Friday 17 October 2014

[Collection] Message in a Bottle and Us


Aku memperhatikan hamparan ombak di pantai, dan teringat denganmu. Kau mirip seperti ombak ini, datang kepadaku tanpa kusadari, namun tiba-tiba pergi entah kemana. Bahkan aku teringat denganmu hingga bertahun-tahun lamanya.

Botol ini, yang berisikan seluruh curahan perasaanku terhadapmu, akan segera kuberikan kepada lautan. Kuharap seluruh perasaan yang sia-sia ini dapat menghilang bersama dengan pesan botol ini. Kuharap seseorang membukanya dan mengerti perasaanku, siapapun atau mungkin dirimu, aku sudah tidak peduli.

Aku melempar botol ini dengan sekuat tenaga, dan membiarkan ombak mengantarkan pesanku ini.

Kau sudah tiada, Chris. Aku tidak akan bisa melihatmu lagi, tetapi mengapa perasaanku tidak mau hilang bersamaan dengan kepergianmu ?

"Hey, Laura, did you know that i love this beach so much ?"

Suara Chris terngiang di pikiranku. No, Chris. I didn't know you much.

"I loved this place, and wished to spend my life here, till the day i will take my last breath,"

................Don't tell me that, please.

"Well, Laura, will you spend the rest of your life here with me ?"

Aku bahkan tidak tahu apa jawabanku saat itu. Aku hanya bisa mengingatnya di pikiranku, senyumannya, caranya meluapkan kecintaannya dengan pantai ini, yang bahkan membuatku begitu iri. Kau berkata hanya ada 2 hal yang membuatmu jatuh cinta saat ini dan seterusnya.

"Of course. I love this beach, and you, and my life is complete now,"

Aku selalu tidak mengerti sebesar apa cintanya terhadap tempat ini. Di detik terakhir sebelum menghembuskan napasnya, dia tersenyum kepadaku.

"You remember, right ? Throw my ashes there,"

Aku sudah melakukannya. Abumu sudah membaur dengan lautan. Kau tentu saja akan menjadi salah satu ombak yang tadi menerjangku, kan ?


***** *** *****


Anonymous. Aku memperhatikan judul buku yang tengah meledak belakangan ini. Sebuah novel yang mampu menitikkan air mata, katanya ?

Karen menunjukkan buku ini hanya demi membuktikan bahwa airmataku tidak akan pernah turun sejak 3 tahun yang lalu. Ya, selain karena Chris, aku tidak pernah menangisi hal lain lagi.

Dia begitu kebingungan setiap saat kami menonton sebuah film tragis dimana dia selalu membanjiri kamarnya sendiri dengan air mata, aku sama sekali tidak bergeming. Aku tidak tahu. Karen berkata bahwa aku sudah kehilangan empati terhadap orang lain, dan aku memang sudah kehilangan kesadaranku. Aku lebih sering melamun dan berdiam diri.

Bahkan disaat menonton komedi, aku juga tidak tertawa. Kebahagiaan dan kesedihan terasa semu bagiku. Tepat disaat perasaanku terhadap Chris, semua kenanganku tentangnya, dan semua ilusi terhadapnya mencoba kuhilangkan, hidupku terasa hampa.

"Disaat kau masih mengingatnya, kau hanya bisa menangis dan tertawa sendiri. Tetapi disaat kau mulai melupakannya, kau sama sekali tidak beremosi, Laura,"

Emosi ? Untuk apa emosi ?

"Anyway, just read this here," Karen melemparkan buku tersebut kepadaku. " Baca disini, sekarang juga, dan aku ingin melihat apakah kau masih bisa tidak menangis,"

Buku Anonymous ini memiliki cover yang sangat simpel. Hanya warna hitam solid dan tulisan Anonymous dengan font Vivaldi di bagian tengahnya. Namun rupanya apabila diperhatikan lebih detail lagi, terdapat sebuah siluet dari hologram yang bergambar abstrak, agak sulit menebak gambar apa yang tersembunyi dibalik cover ini.

Aku membuka halaman pertama.

I dedicated the first page of this book for 
a beautiful woman that gave me a new life, 
the anonymous woman

Whatever.

Prologue. Anonymous Heart.


Hello, someone, anyone that read this letter. I hope you would like to spend a little bit of your precious time to listen the story of my life.

Kau tidak perlu tahu namaku, kan ? I am L, the initial of my real name. Aku berada di Pantai M saat menulis surat ini. Di pantai ini, aku menghabiskan hampir seluruh dari waktu bahagiaku bersama dengan seseorang yang paling kucintai di dunia ini.

Well, this letter is one in a million ways to forget him. I am trying to express every feeling that left in me about him by writing this letter.

C. this is me. Are you there ? Are you happy now ? Have you forgotten me ?

Aku masih tidak bisa melupakanmu, kupikir tidak akan bisa. Bahkan di pantai ini aku melihat ilusimu lebih nyata dari biasanya. Aku berani bersumpah kau sedang berada di depanku sambil membawa surfboard seperti yang selalu kau lakukan, dan melambaikan tanganmu kepadaku. Entah mengapa aku membalas lambaian tanganmu juga.

Kau berjanji akan menghabiskan seluruh waktumu denganku di pantai ini, memintaku untuk bersedia menghabiskan sisa hidupku bersamamu dan pantai ini. Kemana dirimu sekarang ?

