You stood near the window and looked at the sky.
And it simply became my favorite view.
Your back,
The way you put your hands inside the pockets,
The firmness of your jaw line,
And even your shadow,
Everything was perfect to me.
"Thea!"
Aku melamun rupanya. Berjalan melewati jendela itu membuatku mengingatmu lagi. Hujan di luar sana membuatku terus membayangkan hari itu.
Ya, suatu hari di musim yang dingin dan lembab.
"What are you doing there?" tanya Wendy dari kejauhan.
"Hmm...? Nothing," aku berlari menghampirinya. Sekali lagi, mataku melirik jendela itu dan tersenyum. Aku masih bisa merasakan kehadiranmu, di dalam ingatanku. Ah, seharusnya aku tidak boleh larut dalam perasaan ini. Semua ini kembali datang tanpa kusadari, bahkan ketika aku menyibukkan diriku sendiri dengan hal lain.
"Ah... sial! Aku lupa membawa payung!" ucap Wendy panik. Aku memperhatikannya yang masih kebingungan. Dia harus buru-buru pergi mendatangi ujian di tempat kursusnya.
"Here, use mine," aku menyerahkan payungku. Aku tidak terburu-buru untuk pulang dan lagipula menunggu hingga hujan reda bukan masalah bagiku.
"Thanks, Thea," Wendy langsung pergi dan menggunakan payungku.
Aku memperhatikan hujan yang tidak nampak reda. Sepertinya aku akan menunggu cukup lama kali ini. Karena aku pulang lebih lama karena ada kelas tambahan khusus, sekolah sudah terlihat sepi. Hanya ada aku sendiri terduduk di dekat pintu sekolah.
And then you come, again, approaching me, for real.
Pria itu, yang selalu berada di bayanganku, berjalan dari koridor dan menuju pintu sekolah. Aku memperhatikan diam-diam.
"Langley Cole," bisikku saat aku membaca sebuah name tag di seragamnya dari kejauhan. Merasa disebut namanya, dia melirikku sebentar namun kembali berjalan dan berdiri tepat di seberangku. Dia hendak pulang namun terhalang oleh hujan.
Aku tidak mengerti apakah ini keberuntungan atau tidak, namun aku terus menunduk dan mencuri pandang. Pria ini begitu tampan namun setelah hampir 2 bulan aku melihatnya, hari ini adalah kali kedua aku bertemu. Bahkan namanya belum pernah terdengar olehku. Aku tidak tahu apakah dia seangkatan denganku atau senior, tetapi dengan wajah seperti itu seharusnya dia populer di sekolah.
Dia bersandar di sisi pintu dengan santainya sedangkan aku masih menjaga sikap di depannya. Walaupun dia tidak begitu menyadari keberadaanku, aku tetap panik dan berusaha memberi kesan yang baik. Gerakanku menjadi kaku dan canggung. Aku tidak bisa mengontrol rasa panik dan senang yang bercampur tidak karuan.
I've always wondered how i can reach you.
Ini adalah pertama kalinya aku sangat tertarik kepada seseorang. Begitu tertarik hingga seluruh hariku dipenuhi oleh bayang-bayangnya. Bahkan dia selalu menjadi topik utama khayalanku. Aku merasa begitu mengenalnya namun tidak secara nyata. Namun aku tidak tahu apakah dia sama seperti yang kubayangkan selama ini atau tidak.
If i greet you first, will you acknowledge me? If i purposely bump into you, will you realize my presence? What should i do to get your attention?
Dia tidak mengucapkan apapun walau pada kenyataannya hanya ada aku dan dia disini. Situasi berubah menjadi sunyi, begitu canggung dan membuatku semakin gelisah.
"My name is Thea, Dorothea Rowan," ucapku dengan bodohnya. Saking paniknya, aku membuat kesalahan besar saat memberi kesan pertama kepadanya. Buat apa memperkenalkan diriku kepadanya? Dia bahkan tidak bertanya ataupun mengajakku berbicara.
Maybe it was because i always wanted to have a conversation with you, badly.
"I know," jawabnya, yang membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa mengetahuiku? Aku bukan gadis populer dan sering bergaul. Wendy adalah satu-satunya teman terdekatku di sekolah ini. Bahkan aku juga tidak mengikuti klub apapun.
"My name is Langley, Langley Cole," tambahnya lagi.
Dengan hati-hati aku meliriknya dan dia tidak bergeming. Lalu perlahan dia juga melirikku dan ada jeda cukup lama ketika kami saling bertatapan satu sama lain tanpa berbicara sama sekali.
Aku bertanya-tanya dalam hati bagaimana dia bisa mengetahui namaku. Percayalah, aku hanya bagai tumpukan buku usang dan tak terdaftar di pojok perpustakaan, menunggu untuk didata. Mungkin beberapa orang mengenalku, ya, para guru sekolah dan ketua kelasku. Obsesiku bukanlah menjadi terkenal, bahkan sebisa mungkin aku akan memilih menghindari keramaian.
"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanyaku.
"Your nametag," dia menjawab dengan sangat singkat.
