Wednesday 18 February 2015

[Continuous] New Season (Part 1)

Aku, Kak Aubrey, Tyler, dan Daniel sudah bersahabat sejak kecil. Kakakku Aubrey dan Daniel adalah teman sebaya dan selalu satu kelas di sekolah. Tyler sendiri adalah tetanggaku yang lebih tua sekitar 3 tahun dengan Kak Aubrey. Aku adalah yang paling muda dari geng ini.

Sejak awal, aku benar-benar menyukai Tyler. Sosoknya yang dewasa dan benar-benar perhatian denganku adalah penyebab utamanya. Tyler adalah tipikal laki-laki yang aktif dan begitu tergila-gila dengan olahraga basket. Memang hampir setiap hari kami semua bermain baket bersama. Aku hanya duduk di luar lapangan dan melihat Kak Aubrey, Tyler, Daniel, dan beberapa kawanan Tyler lain bermain bersama. Dari kejauhan, aku selalu memandang kagum permainan Tyler. Aku sangat yakin suatu saat dia akan menjadi pebasket yang profesional.

Cukup berbeda dengan Tyler, Daniel adalah tipikal laki-laki dengan pemikiran bebas. Dia sangat menyukai musik dan hidupnya urakan. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana dia dewasa kelak, seorang rocker dengan penampilan serba gothic atau emo tanpa pekerjaan tetap. Aku tidak memandang rendah Daniel karena aku juga mengagumi cara berpikirnya yang seakan tanpa beban. Aku hanya tidak bisa memastikan masa depannya akan berakhir seperti apa kelak.

Sedangkan Kak Aubrey... Ah... Kakakku...

Menjadi anak bungsu dan memiliki kakak perempuan yang cantik dan pintar adalah kesialanku. Tentu saja aku selalu akan dibandingkan dengannya, dan dari sisi manapun, Kak Aubrey adalah yang terbaik. Dia lebih menonjol di bidang akademik, dan mimpinya sebagai guru memang pas sekali untuknya. Aku yakin dia bisa mewujudkan mimpinya itu.

"Ashley," Tyler memanggilku saat aku mulai melamun dan memikirkan hal lain.

Dia mengajakku untuk masuk ke dalam lapangan. "She's my cute little sister," dia memperkenalkanku kepada teman-temannya. Wow, sister, katanya.

Kak Aubrey hanya tersenyum-senyum saat aku bersalaman dengan teman-teman Tyler dan langsung berkata, "Dia mirip denganku, bukan?" dia berusaha meluruskan bahwa aku adalah adiknya.

Sejak kecil aku jarang tersenyum meskipun Tyler berkata aku sangat cantik saat tersenyum. Karena itulah aku hanya menunjukkan senyumku kepadanya, bukan ke orang lain. Terlebih lagi, aku senang bermanja-manja dengannya, sementara dia hanya menepuk-nepuk kepalaku seperti his puppy, Cornie.

Kali ini aku cukup terkejut saat Tyler berkata bahwa aku adalah adiknya. Hal itu seolah-olah menjelaskan bahwa aku tidak lain dianggap sebagai adiknya. Hanya sebatas itu. Well, aku sebenarnya juga tidak mengharapkan lebih, tetapi kenyataan itu membuatku terpukul.

Mungkin sejak itu seharusnya aku sudah belajar untuk merelakan Tyler selama-lamanya...


*****


Tidak terasa, aku sudah menginjak bangku kuliah, sedangkan Kak Aubrey sudah berhasil mendapat gelar S2 tetapi memilih untuk menjadi guru TK. Dia senang anak kecil, katanya. Kehidupannya nampak berada di alam mimpi seolah-olah segala keinginannya tercapai.

Tyler menjadi pebasket profesional dan semakin berprestasi di taraf nasional. Rumornya dia berambisi untuk memasuki tingkat internasional dan masuk ke klub bergengsi luar negeri.

Sedangkan Daniel benar-benar tepat dengan dugaanku. Dia kini hidup sendirian di sebuah apartemen dan terus berkelana untuk memperkenalkan rock band dimana dia menjadi gitaris sekaligus vokalis di band tersebut. Sebenarnya lagu yang dia ciptakan sendiri untuk band miliknya menarik dan ear-catchy. Tetapi sayang sekali dia lebih memilih jalur indie untuk berkarir.

Suatu hari aku mendatangi apartemen Daniel dan dia menyambutku dengan senang.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu," Daniel memelukku bagaikan aku adalah adiknya sendiri. Aku tidak pernah keberatan memiliki kakak sepertinya juga.

"Belakangan ini kau menjadi keren sekali," timpalku.

