“ That was so gross,
stop it Gere !” aku menutup mataku.
Gerald menjulurkan lidahnya, dan kembali mengunyah permen karet tersebut. “ This tastes good, this feels really you,” ujarnya.
Gerald baru saja memakan permen karet yang baru kukunyah. Awalnya aku hanya bercanda menyuruhnya memakan permen karet bekas itu. Dan dia sungguh berani melakukannya.
“ You asked it, Sara,” tambahnya.
“ I was joking,”
“ Tetapi kau selalu tahu bahwa aku selalu melakukan apapun yang kau mau, even if it takes many risks to myself,”
“ Stop it,” pintaku, dan Gerald benar-benar langsung melepeh permen karet tersebut.
Aku tertawa. Gerald tertawa. Aku memukul tepat di dada Gerald yang sudah terasa sangat bidang hingga pukulanku pasti tidak akan terasa apa-apa bagi pria tersebut.
“ Sara ! Lihat itu Gerald dihukum di tengah lapangan lagi !”
teriak Bettie, teman sekelasku.
Aku langsung keluar dari kelas dan menuju balkon, dimana teman-teman sekelasku juga ikut mencari tahu.
Di tengah lapangan, terdapat 7 orang yang berdiri dibawah teriknya sinar matahari dengan satu kaki dan kedua tangan mereka diangkat setinggi mungkin. Apa lagi kelakuanmu, Ger ?
“ Tes ! Satu… Dua… Tiga… Perhatian anak-anakku semuanya, ditengah lapangan ini sekarang kalian bisa lihat ada 7 anak-anak nakal yang tertangkap sedang merokok di lingkungan sekolah. Inilah yang akan kalian dapatkan apabila berani merokok di dalam lingkungan sekolah. Mereka akan dihukum berdiri di tengah lapangan ini selama 1 jam,” kata seorang guru yang berdiri di depan anak-anak tersebut melalui speaker.
Gerald melihatku, dan dia mengedipkan matanya, lalu tersenyum. Dia memang tidak bisa diberi pelajaran sama sekali. Hukuman baginya adalah sesuatu yang menyenangkan. Dia senang melanggar aturan.
“ Gerald ! Kau satu-satunya senior disini, apakah kau yang mengajari adik kelasmu untuk melanggar aturan ?” tanya guru tersebut.
Gerald melirik ke kanan dan kirinya, lalu mengangguk. Dia benar-benar pemberani, dan sangat jujur. Guru tersebut kelihatan geram dengannya.
“ Kau sudah menjadi senior sekarang, apa kelakuanmu masih harus seperti anak kecil ? Sebentar lagi kau harus kuliah, kerja, dan menikah, kapan kau akan menjadi dewasa ?” tanyanya.
Gerald hanya menggaruk-garuk telinganya, dan kelihatan sangat acuh.
“ Pacarmu memang nakal sekali,” bisik Bettie.
“ Aku bukan pacarnya,” elakku dengan cepat.
“ Kalian semua cepat kembali ke kelas dan siap-siap untuk pelajaran berikutnya ! Jangan terus-terusan menonton teman-teman kalian yang bandel ini !” usir sang guru, dan dengan cepat kami semua kembali ke kelas.
“ Tetapi kalian kelihatan begitu dekat sekali,” lanjut Bettie.
“ Aku bukan pacarnya,” elakku kembali.
“ Lalu kalian itu apa ?” tanyanya.
“ We’re just friend,” jawabku sambil mengangkat bahu.
Bettie kelihatan bingung. “ Aku benar-benar kasihan sekali kalau kau berjodoh dengan anak itu,” ucapnya.
“ Bettie ! Kenapa kau bicara seperti itu ? Siapa yang mau berjodoh dengannya ?” sangkalku.
“ Gerald itu adalah anak ter-bandel yang pernah kulihat. Dia benar-benar masih kekanakan, nakal, dan susah diatur. Aku sendiri masih bingung bagaimana kau bisa dekat dengannya,”
Bagaimana bisa aku dekat dengannya ? Hmm…
Aku tiba-tiba teringat akan peristiwa 9 tahun yang lalu, ketika aku pertama kali mengenalnya.
9 tahun yang lalu, aku bertemu dengan Gerald kecil ketika
teman-temanku dan teman-temannya sedang bermain bersama di sebuah sungai di
sebuah hutan kecil dekat sekolah. Ketika kami semua sedang menyusuri hutan
dengan berjalan kaki, aku terpeleset dan jatuh. Kakiku terluka dan berdarah.
Teman-temanku sudah berada di depanku dan meninggalkanku. Tiba-tiba Gerald
datang, dan berhenti menghadapku. Aku memintanya untuk menolongku, tetapi dia
malah berkata, dengan dinginnya.
“ Hanya luka seperti itu, kenapa kau harus menangis seperti anak manja ?” ucapnya.
Aku terkejut dengan kata-katanya saat itu, hingga akhirnya dengan perasaan malu dan kesal, aku mencoba bangun dan berdiri. Tetapi sakit sekali, aku sepertinya tergores bebatuan atau kayu dari pohon.
“ Kau ini manja sekali…” ucapnya lagi, tetapi tiba-tiba membantuku untuk berdiri.
Dia menuntunku untuk keluar dari hutan, padahal teman-teman kami masih berada di dalam sana dan kami semua memang sepakat untuk main air di sungai yang katanya jernih sekali.
“ Diam. Kita harus mengurusi lukamu itu terlebih dahulu,” katanya.
Dia membawaku ke sebuah klinik terdekat dan lukaku yang ternyata cukup dalam sudah ditangani oleh dokter. Ketika aku keluar dari klinik, Gerald berkata,
“ Mereka belum tahu kita sudah turun. Kau tunggu disini, aku akan naik kesana lagi dan memberitahu mereka, jangan kemana-mana sebelum kujemput disini, oke ?’ ujarnya.
Aku mengangguk, dan dia berlari masuk ke dalam hutan.
Sejujurnya aku tidak tahu dimana aku sekarang. Tadi aku hanya ikut dengan teman-temanku dan dibonceng di salah satu sepeda milik teman Gerald. Jadi yang bisa kulakukan adalah menunggu Gerald kembali.