Astaga. Bodohnya aku. Kalau aku tahu namanya melalui nametag di seragamnya, mengapa dia tidak membaca namaku juga melalui nametag tersebut? Ini jelas-jelas adalah kejadian yang memalukan bagiku. Seluruh upayaku dalam menebak-nebak terasa begitu sia-sia.
Dengan hati-hati aku meliriknya dan dia tidak bergeming. Lalu perlahan dia juga melirikku dan ada jeda cukup lama ketika kami saling bertatapan satu sama lain tanpa berbicara sama sekali.
Aku bertanya-tanya dalam hati bagaimana dia bisa mengetahui namaku. Percayalah, aku hanya bagai tumpukan buku usang dan tak terdaftar di pojok perpustakaan, menunggu untuk didata. Mungkin beberapa orang mengenalku, ya, para guru sekolah dan ketua kelasku. Obsesiku bukanlah menjadi terkenal, bahkan sebisa mungkin aku akan memilih menghindari keramaian.
"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanyaku.
"Your nametag," dia menjawab dengan sangat singkat.
Astaga. Bodohnya aku. Kalau aku tahu namanya melalui nametag di seragamnya, mengapa dia tidak membaca namaku juga melalui nametag tersebut? Ini jelas-jelas adalah kejadian yang memalukan bagiku. Seluruh upayaku dalam menebak-nebak terasa begitu sia-sia.
Sore itu, disaat langit begitu mendung dan gelap, saat hujan membasahi tanah dan gemuruh petir menyambar dengan kencangnya, adalah hari dimana aku menyadari bahwa aku sangat menyukai pria ini tanpa terkecuali.
"Wendy, kau kenal dengan murid di sekolah ini yang bernama Langley?" tanyaku keesokan harinya.
"Aku tidak pernah mendengarnya. Ada apa?" Wendy adalah tipe murid yang mudah berbaur, dia mengenal hampir seluruh murid populer di sekolah ini.
"Tidak apa-apa, hanya penasaran saja," balasku.
"Ah, aku lupa memberitahumu," Wendy sudah bersiap memohon maaf kepadaku, "Kau tadi disuruh datang ke ruang guru dan menemui Mrs. Brent di mejanya, ada hal penting yang perlu dia bicarakan kepadamu katanya,"
Aku langsung bangkit dan bergegas menuju ruang guru. Mrs. Brent rupanya menanyakan masalah hasil ujianku kemarin, mengapa diantara banyak mata pelajaran dengan nilai sempurna yang kudapat, aku mendapat hasil yang cukup rendah untuk pelajaran Bahasa. Beliau berniat mendaftarkanku untuk masuk ke dalam kelas tambahannya setelah sekolah nanti.
Aku benci pelajaran Bahasa, namun tidak bisa berkata apapun. Akhirnya aku hanya menyetujuinya dan segera pamit.
Di luar pintu, aku bertemu dengan seseorang yang hendak masuk ke dalam ruang guru. Nama yang tertera di nametag-nya adalah Langley Cole. Namun pria di depanku ini bukanlah pria yang sama. Penampilannya begitu culun, memakai kacamata kotak dan gaya rambut yang terlewat tua untuk anak muda. Selain tinggi dan namanya yang sama persis, pria ini begitu jauh dari Langley yang kutahu.
Langley, sore itu dan kali pertama aku melihatnya nampak begitu keren dengan seragam yang sedikit berantakan. Dia tidak memakai kacamata sama sekali dan rambutnya di-spike. Beberapa kancing baju dan lengannya dibiarkan terlepas. Tentu saja dari semua aspek, Langley yang ada di depanku sekarang tidak mungkin adalah Langley yang sama.
Tetapi melihat sorot matanya, aku merasa mereka adalah orang yang sama. Dibalik kacamatanya, wajahnya menunjukkan kemiripan dengan Langley dari berbagai sudut. Posturnya terutama, aku masih bisa melihat pemandangan itu dari aura pria ini.
I'm afraid to call you.
Aku menunggu hingga pria itu keluar dari ruang guru dan mengikutinya dari jauh. Dia berjalan selalu menunduk hingga masuk ke kelas 1A. Rupanya kami seangkatan. Tetapi masih banyak misteri lain yang perlu kucari tahu mengenai dirinya.
"Thea, aku pulang dulu, ya," ucap Wendy. Aku masih harus mendatangi kelas tambahan Mrs. Brent hari ini. Dengan malas aku menuju ruangan yang disebutkan Mrs. Brent. Disana sudah ada beberapa orang yang duduk. Aku tidak sendiri. Bahkan, aku bisa melihat Langley juga berada disana.
Yes, it's you.
Aku duduk di sebelahnya tanpa ragu. Kuperhatikan dirinya baik-baik, dan dibalik kacamata tersebut, tidak salah lagi dia adalah Langley yang sama. Tetapi yang tidak kumengerti, mengapa penampilannya berubah drastis seperti ini? Jelas sekali dia menutupi pesonanya dengan penampilan culun tersebut.
I'm getting more curious.
Dia tidak berbicara kepada siapapun, terus memangku wajahnya dengan tangan. Dia nampak bosan dan hampir mengantuk. Meski aku berada di dekatnya, aku masih tidak berani berbicara kepadanya.