"Kau baru menyadarinya sekarang?" Balasnya. "Bagaimana kabar Aubrey?" Tanyanya.

"Kau masih menyukainya?" Sejak dulu Tyler dan Daniel sudah memperebutkan Kak Aubrey secara diam-diam. "She's totally fine. Semuanya berjalan begitu baik untuknya, tidak untukku," keluhku.

"Kau memang selalu mengacaukan semuanya. Kali ini apa lagi masalahmu?"

Aku meliriknya sinis. "Aku lupa kenapa aku bisa masuk jurusan hukum, rasanya aku ingin keluar saja,"

"Seriously? Seingatku kau sendiri yang ingin kesana karena menurutmu menjadi pengacara adalah profesi yang keren, bukan?"

"Tetapi aku baru tahu kalau susah sekali mendapatkan gelar sarjana hukum," aku memang sering menggerutu kepada Daniel, tidak dengan Tyler. Daniel lebih mudah diajak berbicara dan aku sudah sangat nyaman dengannya. He's like my big brother, like the real one.

Daniel mengusap kepalaku seolah-olah dia ingin mengacak-acak rambutku.

"Lalu sekarang apa maumu? Kau mau menjadi manager band-ku saja?" Tanyanya.

"Of course not!" Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku kalau karirku hanya mengurusi band indie miliknya.

"Kalau begitu kau harus belajar lebih keras lagi. Aku tidak bisa membantumu apa-apa kalau berurusan dengan belajar," Daniel tidak pernah tertarik dengan hal-hal berbau akademik. Menurutnya lulus sekolah saja sudah benar-benar melegakan dan kuliah tidak pernah menjadi obsesinya.

Karena tidak ada lagi percakapan yang bisa kubuat, dia menatapku bertanya-tanya mengapa aku masih belum mau pergi.

"Tyler... Aku lupa..." ucapnya. "Kau menunggu Tyler pasti, kan? Bagaimana kau bisa tahu aku dan Tyler sudah ada janji hari ini?"

Aku hanya mengedipkan sebelah mataku. "His number one stalker must know everything," Daniel juga tahu kalau aku menyukai Tyler, jadi membicarakan hal ini kepadanya memang sudah biasa untukku.

Dan benar, Tyler datang sekitar 15 menit kemudian.

"Oh, Ashley? Aku tidak menyangka akan melihatmu disini,"

"Hai," sialan, canggung sekali. Aku terlalu lama tidak bertemu dengannya sehingga perasaanku berbunga-bunga saat berhasil menghapus kerinduanku ini.

"Urusanmu sudah selesai, kan? Pergi sana," usir Daniel.

"Tidak tidak... Bagaimana kalau kau bergabung dengan kami, Ash? Malam ini ada pertandingan bola dan aku sudah janji untuk menonton bersama, kalau perlu kau ajak Aubrey juga. Sudah lama kita tidak reuni, kan?"

Aubrey... Selalu Aubrey... Tyler selalu membahas Kak Aubrey meskipun kakakku tidak ada di tempat. Aku mencoba untuk tidak menerima kenyataan ini, tetapi tidak bisa dipungkiri Tyler juga menyukai Kak Aubrey. Siapa yang tidak bisa menahan pesona feminin kakakku itu?

"You two must be shocked about this..." ucapku kepada Tyler dan Daniel. "Seharusnya aku tidak membocorkannya sekarang, tetapi apa boleh buat aku juga sudah gatal menyembunyikannya,"

Mereka berdua benar-benar memperhatikanku dengan baik-baik.

"Kak Aubrey akan menikah,"

Dan sudah bisa kutebak, respon mereka sama-sama terkejut dan kecewa.

"Mengapa Aubrey tidak pernah cerita apa-apa ke kita? Aku bahkan tidak tahu dia sudah memiliki pacar," Tyler berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya, tetapi aku bisa melihat jelas bagaimana perasaannya.

"Jangankan kalian, aku sendiri cukup terkejut saat dia berkata bahwa dia sudah seserius itu dengan pria ini. Kalian harus lihat bagaimana pria ini. Kuakui memang dia cukup sempurna, tampan, kaya, pintar pula. Tetapi saat aku mencoba mencari informasi lain..."

"Kutebak, dia memiliki banyak affair?" Daniel bisa sekali membaca situasi.

"How do you know?" Aku tidak percaya dia berhasil menebaknya.

"So this guy is totally a jerk. Lalu mengapa Aubrey mau menikah dengannya?" Tyler berubah menjadi sangat penasaran dengan semuanya.

