Friday 27 February 2015

[Continuous] New Season (Part 2)

"You must be joking," aku langsung menutup telepon dan mengintip keluar jendela.

Daniel sudah berada dibawah sana sambil melambaikan tangannya kepadaku.

Dia sudah memiliki dua tiket konser New Era, band indie yang begitu kusukai. Well, aku menyukainya juga karena vokalisnya super tampan dan hot.

Aku sendiri baru mengetahui konser tersebut belakangan ini, dan semua tiketnya laku keras. Walaupun masih indie, band ini memang sudah memiliki fans sendiri.

Aku keluar dan menemui Daniel. Dengan cepat aku merampas tiket tersebut dan tidak percaya bahwa dia berhasil mendapatkan first row.

"Bagaimana bisa?" Tanyaku, masih terkejut.

"Rahasia," jawabnya sambil mengedipkan mata.

“Ini tiket asli, kan?” tanyaku.

“Tidak, ini aku cetak sendiri,” dia berusaha melucu.

Jokes-mu makin lama makin tidak berkelas, tahu,” untuk tersenyum saja rasanya sangat sulit. Aku memperhatikan tiket tersebut dan akhirnya bertanya, “Kau juga ikut menonton, kan?” tanyaku saat melihat bahwa ada 2 tiket yang dibawanya.

“Kalau aku tidak menonton, tiket ini untuk siapa?” dia balik bertanya.

“Jadi maksudmu teman-temanku tidak ada yang menyukai New Era selain aku?”

You’re telling me that you have friends?” sialan orang ini.

Aku memukul bahunya. “Terima kasih sudah mengingatkanku, ya aku memang tidak punya teman selain kau dan Tyler, puas?” jawabku.

Daniel tersenyum. “Aku juga tidak ingat memberimu 2 tiket, I just showed it to you, not giving you,” dia mulai lagi…

Tetapi tiketnya sudah ada di tanganku. “Pick me up at 10, I keep this,” aku mengantungi tiket tersebut. Aku berjalan masuk ke rumah kembali, namun akhirnya berbalik,

You are the best, Dan,” terima kasih, maksudku.

Aku melihat Daniel tertawa dan dia melambaikan tangan kepadaku.

*****


Aku dan Daniel masuk ke sebuah café. Tyler sudah datang lebih dahulu rupanya dan mengamankan tempat duduk untuk kami. Rencananya aku, Daniel, dan Tyler akan membahas rencana menggagalkan pernikahan Kak Aubrey.

Aglio e olio disini the best, lho,” ujar Tyler kepada aku dan Daniel.

Aku membaca menu dengan seksama, “Bagaimana dengan fish and chips?” tanyaku.

Tyler mengangguk dan memberikan jempol. Aku memilih untuk memesan itu dan Daniel mencoba rekomendasi Tyler.

So…?” Tyler akhirnya memulai untuk membuka topik utama pertemuan kami.

“Kalian sudah mencari informasi tentang Olivier, belum?” tanyaku dahulu.

Mereka berdua menggeleng. Ugh, boys

“Seberapa parah pria ini?” tanya Tyler.

“Oke, kuceritakan satu persatu. Menurut informasi yang kudapatkan, Olivier sudah terkenal sebagai pelanggan VIP di sebuah hostess bar, kalian tahu Palace Bar ? Hampir seluruh hostess mengenalnya. Bukankah itu menggelikan?”

“Wow…” Daniel lebih banyak bergumam. “I thought that...” dia tidak melanjutkannya.

“Dan berdasarkan informasi yang kudapatkan pula, Olivier ini adalah seorang pengusaha. Kalau kau menanyakannya, dia bilang perusahaannya bergerak di bagian trading, tetapi dia juga memiliki usaha sampingan, dan ilegal. Yang kutahu dia itu distributor senjata ilegal dan rentenir yang kejam juga,”

Seriously? Lalu bagaimana bisa dia bertemu dengan Aubrey?” tanya Tyler.

