Monday, 28 September 2015

[Continuous] New Season (Part 6)

Akhirnya aku mengetahui apa yang salah.  Bahkan rasanya aku ingin tertawa saat menyadari betapa bodohnya yang kulakukan.

"What are you laughing at?" Tanyanya.

Rupanya aku tidak sanggup menahan tawaku dan menunjukkannya.

"Have i told you that you're the biggest mistake that i ever had?"

Aku memang mengharapkan respon seperti yang baru saja Daniel lakukan. Dia mengerutkan dahinya dan berkata,

"Apa maksudmu?" Tanyanya.

"Forget it," ucapku. "I need to clear my head," aku berjalan masuk ke kamar.

"Wait, Ashley," panggilnya. "Aku mendengar dengan jelas kau berkata bahwa aku adalah kesalahan terbesarmu,"

"It's good, then," balasku acuh. "Berarti pendengaranmu masih berfungsi dengan baik," aku berjalan lagi menuju kamarku.

Namun Daniel menarik tanganku yang sudah menggapai pintu kamar.

"Semuanya baik-baik saja sebelum keberangkatanku," dia menjawabku dengan nada yang agak tinggi. Aku bisa merasa dia mulai merasa kesal.

Cengkeramannya benar-benar membuatku tidak bisa bergerak. Dia menggunakan kekuatannya dan seperti mengeluarkan amarahnya sekarang.

"Tidak seharusnya aku pergi ke London. Semuanya salah, tetapi aku tidak pernah menyalahkanmu, tidak menyalahkan apapun. Bagaimana bisa kau berkata bahwa aku adalah kesalahan terbesarmu?"

Hari ini bukanlah waktu yang tepat untuk berbicara. Seluruh otakku sudah lelah, begitupun dengan badanku.

"Kau. Sejak awal kau tidak seharusnya..." mulutku terkunci.

Apa yang mau kau katakan, Ashley?

"Lupakan, kumohon," pintaku.

"Tidak, lanjutkan," Daniel menahanku yang ingin melepas cengkeramannya.

Berkali-kali aku mencoba membalasnya, kekuatan Daniel sama sekali tidak setara denganku. Dan walaupun dia tahu aku sama sekali tidak nyaman dengan cengkeramannya, Daniel sama sekali tidak melepasku.

"It hurts," ucapku lirih.

"Aku tidak akan melepasmu sampai kau menjawabku. Aku seharusnya tidak apa?"

"Kau seharusnya tidak membuatku menyukaimu!" Balasku memaki. "Kau puas? Sekarang lepaskan aku!"

Daniel akhirnya melepaskan tangannya. Aku kembali membuka pintu kamarku dan bergegas ke kamar mandi.

Tetapi Daniel tiba-tiba menarik tanganku hingga tubuhku ikut tertarik. Dia merangkulku, dan menciumku.

Yes, he just kissed me.

Apakah dia sedang mencoba mencari tahu apakah aku masih menyukainya?

Dengan bodohnya, aku tidak menarik diriku dan malah mengikuti kemauannya.

Tetapi akhirnya aku mengerti sesuatu.

My heart is still yearning for him...

"This isn't right," ucapku. Aku teringat akan Jared dan akhirnya mampu menarik diriku menjauh. "I have Jared now," balasku.

"Kau masih tidak mengerti apa yang kau inginkan?"

"I want you to stop seeing me," jawabku.

"Tidak, tidak akan. Aku tidak akan pernah mempercayai ucapanmu setelah aku mendapatkan jawaban darimu tadi,"

Jawaban apa?

"Please, Dan. I have boyfriend now. You should leave," pintaku.

"Break up with him,"

"No way,"

Aku tidak pernah berpikir untuk memutuskan hubunganku dengan Jared. Bagaimanapun juga, dia adalah atasanku. Kalau kata putus itu datang dari mulutku, apa yang harus kulakukan saat menghadapnya nanti. Mungkin kalau dia yang memutuskanku terlebih dahulu, keadaan akan lebih mudah.

"Lalu?"

Stay. Aku menginginkanmu, bodoh.

