Tuesday, 1 September 2015

[Collection] Isn't She Lovely

Matahari saat itu hendak tenggelam… Saat aku pertama kali melihatmu…

Aku berhenti dari sepedaku saat melewati jalanan di pinggir pantai Asarella. Aku memarkirkan sepedaku di dekat pembatas jalan, dan menepi sebentar untuk menikmati fenomena sunset di pantai yang indah ini.

“ Ehm…” gumam seseorang yang tiba-tiba mendekatiku.

“ Aku masih baru disini, dan sedang mencari sebuah alamat, apakah kau bisa memberitahuku dimana alamat ini ?” tanyanya.

Aku memperhatikan gadis ini dari ujung rambut hingga kuku kakinya. Seorang gadis dengan mata bulat dan hitam bersinar, serta bibirnya yang bergelombang seperti ombak di lautan. Rambutnya hitam yang tergerai hingga melewati bahunya dan kulitnya yang putih pucat kelihatan begitu kontras sekali.

Hallway Street No. 232

Aku membuang mukaku dan menatap fenomena sunset yang hampir saja kulewatkan. Saat tahu aku mengabaikannya, dia memohon.

“ Oh… Ayolah… Kau satu-satunya orang yang kutemui sepanjang jalan ini,”

Aku merogoh notes di sakuku, dan mulai menulis,

Ada urusan apa kau di rumah itu ?

Aku menunjukkan tulisan tersebut kepadanya. Dia membaca, dan melihatku kebingungan.

“ Ada suatu keperluan. Mengapa kau bertanya seperti itu ?”

Aku memasukkan kembali notes tersebut dan melangkah untuk mengambil sepedaku. Saat aku sudah hendak duduk, aku melihat gadis itu dan menepuk tempat duduk belakang, maksudnya aku menawarkan tumpangan untuknya.

“ Kau mau mengantarku ? Terima kasih sekali,” ujarnya kegirangan

Aku mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga, penumpangnya kini bertambah menjadi 2 orang. Tentu saja sebenarnya aku kesulitan dalam menjaga keseimbangan, apalagi mengayuhnya juga terasa lebih berat.

Akhirnya kami sampai di alamat yang dimaksudkan. Aku berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah.

“ Terima kasih banyak,” ucap gadis tersebut.

Gadis itu langsung memencet bel. “ Siapa ? Ada perlu apa ?’ tanya seseorang dari speaker. “ Namaku Scarlet, dan aku mencari seseorang yang bernama Carmen,” ujarnya. “ Baiklah, silahkan masuk,” jawab seseorang di seberang sana.

Pintu gerbang yang tadinya terkunci tiba-tiba terbuka sendiri. Aku masuk ke dalam rumah tersebut. Dan gadis yang bernama Scarlet itu menghadangku.

“ Mengapa kau ikut masuk ? Aku sudah berterima kasih kau mau mengantarku sampai sini, tidak perlu sampai menemaniku,”

Aku mengangkat sebelah alisku, menatapnya dengan aneh, lalu mengabaikannya dan tetap melangkah masuk.

Memangnya aku tidak boleh masuk ke dalam rumahku sendiri ?


*********          

Gadis itu terlihat begitu malu saat sudah duduk di depan tamu. Carmen menyambutnya penuh senyum, dan aku duduk tepat di hadapannya, puas menertawakannya dalam hati.

“ Ah, kau sudah bertemu dengan Will ?” ujar Carmen.

“ Oh ? Ya… Begitulah,” ucapnya,

“ Will, ini Scarlet, dan mulai dari sekarang, dia adalah guru piano-mu,” ucap Carmen kepadaku.

Aku tekejut bukan main. Atas hak apa Carmen bisa-bisanya menyewa seorang guru les piano untukku ?

Aku bangkit dari tempat dudukku. Andaikan aku bisa berteriak dan memaki kepadanya, lalu mengusir kedua orang asing ini dari rumahku sendiri, aku pasti akan melakukannya sekarang juga. Tetapi aku tidak bisa. Dan aku memilih untuk masuk ke dalam kamarku dengan emosi yang tidak bisa terlampiaskan.