“Katanya Kak Aubrey, mereka bertemu saat Olivier sedang mengantar anaknya di TK tempat Kak Aubrey mengajar,”

Wait…” ucap Daniel.

“Kau bilang tadi anaknya? Maksudmu…” Tyler melanjutkan.

His own child,” jawabku. “Dari pernikahan pertamanya,”

“Tetapi kalau kulihat dari penampilannya waktu itu…” tambah Tyler lagi.

“Ya, dia baru memasuki usia sekitar 32 tahun kalau tidak salah,” jawabku. Baik Daniel maupun Tyler sama-sama terdiam. Aku penasaran bagaimana pendapat mereka setelah mengetahui fakta tentang calon suami Kak Aubrey ini.

I can’t believe it…” gumam Tyler. “Kupikir Aubrey bisa mendapatkan yang lebih lagi. Aku tidak pernah membayangkan Aubrey dengan seorang single-parent yang senang bermain wanita dan memiliki bisnis ilegal. Rasanya seperti tidak mungkin,”

He didn’t look that bad too before,” Daniel menambahkan.

Welcome to the truth,” aku tenang karena mengetahui bahwa bukan aku saja yang merasakan seperti itu. Aku merasa segala sisi positif Kak Aubrey benar-benar tidak pantas dengan tuan serba negatif ini. Persetan dengan pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan itu saling melengkapi. Tetapi Kak Aubrey yang kuketahui pantas mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Olivier.

“Apakah Aubrey mengetahui hal ini?” tanya Tyler.

Aku menggeleng. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Kak Aubrey. These facts are too much for her,"

"Mau tidak mau dia harus tahu sebelum semuanya terlambat, Ashley," ucap Tyler. "Bagaimana kalau setelah makan siang kita mendatangi Aubrey langsung?" Ajaknya.

"Aku tidak bisa. Well, sebenarnya Daniel juga tidak bisa. Kita mau menonton konser New Era nanti sore,"

Tiba-tiba saja aku merasa topik pembicaraan kami berubah. Tyler melirikku dan Daniel, dan mulai memasang wajah yang begitu tidak familiar kulihat.

"Ada apa ini? Mengapa belakangan ini kalian sangat dekat sekali?" Oh tidak, ini buruk sekali.

"Tidak ada apa-apa. Aku juga baru tahu kalau Daniel menyukai New Era dan dia juga membeli tiketnya," a little lies won't hurt, right?

Daniel melihatku dan mengerutkan dahi. Aku memberikan sinyal untuknya agar tetap diam dan mengikuti seluruh skenarioku.

"Seriously, Ashley. Kalian bisa terbuka denganku, kok,"

"Tidak ada yang kututupi," aku mengelak dengan cepat. Aku tidak mau Tyler salah sangka sama sekali. Setidaknya jangan dengan Daniel.

"Whoa... Calm down. Aku tidak sedang menginterogasimu," ujar Tyler, tetapi sesungguhnya aku merasa tidak karuan sekarang. Walaupun aku merasa tidak enak berbohong di depan Daniel, tetapi aku lebih tidak mau Tyler salah paham denganku.

Beruntung saja pesanan kami datang dan menginterupsi pembicaraan. Aku berfokus pada menghabiskan fish and chips dan memilih menghindari pertanyaan Tyler lebih lanjut.

"But i must admit that you two will make a good couple,"ucap Tyler sambil mengunyah makanannya.

"Jangan berbicara macam-macam kalau tujuanmu hanya untuk mengurangi pesaing, Tyler," akhirnya Daniel ikut berbicara.

Setelah menelan makanannya, Tyler tertawa puas. "We have to make strategy for this," dia kembali mengunyah makanannya dan dengan cepat menghabiskan semua pesanannya.

Aku memperhatikan pria di depanku ini dan menyadari bahwa usianya semakin menua. Tyler nampak begitu mapan dan dewasa. Tetapi tentu saja di dalam fisiknya itu masih ada sosok anak kecil yang tidak pernah hilang terefleksi dari sorot matanya. Tyler selalu menjadi dirinya sendiri seperti puluhan tahun lalu yang kukenal.

