Wednesday 6 May 2020

[One Shot] A Piece of Petal from the Withered Flower



Spring has come.

Aku berjalan dengan payung hitam yang kubawa dari rumah. Hujan deras sekali dan berangin. Benar-benar pagi yang buruk untuk memulai hari baru.

My spring has come.

Seseorang berjalan di depanku menghiraukan air hujan yang terus membasahi seragamnya. Dia memeluk diri sendiri karena kedinginan. Kepalanya tertunduk karena air dan angin menghalangi pandangannya.

Now I wonder, how about your spring?

"Bad day, huh?" Aku berbagi payungku dengannya, gadis itu. Dia memandangiku. Wajah yang sama sekali tidak kukenal. Hanya seragamnya yang bisa kuketahui. Setidaknya aku tahu tujuan kami pasti sama.

Dia tersenyum lirih. Aku yakin dia berkata terima kasih namun suaranya terhalang oleh derasnya hujan dan deruman mobil di jalanan.

Bulan ini sudah memasuki musim semi, namun mengapa hujan deras merusak musim yang indah ini?

Aku dan gadis itu berpisah di sebuah koridor. Baju gadis itu sudah terlanjur basah. Tasnya juga tidak tahan air dan aku yakin seluruh isinya kebasahan.

"Hei," panggilku saat dia baru beberapa langkah pergi. "Pakai ini," aku melempar baju olahragaku. Hari ini hujan deras, tidak mungkin di pelajaran olahraga nanti aku masih harus bersalin. "Kalau kau sudah selesai pakai, tidak usah dicuci, kembalikan saja ke kelas 11-2,"

"Ah, namaku Karl, kalau kau mau tahu," ucapku sambil pergi meninggalkannya lebih dahulu. 

Esok hari, gadis itu berdiri di depan pintu kelasku dan menyerahkan seragam olahragaku. Tentu saja dia sudah mencucinya walaupun aku berkata tidak usah. Wangi deterjen dan pewanginya melekat di seragamku. Aku berterima kasih sudah mengembalikan milikku.

"Hei," aku memanggilnya yang melangkah pergi. "Kau belum memberitahu nama dan kelasmu," ucapku. Bukannya aku sangat memaksa, namun aneh saja kalau nanti kami bertemu dan tidak tahu namanya.

Dia hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Aku hanya berpikir mungkin ini akan menjadi kali terakhir kami bertemu sehingga dia tidak merasa perlu memberitahu namanya.

And that's how I finally met my own spring...

******

Senyumanku merekah lebar.

Aku bertemu dengannya lagi di sebuah halte bus. Karena harus mengerjakan beberapa persiapan untuk acara tahunan, aku sengaja berangkat pagi dari biasanya. Rupanya gadis itu juga menaiki bus yang sama sepertiku.

Pagi itu, aku merasa matahari sudah terbit dengan cerahnya meski langit begitu gelap.

Dia melihatku di balik kerumunan orang yang menunggu. Mungkin dia menyadari sedang diperhatikan. Saat mata kami bertemu, dia hanya tersenyum sebentar. Setelah itu, dia menundukkan kepalanya sedikit dan kembali fokus ke jalanan.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Selang beberapa menit, bus kami datang. Aku duduk di paling belakang sedangkan dia berada di depan. Meski tahu bahwa ada aku, dia tidak berusaha menyapa sama sekali.

Kami turun di halte yang sama dan berjalan ke arah yang sama. Karena masih sangat pagi, jalanan masih begitu sepi. Aku bertanya-tanya apakah dia juga menjadi panitia acara, tetapi kalau iya tidak mungkin aku tidak menyadari keberadaannya selama ini.

Saat sudah memasuki area sekolah, aku ingin sekali mencari tahu letak kelasnya. Namun hanya ada kami berdua dan dia berjalan ke arah yang berbeda dengan kelasku, sehingga aku mengurungkan niat. Aku tidak mau dianggap seperti stalker nantinya.