Matahari semakin hendak terbenam, tetapi Gerald masih belum kembali. Aku tidak tahu apakah dia tersasar atau dia malah melupakanku. Apakah dia sejahat itu sampai melupakanku ?
Matahari sudah benar-benar terbenam sekarang, dan aku ketakutan bukan main. Aku tidak bisa pergi begitu saja, aku tidak tahu dimana aku berada sekarang. Aku takut dimarahi mama karena keluar rumah begitu larut. Tetapi dimana Gerald sekarang ?
Seorang anak kecil menggowes sepeda dengan terburu-buru dan dengan cepat menghadapku. Gerald.
Dia kelihatan begitu terengah-engah.
“ Tadi aku tersasar saat mencari letak parkiran sepeda, mm—,” dia tiba-tiba berhenti berbicara.
Aku memeluknya dengan cepat, dan menangis tiba-tiba. Aku begitu ketakutan tadi. Aku takut dia tidak datang dan meninggalkanku sendirian disini. Aku benar-benar takut hingga ingin mati rasanya.
“ Maafkan aku, Sara,” ucapnya.
“ Aku takut, Gere…” lirihku.
“ Maafkan aku, aku tidak akan meninggalkanmu lagi, aku janji,” ucapnya.
Sejak saat itu, aku begitu dekat dengan Gerald. Padahal sebelumnya kami sama sekali tidak mengenal satu sama lain, hanya sebagai teman satu sekolah dan berbeda kelas, tidak pernah berbicara dan bermain sebelumnya. Tetapi kejadian tersebut mengubah kehidupanku, dan mungkin kehidupannya juga. Dia tidak terlalu buruk untuk dijadikan seorang teman.
“ Sara ? Halo ?” Bettie melambaikan tangannya begitu dekat didepan mataku.
Aku sepertinya sedang melamun tadi.
“ Kau melamun ? Kau memikirkan apa ?” tanyanya.
“ Hmm ? Tidak…” aku diam sejenak.
“ Aku baru saja membicarakan kenakalan-kenakalannya selama di SMA ini. Kau ingat saat pertama kali kita masuk sekolah, dan dia sudah menghajar senior dengan berani sendirian ?” tanyanya.
Tentu saja aku ingat. Waktu itu dia menghajar senior tersebut di depan senior lainnya dan di hadapanku juga. Dia melakukan itu karena aku mengatakan bahwa aku dicolek oleh senior tersebut di bagian paha dan dia juga mengangkat rokku dengan sengaja. Gerald saat itu benar-benar marah dan langsung menemui senior tersebut.
Aku masih ingat betapa buasnya dia saat itu. Aku sering melihatnya latihan boxing dan muay-thai di rumahnya, tetapi baru sekarang aku melihatnya untuk pertama kali dia mempraktekkan latihan tersebut.
Senior tersebut marah bukan main, dan dia hendak membalas pukulan Gerald, namun rupanya kekuatan Gerald lebih hebat daripada senior tersebut. Aku bisa melihat betapa tangguhnya Gerald sekarang.
“ Kau pasti tahu untuk apa pukulan itu !” bentaknya kepada senior tersebut.
Tetapi esok harinya, Gerald dipanggil oleh guru dan dia dihukum karena sudah menghajar senior tersebut. Dia tidak salah menurutku, tetapi rupanya senior tersebut terkenal dekat dengan para guru dan penampilan Gerald yang begitu seenaknya—kancing tidak terpasang, gayanya yang berantakan— membuat Gerald seakan-akan yang bersalah sendirian. Dan Gerald tidak mungkin menjelaskan mengapa dia menghajar senior tersebut karena untuk melindungiku. Gerald juga memaksaku untuk tetap diam.
“ Lalu, kau masih ingat ketika dia tertangkap sedang tawuran dengan sma lain ?” tanya Bettie lagi.
Bagaimana bisa aku melupakannya. Dia datang kepadaku setelah keluar dari kantor polisi dengan luka bekas pisau di lengannya untuk mengatakan bahwa aku tidak perlu ketakutan lagi ketika melintasi jalanan di depan tempat tongkrongan murid sma yang tawuran dengannya.
“ Hanya luka kecil, kau tahu aku pernah mempunyai luka yang lebih parah dari ini, kan,” ucapnya saat itu ketika aku memperhatikan luka-luka di sekujur tubuhnya.
“ Kau juga ingat tidak ketika dia dihukum di depan pagar tetapi malah nekat memanjat pagar sekolah ?” tanya Bettie.
Aku menghela napas. Aku ingat semuanya. Saat itu dia kembali ke rumahku untuk membawakan pakaian olahragaku yang tertinggal. Kalau aku tidak membawa pakaian olahraga saat itu, aku akan dihukum membersihkan toilet seluruh sekolah selama 3 hari, dan tiba-tiba Gerald tanpa ragu berjanji akan membawakan pakaian olahragaku sehingga aku tidak akan dihukum. Tetapi alhasil dia telat masuk sekolah dan harus dihukum, tetapi karena dia masih nekat hendak memberikan pakaian olahraga tersebut untukku, dia memanjat pagar dan langsung berlari menuju kelasku. Dengan terengah-engah dia berkata bahwa dia berhasil memenuhi janjinya, dan langsung kembali menjalani hukumannya.
“ Dia jarang masuk kelas, tidak pernah memakai seragam dengan rapi, dan sekalinya masuk kelas malah dihukum, aku tidak mengerti kenapa dia suka sekali melanggar peraturan,”
Aku hanya mengangkat bahu. Aku sendiri merasa tidak pernah terganggu dengan semua kenakalannya, jadi kurasa tidak masalah. Aku tidak menganggap Gerald sebagai seseorang yang bermasalah. Dia hanya menjalani hidupnya dengan caranya sendiri, dan berpegang teguh dengan hal itu.
Dan aku sangat bersyukur memiliki teman sepertinya.