Ketika Mrs. Brent akhirnya datang, kelas berjalan dengan sangat membosankan. Sudah kubilang aku tidak menyukai pelajaran bahasa, dan 45 menit yang kuhabiskan terasa seperti 4 jam lamanya.
"Mulai hari ini, kalian akan mendapat kelas tambahan setiap hari Rabu di ruangan ini, mengerti?" ucap Mrs. Brent sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Aku masih memperhatikan Langley. Sepertinya dia tidak menyadari bahwa sejak tadi aku terus mencuri pandang kepadanya. Namun dia masih tetap saja sama, terlalu cuek terhadap siapapun di sekitarnya.
It's raining outside, again.
Aku sangat terbiasa dengan hujan. Dari kejauhan, aku mengikuti setiap langkah Langley dan pada akhirnya dia berhenti di pintu sekolah. Dia menunggu hingga hujan reda sepertinya. Dengan cepat aku memasukkan kembali payung ke dalam tasku. Aku berdiri di sampingnya sambil menunggu hujan reda.
"You're Langley, right?" tanyaku.
Dia melirikku. "Yes," jawabnya singkat.
"I'm Thea, Dorothea," aku tidak percaya dia tidak mengingatku. Padahal baru kemarin aku memperkenalkan namaku. Apakah keberadaanku sulit disadari olehnya?
Dia hanya mengangguk-angguk dan kembali membuang muka.
Ah, you're not interested in me.
"We met yesterday, remember?" balasku. Langley hanya diam bahkan tidak menatapku. "Aku hampir tidak mengenalimu kalau tidak membaca nametag-mu. Kemarin kau tidak memakai kacamata dan rambutmu di-spike," jawabku. Rasa penasaran ini mampu melawan sifat pemalu-ku.
Akhirnya dia melirikku lagi, sebentar saja.
"Mengapa kau mengubah penampilanmu?" tanyaku.
Dia masih tidak mau menatapku saat berbicara, "Is it bad?" tanyanya.
"What?"
"This appearance, do you think it's bad?" tanyanya lagi.
"No, not at all," jawabku panik. Aku tidak menyangka dia akan bertanya hal itu. "I don't mind it, really," tambahku lagi.
"Is that why you peeked at me all time?"
"Kau menyadarinya? Aku hanya ingin memastikan kalau-,"
"I'm sorry to interrupt you, but how do you know me?" dia menyela ucapanku.
Darimana aku mengenalmu?
Apakah maksudnya darimana aku bisa mengetahui dirimu?
"Your nametag," jawabku. "Kau juga memperkenalkan dirimu kepadaku,"
"Bukan itu maksudku, tetapi apakah kita saling kenal sebelumnya? Apa kau teman sekelasku?"
I never imagined this kind of you before. How can you be so rude like this?
"Tidak..." jawabku terkejut.
"It's good then. I hate talking nonsense to strangers," jawabnya, kasar sekali.
Ah, stranger. Baginya, aku hanya seorang asing yang terlalu agresif untuk berkenalan lebih jauh. Aku sudah menyapanya lebih dahulu, aku juga sudah berusaha untuk menarik perhatiannya. Namun apa yang kudapat adalah sikap kasar tak bermoral yang tidak ragu dia lakukan kepadaku.
Airmata yang hendak menetes ini kutahan sebisa mungkin. Rasanya kesal bukan main, namun yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan diam. Tiba-tiba saja, airmataku jatuh tanpa hentinya. Sama seperti hujan yang belum mereda sedikitpun, suara hujan akhirnya membantu menyamarkan isak tangisku.
Aku tidak berbicara lagi kepada Langley. Waktu yang kami habiskan sambil menunggu hujan reda berjalan terasa lama sekali. Aku terus menyeka airmataku, sementara Langley tidak berkutik sama sekali.
I'm afraid to call you.
Aku menunggu hingga pria itu keluar dari ruang guru dan mengikutinya dari jauh. Dia berjalan selalu menunduk hingga masuk ke kelas 1A. Rupanya kami seangkatan. Tetapi masih banyak misteri lain yang perlu kucari tahu mengenai dirinya.
"Thea, aku pulang dulu, ya," ucap Wendy. Aku masih harus mendatangi kelas tambahan Mrs. Brent hari ini. Dengan malas aku menuju ruangan yang disebutkan Mrs. Brent. Disana sudah ada beberapa orang yang duduk. Aku tidak sendiri. Bahkan, aku bisa melihat Langley juga berada disana.
Yes, it's you.
Aku duduk di sebelahnya tanpa ragu. Kuperhatikan dirinya baik-baik, dan dibalik kacamata tersebut, tidak salah lagi dia adalah Langley yang sama. Tetapi yang tidak kumengerti, mengapa penampilannya berubah drastis seperti ini? Jelas sekali dia menutupi pesonanya dengan penampilan culun tersebut.
I'm getting more curious.
Dia tidak berbicara kepada siapapun, terus memangku wajahnya dengan tangan. Dia nampak bosan dan hampir mengantuk. Meski aku berada di dekatnya, aku masih tidak berani berbicara kepadanya.