“ Maafkan aku Scarlet…” ujar Carmen beberapa saat setelah aku menghilang dari hadapan mereka. Tetapi, aku lebih memilih untuk menguping pembicaraan mereka.

“ Pria itu lucu sekali, dia kelihatannya sangat marah, tetapi tidak berkata apapun dan seperti anak kecil saja ngambek begitu,” Scarlet terkekeh dengan puas sekali.

“ Ehm… Scarlet,” panggil Carmen. “ Will itu bisu. Kalau dia bisa berbicara, sudah sejak tadi dia akan menentangku dan mengusirmu,” jelasnya.

Ya, aku memang bisu… Bagaimana reaksinya sekarang ?

Aku mengintip untuk melihat ekspresi gadis itu. Dia terdiam, menatap Carmen cukup lama, dan kelihatannya tidak bisa berbicara apa-apa.

“ Semua ini salahku. Dulu dia adalah penyanyi country, dan dia sangat mencintai musik. Tetapi demi melindungiku, dia kehilangan suaranya, dan sama sekali tidak bisa berbicara. Sudah 5 Tahun sejak kejadian itu berlangsung, dan tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Sekarang dia begitu membenci musik yang dulu dicintainya. Aku tidak mau dia menghancurkan hidupnya begitu saja. Aku tahu sejak dulu dia sangat ingin bisa bermain piano. Dan kupikir…” Carmen menatap Scarlet, dan menggenggam tangannya. “ Scarlet, kau bisa membantuku, kan ?” pintanya.

“ Aku ini hanya guru les, bukan psikolog, Carmen,” elak gadis itu.

“ Ya, aku tidak meminta banyak darimu. Hanya saja, aku hanya meminta kau untuk mengerti. Mungkin mengajarinya akan butuh lebih banyak kerja keras dan kesabaran. Kau bisa melakukannya, kan ?”

Scarlet tersenyum, dan mengangguk.

*********          

Aku mengurung diri di dalam kamarku sudah sekitar 2 hari. Carmen berkali-kali mencoba memanggilku keluar tetapi kuabaikan.

“ Will, aku tahu kau marah kepadaku, tetapi biarkan aku menjelaskannya kepadamu ! Jangan sakiti tubuhmu seperti ini, cepat keluar dan makan ! Kau sudah 2 hari tidak makan, kan ?”

Suara Carmen tiba-tiba menghilang, dan aku mendengar suara bisik-bisik. Ada siapa lagi diluar sana ? Dengan siapa Carmen berbisik-bisik di depan kamarku ?

“ Apa aku tidak boleh mendobrak pintunya sekalian ?” bisik seseorang. Dari suaranya, sepertinya dia Scarlet.

“ Jangan. Aku akan taruh makanan di depan pintunya saja,” balas Carmen.

“ Kalau begitu, dia tidak akan keluar kamar selamanya !” pekik Scarlet. “ Bagaimana kalau kita buat skenario seakan-akan rumah ini akan kebakaran supaya dia mau keluar ?” gadis ini… Apakah dia sudah gila ?

“ Jangan, dia pasti pintar, tidak akan percaya begitu saja, kan ?”

“ Kalau begitu, aku dobrak pintunya, tidak ada opsi lain,”  jawab gadis gila itu dengan mantap.

Aku langsung membuka pintu. Di hadapanku  memang terdapat gadis gila itu dan Carmen yang sedang membawa baki berisi makanan.

Aku bisa melihat Scarlet tersenyum puas. “ Aku akan menjelaskan jadwal latihan kita. Senin sampai jumat dari pukul 10 hingga 12, dan lanjut dari pukul 3 hingga 5 sore. Sabtu dan minggu dimulai dari pukul 7 hingga 9 pagi. Karena yang kita pelajari adalah piano, kau tidak perlu khawatir dengan kondisimu—,” dia berhenti sesaat ketika aku hendak menutup pintuku.