*****
Rumor bahwa aku berpacaran dengan Gerald memang bukan kali pertama atau kedua kali saja terdengar oleh kami berdua, dan kami terus-menerus menyangkalnya.
“ Apa kalian tidak mengerti bahwa kami hanya sebatas teman saja ?” ucapku jengkel.
Tetapi kali ini, ketika rumor tersebut kembali menguap, semua teman-temanku membicarakannya secara blak-blakan.
“ Tetapi aku melihat sesuatu diantara kalian, sesuatu yang…” kata Fergie, tidak melanjutkan perkataannya.
“ Mengapa kalian begitu mengurusi hal ini, sih ?” tanyaku kesal.
“ Pikirkan sekali lagi, Sar. Kita sudah menginjak Senior Year, dan sebentar lagi kita semua akan berpisah. Kau juga akan berpisah dengan Gerald, kalau kau masih ingin bersama dengan Gere, kalian harus terbuka satu sama lain,” kata Bettie.
“ Terbuka apa lagi ? Kurang terbuka apa aku dengannya ? Rumahku benar-benar terbuka untuknya, dia bebas keluar masuk begitu saja, aku juga bebas keluar masuk rumahnya,”
“ Tuh kan ! Hubungan kalian itu benar-benar rumit !”
“ Apa sih ?” tanyaku.
“ Kalian pasti sudah saling mencintai satu sama lain,” ucap Regina, si nerd yang entah mengapa langsung memotong pembicaraan kami.
Semua temanku, termasuk aku sendiri langsung melirik Regina.
“ Kalian susah sekali jujur kepadanya, mereka semua ini sedang memastikan bahwa kau menyukai Gerald,” ucap Regina lagi.
Aku kini melirik satu persatu teman-temanku.
“ Kau tidak menyadarinya, atau memang tidak menyukainya ?” tanya Fergie.
“ Aku…” semua teman-temanku menyimak kata-kataku. “ Aku tidak mungkin menyukainya, dia temanku,” ucapku.
“ Kau serius ?” tanya Fergie lagi.
“ Kasihan sekali Gerald, berarti selama ini dia yang menyukaimu habis-habisan…” lirih Bettie.
Apakah itu benar ?
Setelah pulang sekolah, aku dan Gerald sudah berencana untuk menonton film di rumahku, dan kali ini Gerald menawariku film Man on a Ledge.
“ I love Sam Worthington !” ucapku ketika diperlihatkan DVD Film tersebut.
Kami menonton di ruang tengah. Hanya berdua. Well, tidak berdua secara nyata karena ada 2 pembantu di rumahku.
Sepanjang jalan cerita aku terus terbayangi perkataan mereka. Apakah setelah SMA ini aku tidak akan sedekat ini dengan Gere ? Apa Gere menyukaiku ?
Tetapi apakah mungkin Gere menyukaiku ? Tidak mungkin. Dia saja tidak melihatku sebagai seorang wanita, bagaimana bisa dia menyukaiku.
Aku memperhatikannya secara diam-diam ketika dia sedang berkonsentrasi penuh dengan tontonan tersebut. Dia bertingkah sesukanya, dari caranya duduk dan makan, dan dia benar-benar menghiraukanku ketika sudah berhadapan dengan film.
Kini permasalahannya adalah diriku sendiri. Aku tidak mungkin menyukainya, kan ?
Mungkin Gerald memang tampan, tangguh, kuat, dan keren. Tetapi dia nakal, bengal, brengsek, cuek, dan kasar. Walaupun semua nilai minus tersebut tidak berefek kepadaku, tetapi rasanya semua itu memang dirinya, melekat dengan namanya. Tanpa ditanya aku akan berkata, “ Ya, dia memang nakal, bengal, brengsek, cuek, dan kasar,” dan aku setuju. Tetapi aku merasa aku hanya menginginkannya untuk menjadi temanku, dekat denganku.
Ah,
“ Gere,” aku mematikan TV, dan kelihatan sekali wajahnya tiba-tiba kecewa bukan main.
“ We need to talk,” ucapku.
Dia kelihatan terkejut. Aku memang jarang berkata serius seperti ini.
“ Kau sadar kan kita sudah berada di Senior Year sekarang…”
“ Ya… Lalu ?”
“ Sebentar lagi kita akan kuliah,”
“ Tentu saja…”
“ Kemana kau akan kuliah ?” tanyaku.
“ Tidak tahu… Kau ?” tanyanya.
“ Aku juga masih tidak tahu. Kau akan masuk jurusan apa ?” tanyaku.
“ Sepertinya Fisika murni, kau ?”
“ Kau tahu aku sangat ingin menjadi arsitek, tentu saja arsitektur…”
“ Hmm….”
Lalu kami diam.
“ Aku mau ambil minum dulu,” aku bangkit dari sofa dan menuju dapur.
Setelah aku mengambil gelas dan mengambil minum dari kulkas, Gere mendatangiku.
“ Kau mau berbicara sesuatu denganku,” ucapnya.
Tentu saja.
“ Aku juga mau berbicara sesuatu denganmu,” tambahnya lagi.
Dia melangkah mengambil sebuah botol kaca dan menyuruhku duduk di meja makan. “ Kita akan bermain Truth or Dare, bagaimana ?” ajaknya.
Aku mengangguk dan duduk di depannya. Dia memutar botol tersebut. Putaran pertama.
“ Truth,” ucapku. Ya, mulut botol tersebut mengarah kepadaku.
“ Mengapa kau bertanya mengenai kuliah tadi ?” tanyanya.
“ Aku berpikiran, kita tidak mungkin satu jurusan dan satu kampus lagi, kita akan memiliki rutinitas sendiri, dan…”
“ Kau takut berpisah denganku ?” tanyanya.
Aku diam.
“ Jawab yang jujur, Sara,” ucapnya.
“ Ya, tentu saja. Aku takut berpisah denganmu, aku tidak mau ada yang berbeda diantara kita, dan aku tidak suka kenyataan itu,” jawabku tegas.
Aku memutar botol tersebut, dan akhirnya kini gilirannya.
“ Truth,” pilihnya.
