Matahari saat itu
hendak tenggelam… Saat aku pertama kali melihatmu…
Aku berhenti dari sepedaku saat melewati jalanan di pinggir
pantai Asarella. Aku memarkirkan sepedaku di dekat pembatas jalan, dan menepi
sebentar untuk menikmati fenomena sunset
di pantai yang indah ini.
“ Ehm…” gumam seseorang yang tiba-tiba mendekatiku.
“ Aku masih baru disini, dan sedang mencari sebuah alamat,
apakah kau bisa memberitahuku dimana alamat ini ?” tanyanya.
Aku memperhatikan gadis ini dari ujung rambut hingga kuku
kakinya. Seorang gadis dengan mata bulat dan hitam bersinar, serta bibirnya
yang bergelombang seperti ombak di lautan. Rambutnya hitam yang tergerai hingga
melewati bahunya dan kulitnya yang putih pucat kelihatan begitu kontras sekali.
Hallway Street No. 232
Aku membuang mukaku dan menatap fenomena sunset yang hampir saja kulewatkan. Saat
tahu aku mengabaikannya, dia memohon.
“ Oh… Ayolah… Kau satu-satunya orang yang kutemui sepanjang
jalan ini,”
Aku merogoh notes
di sakuku, dan mulai menulis,
Ada urusan apa kau di rumah itu ?
Aku menunjukkan tulisan tersebut kepadanya. Dia membaca, dan
melihatku kebingungan.
“ Ada suatu keperluan. Mengapa kau bertanya seperti itu ?”
Aku memasukkan kembali notes
tersebut dan melangkah untuk mengambil sepedaku. Saat aku sudah hendak
duduk, aku melihat gadis itu dan menepuk tempat duduk belakang, maksudnya aku
menawarkan tumpangan untuknya.
“ Kau mau mengantarku ? Terima kasih sekali,” ujarnya
kegirangan
Aku mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga, penumpangnya kini
bertambah menjadi 2 orang. Tentu saja sebenarnya aku kesulitan dalam menjaga
keseimbangan, apalagi mengayuhnya juga terasa lebih berat.
Akhirnya kami sampai di alamat yang dimaksudkan. Aku
berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah.
“ Terima kasih banyak,” ucap gadis tersebut.
Gadis itu langsung memencet bel. “ Siapa ? Ada perlu apa ?’
tanya seseorang dari speaker. “
Namaku Scarlet, dan aku mencari seseorang yang bernama Carmen,” ujarnya. “
Baiklah, silahkan masuk,” jawab seseorang di seberang sana.
Pintu gerbang yang tadinya terkunci tiba-tiba terbuka
sendiri. Aku masuk ke dalam rumah tersebut. Dan gadis yang bernama Scarlet itu
menghadangku.
“ Mengapa kau ikut masuk ? Aku sudah berterima kasih kau mau
mengantarku sampai sini, tidak perlu sampai menemaniku,”
Aku mengangkat sebelah alisku, menatapnya dengan aneh, lalu
mengabaikannya dan tetap melangkah masuk.
Memangnya aku tidak boleh masuk ke dalam rumahku sendiri ?
*********
Gadis itu terlihat begitu malu saat sudah duduk di depan
tamu. Carmen menyambutnya penuh senyum, dan aku duduk tepat di hadapannya, puas
menertawakannya dalam hati.
“ Ah, kau sudah bertemu dengan Will ?” ujar Carmen.
“ Oh ? Ya… Begitulah,” ucapnya,
“ Will, ini Scarlet, dan mulai dari sekarang, dia adalah guru
piano-mu,” ucap Carmen kepadaku.
Aku tekejut bukan main. Atas hak apa Carmen bisa-bisanya
menyewa seorang guru les piano untukku ?
Aku bangkit dari tempat dudukku. Andaikan aku bisa berteriak
dan memaki kepadanya, lalu mengusir kedua orang asing ini dari rumahku sendiri,
aku pasti akan melakukannya sekarang juga. Tetapi aku tidak bisa. Dan aku
memilih untuk masuk ke dalam kamarku dengan emosi yang tidak bisa
terlampiaskan.