Ketika Mrs. Brent akhirnya datang, kelas berjalan dengan sangat membosankan. Sudah kubilang aku tidak menyukai pelajaran bahasa, dan 45 menit yang kuhabiskan terasa seperti 4 jam lamanya.
"Mulai hari ini, kalian akan mendapat kelas tambahan setiap hari Rabu di ruangan ini, mengerti?" ucap Mrs. Brent sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Aku masih memperhatikan Langley. Sepertinya dia tidak menyadari bahwa sejak tadi aku terus mencuri pandang kepadanya. Namun dia masih tetap saja sama, terlalu cuek terhadap siapapun di sekitarnya.
It's raining outside, again.
Aku sangat terbiasa dengan hujan. Dari kejauhan, aku mengikuti setiap langkah Langley dan pada akhirnya dia berhenti di pintu sekolah. Dia menunggu hingga hujan reda sepertinya. Dengan cepat aku memasukkan kembali payung ke dalam tasku. Aku berdiri di sampingnya sambil menunggu hujan reda.
"You're Langley, right?" tanyaku.
Dia melirikku. "Yes," jawabnya singkat.
"I'm Thea, Dorothea," aku tidak percaya dia tidak mengingatku. Padahal baru kemarin aku memperkenalkan namaku. Apakah keberadaanku sulit disadari olehnya?
Dia hanya mengangguk-angguk dan kembali membuang muka.
Ah, you're not interested in me.
"We met yesterday, remember?" balasku. Langley hanya diam bahkan tidak menatapku. "Aku hampir tidak mengenalimu kalau tidak membaca nametag-mu. Kemarin kau tidak memakai kacamata dan rambutmu di-spike," jawabku. Rasa penasaran ini mampu melawan sifat pemalu-ku.
Akhirnya dia melirikku lagi, sebentar saja.
"Mengapa kau mengubah penampilanmu?" tanyaku.
Dia masih tidak mau menatapku saat berbicara, "Is it bad?" tanyanya.
"What?"
"This appearance, do you think it's bad?" tanyanya lagi.
"No, not at all," jawabku panik. Aku tidak menyangka dia akan bertanya hal itu. "I don't mind it, really," tambahku lagi.
"Is that why you peeked at me all time?"
"Kau menyadarinya? Aku hanya ingin memastikan kalau-,"
"I'm sorry to interrupt you, but how do you know me?" dia menyela ucapanku.
Darimana aku mengenalmu?
Apakah maksudnya darimana aku bisa mengetahui dirimu?
"Your nametag," jawabku. "Kau juga memperkenalkan dirimu kepadaku,"
"Bukan itu maksudku, tetapi apakah kita saling kenal sebelumnya? Apa kau teman sekelasku?"
I never imagined this kind of you before. How can you be so rude like this?
"Tidak..." jawabku terkejut.
"It's good then. I hate talking nonsense to strangers," jawabnya, kasar sekali.
Ah, stranger. Baginya, aku hanya seorang asing yang terlalu agresif untuk berkenalan lebih jauh. Aku sudah menyapanya lebih dahulu, aku juga sudah berusaha untuk menarik perhatiannya. Namun apa yang kudapat adalah sikap kasar tak bermoral yang tidak ragu dia lakukan kepadaku.
Airmata yang hendak menetes ini kutahan sebisa mungkin. Rasanya kesal bukan main, namun yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan diam. Tiba-tiba saja, airmataku jatuh tanpa hentinya. Sama seperti hujan yang belum mereda sedikitpun, suara hujan akhirnya membantu menyamarkan isak tangisku.
Aku tidak berbicara lagi kepada Langley. Waktu yang kami habiskan sambil menunggu hujan reda berjalan terasa lama sekali. Aku terus menyeka airmataku, sementara Langley tidak berkutik sama sekali.
You rude, ill-mannered, ruthless guy. I never thought you'd be like this. You shattered my brightest and most beautiful view that I had in mind. You ruined everything.
You broke my heart.
Pada tahun kedua sekolah, aku tidak membayangkan akan sekelas dengan Langley. Melihatnya saja membuatku muak. Setelah tahun pertama tersebut, aku berhasil menjadi juara umum sekolah. Setidaknya murid-murid di sekolahku mulai menyadari keberadaanku. Aku mulai dikenal sebagai si pintar yang pendiam dan jarang tersenyum. Mereka tidak salah, sehingga aku tidak merespon apa-apa.
Di tahun kedua ini, Langley mengubah kembali penampilannya. Semua orang mulai terkejut dengan perubahannya. Dia melepas kacamatanya dan rambutnya menjadi spike, persis seperti saat aku bertemu dengannya dahulu. Aku yakin kali ini banyak yang mengakui ketampanannya.
Dan yang paling membuatku kesal adalah saat dia memilih untuk duduk di depanku, benar-benar di depan mejaku, seolah-olah tidak ada tempat lain yang bisa ia pilih.
Dan yang paling membuatku kesal adalah saat dia memilih untuk duduk di depanku, benar-benar di depan mejaku, seolah-olah tidak ada tempat lain yang bisa ia pilih.