Namun, gerakannya lebih cepat, kakinya sudah menghadang pintuku lebih dahulu, dan dia menahan pintu tersebut agar tidak tertutup.

“ Aku belum selesai berbicara. Dalam permainan piano ini aku tidak membutuhkan suaramu, jadi pelajaran ini tidak akan memberatkanmu sama sekali. Kita bertemu di ruang kau menyimpan grand piano itu mulai besok,” dia berbicara tanpa jeda sama sekali.

“ Oh ya,” dia sepertinya hendak berceloteh lagi. “ Aku tumbuh di keluarga militer yang menjunjung tinggi kedisiplinan, tepat janji, dan kepatuhan. Kalau kau berani tidak datang latihan… Kau mengerti sendiri kira-kira apa yang akan aku lakukan,” dia tersenyum simpul, dan langsung pergi.

Carmen menatapku. “ Kuharap kau bisa serius mengikuti latihan ini,” dia menyerahkan baki makanan itu kepadaku. “ Aku akan datang lagi, dan kuharap juga kau tidak pernah bosan melihatku,” dan dia langsung pergi.

*********          

Aku terbangun saat mendengar dentingan piano menggema hingga ke kamarku. Apakah ini permainan piano Scarlet ?

Aku melihat jam-ku. Baru pukul setengah 10. Suara permainan piano dengan tempo yang begitu cepat dan kedengarannya begitu lihai itu begitu membangunkanku dari rasa kantuk. Aku cepat-cepat mandi dan bergegas menuju ruangan dimana suara ini berasal. Aku begitu ingin tahu apakah ini benar-benar permainan piano, atau semacam mantra pemikat ? Saat mendengarnya, telingaku seperti rileks sekaligus mabuk.

Scarlet rupanya memang sedang memainkan grand piano usang itu. Grand piano milik kakekku yang tidak pernah tersentuh oleh siapapun selain kakek sendiri selama belasan tahun lamanya. Rumah ini sebenarnya milik kakek, dan aku yang mendiaminya, semenjak aku tidak bisa lagi berbicara. Aku sengaja pindah kesini untuk menghindar dari kehidupanku yang dulu, karena melihat kondisiku sekarang dan membandingkannya dengan diriku yang dulu, rasanya begitu menyakitkan. Aku sudah tidak cocok lagi hidup disana karena aku tidak berguna.

Rondo Alla Turca,” tiba-tiba Scarlet berbicara, memecahkan lamunanku. Aku baru sadar sejak tadi aku hanya diam mematung di depan pintu.

“ Lagu yang cocok untuk pagi hari yang bersemangat, kan ?” dia berdiri dari tempat duduknya, tersenyum dan terlihat begitu manis dengan pakaian berwarna peach yang dikenakannya hari ini.

“ Cepat duduk,” panggilnya.

“ Kau sudah bisa membaca not balok sebelumnya ?” tanyanya.

Aku menggunakan tanganku untuk mengisyaratkan kata, “sedikit,” dan untunglah dia kelihatannya mengerti. “ Belum lancar, ya ?” tanyanya, dan aku mengangguk. “ Baiklah !” dia meregangkan jemari-jemarinya. “ Mungkin ini akan menjadi pelajaran intensif yang sangat melelahkan. Aku akan membuatmu begitu mencintai musik kembali hingga kau mendapatkan semangat hidupmu lagi, oke ?”

**********        

Dan kau benar…

Setelah 2 bulan berlatih piano dengan ekstrim, aku begitu terbiasa dengan hidup dalam musik. Jariku semakin lentik dalam bermain dan mataku sudah jeli membaca partitur lagu. 4 Jam latihan sehari tanpa istirahat membuat seluruh perhatianku terpusat kepada latihan piano. Grand Piano kakek yang belasan tahun tidak terpakai malah menjadi barang paling “hidup” di rumah ini. Aku begitu fokus kepada musik sekarang,

“ Kau mau mencoba resital ?” tanya Scarlet.

Dengan cepat aku menggeleng. Aku belum siap tampil di publik.