Tugasku hari ini banyak sekali. Saat waktu istirahat tiba, aku langsung menyambar kantin untuk membeli makan siang dan lanjut ke kelas. Aku cukup terkejut saat melihat ada gadis itu lagi di depan kelasku. Dia sedang berbicara dengan salah satu teman sekelasku. Dari caranya memandang, dia nampak menikmati pembicaraan mereka.

Mengapa dia berada di depan kelasku? Mengapa dia berbicara dengan temanku dengan santainya? Apa yang dia lakukan tadi? Mengapa dia nampak tidak terganggu dengan keberadaanku?

Meski aku mencoba menahan diri untuk tidak memperhatikan lebih lama lagi, makan siangku terasa tidak fokus. Berbagai pertanyaan di dalam pikiranku memaksa untuk dijawab. Saat temanku, Walter sudah kembali ke tempatnya, aku masih tidak berani bertanya perihal gadis itu,

"Siapa tadi?" tanya salah satu temannya yang ikut memperhatikan mereka.

Walter hanya tersenyum. Dia tidak berbicara banyak dan hanya mengambil beberapa buku lalu kembali pergi keluar. Sialan, dia meninggalkan sebuah bias. Kini seluruh temannya menganggap kalau gadis itu adalah pacar Walter.

Her hidden smile that she showed was punctured deeply inside me.

One thing for sure,

I still didn't know her name till now.



 *****

Maybe it's a rare sight to see my smile but I just did it after seeing her in a crowd.

Meski cuaca di luar begitu gelap dan rintik hujan sudah mulai turun, suasana hatiku benar-benar ceria. Melihat gadis itu lagi di berbagai kesempatan mulai membuatku bertanya-tanya takdir apa yang digariskan untuk kami.

Aku tahu bahwa menyukainya secepat ini sangat tidak berdasar, but this feeling is growing everytime.

"Guys, this is Valerie, my prettiest friend of all," ucap Kiara.

So her name is Valerie.

Aku tidak bisa menahan senyumanku yang hampir ingin meledak menjadi tawa saat akhirnya mengetahui nama gadis itu. Dia melihatku sebentar dan kembali mengalihkan pandangannya. Berkali-kali aku merasa dia tidak pernah terganggu dengan keberadaanku disini. Something feels not right but I don't know exactly.

Kalau dia ingin bermain hard-to-get denganku, kumohon beritahu.

"Val, this is Karl, our precious gem in school," Kiara memperkenalkan satu-persatu temannya dan termasuk aku.

Kiara setengah memuji dan mengejek. Aku tidak seberharga itu. Tentu saja perempuan ini terlalu melebih-lebihkan. Valerie hanya mengangguk-angguk seolah menganggap hal itu benar.

"I'm not like that," jawabku, menganulir.

"C'mon, Karl. Don't be coy," balas Kiara.

Valerie tidak berkata apa-apa. Matanya menatapku tanpa penasaran sama sekali.

"He has everything women want in a man," tambah Kiara kepada Valerie.

"You're exaggerating," ucapku segera menyanggahnya.

Kiara tidak menggubrisku dan menjelaskan lebih lanjut lagi.

"He's the smartest in our school, he's the best president candidate ever, he has that... you know... like a captivating charm that flows through all over his veins, can't you see it?"

Valerie hanya mendengarkan saja tanpa banyak bereaksi. Aku sangat malu saat mendengar penjelasan Kiara.

"But anyway, she is so similar to you, Karl," ujar Kiara yang akhirnya menarik perhatianku.

Valerie berusaha membungkam Kiara. Tetapi kalau mereka sudah mengenal satu sama lain, tidak mudah menghentikan pembicaraan gadis penyebar gosip seantero sekolah itu.

"She won various academic olympiade, extremely pretty, very kind to everyone and almost every guy in our previous school had crush with her,"

Aku meliriknya. Valerie masih terus mencoba menghentikan omongan Kiara.