"Langley yang kau pernah tanyakan dulu itu adalah Langley ini maksudmu?" Tanya Wendy sambil menunjuk pria itu tanpa ragu.
Aku mengangguk pelan. Kali ini aku sangat tidak tertarik dengan misteri yang dibawanya. Aku tidak mau lagi terseret dalam kompleksitas hidupnya. Sama sekali dan tidak akan lagi.
"Aku tidak pernah melihat wajahnya sebelumnya, apa dia baru pindah kesini?"
"No, he just changed his style," jawabku malas. Andai saja Wendy tahu bagaimana penampilannya pada tahun pertama, mungkin dia tidak akan percaya.
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Wendy.
"It just happened," aku berharap Wendy segera mengganti topik pembicaraan selain tentang pria itu.
Hal yang paling mengesalkan dari keberadaannya adalah ketika aku hendak fokus memperhatikan pelajaran, secara otomatis aku harus melihat bagian punggungnya.
Did he knew that his back side is the most exquisite part I adore the most?
Apakah dia mengetahuinya dan membiarkanku tidak bisa mengalihkan pandanganku?
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Wendy.
"It just happened," aku berharap Wendy segera mengganti topik pembicaraan selain tentang pria itu.
Hal yang paling mengesalkan dari keberadaannya adalah ketika aku hendak fokus memperhatikan pelajaran, secara otomatis aku harus melihat bagian punggungnya.
Did he knew that his back side is the most exquisite part I adore the most?
Apakah dia mengetahuinya dan membiarkanku tidak bisa mengalihkan pandanganku?
Tidak mungkin. Aku tidak pernah membicarakan hal ini kepada siapapun, jadi tidak mungkin dia bisa mengetahuinya.
You forced me to rewind again that day, when I used to stare you from behind. And I hate it.
Keesokan harinya, sebelum kelas dimulai aku menanyakan murid sekelasku apakah ada yang ingin berpindah tempat duduk denganku. Respon mereka hampir membuatku tertawa.
"Apa kau yakin? Kau mau membuang kesempatanmu menikmati Langley dari dekat?"
Aku hanya diam dan tidak menanggapi. Aku bahkan bersedia membayar orang lain untuk bertukar tempat, apakah itu lebih aneh?
Tetapi ucapan mereka membuatku mulai menyadari popularitas Langley hanya dengan perubahan kecil darinya. Dia pasti sudah menjadi topik utama pembicaraan murid perempuan khususnya. Aku memilih bertukar tempat dengan Dana yang juga bersebelahan dengan Wendy.
Dana setuju dan membawa tasnya untuk pindah. Wendy baru datang dan melihatku berpindah tempat duduk. Tentu saja dia penasaran apa yang membuatku melakukannya. Aku tidak menjawab apapun, hanya tersenyum dan berjanji menceritakannya nanti.
Saat Langley datang, dia langsung duduk di tempatnya dan tidak mempermasalahkan apapun. Melihatnya membuatku yakin dia tidak sadar kalau aku yang selama ini berada di belakangnya. Aku tidak mengerti mengapa bisa-bisanya aku menyukai pria cuek dan dingin sepertinya.
Saat istirahat tiba, aku berjalan menuju kantin bersama Wendy. Dia lalu menyuruhku kembali ke kelas lebih dahulu karena dia harus menemui pacarnya di kantin.
Langley berdiri di depan pintu kelas. Dia melihatku dan dengan begitu mengejutkan berjalan menghampiriku.
"Do you hate me?" Tanyanya tegas.
Yes, very much.
Aku tidak menjawabnya dan malah memperhatikan kedua matanya. Tatapannya begitu serius dan mengintinidasiku. Dibalik itu, aku menyadari bahwa dia memakai lensa berwarna cokelat tua.
"Get back to your old seat, now," suaranya nampak mengancam.
"Did you realize it?" Jawabku, melawannya. Tanganku terlipat angkuh dan siap untuk mengeluarkan egoku. "I'm sorry, do you know me? Because I just remembered you clearly stated that you hate talking to strangers like me,"
Langley terdiam. Ucapan tersebut terlempar kembali kepadanya. Aku sangat puas dengan ucapanku.
"I said, get back to your seats, now," ulangnya.
"Buat apa aku kembali duduk di belakangmu?"
"Just... get back," ucapnya.
"Siapapun yang duduk di belakangmu juga tidak akan mempengaruhimu, bukan?"
"It does affect me," jawabnya yang membingungkanku. "Anyway, just do what i said," paksanya lagi.
I hate you, more and more.
Dia memerintahku seakan aku pasti mematuhinya. Satu-satunya penyesalan yang kulakukan hanyalah saat aku membiarkan diriku untuk menyukainya.
Musim panas hampir berakhir. Matahari bersinar dengan sangat terangnya. Aku membayangkan kapan hujan akan turun lagi.
Anehnya, yang kulakukan setelah itu adalah menemui Dana dan meminta untuk bertukar tempat kembali. Dana kelihatan kesal. Dia tidak mau bertukar tempat denganku.