“ Permainanmu sudah sangat bagus dan lancar. Kau hanya butuh mengontrol emosimu dan belajar memberi sentuhan emosi tersebut dalam permainanmu,”

Aku memainkan Rondo Alla Turca, lagu yang kudengar permainannya oleh Scarlet pertama kali. Kupikir akan sangat sulit. Ya, memang sulit. Tetapi aku sudah begitu terbiasa dan sebentar lagi, dengan sedikit latihan lagi, hasilnya akan sempurna.

“ Hei…” panggil Scarlet saat aku masih berkonsentrasi memainkan lagu ini.

“ Kau bisa mengembalikan minatmu terhadap musik seperti sekarang. Mengapa kau tidak bisa berusaha mengembalikan suaramu sekalian ?” tanyanya, yang menurutku begitu blak-blakan.

Aku berhenti mendadak, membuatnya sedikit terkejut. Apa dia mengharapkan percakapan santai yang tidak membuat konsentrasiku buyar, tetapi dengan topik sensitif tersebut ?

 Padahal, setiap kali aku bersamamu, aku lupa dengan kecacatanku ini…
Aku lupa pernah membenci diriku karena kecacatanku ini…
Dan aku lupa betapa hidupku tidak berharga setelah kejadian itu…
Lalu mengapa kau mengungkitnya kembali ?

“ Aku tidak bermaksud… ehm… Maksudku…” dia melihat mataku yang mungkin sedang membara. “ Kupikir masih ada kesempatan untuk harapan itu,” ucapnya. “ Kau belum pernah mencoba belajar bersuara lagi, kan ? Pita suaramu bukan hilang, kan ?” dia benar-benar serius mengatakannya.

Aku hendak mengeluarkan notes dari saku, tetapi tiba-tiba tangannya menahanku.

“ Coba panggil aku, Scarlet… Scar-let…” pintanya.

Aku menatapnya. Dia begitu serius menginginkannya. Ketika aku membuka mulutku, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengucapkan kata itu. Dan…

Bahkan mengucapkan “ Aaa…” saja aku tidak bisa…

Scarlet kelihatan begitu kecewa. Dia bersandar di grand piano.

“ Will… Aku mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah sekolah musik. Di Wina… Kau tahu kan, kesempatan ini benar-benar keinginanku. Karirku akan berkibar di sana, dan tempat itu adalah impianku sejak lama…”

Aku diam. Sama sekali tidak bisa bereaksi apapun.

“ 3 Bulan lagi aku akan berangkat. Kupikir sebelum aku pergi aku bisa mendengar suaramu, sekali saja. Aku sangat ingin mendengar kau memanggilku, bernyanyi untukku, dan berterima kasih kepadaku,” dia menoleh kepadaku. “ Hei, aku kan sudah membantumu mencintai musik kembali, boleh kan kalau aku mengharap terima kasihmu ?”

Aku menggenggam tangannya, dan menggeleng keras.

“ Kau tidak mau aku pergi ?” tanyanya, dan aku mengangguk. Bodoh ! Mengapa aku tidak bisa berkata hal itu sendiri ?

“ Aku tidak bisa, Will. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, dan aku tahu ini memang keinginanku…”

Apakah kau juga tidak menginginkanku ?

Aku diam. Dengan kondisi seperti ini, aku sama sekali tidak bisa mencegah kepergiannya.

“ Kau mau kemana ? Kita belum selesai latihan,” panggil Scarlet saat aku memilih meninggalkannya.

Aku masuk ke dalam kamarku. Dan belum lama, seseorang mengetuk pintuku. Dan rupanya Carmen. Dia membawa baki makanan dan tanpa pamit langsung masuk ke dalam kamarku. Dia meletakkan makanan untukku di atas meja, dan langsung menghadapku.

“ Will…” panggilnya. “ Bagaimana pendapatmu mengenai Scarlet ?” tanyanya.

Aku menatapnya. Sesuatu kelihatan sedang mengganggunya.

“ Kau menyukainya ?” tanyanya.