“ Maafkan aku Scarlet…” ujar Carmen beberapa saat setelah
aku menghilang dari hadapan mereka. Tetapi, aku lebih memilih untuk menguping
pembicaraan mereka.
“ Pria itu lucu sekali, dia kelihatannya sangat marah,
tetapi tidak berkata apapun dan seperti anak kecil saja ngambek begitu,”
Scarlet terkekeh dengan puas sekali.
“ Ehm… Scarlet,” panggil Carmen. “ Will itu bisu. Kalau dia
bisa berbicara, sudah sejak tadi dia akan menentangku dan mengusirmu,”
jelasnya.
Ya, aku memang bisu…
Bagaimana reaksinya sekarang ?
Aku mengintip untuk melihat ekspresi gadis itu. Dia terdiam,
menatap Carmen cukup lama, dan kelihatannya tidak bisa berbicara apa-apa.
“ Semua ini salahku. Dulu dia adalah penyanyi country, dan dia sangat mencintai musik.
Tetapi demi melindungiku, dia kehilangan suaranya, dan sama sekali tidak bisa
berbicara. Sudah 5 Tahun sejak kejadian itu berlangsung, dan tidak ada
tanda-tanda kesembuhan. Sekarang dia begitu membenci musik yang dulu
dicintainya. Aku tidak mau dia menghancurkan hidupnya begitu saja. Aku tahu
sejak dulu dia sangat ingin bisa bermain piano. Dan kupikir…” Carmen menatap
Scarlet, dan menggenggam tangannya. “ Scarlet, kau bisa membantuku, kan ?”
pintanya.
“ Aku ini hanya guru les, bukan psikolog, Carmen,” elak
gadis itu.
“ Ya, aku tidak meminta banyak darimu. Hanya saja, aku hanya
meminta kau untuk mengerti. Mungkin mengajarinya akan butuh lebih banyak kerja
keras dan kesabaran. Kau bisa melakukannya, kan ?”
Scarlet tersenyum, dan mengangguk.
*********
Aku mengurung diri di dalam kamarku sudah sekitar 2 hari.
Carmen berkali-kali mencoba memanggilku keluar tetapi kuabaikan.
“ Will, aku tahu kau marah kepadaku, tetapi biarkan aku
menjelaskannya kepadamu ! Jangan sakiti tubuhmu seperti ini, cepat keluar dan
makan ! Kau sudah 2 hari tidak makan, kan ?”
Suara Carmen tiba-tiba menghilang, dan aku mendengar suara
bisik-bisik. Ada siapa lagi diluar sana ? Dengan siapa Carmen berbisik-bisik di
depan kamarku ?
“ Apa aku tidak boleh mendobrak pintunya sekalian ?” bisik
seseorang. Dari suaranya, sepertinya dia Scarlet.
“ Jangan. Aku akan taruh makanan di depan pintunya saja,”
balas Carmen.
“ Kalau begitu, dia tidak akan keluar kamar selamanya !”
pekik Scarlet. “ Bagaimana kalau kita buat skenario seakan-akan rumah ini akan
kebakaran supaya dia mau keluar ?” gadis ini… Apakah dia sudah gila ?
“ Jangan, dia pasti pintar, tidak akan percaya begitu saja,
kan ?”
“ Kalau begitu, aku dobrak pintunya, tidak ada opsi lain,” jawab gadis gila itu dengan mantap.
Aku langsung membuka pintu. Di hadapanku memang terdapat gadis gila itu dan Carmen
yang sedang membawa baki berisi makanan.
Aku bisa melihat Scarlet tersenyum puas. “ Aku akan
menjelaskan jadwal latihan kita. Senin sampai jumat dari pukul 10 hingga 12,
dan lanjut dari pukul 3 hingga 5 sore. Sabtu dan minggu dimulai dari pukul 7
hingga 9 pagi. Karena yang kita pelajari adalah piano, kau tidak perlu khawatir
dengan kondisimu—,” dia berhenti sesaat ketika aku hendak menutup pintuku.
Namun, gerakannya lebih cepat, kakinya sudah menghadang
pintuku lebih dahulu, dan dia menahan pintu tersebut agar tidak tertutup.