"Memangnya ada lagi pilihan untuk dijadikan suami di usianya sekarang? Seorang atlit basket yang sebentar lagi akan pensiun dan berakhir menjadi pelatih? Anggota band indie yang urakan?"

Tyler dan Daniel sama-sama menunduk. Untuk urusan masa depan, mereka sama-sama tidak bisa menjanjikan apapun untuk Kak Aubrey dan aku tahu jelas itu. Padahal kenyataannya Kak Aubrey tidak pernah sampai berpikiran seperti itu. Dia menganggap Tyler dan Daniel sudah seperti saudara sendiri sehingga mereka tidak pernah masuk ke dalam pilihan.

"Karena itu.. aku punya proyek baru. Siapa yang mau bergabung denganku dalam misi menyelamatkan Kak Aubrey dari calon suami playboy?"

Aku bisa melihat Tyler dan Daniel sama-sama mengangkat tangan mereka. Tentu saja mereka bersedia.

*****

"Hi, guys..." Kak Aubrey nampak tidak siap menerima tamunya kali ini.

Aku, Tyler, dan Daniel mendatangi Kak Aubrey di apartemennya. Aku bisa melihat dia sudah berpakaian dengan sangat rapi entah hendak kemana. Sejak Kak Aubrey hidup mandiri, aku juga baru beberapa kali mendatangi tempatnya. Seperti biasa, apartemennya tertata dengan sangat rapi dan apik.

"Kau sudah melupakan kita atau bagaimana ? Aku tidak ingat kau pernah berkata hendak menikah," Daniel selalu tidak bisa berbasa-basi.

Kak Aubrey nampak kehabisan kata-kata. Dia hanya menahan tawanya. Daniel dan Tyler sama sekali sudah menganggap apartemen Kak Aubrey seperti milik mereka sendiri dan langsung duduk di sofa sesuka hati.

"Why don't you introduce him to us?" pinta Tyler.

"Sebenarnya... Dia akan menjemputku sebentar lagi. Rencananya aku dan Olivier hendak makan malam bersama..." Kak Aubrey menatap mata kami satu-persatu dan dia merasa ragu, "Atau mungkin aku bisa memberitahunya kalau dia lebih baik memesan sesuatu dan makan disini..." pilihan yang tepat, Kak Aubrey.

Aku bisa membayangkan bahwa pasangan kekasih ini akan diwawancara oleh kami bertiga, mungkin akan sangat menyenangkan.

Kak Aubrey benar-benar langsung menelepon Olivier dan meneleponnya untuk mengubah rencana mereka awalnya. Sekitar kurang lebih 1 jam, seseorang membunyikan bel.

Baiklah... Aku memang pernah bertemu dengannya beberapa kali. Namun kali ini, untuk beberapa kalinya lagi, kesaku melihat Olivier...

What a classy guy.

Kau tahu kan, heroine di serial-serial TV yang mengenakan tuxedo mahal dan nampak begitu sempurna dan pas? Tokoh yang bisa memperlihatkan betapa kaya dan bermartabat dirinya hanya dari penampilan? Dan tentu saja, tokoh utama seperti itu pasti memiliki wajah yang tampan. Rupanya Olivier adalah salah satu bukti bahwa karakter seperti itu nyata.

Aku bisa melihat bahwa Daniel dan Tyler nampak terkejut saat melihat sosok Olivier. Mungkin sesi wawancara ini tidak akan terlalu berpihak pada kami.

"Olivier, these are my best friends...." Kak Aubrey memperkenalkan kekasihnya itu kepada Tyler dan Daniel.

"Hai, Olivier," bahkan pada saat menjabat tangan mereka satu-persatu, dia nampak sangat berwibawa. "Halo, Ashley," dia bahkan menyapaku dan mengingat namaku.

Olivier membawakan pizza dengan begitu banyak side dish. Katanya dia tidak tahu selera kami sehingga dia memesan apa saja yang ada di menu. Mendengar Olivier mengucapkan hal itu, aku yakin Daniel dan Tyler semakin menciut mendengarnya.

"So... Kalian sahabat Aubrey?" Olivier mencoba membuka percakapan.

"Ya, kami sudah saling kenal sejak... kecil?" Kak Aubrey yang menjawabnya.

"Kudengar kau sudah ingin menikah dengan Aubrey?" aku sudah beritahu sebelumnya kalau Daniel ini memang tidak bisa berbasa-basi, kan?

Olivier agak terkejut dengan pertanyaan yang mendadak tersebut. Namun dia berusaha menjawab dengan tenang,

"Yes," dia tiba-tiba menggenggam tangan Kak Aubrey. "I already proposed to her and she said yes," jawabnya. Pria ini mempunyai kepercayaan diri sendiri yang cukup membuat iri.