Aku terdiam. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Lalu aku melihat Carmen menatapi sebuah cincin di jemarinya. Dia menyentuh dan memelintir cincin itu. Dan saat dia kembali menatapku, matanya sudah berlinangan air mata.

“ Apakah kau benar-benar menyukainya ?” tanyanya lagi.

Aku tidak bisa mengangguk, ataupun menggeleng. Tubuhku sangat kaku. Air matanya membuat sesuatu dalam diriku perih.

“ Aku bertanya kepadamu, apakah kau benar-benar menyukai Scarlet, Will ?” suaranya hampir hilang. Dia terisak-isak tanpa mencoba menahan deras tangisnya.

“ Apakah kau sudah lupa dengan ini ?” dia mengangkat tangannya, cincin itu. Carmen… Apakah kau tidak bisa berhenti menangis ?

“ Aku tidak memaksamu untuk berhenti mencintainya, Will. Dan aku juga tidak memaksamu untuk menyadari kembali bahwa aku masih tunanganmu. Tetapi—,” suaranya tercekat.

“ Aku melihatmu bahagia bersamanya, dan kurasa sudah cukup aku mempertahankanmu. 7 Tahun berusaha keras mencintaimu mungkin tidak ada apa-apanya bagimu. Aku yang membuatmu menderita, seharusnya aku juga memang harus sama-sama merasakan penderitaanmu. Will…” dia mendekatiku, dan menyentuh kedua pipiku, lalu kedua mata kami saling bertatapan.

“ Aku mendengar pembicaraan kalian tadi, karena itulah aku berbicara seperti ini sekarang. Mungkin inilah permintaan terakhir dariku sekaligus untuk menebus rasa bersalahku kepadamu. Will…” matanya  menatapku sangat dalam. “ Kau tahu ini adalah keinginanmu juga, kan ?” tanyanya, membekas di batinku.

Kata-katanya… Air matanya… Dan tatapannya…

*********

Aku berlari. Untuk pertama kalinya aku berusaha untuk berlari secepat mungkin. Waktuku sudah tidak banyak lagi.

Baru saja aku diberitahu oleh Carmen bahwa hari ini Scarlet akan berangkat menuju Wina. Dan dengan panik aku segera pergi menuju bandara dan menemuinya.

Sudah sebulan Scarlet tidak mengajariku piano lagi. Entah mengapa, dia tidak pernah datang ke rumahku dan mengabari apa-apa. Setelah aku menghitung waktu sejak dia berkata akan ke Wina, rupanya memang sudah 3 bulan berselang. Aku tidak menyadarinya.

Bandara cukup penuh untuk sebuah hari yang panasnya sangat terik. Mataku terus berkeliaran mencari sosok Scarlet, berlari menyisiri seluruh tempat. Akhirnya, aku menemukannya. Dia sedang berjalan membawa kopernya di seberang jalan.

Dan…

Seingatku, aku sedang berlari mengejarnya sebelum masuk untuk check-in, dan tiba-tiba sebuah klakson nyaring dan panjang berbunyi dari sampingku, dengan suara yang semakin mendekat, lalu…

Hitam.

Aku merasa diriku sangat ringan sekali.


“ Will ?” panggil seseorang. “ Will ?”

Mataku tertutup. Namun suara itu memanggilku, membangunkanku. Aku sangat mengantuk rasanya, namun suara itu memaksaku untuk membuka mataku.

Dan aku melihat Scarlet, dan aku menangkap sebuah kecemasan dari sorot matanya. Rasanya begitu nyata, melihatnya setelah berhari-hari kulewatkan hanya dengan merindukannya.

“ Sss…Sca…Sscar…let,” mulutku bersuara. Suaraku tercekat dan menahan rasa sakit yang luar biasa. Ada apa denganku sebenarnya ?

Dia kelihatan terkejut. “ Kau… Bisa berbicara ?” tanyanya, matanya berkaca-kaca. “ Tunggu sebentar, mobil ambulance akan datang,” ucapnya.