“ Apakah kau tidak berpikiran seperti itu ?” tanyaku.
“ Aku memikirkannya setiap hari. Aku juga tahu suatu saat kita harus membicarakan hal ini. Aku bisa saja mengikutimu terus, tetapi aku pasti tidak bisa memaksakan kehendakku, aku tidak mungkin bisa satu jurusan denganmu. Aku selalu mencari cara bagaimana semua ini tidak berubah,”
Dia tiba-tiba langsung memutar botol tersebut, dan kembali mengarah kepadanya.
“ Truth,” ucapnya lagi.
“ Apakah pernah di dalam pikiranmu, terlintas meskipun sedikit saja, bahwa kau pernah menyukaiku ?” tanyaku, pelan-pelan.
Dia diam. Matanya menatapku, dan bibirnya kaku.
“ Ya,” jawabnya, dengan mata yang memandang lurus kepadaku, dan begitu tegas. “ Bukan hanya sekali, tetapi setiap hari, setiap kali aku melihatmu atau tidak melihatmu sekalipun, aku selalu tahu bahwa aku menyukaimu. Bukan pernah, tetapi bahkan saat inipun aku menyukaimu, aku menyukaimu dan semua kenyataan itu membuatku kelu,”
Dia memutar botolnya lagi, dan kini giliranku.
“ Dare,” pilihku.
“ I dare you to kiss me,” ucapnya. “ In my lips,” tegasnya lagi.
Aku terkejut bukan main. Apakah dia benar-benar serius ?
Dengan sangat ragu, dan takut, aku mulai merapatkan diriku kepadanya. Dengan perlahan aku mulai memaksakan diriku untuk melakukannya. It’s just a game… batinku.
Aku menciumnya, pelan. Bibirnya menyambutku dengan hangat, dan bukannya kaget dengan sambutannya, aku malah semakin tenang.
“ Truth,” kembali giliranku.
“ Apakah kau menyukaiku juga ?” tanyanya.
Sama seperti reaksinya saat ditanyai hal itu, aku diam juga.
“ Aku… Tidak tahu, Gere…” ucapku.
“ Well, bisakah aku mendapat jawaban yang lebih jelas lagi ?”
“ Mungkin aku menyukaimu… Sebagai teman,” tambahku.
Saat melihatnya, aku bisa melihat bahwa dia tersenyum dengan lega.
“ Aku lega, sangat lega sekali, Sara. Aku tidak mau kau menyukaiku, aku tidak mau kau menyukai seorang bengal sepertiku. Aku tidak mau kau mendapatkan pria yang buruk sepertiku,”
Aku terkejut mendengarnya.
“ Bagaimana bisa kau mengatakan dirimu sendiri buruk ?” tanyaku.
“ Aku mungkin egois, tetapi aku tidak mau egois terhadapmu. Bukan karena aku menyukaimu maka aku harus memilikimu. Yang kuinginkan adalah kebahagiaanmu, kau memiliki semua yang kau inginkan, dan yang terbaik untukmu,” ucapnya.
“ Aku bukan yang terbaik untukmu, aku tahu itu. Aku sangat bahagia dengan satu ciuman saja dan itu semua sudah cukup,” tambahnya.
“ Tetapi bagaimana kalau ternyata akhirnya aku menyukaimu juga ?” tanyaku.
“ Then don’t. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri yang membuatmu menyukai orang yang salah,” serunya.
“ Kalau itu maumu, aku akan sebisa mungkin melakukannya,” ucapku.
“ Semoga persahabatan kita bertahan selamanya…”
*****
Untuk pertama kalinya aku tidak bisa tidur malam itu. Aku memikirkan Gerald tiada hentinya.
Bagaimana seseorang bisa menyukai orang lain seperti itu ?
Kalau aku yang menyukainya, aku akan mati-matian untuk membuatnya menyukaiku pula. Tetapi Gerald berbeda, dia tidak mau aku menyukainya.
Jangan menghindar dariku, anggap kemarin kau hanya bermimpi, kau dan aku sama-sama tahu bahwa yang kita inginkan adalah tidak ada perubahan…
Gerald
Aku membaca pesan darinya.
Hari itu sekolah terasa seperti kue donat. Aku tidak mau memakannya karena bentuknya bisa tidak sempurna, aku tidak mau memegangnya karena takut akan rusak bentuknya, dan aku tidak mau mencolek toppingnya karena keindahannya bisa rapuh.
Sebelum kelas dimulai, aku disuruh mengambil buku absensi di ruang guru. Ketika aku hendak masuk, di depan ruang guru terdapat Gerald yang sedang menjalani hukumannya karena seragamnya tidak rapi.
“ Idiot…” lirihku ketika aku lewat di sampingnya, dan segera masuk ruang guru.
Ketika aku keluar kelas, Gerald mencegahku, wajahnya begitu dekat denganku. “ Terima kasih, belum ada yang mengataiku idiot dengan jujur di depanku,”
Aku hanya tersenyum, dan kembali ke kelas.
Saat duduk di bangku milikku, aku baru merasakan jantungku berdegup kencang. Bukan, bukan karena aku lelah mengambil buku absensi, lebih dari itu.
Kau tahu bahwa kau menyukainya juga, bodoh…
Tetapi dia sudah memintaku untuk tidak menyukainya. Apa yang harus kulakukan sekarang…
Aku tahu.
Seminggu sebelumnya aku pernah bertemu dengan teman kecilku dulu. Dia juga teman Gere dulu. Namanya Brian. Aku bertemu dengannya secara tidak sengaja di sebuah mini-mart dan kami bertukar kontak masing-masing. Sejak dulu aku tahu bahwa dia menyukaiku.
Brian adalah pria yang manis. Dia kelihatan baik dan tidak banyak tingkah. Cukup pintar juga kelihatannya. Katanya, sekarang dia adalah ketua tim rugby di sekolahnya. Dan itu semua sempurna.
Kalau Gere berkata aku harus mendapatkan yang terbaik, mungkin dia yang terbaik untuk saat ini…
“ Hai, Brian !” aku menyapanya dengan ramah saat dia memenuhi undanganku untuk datang ke rumahku.