"Kau yang harus pergi. Aku tidak akan melepaskan Jared apapun alasannya," balasku. Tidak sampai dia yang sudah muak denganku sendiri.

"You love him?" Tanya Daniel.

Love? What is your definition of love, Daniel?

"I don't know" jawabku. "Tetapi aku benar-benar menyukainya dan tidak mau melepasnya,"
Seseorang membunyikan bel. Aku sangat yakin tanpa melihat lebih dahulu bahwa orang itu adalah Jared.

Karena panik, aku menyeret Daniel ke dalam kamarku dan menyuruhnya bersembunyi di bawah kasur. Aku menutupinya dengan bed cover lalu membuka pintu.

Bodoh sekali, seperti aku sedang merasa bersalah dengan Jared, aku takut ada kesalahpahaman saat Jared melihat Daniel di apartemenku.

"Hi, babe," aku benar, memang Jared yang datang. "Aku ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja," pembohong, dia pasti sedang mengkhawatirkan sesuatu.

Aku melipat kedua tanganku dan menunggu maksud kedatangannya. Jared menahan malunya dengan senyuman.

"Mungkin aku memang terburu-buru. Aku tidak mau membuatmu tertekan dengan keinginanku,"
Sudah kubilang pria seperti ini adalah yang terbaik yang bisa kutemukan. Mungkin tidak akan ada lagi yang sepertinya di muka bumi ini. Dan untuk menyia-nyiakan pria sebaik Jared adalah kebodohan terbesar yang bisa kulakukan.

"It's fine," jawabku.

"Kau tidak mau mengundangku masuk?" Tanyanya. Oh, Tuhan, apakah aku salah kalau menolaknya?

"Yes, come in," aku sedikit gugup saat ini.

Jared masuk dan diam di depan ruang tengah. "Mengapa kau belum ganti baju?" Tanyanya saat melihatku.

"Ah..." semakin lama Jared disini, kegugupanku semakin menjadi. "Aku baru saja sampai tidak lama sebelum kau datang," semoga saja alasanku masuk akal.

Jared hanya mengangguk-angguk.

"Bisakah kau menunggu sampai aku bersih-bersih dahulu? Kalau kau butuh minum atau apapun, ambil saja,"

Aku tidak sadar rupanya Jared mengikutiku masuk ke dalam kamar. Dia langsung merebahkan dirinya ke atas kasur. Jangan tanya lagi apa yang kurasakan saat ini, karena kupikir jantungku sudah berhenti berdetak sekarang.

Daniel tepat berada di bawah kasur yang sedang Jared naiki. Bagaimana bisa aku tidak panik bukan main.

"I need a rest for a while," ucapnya. "Tidak apa-apa kan kalau aku menunggu disini?"

No, it's not alright. Aku tidak mungkin meninggalkan dua pria ini dalam satu kamar selagi yang satunya sedang bersembunyi. Ide yang buruk, terlalu buruk.

"Get up," kataku. "Pakaianmu kotor dari pagi," aku berbakat untuk mencari-cari alasan sepertinya.
Jared malah memanggilku untuk berbaring di sebelahnya. Aku duduk di pinggir kasur dan menceramahinya.

"Jared, pakaianmu kotor dan akan mengotori kasurku untuk tidur nanti,"

"How about we share the bed tonight?" Tanyanya. "Karena aku sudah mengotori bagian ini, jadi aku akan tidur disini dan kau di sebelahku,"

Aku tidak ingat Jared pernah bertingkah kekanakan seperti ini. Atau karena suatu hal dia merasakan ada yang janggal disini?

Yang jelas, Jared hampir sama sekali belum pernah seperti sekarang sebelumnya. Dia selalu bertindak dewasa dan bijak. Hari ini aku seperti bertemu dengan seseorang yang bukan dirinya meskipun secara fisik adalah Jared.

"Get out," aku memukulnya, pelan.

"How about we get married now so we can share the bed as soon as possible?"

"Besok, kita akan menikah besok, kau puas?" Yang menjadi prioritas utamaku adalah membuatnya keluar secepat mungkin.