Ah, sepertinya aku baru saja tertabrak sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Aku baru ingat, sensasi saat aku merasa diriku terasa ringan sekali adalah karena aku terlempar jauh.

Tuhan… Mustahil kan aku mati saat ini ?

Kecemasan Scarlet semakin bertambah saat dia menyentuh kepalaku, dan tangannya bersimbah darah. Dia menangis, akhirnya. Oh… Aku tidak bisa melihatnya menangis seperti ini. Aku tidak akan mati sekarang, Scarlet… Ya kan, Tuhan ?


“ Jja…Jja… ngan… Pp…Per…gi…” lirihku. Sial ! Mengapa terapi bicara intensifku bersama Carmen selama 2 bulan masih saja tidak bisa membuatku berbicara dengan lancar ?

“ Iya, aku tidak akan pergi,” ucapnya.

“ Bb… Bbo… Hhhong,”  ucapku terbata-bata, sambil mengerang menahan sakit.

“ Aa…Aaaku… Mm… Mmen…Ccin…Tt…Tai…Mmmu…”

Scarlet terperanjat. Dan deras tangisnya semakin menjadi. “ Will… Jangan banyak berbicara,  simpan energimu, sebentar lagi ambulance datang,”

Tidak ada waktu lagi…

“ Tt…Tte…Rr… Rrimma… Kk… Kkasih…”

Scarlet terdiam sementara, dan aku bisa melihat seberkas senyuman dari isak tangisnya.

“ Kau tidak perlu begini, aku hanya bercanda meminta ucapan terima kasihmu,”

“ Ss… Ssenyum… mmu… mm…mma…nnis… ss…sse… ka…li…”

Dan wajah yang kurindukan itu memudar, mataku tidak sanggup menahan rasa kantuk yang teramat sangat ini. Kalaupun aku ternyata meninggal saat ini juga, Tuhan masih berbaik hati memberiku waktu untuk berbicara kepadanya.

Scarlet… Sekali lagi… Terima Kasih…

**********   

Kepada 3 wanita paling berharga di dalam hidupku, aku meminta maaf…
Mama,
Aku tidak pernah tahan melihat tangisanmu di belakangku. Kau selalu mengkhawatirkanku karena perubahan kondisiku ini, dan aku tidak mau kau menangis melihatku lagi. Maafkan aku Mama…
Carmen,
Tunanganku. Semua ini bukan salahmu, sudah menjadi kewajibanku untuk melindungimu dari penjahat itu karena aku tunanganmu. Tidak pantas mengucapkan terima kasih kepadamu, karena kau berhak mendapatkan yang lebih lagi. Kau selalu merawatku, tidak pernah lelah menemaniku, mengasihiku, dan tetap mencintaiku. Tanpamu, hidupku akan selalu berantakan dan tanpa arah. Tetapi, atas segala yang telah kulakukan kepadamu, karena aku tidak sanggup membalas kebaikanmu yang tak terhingga itu... Maafkan aku, Carmen…
Dan, Scarlet,
Karenamu, aku mengerti mengapa Tuhan membuatku bisu untuk sementara. Skenario yang diberikan oleh Tuhan untukku ini terasa begitu indah saat kau datang. Kau membuat hidupku kembali bersemangat, seakan aku baru dilahirkan kembali. Maafkan aku, Scarlet, telah membuatmu menunggu lama…

*********          

Seluruh lampu dipadamkan. Hanya satu cahaya yang digunakan sebagai sorotan.

Setelah tepukan tangan yang meriah, yang ada hanyalah keheningan.

Sebuah grand piano berdiri dengan gagah dibawah sorotan cahaya.

Tirai tinggi besar melambai tertiup angin dengan sepoi-sepoi.

Dan panggung mewah ini memerlukan sumber perhatian.

Aku.

Lagu ini kupersembahkan kepada Winslet, gadis kecilku, buah hatiku. Dan juga kepada sang ibunda-nya tercinta, Scarlet, yang berarti banyak dalam mengembalikan gairah bermusik-ku…”


“ Isn’t She Lovely….”

-end-