“ Gere, kau ingat Brian kan ? Kami bertemu sekitar seminggu yang lalu. Brian, kau masih ingat Gere, kan ? Kita masih satu SMA,” ucapku kepada keduanya.
“ Hai, Bri !” sapa Gerald.
“ Hai !” balas Brian.
“ Aku mengundang Brian supaya kita bisa reuni sedikit tentang sekolah kita dulu,” tambahku.
“ Yeah, that was great,” balas Gerald. “ Kau mau popcorn, Bri ?” tanya Gerald.
“ Yes, please,” ucapnya, dan Gerald segera bangkit dan mengambilkan popcorn untuknya.
“ Kalian masih bersahabat sampai sekarang ?” tanya Brian.
“ Ya, and he is still a badass as always,” jawabku. “ Bri, bagaimana dengan sekolahmu ?” tanyaku.
“ Perfect. Tidak ada yang spesial tetapi benar-benar sempurna,”
“ Katamu kau ketua tim rugby di sekolah ? Gere jago boxing, apakah kalian mau bertanding siapa yang paling kuat diantara kalian ?” tanyaku.
“ That will be a pleasure for me,” seru Gerald. Dia memang senang sekali beradu otot dengan orang lain. Brian tidak menolak, dan mereka setuju untuk bermain panco.
Sekitar beberapa belas detik situasinya seimbang, keduanya menggunakan tenaga yang begitu kuat, tetapi sama kuatnya sehingga masih belum ada yang menang.
“ Oops, sorry,” tiba-tiba Gerald berkata hal tersebut, ketika dia berhasil mengalahkan Brian.
“ Baru kali ini aku dikalahkan oleh orang lain dalam hal panco,” ucap Brian.
“ Well, I have to be the strongest to protect Sara,” ucapnya, dengan santai.
Aku dan Brian diam sejenak mendengar hal tersebut. Terlebih bagiku, aku mencoba mencerna semua perkataannya, lalu membayangkan apa yang akan dipikirkan Brian.
“ I think Brian is not really that bad,” bisiknya ketika kami berdua berada di dapur.
“ Ya, dan dia begitu lovable,” ucapku lirih.
“ Apa maksudmu ?”
Aku mengangkat bahuku. “ Dia boleh kusukai, kan ? He is lovely and lovable,”
Gerald menatapku dalam-dalam. “ Ya, dan kalian akan menjadi pasangan yang hebat sekali,”
“ Terima kasih ucapannya,” lalu aku kembali ke ruang tengah.
“ Sara, bisakah kita lanjutkan lain kali saja ? Aku harus pergi sekarang, maafkan aku,” tiba-tiba Brian bangkit dari duduknya.
“ Kau sudah mau pulang ? Oh baiklah…” aku mengantarnya menuju pintu rumah.
Setelah keluar dari rumah, Brian tiba-tiba diam dan menatapku.
“ Well…. Goodbye ?” salamku penuh canggung.
“ Sara… Minggu depan ada pertunjukan teater dan aku punya 2 tiket, apakah kau mau pergi bersamaku ?” tanyanya pelan-pelan.
“ Teater ? Wow, kelihatannya… hebat,” aku agak ragu dengan jawabanku.
“ Kalau kau tidak menyukainya tidak apa-apa, aku tidak memaksa,”
“ No, it would be great !” elakku tiba-tiba. “ Hubungi aku nanti, ya ?” aku melambaikan tangannya kepada Brian, dan segera masuk kembali ke rumah.
“ Dia mengajakku menonton teater,” ucapku kepada Gerald yang sedang duduk di sofa.
“ Kedengarannya seperti dia sedang mengajakmu kencan, itu bagus sekali,” serunya tanpa semangat.
“ Gere… Aku tidak bisa melakukannya,” ujarku.
“ Apa maksudmu ?”
“ Aku tidak bisa berhubungan dengan orang lain sedangkan hatiku memikirkan orang lain, itu tidak adil,” ujarku lagi.
“ Apa maksudmu, Sara…” tanyanya, kini menatapku yang duduk disebelahnya.
“ Aku pikir aku menyukaimu, Gere,”
“ No, don’t say that !” pekiknya.
Aku diam.
“ Sejak kapan kau menyadarinya ?” tanyanya.
“ Belum lama ini,” jawabku.
“ Kau yakin ?” tanyanya.
“ Ya… Sangat yakin…” meskipun suaraku nampak ragu.
“ Sialan…” umpatnya. “ Kau tidak boleh membiarkannya terjadi, Sara. Aku akan mencari cara bagaimana kau tidak akan menyukaiku lagi,” dia bangkit dari duduknya.
“ Apa yang salah denganmu, Gere ? Kau menyukaiku dan kau juga tahu bahwa aku menyukaimu, apa yang salah ?” tanyaku.
“ Karena kita tidak seharusnya merasakan hal itu, Sara ! Kau tidak seharusnya menyukaiku, itu salah. Aku ini pria yang sangat buruk. Setiap kali aku melihatmu aku selalu menahan diriku sendiri untuk tidak menunjukkannya, aku tidak mau menyakitimu, aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak mau kehilanganmu, dan aku tidak mau memulai sebuah hubungan yang rapuh seperti itu. Dan membiarkanmu menyukaiku adalah kesalahan terbesarku…”
“ Why do you say that ?” tanyaku.
“ Apakah kau tidak mengerti ? Aku bukan pria yang pantas untukmu !”
“ Then, change that…” lirihku. “ Change yourself, can you ?” tanyaku.
Dia diam.
“ Aku tidak peduli apakah kau pantas untukku atau tidak, Gere. Aku tidak peduli sebrengsek apakah dirimu, who cares ? Selama aku bersama dirimu membuatku bahagia, kurasa itu cukup…”
“ Itu tidak cukup, Sara !” pekiknya. “ Aku sangat sadar, sekali aku memilikimu, sekali aku membiarkan diriku menyukaimu secara blak-blakan, kau tidak akan bisa lari dariku. Mungkin hari ini kau akan tetap menyukaiku, tetapi siapa yang tahu beberapa bulan kemudian ? You will be sick of me, avoid me, and even beg me to break up with you. Apakah kau bisa mengerti sekarang ? Hubungan seperti itu sangat rapuh, apakah kau mau kita berakhir seperti itu ?”