"Kau tidak marah, kan?" Tanyaku setelah aku dan Daniel pergi lebih dahulu untuk bersiap-siap menonton konser.

Aku melihat wajahnya begitu masam. Walaupun dia memaksakan untuk tersenyum, aku benar-benar merasa bersalah kepadanya.

"Maafkan aku, aku hanya tidak mau Tyler berpikiran macam-macam terhadapku," tambahku lagi.

Ashley, kalau kau menjadi Daniel mungkin kau juga merasa kesal. Dia sudah berhasil mendapatkan tiket konser ini dan aku malah berbohong tepat di depan wajahnya.

Aku merangkul tangannya, lalu menyandarkan kepalaku di bahunya. "Maafkan aku," dengan suara manja yang selalu jadi andalanku.

Aku melihat wajahnya lagi dan tidak ada yang berubah. Apa yang harus kulakukan lagi?

"Don't mind it," balas Daniel tiba-tiba.

"Bagaimana aku tidak memikirkannya kalau dari wajahmu saja sudah kelihatan benar-benar kesal kepadaku,"

"Aku tidak kesal denganmu," Daniel pasti berbohong. "Aku memikirkan hal lain,"

"Seriously? Aubrey?" Mungkin di hadapan Tyler aku masih bisa menoleransi kalau dia selalu membahas Kak Aubrey. Tetapi kumohon, selain dia sudah cukup.

"Bukan Aubrey juga," Daniel mengelaknya dengan cepat. "Hanya... hal lain saja,"

"Kau pasti benar-benar kesal denganku," aku mengerti.

Daniel melirikku, "Harus berapa kali lagi kukatakan kalau aku tidak kesal denganmu?"

"Lalu apa yang kau kesalkan kalau bukan tentang Aubrey dan aku?"

Daniel menghela napasnya. Dia menatapku. "Aku kesal dengan diriku sendiri,"

"Ha?"

"It's so complicated," jawabnya.

"Terserah kau sajalah," balasku. Akhirnya aku menariknya untuk berjalan lebih cepat.

Saat datang di venue, Daniel yang mengarahkan jalannya. Aku terkejut saat Daniel menuju ke back stage.

"No way..." aku menahan Daniel saat dia hendak masuk pintu yang bertuliskan VIP Waiting Room tersebut.

Daniel yang rona wajahnya sudah berubah melihatku sambil tertawa. "Ayo masuk," dia menarikku.

Sialan. Aku tidak sedang dalam penampilan paling maksimalku. Malahan aku memakai baju senyaman mungkin karena kupikir menonton konser akan sangat panas dan butuh banyak gerak.

Aku tidak tahu kalau akan bertemu Brian si vokalis tepat di depan mataku sekarang seperti ini.

"Hi, Bri. Kenalkan ini Ashley, fans-mu," Daniel menyapa Brian seolah sudah saling kenal.

Brian menoleh ke arahku dan tersenyum, "Really? Bagaimana bisa gadis secantik ini jadi fansku,"

"Biggest fans," aku menganulirnya.

Brian tertawa. "Thank you,"

Daniel duduk dengan santai di tempat tunggu anggota New Era dan menyalami mereka satu-persatu. Aku juga ikutan menyalami Tanner, Chris, dan Andy secara berurutan. Setelah itu aku berfokus pada Brian.

"Kau tidak memberitahuku kalau kau sudah memiliki pacar," ucap Brian. Aku sangat yakin sekarang kalau Brian dan Daniel sudah mengenal satu sama lain. Dan sialnya aku tidak tahu sama sekali.

Daniel tertawa. Aku melihatnya dan benar-benar kesal kepadanya. Aku membahas Brian kepadanya seperti menuhankannya dan selama ini dia mengenal Brian dan menutupinya.

"Ashley, dibandingkan New Era dan Vocation, yang mana yang lebih kau suka?" Vocation adalah band dimana Daniel menjadi vokalisnya.