Aku sudah meminta maaf kepadanya, berkata bahwa aku akan melakukan apapun sebagai permohonan maafku. Namun dia tetap menolaknya.
"Kau sepertinya kenal dengan Langley, kan?" tanya Dana tiba-tiba.
"Tidak," jawabku cepat.
"Jangan bohong, aku melihatmu berbicara berdua dengannya," sepertinya Dana melihat aku dan Langley tadi di luar sana.
"Kalau iya memangnya kenapa?"
"Aku bersedia kembali ke tempatku lagi kalau kau memperkenalkan aku dengannya," pinta Dana.
I knew she's interested in you.
"Baiklah," jawabku.
Pada saat Langley masuk ke dalam kelas, aku dan Dana berjalan menghampirinya.
"She wants to get to know you," ucapmu setelah memanggilnya.
Aku duduk kembali ke tempat asalku. Dana dan Langley masih berbicara di depanku. Aneh sekali. Langley nampak begitu ramah kepada Dana, berbeda dengan perlakuannya kepadaku.
Keesokan harinya, Langley berpindah tempat duduk ke depan tempat Dana. Mereka nampak semakin akrab, bahkan Langley sering membalikkan badannya ke arah Dana saat ada waktu senggang. Keduanya sering tertawa, membicarakan hal-hal yang menarik, dan tertawa lagi.
What do you really want?
Jelas sekali dia sedang mempermainkanku. Kalau aku mengikuti amarahku, itu sama saja seperti membiarkannya menang. Aku harus bersikap sedingin mungkin agar dia tidak mendapatkan apa yang dia mau.
But it got worse everytime.
"It's all because of you, Thea, thanks," ucap Dana suatu hari. Aku terkejut dan tidak tahu apa maksudnya.
"We're officially dating now, me and Langley!"
Rasanya seperti halilintar menyambarku dari 4 arah yang berlawanan dan semuanya terasa sakit bukan main.
"Benarkah? Selamat ya," tersenyumlah, Thea.
Langley masuk ke kelas dan Dana menghampirinya. Aku tidak ingin mengakuinya, namun Langley nampak tidak risih saat bersama Dana. Sebelum Langley memergokiku sedang memperhatikannya, aku membuang muka ke arah jendela.
From now on, my feelings for you is over.
Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Kalau dia memang ingin berpindah tempat demi Dana, mengapa aku harus kembali ke posisi ini? Mengapa dia sampai harus mengancamku pula? Apa sebenarnya yang ada di pikiran pria itu?
Dana adalah gadis yang sangat agresif. Dia tidak pernah malu menunjukkan ketertarikannya pada Langley dan bermesra-mesraan di depan publik meski aku yakin Langley tidak menyukai hal itu.
Menyebalkan.
Mungkin alasan Langley begitu kasar kepadaku adalah karena penampilanku. Wajahku tidak ada apa-apanya dibandingkan Dana. Penampilanku jauh dari feminin apabila dibandingkan juga dengan Dana. Aku lebih tepatnya seperti dirinya pada tahun pertama dahulu. Culun dan membosankan. Kini aku malah bertanya-tanya kemana perginya pria culun itu.
Kini yang berada di depan tempat dudukku adalah sang class rep., namanya Gale. Dia juga cukup pendiam dan tidak terlalu senang bermain dengan yang lain. Pada saat senggang, aku sering mengajaknya berbicara.
Mengejutkan sekali. Pembicaraan kami cocok satu sama lain
Pada saat istirahat, aku melihat Langley sendirian di depan kelas, mungkin menunggu Dana kembali. Tiba-tiba saja dia menarikku sambil berlari. Cengkeraman tangannya sangat kuat sehingga melawannya sama saja menyakiti diriku sendiri.
Dia akhirnya berhenti di sebuah lorong sekolah yang sepi.
"Don't get too close with him," ucapnya.
Aku tidak mengerti. "Who?" Tanyaku. Sebenarnya aku lebih tidak mengerti apa yang ia maksud.
"You and Gale," aku tidak mengerti apakah itu artinya dia memperhatikanku selama ini?
It feels like you care me so much, but somehow you don't.
Setelah itu dia langsung meninggalkanku. Aku membencinya hingga ke ubun-ubun. Dibalik tingkahnya tersirat banyak sekali hal yang tidak bisa kujelaskan. Dia hanya terus memberikan misteri tanpa ada petunjuk sama sekali.
Dan bodohnya aku terus mengikuti kemauannya. Sebisa mungkin aku menghindari pembicaraan dengan Gale karena aku ingin mengetahui apa yang Langley inginkan sebenarnya. Namun ia tetap acuh kepadaku, meski aku sudah menurutinya.
I suppose we live in a different dimension, that's why you can't see me clearly.
*****
"Wake up, honey," suara seseorang membangunkanku. "It's a big day," tambahnya lagi. Aku terbangun tiba-tiba dan menyadari posisiku.
Ah, jadi aku memimpikan masa laluku. Mengapa di hari sepenting ini memori itu datang kembali?
"What time is it now, Mom?" tanyaku saat melihat Mama membangunkanku.