"You need our permissions to marry her," Tyler akhirnya berbicara.

Sebenarnya aku bertanya-tanya. Bagaimana perasaan Daniel dan Tyler saat ini? Melihat seseorang yang mereka sukai sejak lama hendak menikah dengan pria lain terdengar sangat menyakitkan.

"Oh, begitu?" Olivier menatap Tyler dengan luar biasa percaya diri. "So how can I get your permission?" tanyanya.

Daniel dan Tyler melirik satu sama lain dalam beberapa detik dan akhirnya Daniel yang bersuara,

"Kau dan kami berdua butuh mengenalmu lebih jauh lagi untuk mengetahui apakah kau sudah pantas untuk Aubrey atau belum,"

"Daniel, seriously?" Kak Aubrey menyela pembicaraan mereka.

"It's fine, dear," Olivier menghentikan Kak Aubrey sekarang.

Ugh...

Meskipun aku sendiri yang mengatakan bahwa dia memiliki kesan classy guy di dirinya, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama tentang kelakuannya. Aku bahkan tidak tahu harus menguak yang mana terlebih dahulu.

Fakta bahwa dia adalah pelanggan VIP di hostess bar ternama?

Fakta bahwa dia memiliki usaha illegal yang terkenal di daerah sini?

Entah apakah memang dia sudah terkenal seperti itu atau kemampuan stalking yang kumiliki begitu hebat, aku sudah bisa mendapatkan banyak informasi bahwa dia benar-benar tidak layak untuk Kak Aubrey. Seharusnya kakakku berhak mendapatkan yang lebih baik dari pria ini.

Tetapi setiap kali melihat Kak Aubrey nampak bahagia di sebelah Olivier selalu membuatku menarik diri untuk mengungkapkan kebusukan calon suaminya itu.

*****

Setelah cukup banyak percakapan antara kami semua, aku, Daniel dan Tyler akhirnya pulang dari tempat Kak Aubrey.

"Kalian payah sekali, kupikir aku mempunyai sekutu yang tangguh..." gerutuku.

"Dia benar-benar... mmm.... cukup berkharisma," jawab Tyler.

"Dan luar biasa percaya diri," tambah Daniel.

"Tunggu sampai kubeberkan fakta tentangnya dan kalian mungkin kalian akan termotivasi," balasku.

Tepat di persimpangan, kami semua berhenti. Rumahku berada di arah yang berbeda dengan Tyler maupun Daniel. Hari juga sudah terlalu malam, meskipun aku sebenarnya cukup berani untuk pulang sendiri, namun tiba-tiba,

"Biar aku yang mengantarnya, besok kau ada pertandingan, kan?" Daniel tiba-tiba mendorong pundakku dan melambaikan tangannya kepada Tyler.

Aku cukup terkejut dengan sikapnya. Hey, aku bukan anak kecil yang masih perlu diantar.

"Belakangan ini daerah sini cukup rawan kejahatan. Dan melihatmu sekarang yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik... kau rawan menjadi korban kejahatan," aku penasaran apa yang bisa membuatnya begitu perhatian seperti ini.

Kami berdua menunggu di halte bus. Jalanan sudah cukup sepi dan aku masih ragu apakah masih ada bus yang beroperasi.

"Kau naik saja, aku benar-benar bisa sendiri, kok," ucapku saat bus yang menuju tempat Daniel berhenti di halte.

Daniel menggeleng, "Tidak, aku harus memastikan kau aman sampai ke rumahmu atau aku tidak akan bisa tidur nanti," aku terkejut saat dia berkata seperti itu, "Kalau terjadi apa-apa, Aubrey pasti akan membunuhku lebih dahulu," ah, tentu saja, ini semua karena Kak Aubrey.

"Dan..." panggilku.

"Hmm...?" Dia menatapku.

"Mengapa kau bisa menyukai Kak Aubrey?"

Daniel tidak menyangka akan ditanya hal itu tentu saja. Dia berusaha mengalihkan hal yang lain, namun dia berhenti karena melihatku menatapnya dengan serius.

"Mengapa kau bertanya...?" Daniel melihatku. "Ah... Tyler? Percaya kepadaku, apapun jawabanku tidak berlaku untuknya juga," jawabnya.

"Apakah kau bisa mengerti perasaanku? Sejak dulu... aku selalu dibanding-bandingkan dengan Kak Aubrey. Tidak hanya orang lain, bahkan kalian berdua memperebutkannya. Seakan-akan pusat perhatian selalu tertuju padanya. Aku tidak pernah membenci kakakku, hanya... kau tahu... aku... iri..."