“ Aku belum selesai berbicara. Dalam permainan piano ini aku
tidak membutuhkan suaramu, jadi pelajaran ini tidak akan memberatkanmu sama
sekali. Kita bertemu di ruang kau menyimpan grand
piano itu mulai besok,” dia berbicara tanpa jeda sama sekali.
“ Oh ya,” dia sepertinya hendak berceloteh lagi. “ Aku
tumbuh di keluarga militer yang menjunjung tinggi kedisiplinan, tepat janji,
dan kepatuhan. Kalau kau berani tidak datang latihan… Kau mengerti sendiri
kira-kira apa yang akan aku lakukan,” dia tersenyum simpul, dan langsung pergi.
Carmen menatapku. “ Kuharap kau bisa serius mengikuti
latihan ini,” dia menyerahkan baki makanan itu kepadaku. “ Aku akan datang
lagi, dan kuharap juga kau tidak pernah bosan melihatku,” dan dia langsung
pergi.
*********
Aku terbangun saat mendengar dentingan piano menggema hingga
ke kamarku. Apakah ini permainan piano Scarlet ?
Aku melihat jam-ku. Baru pukul setengah 10. Suara permainan
piano dengan tempo yang begitu cepat dan kedengarannya begitu lihai itu begitu
membangunkanku dari rasa kantuk. Aku cepat-cepat mandi dan bergegas menuju
ruangan dimana suara ini berasal. Aku begitu ingin tahu apakah ini benar-benar
permainan piano, atau semacam mantra pemikat ? Saat mendengarnya, telingaku
seperti rileks sekaligus mabuk.
Scarlet rupanya memang sedang memainkan grand piano usang itu. Grand
piano milik kakekku yang tidak pernah tersentuh oleh siapapun selain kakek
sendiri selama belasan tahun lamanya. Rumah ini sebenarnya milik kakek, dan aku
yang mendiaminya, semenjak aku tidak bisa lagi berbicara. Aku sengaja pindah
kesini untuk menghindar dari kehidupanku yang dulu, karena melihat kondisiku
sekarang dan membandingkannya dengan diriku yang dulu, rasanya begitu
menyakitkan. Aku sudah tidak cocok lagi hidup disana karena aku tidak berguna.
“ Rondo Alla Turca,”
tiba-tiba Scarlet berbicara, memecahkan lamunanku. Aku baru sadar sejak tadi
aku hanya diam mematung di depan pintu.
“ Lagu yang cocok untuk pagi hari yang
bersemangat, kan ?” dia berdiri dari tempat duduknya, tersenyum dan terlihat
begitu manis dengan pakaian berwarna peach
yang dikenakannya hari ini.
“ Cepat duduk,” panggilnya.
“ Kau sudah bisa membaca not balok sebelumnya ?” tanyanya.
Aku menggunakan tanganku untuk mengisyaratkan kata, “sedikit,” dan untunglah dia kelihatannya
mengerti. “ Belum lancar, ya ?” tanyanya, dan aku mengangguk. “ Baiklah !” dia
meregangkan jemari-jemarinya. “ Mungkin ini akan menjadi pelajaran intensif
yang sangat melelahkan. Aku akan membuatmu begitu mencintai musik kembali
hingga kau mendapatkan semangat hidupmu lagi, oke ?”
**********
Dan kau benar…
Setelah 2 bulan berlatih piano dengan ekstrim, aku begitu
terbiasa dengan hidup dalam musik. Jariku semakin lentik dalam bermain dan
mataku sudah jeli membaca partitur lagu. 4 Jam latihan sehari tanpa istirahat
membuat seluruh perhatianku terpusat kepada latihan piano. Grand Piano kakek yang belasan tahun tidak terpakai malah menjadi
barang paling “hidup” di rumah ini. Aku begitu fokus kepada musik sekarang,
“ Kau mau mencoba resital ?” tanya Scarlet.
Dengan cepat aku menggeleng. Aku belum siap tampil di
publik.