Aku diam. Bayangan bahwa aku akan berpisah dengannya membuatku mual.
“ Lalu apa yang harus kulakukan, Gere ?” tanyaku.
“ Berhenti menyukaiku. Konsentrasikan pikiranmu terhadap orang lain, mungkin dengan cara itu kau bisa menghapus perasaanmu,” pintanya.
“ Lalu bagaimana denganmu ? Apakah kau akan melakukannya juga ?” tanyaku.
“ Tidak. Aku tidak mau menghapus perasaanku terhadapmu, Sara. Tetapi aku bisa mengatasinya, jangan pikirkan masalahku,”
“ Kau juga harus melakukannya, mulailah menyukai orang lain, Gere…”
“ That’s useless. Aku tahu bahwa aku tidak bisa melihat orang lain selain dirimu,”
*****
Aku mulai berpacaran dengan Brian tepat setelah kami selesai menonton teater. Hubungan tersebut berlangsung cukup lama. Aku menyukai Brian, dia sangat baik dan perhatian. Tidak banyak tingkah, tidak banyak gaya, dan dia sempurna sekali. Sampai ketika aku menginjak bangku perkuliahan, Brian dan aku sepakat untuk masuk ke universitas yang sama. Dia berpikiran bahwa hubungan jarak jauh tidak akan pernah berhasil.
Sedangkan Gerald…
Hubungan kami tetap sama, sebelum dan sesudah aku berhubungan dengan Brian. Dia juga kuliah di universitas yang sama. Tetapi ada sebuah perbedaan yang cukup signifikan. Kami berdua tahu bahwa diantara hubungan persahabatan ini, ada sebuah tembok besar yang menutup hati kami untuk saling menyukai satu sama lain. Tembok itu adalah milik Gerald. Sebuah tembok transparan, dimana aku bisa melihat dengan jelas perasaannya kepadaku, tetapi aku tidak bisa meraihnya, aku hanya bisa melihat perasaan itu.
Aku memang menyukai Brian. Tetapi perasaanku kepada Gerald lebih besar dari itu, dan aku menyadarinya. Semakin lama perasaan ini semakin berkembang, dan aku tidak bisa memastikan sudah sebesar apa perasaanku kepadanya.
Brian tidak tahu hal ini, dan setiap hari aku diliputi perasaan bersalah. Gerald selalu berkata bahwa abaikan perasaan bersalahku dan jangan pernah biarkan Brian mengetahuinya. Aku selalu mengikuti semua perkataan Gerald, tanpa ragu.
Aku selalu penasaran bagaimana Gerald bisa menyukaiku sampai saat ini. Dia tidak pernah melihat wanita lain. Tidak pernah. Dan perasaan bersalahku kembali meningkat berkali lipat.
Tetapi aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkannya…
Semenjak semester 3, kini Gerald memiliki kawanan, dan paling ditakuti di seluruh kampus. Dia terus menerus mempelajari ilmu bela diri. Dia sudah menguasai Karate dan Taekwondo sekarang. Dan katanya sekarang dia akan mempelajari Judo. Dan tentu saja, alasannya mempelajari semua itu tidak lain untuk melindungiku.
Gerald kini semakin berubah. Dia tidak pernah berhenti masuk kuliah, dan nilainya benar-benar fantastis. Aku tidak tahu dia memiliki passion yang hebat dalam ilmu manajemen bisnis. Ya, dia mengubah jurusannya sekarang.
Hubungan kami tidak pernah berubah, kami tetap bersahabat, karena kami tahu bahwa yang kami berdua inginkan adalah tetap bersama.
Tetapi apakah hubungan tersebut akan tetap seperti itu selamanya ?
*****
"He asked me to marry him," ucapku.
Gerald yang sedang asyik menikmati makan siangnya tiba-tiba
tersedak.
Kau terkejut sekarang ?
“ Lalu kau menjawab apa ?” tanyanya.
“ Aku butuh waktu,” jawabku. “ Aku ingin mendengar pendapatmu,” ucapku.
Dia tetap diam. Aku ingin sekali melihatnya seperti ini, mulai memikirkan tentang masa depanku dan masa depannya.
“ Dan kalian akan menikah secepat itu ?” tanyanya lagi.
“ Tidak, bodoh. Dia berkata akan bertunangan denganku lebih dahulu. Dia ingin serius dengan hubungan ini, 8 tahun berpacaran baginya sudah cukup. Dia berkata bahwa dia sekarang sudah cukup mapan untuk menikahiku…”
Setelah lulus, Brian mewarisi perusahaan milik orang tuanya. Aku bekerja sebagai arsitek lepas, dan Gerald… Dia juga mewarisi perusahaan milik orang tuanya. Mereka berdua sama-sama menjadi Direktur Eksekutif secepat itu.
“ Aku tidak percaya kita sudah setua ini untuk berhadapan dengan masalah pernikahan…” ujarku, tidak bisa menahan stress-ku lagi. “ Apa yang kau inginkan lagi dariku, Gere ? Apakah aku harus menerima untuk menikah dengannya ?” tanyaku.
“ Mengapa kau bertanya kepadaku ? Apakah semua ini salahku ? Apakah kau tidak mau menikah dengannya ?” tanyanya.
BRAKK !!!! Aku memukul meja tiba-tiba.
“ Apakah kau masih harus bertanya hal itu ?” tanyaku menahan kekesalanku.
Matanya membulat. “ Jangan-jangan… Kau masih menyukaiku ?” tanyanya.
Amarahku seakan sudah memuncak hingga ubun-ubun, tetapi berteriak tidak akan menjelaskan apapun.
“ Tidak, aku tidak lagi menyukaimu,” jawabku, mulai tenang. “ Aku mencintaimu, Gere,” ucapku lebih tenang lagi.
“ Sara…” dia memanggilku.