Aku berharap bus yang kutunggu tidak cepat datang.

"Dan tadi... bahkan aku merasa tidak ada yang menyadari keberadaanku karena kalian semua terlalu sibuk dengan Kak Aubrey. Apa kalian sadar bahwa aku tadi tidak berbicara sama sekali? Kutebak, kau bahkan tidak tahu, kan?"

Aku merasa ada air yang jatuh di pipiku. Sepertinya aku terlalu beremosi kali ini.

"Well, it sucks. Saat kau punya seorang kakak yang lebih darimu segalanya sehingga kau akhirnya dilupakan..."

Daniel menggenggam tanganku, secara tiba-tiba. "Kau tidak pernah dilupakan oleh siapapun, Ashley," matanya menunjukkan bahwa ucapannya ini sangat serius.

"Aku juga ingin diperhatikan oleh orang lain, Daniel. Aku ingin merasakan untuk pertama kalinya menjadi pusat perhatian dimana semua orang memilih untuk melihatku dan iri kepadaku,"

"Kau tidak perlu menjadi sama seperti kakakmu, Ash. Kau hanya perlu menjadi dirimu, dan bukankah itu cukup?"

"Cukup, katamu? Kalau hanya menjadi diriku selama ini bisa membuat orang yang kusukai balik menyukaiku juga, buat apa aku iri dengan kakakku sendiri?" aku yakin betapa jeleknya wajahku sekarang saat berbicara sambil menahan tangis seperti ini.

"Ash," suaranya cukup berbeda dari biasanya. "Mungkin saatnya kau mengetahui yang sebenarnya,"

Aku mendengarkannya baik-baik. Apa yang berusaha dia bicarakan sehingga menggunakan intonasi yang sangat serius?

"Alasanku menyukai Aubrey adalah... karena Tyler. Kau pasti bingung. Aku tidak pernah benar-benar menyukai Aubrey sejak awal. Ini semua karena Tyler yang memberitahukan bahwa dia menyukai Aubrey dan aku merasa mungkin seharusnya aku juga menyukai Aubrey dan berkompetisi dengannya untuk memenangkan hati Aubrey. Well, aku tahu ini salah, tetapi aku tidak pernah benar-benar berniat untuk membuat Aubrey menyukaiku karena aku tidak tertarik. Aubrey memang sangat atraktif, tetapi aku merasa dia lebih seperti keluargaku sendiri,"

Untuk pertama kalinya, aku tidak menyangka Daniel bisa mengucapkan hal ini kepadaku.

"You're so weird," ucapku. "Kau menyukai Kak Aubrey karena orang lain menyukainya juga? Aku tidak mengerti jalan pikiranmu,"

"Ya, karena itu aku juga ingin mengatakan kepadamu bahwa tidak semua orang benar-benar menyukai Aubrey. Bahkan untuk orang yang aneh sepertiku, pesonanya tidak mempan sama sekali,"

"That doesn't help, Dan," jawabku. "What's the point?"

Daniel berhenti berbicara. Aku benar. pengakuannya sama sekali tidak mengartikan apa-apa untukmu.

"Lalu apa yang kau inginkan?" Tanya Daniel menahan sedikit emosinya.

"Aku butuh seseorang yang memperhatikanku, begitu besar sama seperti yang mereka lakukan kepada kakakku,"

Tiba-tiba saja, Daniel mencubit pipiku, cukup kencang hingga rasanya lumayan sakit.

"You fool," ucapnya. "You...are...the dumbest of the dumbest," sambil mencubitku lagi dan
lagi.

"What?" aku menarik diri dan menjauhinya. "Sakit, tahu," aku mendorongnya.

"Apakah aku kurang perhatian denganmu?"

"Seriously? Kau... You're not counted," jawabku. "Dan bahkan kau lebih perhatian dengan Kak Aubrey dibandngkan denganku,"

"Aku belum pernah mengantar Aubrey seperti sekarang,"

"And then what? Does it mean that you love me?" 

Daniel tidak menjawab. Kesunyiannya seolah mengartikan sesuatu. Seharusnya dia sudah mengelak sejak awal dan bahkan sampai sekarang dia menutup rapat mulutnya.

"l do love you, from the beginning and it still goes on,"

Ini tidak mungkin. Aku tidak merasa salah dengar sama sekali.

"Ha... Ha..." aku berpura-pura tertawa. "I love you, too, Daniel," ya, sebagai sahabat yang sudah seperti saudara.

Daniel tersenyum, "Case closed, then?" ucapnya.

------------------------------------------tbc------------------------------------------