“ Permainanmu sudah sangat bagus dan lancar. Kau hanya butuh
mengontrol emosimu dan belajar memberi sentuhan emosi tersebut dalam
permainanmu,”
Aku memainkan Rondo
Alla Turca, lagu yang kudengar permainannya oleh Scarlet pertama kali.
Kupikir akan sangat sulit. Ya, memang sulit. Tetapi aku sudah begitu terbiasa
dan sebentar lagi, dengan sedikit latihan lagi, hasilnya akan sempurna.
“ Hei…” panggil Scarlet saat aku masih berkonsentrasi memainkan
lagu ini.
“ Kau bisa mengembalikan minatmu terhadap musik seperti
sekarang. Mengapa kau tidak bisa berusaha mengembalikan suaramu sekalian ?”
tanyanya, yang menurutku begitu blak-blakan.
Aku berhenti mendadak, membuatnya sedikit terkejut. Apa dia
mengharapkan percakapan santai yang tidak membuat konsentrasiku buyar, tetapi
dengan topik sensitif tersebut ?
Padahal, setiap kali aku bersamamu, aku lupa dengan kecacatanku ini…
Aku lupa pernah
membenci diriku karena kecacatanku ini…
Dan aku lupa betapa
hidupku tidak berharga setelah kejadian itu…
Lalu mengapa kau
mengungkitnya kembali ?
“ Aku tidak bermaksud… ehm… Maksudku…” dia melihat mataku
yang mungkin sedang membara. “ Kupikir masih ada kesempatan untuk harapan itu,”
ucapnya. “ Kau belum pernah mencoba belajar bersuara lagi, kan ? Pita suaramu
bukan hilang, kan ?” dia benar-benar serius mengatakannya.
Aku hendak mengeluarkan notes
dari saku, tetapi tiba-tiba tangannya menahanku.
“ Coba panggil aku, Scarlet… Scar-let…” pintanya.
Aku menatapnya. Dia begitu serius menginginkannya. Ketika
aku membuka mulutku, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengucapkan kata itu.
Dan…
Bahkan mengucapkan “ Aaa…” saja aku tidak bisa…
Scarlet kelihatan begitu kecewa. Dia bersandar di grand piano.
“ Will… Aku mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah sekolah
musik. Di Wina… Kau tahu kan, kesempatan ini benar-benar keinginanku. Karirku
akan berkibar di sana, dan tempat itu adalah impianku sejak lama…”
Aku diam. Sama sekali tidak bisa bereaksi apapun.
“ 3 Bulan lagi aku akan berangkat. Kupikir sebelum aku pergi
aku bisa mendengar suaramu, sekali saja. Aku sangat ingin mendengar kau
memanggilku, bernyanyi untukku, dan berterima kasih kepadaku,” dia menoleh
kepadaku. “ Hei, aku kan sudah membantumu mencintai musik kembali, boleh kan
kalau aku mengharap terima kasihmu ?”
Aku menggenggam tangannya, dan menggeleng keras.
“ Kau tidak mau aku pergi ?” tanyanya, dan aku mengangguk.
Bodoh ! Mengapa aku tidak bisa berkata hal itu sendiri ?
“ Aku tidak bisa, Will. Kesempatan ini tidak akan datang dua
kali, dan aku tahu ini memang keinginanku…”
Apakah kau juga tidak
menginginkanku ?
Aku diam. Dengan kondisi seperti ini, aku sama sekali tidak
bisa mencegah kepergiannya.
“ Kau mau kemana ? Kita belum selesai latihan,” panggil
Scarlet saat aku memilih meninggalkannya.
Aku masuk ke dalam kamarku. Dan belum lama, seseorang
mengetuk pintuku. Dan rupanya Carmen. Dia membawa baki makanan dan tanpa pamit
langsung masuk ke dalam kamarku. Dia meletakkan makanan untukku di atas meja, dan langsung
menghadapku.
“ Will…” panggilnya. “ Bagaimana pendapatmu mengenai Scarlet
?” tanyanya.
Aku menatapnya. Sesuatu kelihatan sedang mengganggunya.
“ Kau menyukainya ?” tanyanya.
