dia hanya berpura-pura tidak tahu, apakah ini salah satu caranya menolakku?

"Kalau pria ini benar-benar menyukaimu, hanya perlu sedikit usaha saja untuk membuatmu menyukainya juga, bukan?"

Bagaimana ini, Clive? Apakah aku harus benar-benar merelakanmu?

"Jadi maksudmu aku sebaiknya pergi sekarang dan menemui pacarku?" Tanyaku.

"Kalau aku tahu dari awal kau memiliki janji dengan pacarmu, aku pasti tidak akan menahanmu,"

Tetapi aku ingin tinggal. Aku ingin lebih lama bersamamu, Clive.

Aku hanya diam dan tidak menanggapinya lagi. Makan malam kami berlangsung cukup canggung dan tidak berbicara sama sekali setelah itu. Setelah selesai, dia mengantarku ke studioku.

"Clive," panggilku alih-alih turun dari mobil. "Sejak kapan kau tahu?" Tanyaku.

Karena tidak menjawabku, aku melihatnya. Dia sedang memperhatikanku dengan serius.

"Tidak lama," akhirnya dia menjawab.

Aku mengerti sekarang. Clive sudah tahu perasaanku.  Artinya omongannya tadi secara tidak langsung berarti bahwa dia tidak mungkin menyukaiku kembali.

"I should get going now," aku membuka pintu mobil dan keluar.

Tidak lama, Clive ikut keluar dari mobil. "Iris," dia memanggilku.

Aku menolehnya. "Clive," panggilku. 

"Aku menyukaimu. Mungkin kau sudah menyadarinya, tetapi aku belum mengutarakan perasaanku secara langsung," akhirnya, aku melakukannya.

"Iris I'm sorry but-,"

"I know," aku menyela. "I just want to do it properly,"

Clive diam.

"I must do it in order to let you go," aku menahan air mataku agar tidak turun dengan susah payah.

Aku menanti jawabannya. Dia melihatku dan baru mengerti bahwa aku menunggu apa yang keluar dari mulutnya.

"I can't, I'm sorry," jawabnya. "Dan setelah  hari ini, aku pikir kita tidak akan bisa berteman baik lagi,"

Aku ingin menunduk dan menangis, namun semua itu kutahan. Wajahku tetap mengarah padanya seolah semua ini tidak ada apa-apanya.

"Because I'll start seeing you as a woman now, and I hate that idea, I truly want us to be good friends,"

Jadi begitu. Dia tidak pernah sekalipun melihatku sebagai seorang wanita, sehingga semua ini terasa sia-sia.

"I wish you happiness with your boyfriend," akhirnya Clive kembali ke mobilnya dan segera pergi.

Setelah mobilnya menghilang dari pandanganku, seluruh tubuh ini terasa lemas. Aku berjalan menuju kasur dan segera membanting tubuhku. Ponselku akhirnya menyala dan aku melihat banyak sekali missed call dan pesan dari Wesley.

"Iris? Are you okay?" Tanyanya saat panggilan masuk darinya kuangkat. "Kau ini, benar-benar... Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tidak bisa mengabarimu seharian ini?"

Wesley...

"I'm fine. Sorry, my phone died,"

"Tidak apa-apa, asal kau baik-baik saja, aku benar-benar panik, kau tahu,"

Aku membuka jendela dan terkejut melihat Wesley berdiri di depan persimpangan jalan dengan knit sweater dan sweat pants saking tergesa-gesanya.

"Wesley?" Panggilku dari telepon. "Kau dimana sekarang?" Tanyaku.

"Aku? Tentu saja di rumah. Mengapa?"

"Ah... tidak... Kupikir kau sedang dalam perjalanan ke studioku saking paniknya,"

"Memangnya kau ini anak kecil yang harus kukhawatirkan seperti itu? Aku juga ada urusan yang harus kuperhatikan, tahu,"

Aku tidak bisa menahan tawaku. "Kalau begitu siapa pria yang berdiri di depan jalan studioku dengan sweat pants abu lusuh? Apa dia stalker?"

Akhirnya Wesley menoleh ke jendela studioku. Dia tertawa karena sudah ketahuan.

"Iris, you...."

Aku segera keluar dan menutup telepon. Dengan cepat aku menghampiri Wesley yang ternyata sudah berada di depan pintu.

"What happened with you?" Tanyanya.

"I just did something big today," jawabku.

"Really? What is it?" Aku tidak mungkin menceritakannya kepada Wesley.

"Anyway," aku mengalihkan topik. "Aku baru saja mendapatkan jawaban untuk pertanyaanmu kemarin"

"Pertanyaan apa?"

"Dimana kita akan tinggal nanti," aku memberitahunya. "Aku tahu dimana sekarang,"

"Dimana memangnya?"

"I don't care where will we live, as long as I'm with you, Wes," aku tersenyum kepadanya.

Wesley, hari ini aku baru menyadarinya. Mungkin kalau kau mengetahui siapa aku sebenarnya, kau akan menyadari bahwa aku tidak sebaik yang kau kira. Yes, I may be the worst b*tch you ever met.

Aku menginginkanmu dengan serakah. Meski aku tidak menyukaimu sepenuhnya, aku tetap tidak mau melepasmu. I'm letting my love of my life go, and it's not you. Dan mengakuinya kepadamu membuatku takut akan kehilanganmu.

Kini aku mengerti. Aku membiarkanmu berada di sisiku selama ini karena aku menerima keberadaanmu. Walaupun aku belum benar-benar menyukai dirimu, namun aku merasa nyaman oleh keberadaanmu. Kau adalah satu-satunya yang selalu datang dengan kehangatan dan perhatian yang luar biasa. Mengapa aku tidak bisa menyadarinya selama ini?

Mungkin potongan puzzle ini sudah terlalu lama berada di tanganku dan belum pernah kucoba untuk memasangkannya sekalipun.

Atau mungkin aku tidak menyadari bahwa selama ini yang kucari sudah kutemukan dan menunggu untuk segera dipasang?


-end-