"New Era tentu saja. Aku sudah menyukai kalian sejak zaman Good Thing Bad Girl," lagu tersebut adalah lagu debut mereka.

Setelah kupikir-pikir, aku mengetahui band ini dari Daniel. Aku menemukan sebuah CD di tumpukan raknya dan sudah menyukai Brian sejak saat itu. Dia sudah sangat tampan sejak awal kemunculannya.

Brian nampak terkejut. Mungkin karena lagu tersebut sudah berusia mungkin 10 tahun yang lalu.

"Kau mau berfoto dengannya, tidak?" Tanya Daniel. Tentu saja aku mengangguk.

Aku berdiri di samping Brian dan dengan malu-malu merangkulnya. Setelah selesai berfoto, Daniel dan aku keluar dari ruang tersebut.

Aku langsung mebghajar Daniel habis-habisan. Tentu saja tidak dengan sekiat tenaga. "Kau tidak pernah bilang kenal dengan Brian," aku benar-benar marah di sepanjang jalan.

Tetapi yang membuatku semakin takjub, aku dan Daniel mendapat kursi paling depan di barisan khusus undangan. Aku sudah melihat di belakangku sudah banyak sekali fans yang datang dan hampir semua tempat sudah penuh dipadati.

Aku ingin sekali kesal dengan Daniel, tetapi tidak bisa. Aku sudah terlalu terkesima dengan kenyataan bahwa jarakku dengan panggung ini benar-benar luar biasa dekat. Tetapi aku juga sudah berhasil bertemu dengan Brian sedekat tadi. Semua ini rasanya mimpi.

"Tell me, kenapa kau lebih suka New Era dibandingkan dengan band-ku," tanya Daniel tiba-tiba.

"Tentu saja karena vokalisnya jauh lebih tampan," jawabku tanpa pikir panjang lagi.

"Karena kau sudah terlalu sering melihatku jadi kau tidak bisa melihat betapa tampannya aku saat di panggung," balas Daniel.

"Mungkin juga karena aku sudah bosan melihatmu jadi aku benar-benar tidak tertarik kapadamu,"

Daniel menoleh ke arahku. "But this look is better than Tyler," aku yakin sekali dia ingin berkelahi denganku.

"But you can't be more mature than him," jawabku. "His charm is the best than every man in this world," timpalku lagi.

"You must be insane," Daniel tidak mau menatapku lagi.

"Ya tentu saja, aku gila karena terlalu mencintainya," jawabku.

I won. Aku memenangkan perang mulut ini tentu saja.

Beberapa saat kemudian, konser dimulai. Dan sejenak aku sepertinya sudah tidak sadarkan diri karena terlalu menghayati pertunjukan band favoritku ini.

*****

"Kalau urusan kalian sudah selesai, silahkan pergi," Kak Aubrey tanpa kupercaya mengusir kami.

Kami bertiga hanya sedang menjelaskan fakta mengenai calon suaminya itu dan dia merasa tidak terima.

"Kak, kalau kau tidak percaya tanyakan saja kepada Olivier secara langsung," ucapku.

"Ini adalah kehidupanku, dan kalian tidak berhak ikut campur sama sekali. Kalau kau, Tyler, dan kau, Daniel, masih menganggapku sahabat, seharusnya kalian mendukungku,"

"Aubrey, karena kami sahabatmu, kami memikirkan kebahagiaanmu. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik darinya,"

Kak Aubrey melirik Tyler dengan sangat marah. "Tahu apa kau dengan kebahagiaanku?" Aku menyadari bahwa Kak Aubrey mencurahkan semua amarahnya terhadap Tyler dan hanya berfokus kepadanya.

"Aubrey..." Daniel memanggilnya.

"Daniel, aku tidak ada urusan denganmu," dia sampai menunjuk Daniel dan langsung melirik Tyler lagi. "Coba tolong kau jelaskan kepadaku seperti apa pria yang lebih pantas untukku?" Kak Aubrey memojokkan Tyler.

Aku melihat Tyler dan Kak Aubrey sejenak. Sesuatu muncul di pikiranku. They have history together. Dan aku yakin dengan hal itu.