“ Diam Gere…” pintaku. “ Kau pikir apakah akhirnya aku bisa melupakanmu setelah selama ini aku bersama Brian ?” tanyaku. “ Kau mau aku tidak menyukaimu ? Buat aku membencimu, buat aku muak melihatmu, kau seharusnya melakukannya sejak dulu. Kalau kau tidak mau bersamaku, menjauh saja dari dulu, jangan buat aku sendiri yang seakan bersalah karena perasaanku !”
Dia menjadi diam tanpa suara.
“ Dan jangan tanya lagi apakah aku mau menikah dengan Brian atau tidak !” emosiku akhirnya meluap sudah.
Setelah beberapa detik saling diam, aku mulai bisa mengontrol emosiku.
“ Aku tidak tahu apakah kau masih menyukaiku atau tidak, Gere. Mungkin ini saatnya kau membuat keputusan. Aku menunggu jawaban apakah kau bisa merelakanku menikah dengan Brian atau tidak. Kalau sampai malam ini aku tidak mendapat kabar darimu, besok aku akan menerima lamaran Brian,”
Aku segera keluar dari restoran, tanpa pamit kepadanya.
Hari itu merupakan hari yang paling lama yang pernah kurasakan. Aku menunggu dengan tidak sabar. Mengapa Gerald begitu lama datang ? Apakah dia akan datang ? Apakah aku memang harus menerima Brian ?
Bagaimana kalau akhirnya Gerald menyuruhku untuk tetap menikahinya ?
Tokk… Tokk… Pintu rumahku diketuk seseorang !
Dengan begitu semangat aku membuka pintu tersebut, tetapi yang datang rupanya Brian.
“ Ada apa ?” sepertinya Brian melihat sebuah kekecewaan ketika aku mengetahui bahwa dia yang datang.
“ Tidak… Ada apa kau datang malam-malam seperti ini ?” tanyaku.
“ Bolehkah aku masuk ?” pintanya, aku membolehkan.
Dia duduk di sofa.
“ Apakah kau sudah siap memberi jawaban untukku ?” tanyanya.
Oh, sialan…
“ I said I need more time, Bri…”
“ Kau masih ragu denganku ? Atau kau masih ragu apakah pernikahan masih terlalu cepat untukmu ? Sara, sudah kubilang kita tidak akan menyelenggarakan pernikahan secepat itu pula, aku hanya ingin memastikan—,”
“ Kau ingin mengetahui apakah hubungan kita ini serius atau tidak, kan ?” tepisku.
Brian mengangguk. Tetapi aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi.
“ You know I can’t live without you, dear…” ucapnya.
Aku terkejut. Mengetahui bagaimana perasaannya sekarang benar-benar membuatku syok. Aku tidak mungkin menolaknya, karena kalau aku membayangkan menjadi dirinya, aku akan sangat patah hati. Selama 8 tahun kami berpacaran, kata perpisahan akan begitu terasa menyakitkan kurasa. Aku juga tidak bisa jujur kepadanya dan mengatakan bahwa aku mencintai Gerald, dan bukan dirinya. Sebaik apapun Brian, aku yakin dia akan sangat marah mengetahuinya.
Tetapi pernikahan itu bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan…
Tokk…Tokk…
Pintu rumahku kembali diketuk. Apakah itu Gerald ?
Aku membuka pintu dengan perlahan, dan melihat pria itu berdiri di hadapanku.
Dia benar-benar datang.
“ Seharusnya aku sudah memperjuangkanmu sejak awal. Siapa yang tahu bahwa aku bukan yang terbaik untukmu ? Dan—,” Gerald berhenti berbicara, dan memandang seseorang dibelakangku.
Brian berada di belakangku. Gerald kelihatan terkejut.
“ Hai, Bri…” sapanya, terdengar tidak tulus.
“ Hai, Gere, ada apa malam-malam kau datang kesini ?” tanya Brian.
Gerald melirikku. “ Ada sesuatu yang perlu kubicarakan dengan Sara, sebentar saja,”
Sejak awal aku diam. Aku tidak bisa berkata apa-apa ketika Gerald mulai berbicara tadi. Aku benar-benar ingin mendengar semua yang hendak dikatakannya sekali lagi.
“ Oh, ya ? Tentang apa itu ?” tanya Brian, kedengarannya dia agak tidak senang.
“ Bisakah kita bicara sebentar, Sara ?” ajak Gere untuk keluar sebentar.
“ Sebentar saja, Bri…” aku menahan Brian untuk ikut keluar juga.
Aku menutup pintu, dan berjalan cukup jauh untuk memastikan bahwa Brian tidak bisa mendengar pembicaraan kami.
“ Dengarkan aku kali ini ini, Sara. Aku seharusnya memperjuangkanmu sejak awal. Pemikiranku dulu yang menganggap bahwa aku bukan yang terbaik untukmu, aku memikirkannya sangat keras kali ini. Siapa yang bisa menentukan apa yang terbaik untukmu ? Aku mencintaimu lebih lama dan lebih tangguh dari siapapun. Aku tidak akan memintamu untuk menyerah mengenai perasaanmu kepadaku lagi. Jangan menikah dengan Brian kumohon, Sara. Aku tidak pernah merasa setakut ini kehilanganmu. Brian seharusnya tidak perlu berdiri diantara kita sampai sekarang ini,”
Dia menggenggam tanganku sekarang. Persetan apakah Brian melihatku atau tidak, aku sedang membelakanginya sekarang.
Aku sangat yakin bahwa airmataku mengalir dengan sangat deras.
“ Ini airmata bahagia, bodoh…” ucapku ketika dia memperhatikanku yang tiba-tiba menangis.
Tersirat sebuah senyuman kecil Gerald.
“ Apakah aku sudah terlambat ?” tanyanya.
Aku menangis terus-menerus. Tidak pernah aku merasa sebahagia ini sampai airmataku ikut merayakannya. Tetapi aku tidak tahu apakah sekarang sudah sangat terlambat atau tidak.