Aku terdiam. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Lalu aku
melihat Carmen menatapi sebuah cincin di jemarinya. Dia menyentuh dan
memelintir cincin itu. Dan saat dia kembali menatapku, matanya sudah
berlinangan air mata.
“ Apakah kau benar-benar menyukainya ?” tanyanya lagi.
Aku tidak bisa mengangguk, ataupun menggeleng. Tubuhku
sangat kaku. Air matanya membuat sesuatu dalam diriku perih.
“ Aku bertanya kepadamu, apakah kau benar-benar menyukai
Scarlet, Will ?” suaranya hampir hilang. Dia terisak-isak tanpa mencoba menahan
deras tangisnya.
“ Apakah kau sudah lupa dengan ini ?” dia mengangkat
tangannya, cincin itu. Carmen… Apakah kau tidak bisa berhenti menangis ?
“ Aku tidak memaksamu untuk berhenti mencintainya, Will. Dan
aku juga tidak memaksamu untuk menyadari kembali bahwa aku masih tunanganmu.
Tetapi—,” suaranya tercekat.
“ Aku melihatmu bahagia bersamanya, dan kurasa sudah cukup
aku mempertahankanmu. 7 Tahun berusaha keras mencintaimu mungkin tidak ada
apa-apanya bagimu. Aku yang membuatmu menderita, seharusnya aku juga memang
harus sama-sama merasakan penderitaanmu. Will…” dia mendekatiku, dan menyentuh
kedua pipiku, lalu kedua mata kami saling bertatapan.
“ Aku mendengar pembicaraan kalian tadi, karena itulah aku
berbicara seperti ini sekarang. Mungkin inilah permintaan terakhir dariku
sekaligus untuk menebus rasa bersalahku kepadamu. Will…” matanya menatapku sangat dalam. “ Kau tahu ini adalah
keinginanmu juga, kan ?” tanyanya, membekas di batinku.
Kata-katanya… Air
matanya… Dan tatapannya…
*********
Aku berlari. Untuk pertama kalinya aku berusaha untuk
berlari secepat mungkin. Waktuku sudah tidak banyak lagi.
Baru saja aku diberitahu oleh Carmen bahwa hari ini Scarlet
akan berangkat menuju Wina. Dan dengan panik aku segera pergi menuju bandara
dan menemuinya.
Sudah sebulan Scarlet tidak mengajariku piano lagi. Entah
mengapa, dia tidak pernah datang ke rumahku dan mengabari apa-apa. Setelah aku
menghitung waktu sejak dia berkata akan ke Wina, rupanya memang sudah 3 bulan
berselang. Aku tidak menyadarinya.
Bandara cukup penuh untuk sebuah hari yang panasnya sangat
terik. Mataku terus berkeliaran mencari sosok Scarlet, berlari menyisiri
seluruh tempat. Akhirnya, aku menemukannya. Dia sedang berjalan membawa
kopernya di seberang jalan.
Dan…
Seingatku, aku sedang berlari mengejarnya sebelum masuk
untuk check-in, dan tiba-tiba sebuah
klakson nyaring dan panjang berbunyi dari sampingku, dengan suara yang semakin
mendekat, lalu…
Hitam.
Aku merasa diriku sangat ringan sekali.
…
“ Will ?” panggil seseorang. “ Will ?”
Mataku tertutup. Namun suara itu memanggilku,
membangunkanku. Aku sangat mengantuk rasanya, namun suara itu memaksaku untuk
membuka mataku.
Dan aku melihat Scarlet, dan aku menangkap sebuah kecemasan
dari sorot matanya. Rasanya begitu nyata, melihatnya setelah berhari-hari
kulewatkan hanya dengan merindukannya.
“ Sss…Sca…Sscar…let,” mulutku bersuara. Suaraku tercekat dan
menahan rasa sakit yang luar biasa. Ada apa denganku sebenarnya ?
Dia kelihatan terkejut. “ Kau… Bisa berbicara ?” tanyanya,
matanya berkaca-kaca. “ Tunggu sebentar, mobil ambulance akan datang,” ucapnya.