"I'm trying to pair you both up, don't you understand?" Kiara akhirnya berlari sambil tertawa-tawa.

Saat Kiara berada di depanku sendirian, kami berdua hanya terdiam.

"Thank you again for earlier," ucapnya.

"Nevermind," jawabku. Dan... aku berhasil membuat pembicaraan kami berhenti hanya dengan 1 kata.

Dia duduk di sebelahku tanpa bertanya lebih dahulu. Aku terkejut dengan perbuatannya namun dalam hati senang bukan main.

"So your name is Valerie..." gumamku mencoba mempertahankan pembicaraan.

"Yeah," dia mengangguk.

"So is that true?" tanyaku. "That every guy in your previous school had crush with you?"

Valerie tertawa. "I'm not like what she said," ucapnya.

"But you do look like that," jawabku.

"Don't expect anything from me. I am not like what you and they think," dia membuat posisiku seperti salah berbicara.

"Oh... I didn't know... Sorry..."

Valerie melirikku lagi dan tertawa lagi. "Why are you so stiff?" dia tersenyum, like a sweet blooming lilac, a typical spring flower. Seperti virus, dia membuatku ikut tersenyum pula.

And I am eagerly wanting to know her more.

*****

"Karl! It's Valerie!" Kiara memanggilku dan karena mendengar nama Valerie disebut, seketika aku keluar dan menerobos kerumunan dengan cepat.

Valerie dan seorang perempuan menjadi pusat kerumunan. Kiara sendiri tidak tahu pusat permasalahannya dan bertanya ke teman-teman sebelahnya. Aku ikut menyimak karena berada tepat di sampingnya.

Diana, nama perempuan itu, adalah sahabat sejak kecil Valerie. Dan Diana sudah berpacaran dengan Jeremy selama 5 tahun lamanya. Namun belakangan, Diana menemukan bahwa Valerie juga berhubungan dengan pacarnya itu selama 2 tahun lamanya.

Reaksiku dan Kiara tidak jauh berbeda. Kami berdua syok mengetahui sisi lain Valerie. Mungkin Kiara lebih terkejut lagi karena sebagai salah satu teman dekat Valerie, dia tidak tahu-menahu dengan hal tersebut.

"How dare you, after all this time, Val?" Diana menarik rambut Valerie dan dengan cepat dan begitu kasar, Valerie menepis tangan itu.

Not everyday in spring is full of sunlight. Sometimes, thunder and rain will come along with the bright sky.

Tatapan Valerie begitu dingin. Yang dapat kutangkap, dia tidak memandang sahabatnya itu penuh dengan rasa bersalah. Baru kali ini aku melihat sisi gadis itu yang luar biasa berbeda dibandingkan sebelumnya.

Seorang pria datang dan berusaha melerai mereka. Dia pasti Jeremy. Ya, semakin mengejutkan saat tahu mereka semua satu sekolah. Entah apakah Valerie dan Jeremy begitu pintar menyembunyikan hubungannya atau memang Diana yang tidak pernah peka.

Jeremy berdiri melindungi Valerie yang membuat Diana semakin marah besar. "He is my boyfriend, Val!" Dia meraung menampakkan depresinya.

"She doesn't love you," ucap Valerie tanpa perasaan sama sekali. Dia seperti tidak peduli telah menjadi perhatian seluruh siswa.

Jeremy tidak membantah, tidak juga berbicara. Aku tidak menyalahkan pria ini karena dari berbagai aspek, Valerie lebih unggul dari Diana. Siapapun juga akan setuju dengan pilihan pria itu. Hanya saja, bermain diantara persahabatan mereka telah membuat imej Jeremy begitu buruk. Namun siapalah dia yang memedulikan hal itu kalau bisa memiliki dua perempuan sekaligus.