Aku menarik Jared yang masih bersikeras berkata bahwa perkataanku tadi tidak bisa ditarik kembali.

"What happened to you, really?" Tanyaku setelah berhasil membuatnya keluar. "You weren't like this before,"

"I'm totally fine," Jared nampak bingung dengan pertanyaanku.

"Can we not talk about marriage again?" Setiap kali membahas pernikahan, aku merasa sesak napas.

"I know i know, rest well," dia mengecup keningku dan segera keluar dari apartemenku.

Meskipun Jared sudah pergi, masalahku masih ada satu hal lagi.

Daniel. Dia keluar dari kolong kasur dan langsung berkata,

"Apa kalian sudah membicarakan pernikahan sebelumnya?"

"He asked me," balasku.

"But?" Lanjutnya.

Aku meliriknya. "Mengapa kau berpikir ada tetapi?" Aku tidak suka kalau dia mengerti maksudku.

Daniel hanya melihatku dan menunggu penjelasanku.

"Aku belum ingin memikirkan pernikahan sekarang," tambahku.

"Kau tidak menjawabnya?" Tanya Daniel. "Itu karena kau memang tidak pernah memikirkan masa depan dengannya, kan?"

Aku menyadari bahwa di dalam hati aku ingin sekali mengangguk dengan pendapatnya. Mungkin dia benar. Kalau kupikir sekali lagi, aku memang menyukai Jared dan menikmati hubunganku dengannya. Tetapi lebih dari itu, aku tidak mau mengarahkan status kami ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Mengapa?

Aku juga masih belum mengetahui jelas.

"Because of me," aku mengerutkan dahi saat mendengar ucapannya.

"Your kiss answered all. Kau menginginkanku sama seperti aku kepadamu,"

"Ha?" Aku sama sekali tidak suka dengan tingkahnya. Dia masih sama seperti dahulu, selalu merasa lebih mengenalku dibandingkan diriku sendiri.

"When i asked you to marry me, you wanted it too, right?"

Jangan bercanda. Meski dia benar sekalipun, setidaknya otakku lebih mengerti bahwa itu sama saja dengan mengkhianati diriku sendiri. Hatiku tidak seharusnya mengkhianatiku juga.

Setelah apa yang dilakukannya selama 7 tahun ini, setelah dia tidak tahu apa saja yang kuhadapi selama ini, dan ingat, dia bahkan tidak berusaha untuk mengetahuinya.

It's already over, both of us.

"You should leave," aku tahu benar bahwa membiarkannya masuk adalah kesalahan besar.

Karena setiap kali aku bersamamu, aku takut kehilangan kendali. Aku membenci hatiku yang terus berusaha mengkhianatiku sendiri.

*****

"You're just scared to lose him, again," Kak Aubrey menyuapi Britney dan Brittany.

Aku tidak percaya bahwa aku baru saja bercerita kepada Kak Aubrey. Karena aku tidak memiliki teman yang cukup dekat untuk kuceritakan, entah mengapa aku malah mendatangi rumahnya.

"Apakah kau tidak sadar bahwa kau baru saja mengulang kesalahan yang hampir kulakukan?" Ucapnya.

Kesalahan?

Ah, kejadian itu.

"But it's different now," jawabku.

"Bagian mana yang berbeda, Ashley?" Balas Kak Aubrey. "Apakah akhirnya kau mengerti betapa keras kepalanya aku dulu?"

Aku terdiam. Mungkin Kak Aubrey benar. Mungkin juga tidak. Aku butuh berbicara dengan orang lain sepertinya. Karena tidak ada solusi sama sekali, aku menanyakan kemana Tyler pergi.

"Dia sedang membeli selang air yang rusak oleh Britney kemarin," Kak Aubrey menyubit pipi Britney gemas. Keponakanku itu menatapnya bingung seperti dia tahu sedang dituduh oleh ibunya.

"Bicara denganmu sama sekali tidak membuahkan hasil kak,"

"Dan kau berharap Tyler menjawab hal yang lain?" Kak Aubrey melihatku. "It's not going to work," tambahnya.