"Sudah hampir jam 7 pagi, cepatlah," aku bangkit dari tempat tidurku.
Walaupun usiaku sudah mencapai 26 tahun, karena mimpi tersebut aku merasa mentalku kembali menjadi diriku 9 tahun yang lalu. Aku hanya mengikuti apa yang Mama perintahkan.
Hari begitu cerah dan sangat bersahabat untuk hari terpenting dalam hidupku.
"You and Gale," aku tidak mengerti apakah itu artinya dia memperhatikanku selama ini?
"I don't get you, seriously," ucapku. "Pertama kau tidak mau berbicara denganku, lalu saat aku berpindah tempat kau malah menyuruhku kembali, dan disaat kembali kau malah pindah. Sekarang kau menyuruhku untuk tidak berbicara dengan Gale, kau pikir kau siapa?"
Langley melihatku, "Just don't," matanya memerangkapku dan seakan menghipnotis.
"Apa hakmu mengatur kehidupanku?"
Langley seperti tidak pernah mendengarkan ucapanku. Dia malah berjalan dan menganggapnya selesai. Aku kesal namun tidak mencoba meluruskan masalah ini.
Setelah itu dia langsung meninggalkanku. Aku membencinya hingga ke ubun-ubun. Dibalik tingkahnya tersirat banyak sekali hal yang tidak bisa kujelaskan. Dia hanya terus memberikan misteri tanpa ada petunjuk sama sekali.
Dan bodohnya aku terus mengikuti kemauannya. Sebisa mungkin aku menghindari pembicaraan dengan Gale karena aku ingin mengetahui apa yang Langley inginkan sebenarnya. Namun ia tetap acuh kepadaku, meski aku sudah menurutinya.
I suppose we live in a different dimension, that's why you can't see me clearly.
*****
"Wake up, honey," suara seseorang membangunkanku. "It's a big day," tambahnya lagi. Aku terbangun tiba-tiba dan menyadari posisiku.
Ah, jadi aku memimpikan masa laluku. Mengapa di hari sepenting ini memori itu datang kembali?
"What time is it now, Mom?" tanyaku saat melihat Mama membangunkanku.
"Sudah hampir jam 7 pagi, cepatlah," aku bangkit dari tempat tidurku.
Walaupun usiaku sudah mencapai 26 tahun, karena mimpi tersebut aku merasa mentalku kembali menjadi diriku 9 tahun yang lalu. Aku hanya mengikuti apa yang Mama perintahkan.
Hari begitu cerah dan sangat bersahabat untuk hari terpenting dalam hidupku.
Yes, I'm getting married today.
Mama mengantarku ke hall tempat pernikahanku akan berlangsung. Aku hanya duduk dan membiarkan banyak orang bekerja untuk mempercantik diriku hari ini.
Mimpi semalam yang terpotong tiba-tiba membuatku sering melamun. Entah karena aku terlalu terjerat dalam nostalgia atau karena tidurku kurang berkualitas semalam.
"Oh no, it's raining outside," ujar Mama setelah baru saja masuk ke dalam ruang riasku.
Mama nampak panik karena beberapa saat lagi acaranya akan dimulai. Hujan selalu menjadi temanku, bagiku keberadaan hujan di hari pernikahanku malah membuatku senang bukan main.
Aku memaksa untuk keluar dan ingin melihat seburuk apa cuaca diluar sampai membuat Mama panik.
It's not bad, Mom. The sky is only giving its blessing to me.
Aku melihat hujan yang cukup deras tersebut. Mungkin para tamuku akan kesulitan, namun aku tetap bahagia memandangi langit yang turut berbahagia untukku sekarang.
Aku melihat hujan yang cukup deras tersebut. Mungkin para tamuku akan kesulitan, namun aku tetap bahagia memandangi langit yang turut berbahagia untukku sekarang.
Hello again, you.
Disaat memandangi hujan, aku melihat seseorang dari kejauhan. Dia menggunakan tuxedo dan berdiri dekat jendela membelakangiku. Dia menatap hujan sendirian.
Aku belum sempat pergi saat dia membalikkan badannya dan melihatku. Dia tersenyum, sesuatu yang seingatku belum pernah dilakukannya di depanku.
"Hi," ucapnya.
Aku tidak ingat dia setampan ini sebelumnya.
"Hi," balasku. "Thank you for coming," tambahku lagi.
"Tidak, aku tidak akan datang ke resepsimu nanti," ucapnya. "Aku tidak bisa,"
"Mengapa? Kau sibuk?"
Dia menggeleng. "Aku hanya tidak tahan melihatmu berdiri di depanku bersama pria lain,"
Aku terkejut. Kalau dia hanya bercanda, aku seharusnya merespon dengan tertawa. Tetapi aku tidak bisa. Aku hanya diam dengan bodohnya.
"You look very beautiful today,"
Aku memperhatikan gaunku dan meraba wajahku dengan penuh hati-hati. "Thanks,"
Kami berdua nampak canggung satu sama lain dan tidak berbicara cukup lama.
"I don't have any courage to congratulate you," ucapnya.
Langley, kau masih terus memberikan banyak misteri kepadaku.
"Why?" Tanyaku.