"Don't you think we should send everyone out?" Bisikku kepada Kiara. Seharusnya aku menanyakan hal ini sejak lama.

"Ah... shall we?" Kiara sepertinya masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Bahkan dari jawabannya saja tidak menunjukkan kalau dia ingin berbuat sesuatu.

Namun akhirnya, terdengar seseorang berteriak bahwa ada guru yang datang dan kerumunan tersebut berpencar dengan sendirinya.

"I want to be be alone," ucap Valerie yang menolak pergi bersama Jeremy, sementara Diana dibawa oleh teman-temannya. 

Aku sendiri juga tidak ikut kembali ke kelas bersama Kiara. Instead, aku mengikuti langkah Valerie dari kejauhan. Dia berjalan melewati lorong demi lorong. Beberapa orang yang kebetulan lewat menatap jijik dan membicarakan Valerie.

Saat Valerie berhenti di belakang gedung sekolahan, dia baru sadar kalau aku mengikutinya. Matanya menatap dengan senyum miris.

"Don't you feel disgusted of me now?"

Tatapannya begitu berbeda dari Valerie yang membuatku berdebar di kali pertama pertemuan kami.

Aku mengangkat bahu. "I haven't got a chance to know you better," jawabku. "So... I won't judge  you for now,"

Dia menghampiriku, matanya menatap ke bahuku. "May I?" Dia tidak menunggu jawabanku dan langsung menyandarkan dirinya kepadaku.

Mungkin sejak tadi dia sangat berusaha untuk pura-pura tangguh dan seluruh tenaganya kini habis.

"Do you need some time alone?" Tanyaku dan dia menggeleng.

"Aku tahu sejak lama kalau aku tidak sebaik yang kalian anggap," ucapnya. "Aku tidak pernah pernah tertarik dengan Jeremy awalnya. Tetapi ketika melihat Diana memacarinya, dia terlihat berbeda dari yang kupikirkan. Sejenak aku merasa penasaran dan tertantang untuk memiliki Jeremy. And after I realized this was a great mistake, everything was already messed,"

"That's normal," jawabku mencoba menenangkan.

"Not at all," elaknya. "That's the worst thing a friend do,"

Valerie berada di pelukanku, namun aku merasa ada sebuah tembok yang memisahkan kami. Rasanya seperti tembok friendzone or anyzone atau apapun itu, yang jelas membuatku tidak bisa menggapainya meski jarak kami begitu dekat.

*****

Setelah kejadian itu, Valerie menjadi perbincangan. Tentu saja lebih ke arah negatif. Mereka tidak menyangka gadis polos dan sebaik yang mereka tahu itu tega merusak hubungan sahabatnya sendiri. Termasuk Kiara. Dia selalu berada di kerumunan saat membicarakan Valerie.

"Kau seharusnya berada di pihak temanmu," ucapku saat menarik Kiara agar tidak lagi membahas Valerie bersama yang lainnya. "She's alone now," tambahku.

"She has that guy," jawabnya menggerutu.

"It's not like what you and everyone think," aku begitu memohon karena tahu bahwa kini Valerie sudah menjadi sasaran bully. "You should talk to her," pintaku.

Setiap hari, Valerie sudah tidak menunjukkan wajah cerianya seperti biasa. Meski dia jadi lebih berdiam diri, namun setidaknya dia tidak menundukkan kepalanya dan tetap beraktivitas seperti biasa. Dan aku mungkin menjadi yang paling berani mendekatinya.

She's becoming stronger and cold. My spring become winter so suddenly.

 "I broke up with Jeremy," ucapnya saat kami berjalan pulang.

Aku selalu penasaran sejak awal mengapa Valerie masih mempertahankan Jeremy. Mungkin dia hanya tidak ingin kehilangan satu orang di sisinya lagi, begitu?

"Why are you smiling?" tanyanya kepadaku yang tidak sadar kalau dia memperhatikan reaksiku.