Aku berjalan ke dapur dan mencoba mengambil air minum. Tidak lama Tyler datang dengan sebuah selang baru. Dia melihatku dan menyapa.

"Setidaknya mengapa kau tidak memperkenalkan Jared kepada kami?" Tanya Kak Aubrey di depan Tyler juga.

Aku hampir tersedak.

"Who's Jared?" Tanya Tyler. Ya, dia belum mengetahuinya.

"Her boyfriend," balas Kak Aubrey.

"Kau punya pacar? Mengapa kau tidak membawanya kesini?" Tanya Tyler. "Tetapi... Tunggu sebentar. Ada apa denganmu dan Daniel? Bagaimana kalian...? Bagaimana kau...?"

Sepertinya berbicara dengan Tyler juga tidak akan menemukan solusi apapun. Dia bahkan belum kuceritakan secara lengkap.

"I need to go. Aubrey akan menjelaskannya semua kepadamu, bye,"

Aku langsung pulang kembali ke tempatku. Mungkin jawaban yang selalu kucari akan ketemu kalau aku memikirkannya sendiri.

Diantara Jared dan Daniel, yang mana yang terbaik untukku?

Aku berjalan sambil mendengarkan musik. Entah mengapa aku memilih untuk memutar playlist berjudul Eternal. Isinya tidak lebih dari lagu New Era dan lagu lama Vocation. Sejujurnya, laguku tidak jauh dari kedua band tersebut.

Tiba-tiba, sebuah lagu dari Vocation terdengar. Aku mengetahui judul lagu ini dengan baik tanpa harus melihat, When I Miss Your Touch.

I'm living like hell... And you never knew what i've faced alone....

Aku terkejut disaat mendapati seseorang berdiri di depan pintuku.

You're gone but your scent remains. Am i having delusion again or do you finally come back?

Aku berhenti berjalan dan hanya diam. Dia masih tidak menyadari keberadaanku dan aku tidak mau terburu-buru menemuinya.

I remember our last kiss, vaguely. Every time you stood beside me and held me i saw strength.

I miss your touch, i miss your smile. I miss everything in you and it's driving me crazy.

I wish to come back the way we used to be. I need you now, and forever.

Disaat akhirnya dia menyadari keberadaanku, dia berdiri tegak dan menatapku canggung.

When i miss you, i keep calling your name like crazy... Are you listening from there or do you think of me like i do to you?

Daniel memelukku tiba-tiba. Dia melakukannya tanpa aba-aba yang membuatku terkejut dan hanya bisa diam. Dia juga tidak berbicara sepatah katapun sampai akhirnya suara dari earphone terdengar lebih keras dari apapun. Dan lagu tersebut berputar pada bagian reff-nya.

Can i touch you once again?

Tell me it's just a dream and i will see you again when i wake up

Aku bisa merasakan bagaimana tubuh kami saling berbagi kehangatan satu sama lain. Seolah-olah darahku mengalir ke tubuhnya, aku bahkan bisa merasakan detakan jantungnya.

"Can we go back to the way we used to be and share the love?" Daniel menyanyikan lirik tersebut bersamaan dengan lagu yang kuputar. Tentu saja dia bisa mendengarkan lagu tersebut.

Sesaat dia melepas pelukannya, rasanya seperti aku dipersatukan kembali dengan ruhku dan mulai sadar.

"Kumohon, Daniel," aku akhirnya menyadari kebodohanku. Bagaimana bisa aku mengikuti kemauannya seperti ini. "This is wrong," jawabku.

"Is it okay if i go back to London?" tanyanya, mengejutkanku. "Is it really okay if we couldn't see each other again?"

Aku melihatnya.

"Kalau itu benar-benar kemauanmu, maka aku akan melakukannya. Tetapi jawab pertanyaanku,"
Tangannya menggenggamku erat.

"Aku atau Jared?" Tanyanya.

Aku terdiam. Pertanyaanya adalah yang selama ini kupikirkan. 

Bagaimana aku bisa menjawabnya kalau aku sendiri belum menemukan jawaban untuk itu?