Ah, sepertinya aku baru saja tertabrak sebuah mobil yang
melaju sangat kencang. Aku baru ingat, sensasi saat aku merasa diriku terasa
ringan sekali adalah karena aku terlempar jauh.
Tuhan… Mustahil kan aku mati saat ini ?
Kecemasan Scarlet semakin bertambah saat dia menyentuh
kepalaku, dan tangannya bersimbah darah. Dia menangis, akhirnya. Oh… Aku tidak
bisa melihatnya menangis seperti ini. Aku tidak akan mati sekarang, Scarlet… Ya
kan, Tuhan ?
“ Jja…Jja… ngan… Pp…Per…gi…” lirihku. Sial ! Mengapa terapi
bicara intensifku bersama Carmen selama 2 bulan masih saja tidak bisa membuatku
berbicara dengan lancar ?
“ Iya, aku tidak akan pergi,” ucapnya.
“ Bb… Bbo… Hhhong,”
ucapku terbata-bata, sambil mengerang menahan sakit.
“ Aa…Aaaku… Mm… Mmen…Ccin…Tt…Tai…Mmmu…”
Scarlet terperanjat. Dan deras tangisnya semakin menjadi. “
Will… Jangan banyak berbicara, simpan
energimu, sebentar lagi ambulance
datang,”
Tidak ada waktu lagi…
“ Tt…Tte…Rr… Rrimma… Kk… Kkasih…”
Scarlet terdiam sementara, dan aku bisa melihat seberkas
senyuman dari isak tangisnya.
“ Kau tidak perlu begini, aku hanya bercanda meminta ucapan
terima kasihmu,”
“ Ss… Ssenyum… mmu… mm…mma…nnis… ss…sse… ka…li…”
Dan wajah yang kurindukan itu memudar, mataku tidak sanggup
menahan rasa kantuk yang teramat sangat ini. Kalaupun aku ternyata meninggal
saat ini juga, Tuhan masih berbaik hati memberiku waktu untuk berbicara
kepadanya.
Scarlet… Sekali lagi…
Terima Kasih…
**********
Kepada 3 wanita paling
berharga di dalam hidupku, aku meminta maaf…
Mama,
Aku tidak pernah tahan
melihat tangisanmu di belakangku. Kau selalu mengkhawatirkanku karena perubahan
kondisiku ini, dan aku tidak mau kau menangis melihatku lagi. Maafkan aku Mama…
Carmen,
Tunanganku. Semua ini
bukan salahmu, sudah menjadi kewajibanku untuk melindungimu dari penjahat itu
karena aku tunanganmu. Tidak pantas mengucapkan terima kasih kepadamu, karena
kau berhak mendapatkan yang lebih lagi. Kau selalu merawatku, tidak pernah
lelah menemaniku, mengasihiku, dan tetap mencintaiku. Tanpamu, hidupku akan
selalu berantakan dan tanpa arah. Tetapi, atas segala yang telah kulakukan
kepadamu, karena aku tidak sanggup membalas kebaikanmu yang tak terhingga
itu... Maafkan aku, Carmen…
Dan, Scarlet,
Karenamu, aku mengerti
mengapa Tuhan membuatku bisu untuk sementara. Skenario yang diberikan oleh
Tuhan untukku ini terasa begitu indah saat kau datang. Kau membuat hidupku
kembali bersemangat, seakan aku baru dilahirkan kembali. Maafkan aku, Scarlet,
telah membuatmu menunggu lama…
*********
Seluruh lampu dipadamkan. Hanya satu cahaya yang digunakan
sebagai sorotan.
Setelah tepukan tangan yang meriah, yang ada hanyalah
keheningan.
Sebuah grand piano
berdiri dengan gagah dibawah sorotan cahaya.
Tirai tinggi besar melambai tertiup angin dengan
sepoi-sepoi.
Dan panggung mewah ini memerlukan sumber perhatian.
Aku.
“ Lagu ini
kupersembahkan kepada Winslet, gadis kecilku, buah hatiku. Dan juga kepada sang
ibunda-nya tercinta, Scarlet, yang berarti banyak dalam mengembalikan gairah
bermusik-ku…”
“ Isn’t She Lovely….”
-end-