"Is it wrong that I am extremely happy to hear that?" tanyaku.

Matanya memperhatikanku seolah dia ingin menjelajah perasaanku. Isn't it obvious? Aku begitu menyukainya sejak dulu dan tidak pernah berubah. Tetapi dia tidak mengangguk, menggeleng, atau berbicara sedikitpun.

Malahan, dia menjadi banyak diam dan membuatku enggan berbicara pula. Aku tahu kapan dia sedang menyelami pikirannya sendiri, and she's doing it now. Namun dia sering sekali tidak sadar diri dan terjebak dalam pikirannya sendiri.

Seperti tiba-tiba saja dia hampir tertabrak oleh sebuah motor yang melaju begitu cepat. Dan kalau aku tidak sigap menariknya, mungkin dia tidak sadar meski suara klakson sudah berbunyi sejak tadi. Dia baru sadar beberapa detik kemudian dalam kondisi aku mendekap erat ke arahnya. Dengan cepat dia kembali berdiri tanpa ada ucapan terima kasih sama sekali.

"I need to go somewhere," ucapnya sambil segera memisahkan diri denganku dan berjalan ke arah yang berlawanan dari biasanya.

Aku tidak bisa memastikan namun sangat yakin kalau ada aku di pikirannya tadi. Dan tertiba-tiba dia berusaha menjauh dariku. Aku hanya berharap ini hanya firasat yang tidak berdasar.

*****

Karl,

Belakangan ini, kau sudah melihat diriku yang sebenarnya. Kehidupanku sudah berubah dan untuk dapat bertahan, aku tidak akan kembali menjadi Valerie yang dulu kau ingat. Aku mencoba mengingatkanmu bahwa kau seharusnya ikut menjauh dariku.

Selama ini aku memikirkan alasan apa yang membuatmu tetap berteman denganku, bahkan membantu di segala hal. Dan kumohon, Karl, kalaupun asumsi ini benar, kumohon berhenti.

Aku begitu takut kalau ternyata kau menyukaiku. Namun aku mengerti, kalau sekalipun perasaan itu ada, kau menyukai seseorang yang sudah tiada. Valerie yang dahulu, bukan? Kau tidak akan menemukan dia lagi di dalamku sekarang. Dan itu berarti, perasaanmu sudah tidak valid.

Aku yakin sudah memperingatkanmu kalau aku tidak seperti yang mereka sampaikan. Valerie yang dulu penuh kepalsuan hanya demi diterima oleh orang lain. Namun kali ini, aku hanya ingin hidup sesuai dengan apa yang kuinginkan. Berpura-pura menjadi perempuan baik-baik adalah yang tersulit dan aku tidak mau kembali ke masa itu lagi.

Sekali lagi aku memintamu untuk berhenti berada di sisiku.

Apapun yang kau cari dariku sudah tidak ada. Kalau kau ingin membantu, permohonanku tetap sama. Aku tidak mau berhubungan denganmu. Kau tidak akan mendapat keuntungan apapun. Semakin kau mendekat, aku hanya melihat wajah iba dan empati yang tidak kubutuhkan sama sekali. 

Meskipun kau tidak berpikiran seperti itu, percayalah kau menunjukkannya secara tidak langsung. Kumohon, Karl. Aku bisa bertahan sendirian satu setengah tahun lagi.

Berhenti mencariku. Berhenti mengenaliku. Dan tolong berhenti berharap sesuatu dariku.

Aku berlari setelah membaca sepucuk surat yang berada di kolong meja. Tentu saja tujuanku adalah Valerie, yang sedang duduk membaca sebuah buku di mejanya saat aku datang ke kelasnya.

Dia masih saja dikucilkan. Terasa aneh mengingat dahulu aku terbiasa memanggilnya saat dikerumuni banyak orang. Kini sosok itu selalu sendiri, dan hanya aku yang meraih tangannya.

Aku menunjukkan surat yang ditulisnya untukku.