“ Bri datang kepadaku tadi dan meminta jawabanku, he said that he can’t live without me,” ucapku, sambil terisak. “ Bagaimana ini, Gere ? Kita tidak bisa membiarkannya hancur begitu saja…”
Gerald melepas tangannya yang tadi menggenggamku dengan lembut. Dia kelihatan begitu terpukul.
“ Ini salahku, Sara… Aku yang membiarkannya mencintaimu juga…”
“ It’s not anyone’s fault…”
“ Ayo sini…” ucapnya. Dia segera masuk ke dalam rumah.
Di dalam, nampak Brian yang mungkin sedang mondar-mandir dan
berhenti ketika Gerald menghadapnya.
“ What’s happening with you, dear ?” dia melihatku yang berurai air mata. “ What have you done to her ?” dia tiba-tiba marah kepada Gerald.
“ Bri… I beg you to let her go…” ucap Gerald.
“ What ?” dia terdengar seperti tidak yakin dengan apa yang baru didengarnya.
“ Aku memohon kepadamu untuk melepaskan Sara…Kumohon Brian,” ucapnya lagi.
“ WHAT’S WRONG WITH YOU ? LET GO OF WHO ?” suaranya meninggi. Kekesalannya memuncak.
“ Sara… Mulai saat ini biarkan aku yang akan membahagiakannya, Bri…”
Brian tidak percaya, dan kelihatannya terkejut sekali.
“ Ada apa sebenarnya ini ? Apa yang baru saja kalian bicarakan ?” tanyanya, entah kepada siapa.
“ I shouldn’t let you stand between us for a long time, Bri…”
“ Let me, what ?”
“ Aku mencintai Sara sejak dulu, tetapi aku selalu takut bahwa aku bukanlah yang terbaik baginya. Kupikir kau bisa menjadi yang terbaik baginya. Tetapi rupanya aku tidak bisa membiarkanmu menikahinya, maafkan aku,”
Brian mencerna baik ucapan Gere.
“ Sara, apakah ini yang membuatmu meminta waktu untuk berpikir tentang lamaranku ?” tanyanya kepadaku sekarang.
Aku tidak mengangguk, atau menggeleng. Aku malah menunduk. Perasaanku yang sangat bersalah kepadanya tidak bisa kubendung lagi.
“ I’m sorry, Bri…”
Aku tidak sanggup menatapnya. Tetapi aku mendengar helaan napasnya yang begitu dalam.
Gerald tiba-tiba menekuk lututnya, dan berlutut di depan Brian.
Seorang Gerald, pria paling tangguh yang pernah kukenal, yang tidak pernah meminta maaf kepada siapapun, yang harga dirinya dijunjung begitu tinggi, kini merendahkan dirinya di depan Brian. Dia berlutut, benar-benar berlutut.
“ Kumohon, Bri…”
Brian, yang sudah pasti mengenal Geraldpun terkejut melihat Gerald berlutut di depannya.
“ You don’t have to do this, Gere…” ujar Brian.
“ No, I deserve this… It’s all my fault…” ucap Gerald.
“ Stop it, Gere !” pinta Brian. Dia mengangkat bahu Gerald dan memaksanya berdiri.
“ Aku tidak menyerah karena kau berlutut di depanku, aku menyerah karena akhirnya aku tahu bahwa Sara lebih memilihmu daripadaku. Berjanjilah bahwa kau akan selalu membahagiakannya, bro…” dia menepuk bahu Gerald dan segera pergi.
“ Aku ingin bertanya satu hal kepadamu,” dia berdiri di hadapanku sekarang, Brian. “ Apakah selama kita berpacaran, kau tidak pernah menyukaiku ?” tanyanya.
Aku menggeleng cepat. “ Aku menyukaimu, Bri…”
“ Tetapi kau lebih menyukai Gerald daripadaku ? Tetap saja aku kecewa,” dia mengelus kepalaku. “ Kuharap kau bahagia sekarang… Maafkan aku yang telah menyusahkanmu selama ini,” dia keluar dari rumah tiba-tiba.
Aku menatap Gerald. Dia pun menatapku. Tangannya merogoh sesuatu, dan ketika aku melihat apa yang dipegangnya, aku sedikit terkejut.
“ Sara Lucia Gilbert, will you marry me ?” dia berlutut untuk kedua kalinya, membuka kotak hitam berisikan sebuah cincin yang berkilau.
“ How can I say no ?” ucapku, sambil memasang cincin tersebut di jari manisku. Pas sekali.
Persetan dengan apa yang terbaik untukku. Selama aku yakin Gerald bisa membahagiakanku, sosoknya yang sempurna atau tidak bukanlah urusanku. Tidak ada yang bisa menjagaku lebih baik daripadanya.
“ Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu,” ucapku tiba-tiba.
“ Sejak kapan kau tahu bahwa kau menyukaiku ?” tanyaku.
“ Hmm ? Let’s see… Ah !” dia sepertinya teringat sesuatu. “ Kau pasti ingat waktu kecil dulu kita pernah pergi bersama teman-teman kita ke dalam hutan ? Sewaktu itu aku mendapatimu sedang terluka, dan kau menangis. Aku sering melihat banyak gadis kecil yang menangis sebelumnya, tetapi ketika aku melihatmu, aku tidak pernah merasa begitu aneh dengan diriku sendiri. Aku berpikir, ‘bagaimana bisa aku membiarkan gadis kecil yang rapuh ini menangis ? Aku ingin menghentikan airmatanya dan tidak akan pernah membiarkannya keluar lagi, aku ingin melihatnya tersenyum apapun yang terjadi’, setelah itu aku membawamu pergi ke klinik, lalu kembali ke hutan untuk memberitahukan keadaanmu kepada yang lain, dan membawa sepedaku untuk menjemputmu. Aku tidak pernah sepeduli itu kepada seseorang. Sejak saat itu aku tahu bahwa aku benar-benar menyukaimu,”
“ Dan bagaimana kau bisa bertahan menyukaiku selama itu hingga sekarang, tanpa pernah ingin dibalas olehku ?” tanyaku lagi.
“ Love doesn’t need anything, love is about giving everything…" Gerald tersenyum.