"That guy," Tyler akhirnya meninggikan suaranya. "He is not the one," semakin kulihat bagaimana keduanya saling bertatapan, semakin aku berusaha melangkah mundur.

"Then tell me who is the one for me," balas Kak Aubrey.

Suasana berubah hening. Saat aku melirik Daniel, dia juga melirikku dan aku tahu bahwa pikiran kami sama. Kami berdua tidak akan menginterupsi perkelahian mereka.

"Kau tahu aku sudah menyukaimu sejak lama dan kau juga selalu berkata kau menyukaiku, tetapi kau sama sekali tidak memperjuangkanku. Kau selalu berkata bahwa kau tidak pantas untukku, kau tidak bisa membahagiakan aku sepenuhnya, dan kau tidak yakin mampu menghidupiku dengan layak nantinya. Setelah semua yang kau lakukan kepadaku, apakah kau berhak menentukan siapa calon suamiku kelak?"

Daniel menarikku keluar ruangan. Aku juga mengikutinya saja. Pembicaraan ini sama sekali bukan untuk kami berdua, dan lebih baik kalau kami pergi.

Aku dan Daniel masuk ke kamar Kak Aubrey, dna tentu saja dengan pintu yang agak terbuka sedikit. Sepertinya Kak Aubrey dan Tyler tidak menyadari kami sama sekali

"Kau tahu?" Tanyaku.

Daniel menggeleng. "Bagaimana denganmu?"

"Aku juga baru menyadari tadi,"

Daniel dan aku sama-sama syok. Apalagi aku seharusnya. Aku tidak menyadari sama sekali kalau kakakku sudah menyukai Tyler sejak lama. Mereka sama sekali tidak berubah sejak dulu, sehingga aku tidak menyadari apapun.

"Jangan bilang kepadaku kalau dia hanya pelampiasanmu saja. Menikah itu tidak se-sepele yang kau bayangkan," Tyler akhirnya membalas.

"Dengan usiaku yang hampir 30 sekarang, bagaimana mungkin  aku masih menunggu seseorang yang tidak akan pernah berani melamarku sementara ada orang lain yang mampu melakukannya?"

Berkali-kali aku mencoba memahami apa yang terjadi. Sejak kapan Kak Aubrey menyukai Tyler? Apakah selama ini mereka memang memiliki hubungan khusus? Mengapa aku tidak mengetahuinya selama ini?

Jadi, mengapa Tyler masih saja menunjukkan bahwa dia terus mengejar-ngejar Kak Aubrey padahal kakakku sendiri sudah memilihnya?

Aku masih ingat dengan jelas betapa gigihnya usaha Tyler dan Daniel untuk bersaing memperebutkan Kak Aubrey. Tyler seolah tanpa malu dan tanpa lelahnya mengejar Kak Aubrey seakan-akan tidak ada lagi wanita lain di muka bumi ini. Lalu kalau sejak awal Kak Aubrey juga menyukai Tyler dan Tyler juga tahu hal itu, mengapa...?

Apakah aku sedang dipermainkan disini?

"Ashley..." panggil Daniel.

Aku menatapnya. Sepertinya dia sudah memanggilku sejak tadi, tetapi aku baru tersadar sekarang.

"Are you okay?" tanyanya.

Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja aku menggeleng. "They love each other," ucapku. "Bagaimana aku baik-baik saja sekarang? Kak Aubrey menyukai Tyler juga dan dia... dia..."

Daniel tiba-tiba memelukku. Aku tidak tahu apakah dia bisa melihat kepanikanku atau aku mulai menunjukkan betapa rapuhnya aku sekarang. Tetapi tindakannya sangat tepat. Aku membutuhkan bahu yang bisa kusandari.

"Ashley..." dia membisikkan sesuatu kepadaku.

Sesuatu yang membuatku ingin sekali terlelap dan terbangun tanpa mengingat semua yang pernah terjadi di dalam hidupku.

"Can't you let him go now?"


----------------------------------------tbc----------------------------------------