"I don't expect anything from you, Val. Even if you push me away, I will forever chase you," ucapku.

Dia menatapku. "Karl,"

"I never expect anything from you," balasku. "Never," aku hanya ingin mempertegas hal ini.

Sejak awal, memandanginya dari kejauhan sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Mungkin, karena sejak lama aku menyadari tidak ada celah bagiku untuk masuk ke hidupnya, harapan itu perlahan hanya sebatas berada di sampingnya saja.

"I do like you, but I only want to make sure that you're not alone these days. You are still the same person I used to know and I will only support you from where I am now, whatever you do. So please let me do that to you,"
Aku menggenggam tangannya, sesuatu yang selalu kutakutkan. Aku takut melihat reaksinya saat aku melakukan hal ini, namun sekarang aku sama sekali tidak memikirkan apapun. Dan menyadari apa yang kuperbuat kali ini membuatku merasa bangga dengan diri sendiri.
"You can use me, lean on me, or do whatever you want to do to me, and I will only ask one thing from you. Let me be your best person, your number one supporter from now on,"

"But you will have a bad reputation if you stay beside me," aku bisa melihat tatapan Val yang khawatir, kepadaku tentu saja.

Valerie, bagaimana aku bisa tidak bahagia mendengar bahwa selama ini, kau memikirkanku?

"Fuck them,"

Dan dia tertawa melihatku mengumpat.

My own spring is smiling in front of me. Like a kind of brighest sunray I feel in a mid of clear blue sky.


*****

Mungkin sejak awal aku melihat Valerie, aku memang sadar bahwa takdir sedang membuka jalannya untukku. Bersama gadis ini, aku tidak bisa tidak merasa bersyukur atas apapun yang terjadi.

"I have a special someone,"

"A particular person that I am thankful the most for having them in my life,"

"Without this person, I may not be here as I am now, who was always be with me during my hardest time, and being the best one I ever wish for,"

"Not a lover, a fan, a friend, a parent, a sibling, or anything you can think of, but everything and beyond all of that,"

"A partner, my life partner, someone that I won't hide him just because it might bring my career down, but thank you for asking though,"

Valerie melirikku yang sedang berdiri di balik kamera. Dia baru saja selesai melakukan pemotretan untuk menjadi sebuah brand ambassador perhiasan ternama, dan kini melakukan sesi wawancara. Dia tersenyum saat melihatku, nampak bangga dengan apa yang dikatakannya.

Sudah cukup lama dia mulai serius dalam dunia modelling, dan kini, setelah 7 tahun karirnya, dia berhasil menjadi top model yang merenggut pendidikannya. Setelah lulus sekolah, dia memilih untuk belajar modelling dan fokus di dunia tersebut. Menurutnya, modelling adalah hal yang diinginkannya sejak lama namun selalu takut untuk mencobanya.

And here I am. Seeing such a beautiful petal from a flower that is once withered. Not in a far, but in a right distance, not too close, and never too far. It's my own position.
"You don't really have to say it," ucapku saat menghampirinya setelah sesi wawancara berakhir. 
"What? You don't like being exposed? Should I ask them to cut that part?"

"Erm... Not necessary. But... Since you're now the brand ambassador of a renowned jeweller, is that okay to still wear that?" aku menunjuk sebuah cincin di jarinya.

"Why? I like it though,"

"Should we buy another ring, perhaps?"

"No," jawabnya cepat. "I like how it reminds me of our poor and tough time, and I won't take it off, ever, and this is to remind you that I was the one who proposed you, remember? So you can't get rid of me, forever,"

Aku tertawa. Gadis yang membawa musim semi ke hidupku. Gadis yang selalu membuatku menunggu esok hari dengan segala kejutannya. Dan satu-satunya gadis yang melamarku, hanya karena aku tidak pernah berani melakukannya sendiri.

My own spring.

My own petal. 

My everything.