Dia menatapku, dalam-dalam, seperti dulu saat mencoba mengintimidasiku.
"You know exactly why," ucapnya.
"I don't," jawabku.
"I loved you, Thea,"
Suara gemuruh di luar membuatku bereaksi sama seperti yang kurasakan. Shocked.
Namun disaat aku mendengar kata tersebut merupakan past tense, aku mencoba bertanya lagi,
"You used to love me?"
"Bagaimana kalau aku berkata masih mencintaimu hingga hari ini?"
Kumohon, Thea, anggap ini adalah lelucon darinya.
"Ayolah, Langley, ini adalah hari penting bagiku," don't ruin it with your confession.
Langley tertawa. Namun di balik itu aku merasa dia menutupi sesuatu.
"I mean it," jawabnya cukup serius. "Hari ini aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk mengucapkannya kepadamu dan kau pikir aku bercanda?"
Aku terdiam.
"Apa kau tahu kalau dari dulu aku juga menyukaimu?" Tanyaku. Aku merasa hari ini seluruh pertanyaan di benakku selama ini akan terjawab pada akhirnya.
Dari sorot matanya, dia tidak mengetahuinya. Air mataku mulai menetes, tidak sanggup menahan kekesalanku. Mungkin Mama akan memarahiku karena merusak make up di wajahku.
"Sejak kapan kau menyukaiku?" Tanyaku kepadanya.
"From the first time i saw you," jawabnya.
"Pada saat kau memberi tahu namamu?" One day, in that rainy day.
"Tidak," jawabnya tegas. "Aku melihatmu sejak kau pertama kali masuk sekolah. Kau pasti tidak menyadariku,"
Saat aku bertanya bagaimana dia bisa menyukaiku, dia kembali bertanya bagaimana aku bisa menyukainya. Aku tidak bisa menjelaskannya, dan dia berkata hal yang sama.
Akhirnya aku bertanya mengenai penampilannya.
"Ah, itu? Dari dulu aku memang culun, namun pada saat aku melihatmu, aku sengaja mengganti penampilanku untuk membuatmu terkesan. Akhirnya aku mengubah total pada saat kita sekelas. Apakah kurang jelas?"
Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa berpikiran aku mengetahui hal itu. Dia selalu dingin di depanku.
"Aku belum pernah menyukai seseorang sebelumnya. Pada saat berbicara denganmu, aku selalu gugup dan salah tingkah,"
Tetapi kau malah berkencan dengan Dana. Kau menjauh dariku. Kau juga selalu mengancam dan memerintahku seenaknya.
"Kurasa kalau kau memberitahu perasaanmu sejak dulu, kita tidak akan berada di posisi seperti sekarang," ucapku.
Langley diam, dan aku juga tidak berbicara lagi. Dia menatapku dan akhirnya melirik sesuatu.
"Aku sudah tahu sejak dulu Gale tertarik kepadamu. Aku mencoba menjauhkanmu darinya tetapi tidak kusangka dia begitu berani," Langley menundukkan kepalanya.
Ya, aku menikah dengan Gale. Dari berbagai sisi, Gale sangat atraktif sekarang, cukup berbeda dengan kepribadiannya saat sekolah dahulu. Namun aku sudah mengetahuinya sejak saat dia duduk di depanku. Disaat semua orang menganggap remeh dirinya walaupun dia seorang class rep.
"Menerimanya tidak sesulit melupakan perasaanku kepadamu," kataku. Aku sangat yakin Langley mendengar hal itu, namun dia tidak merespon sama sekali.
"Misiku sudah berhasil hari ini. Thea, maukah kau berjanji kepadaku?"
Aku melihatnya.
"Berjanjilah kau akan berbahagia mulai hari ini. Kalau Gale mengecewakanmu, jangan ragu memanggilku. Aku bersedia menjadi pengganti Gale kapanpun yang kau inginkan,"
"Kau belum menikah sampai sekarang?" Tanyaku kepadanya.
Dia menggeleng.
"Bagaimana dengan Dana?"
"Kami sudah tidak berbicara lagi sejak lulus sekolah. Aku mengencaninya hanya untuk membuatmu cemburu,"
"Kau memang berhasil pada saat itu,"
Langley tertawa. "Mengapa aku tidak menanyakannya kepadamu waktu itu," dia nampak menyesal.
"Langley," panggilku saat dia hampir ingin pergi. "You should get married soon,"
Dia tersenyum. "Bagaimana aku bisa berpaling dari wanita tercantik yang pernah kutemui seperti di depanku ini?"
Dia akhirnya pergi tanpa selangkahpun memasuki hall pernikahanku. Dia tidak menemui Gale atau menanti teman sekolahnya yang lain. Dia hanya berjalan keluar setelah berbicara kepadaku.
Dan itulah saat dimana aku kembali meniknati pemandangan yang begitu kurindukan. Dirinya yang membelakangiku, dirinya yang berjalan meninggalkanku dan tidak akan pernah bisa kuraih.
Langley, cinta pertamaku, hujan yang membasahi kehidupanku dan membawa pelangi bersamaan dengan kehadirannya.
-end-