Seluruh memori tentangmu, sejak kali pertama bertemu hingga di salam terakhir perpisahan kita, kumohon, bisakah kau membawanya pergi bersamamu ?

Aku yang menangis sendiri di pantai ini. 
Aku yang terus meraung memintamu untuk kembali. 
Aku yang terlalu takut untuk mengakui bahwa keberadaanmu hanya ilusi.

Hey, am i too pathetic ? I was asking him to stay with me here, yet he never looked back. He left me with just a smile, a great big smile.

Sekarang aku mengingat semua kebahagiaan itu dengan air mata.

Kali pertama kau menyatakan cintamu kepadaku, disaat waktu-waktu canggung itu dan kita hanya tertawa demi memecah keheningan. Aku sadar bahwa pada saat itu kita baru saja membuka sebuah pintu menuju kebahagiaan. 

A door to our paradise. 

Disaat kau berlutut dan menunjukkan sebuah cincin yang begitu indah dan berkilau, memintaku untuk mengukuhkan cinta kita, merantaikan hati kami masing-masing. Aku hanya bisa tertawa sambil berkata tanpa ragu bahwa aku tidak akan berpaling ke lain hati sama sekali. Ya, bahkan disaat kau mungkin telah melupakanku, aku selamanya akan mengingatmu.

Pantai M, 11 September 2011.

L

Aku menitikkan air mata. Baru sampai prolog, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Seriously ? Bahkan kau malah menangis lebih cepat dariku ? Sudah chapter berapa kau baca ?" dia menarik buku tersebut dariku saat aku menyentuh pipiku yang sudah sangat basah oleh airmataku sendiri. " Prolog ? Kau bahkan sudah menangis di prolog ?" Karen tidak percaya.

Aku menarik kembali buku itu dengan cepat. Aku tidak menghabiskan sedikitpun waktuku kecuali dengan membaca hingga akhir buku ini. Sekitar 3 jam kemudian, aku menamatkan buku ini.

Dadaku sesak. Seakan semua emosiku kembali, bagian dari diriku yang telah kuusahakan untuk tertutup rapat langsung terbuka semuanya. Setiap hal yang ingin kulupakan tiba-tiba menghujam pikiranku.

"I need to see the author,"

Karen melihatku. "Ada apa, Laura ? Matamu sudah bengkak seperti itu,"

"Karen, i need to see him !" teriakku. Entah mengapa mood-ku benar-benar kacau.

"Telepon publishernya, mungkin kau bisa dapat info dari sana,"

Buku ini...

Buku ini...

Buku ini mengutip pesan botolku. Seseorang yang menulis buku ini pasti membaca suratku. Aku benar-benar yakin bahwa ini adalah ceritaku, karena seluruh katanya persis sekali dengan suratku saat itu.

"Laura, Laura," Karen menepuk pundakku saat aku begitu depresi publisher buku ini sama sekali bungkam terhadap author buku ini. "Edward O'Hare will be having a meet and greet and autograph session next Sunday,"

Minggu nanti. Apapun yang terjadi aku harus bertemu dengannya.


***** *** *****


Ternyata banyak sekali yang ingin bertemu dengannya. Lokasi meet and greet benar-benar dipadati orang banyak yang terutama wanita remaja dan dewasa. Beruntung aku sudah mendapat tiket khusus sebagai tamu VIP dan berkesempatan duduk di front row dan menghadiri sesi tanda tangan.

"Edward, wanita di buku ini, Luna, bisakah anda jelaskan bagaimana pandangan anda mengenai sosoknya ?"

Edward, seorang pria dengan jas putih dan celana jeans dan duduk dengan begitu santai menghadapi sesi meet and greet ini.

"Luna is truly a pathetic woman. Dengan kepolosannya, dia mencintai seseorang dan mencoba  melupakannya dengan cara apapun. Tidakkah kalian berpikir membuat pesan botol seperti itu adalah tradisi kuno yang bahkan mungkin kita sudah hampir melupakan hal tersebut, benar ?"

Seluruh orang hampir mengangguk-anggukan kepalanya.

"Luna benar-benar meresapi kesedihannya ditinggalkan oleh Charles dan mengabaikan sisi kehidupannya yang lain. Isn't that pathetic ? Di buku ini, saya hanya ingin menjelaskan kepada seluruh wanita mengapa kalian harus move on and survive. Hidup kalian tidak selalu akan hancur dengan satu pria, tetapi memang sesekali kalian boleh menoleh ke belakang, knowing how much you were blessed,"

Saat sesi tanya jawab, aku menunjuk tangan namun ada yang lebih cepat dariku. Aku mendapat urutan ketiga untuk bertanya.

"Di halaman pertama kau bilang bahwa buku ini didedikasikan untuk anonymous woman, apakah itu maksudnya cerita ini berdasarkan cerita nyata ?"

Edward tersenyum, "That's a good question," jawabnya. "Ya, cerita ini berdasarkan kisah nyata, namun tidak semuanya nyata, karena... As you know i named her anonymous woman because a reason,"

Kini tiba giliranku bertanya.

"Mengapa kau menggambarkan Charles sebagai pria yang arogan dan ignorant ? Jika wanita polos ini mencintai seorang pria sebesar yang kau gambarkan, he must be as perfect as she ever wanted. Kau berkata bahwa ini berdasarkan cerita nyata, tetapi kau tidak benar-benar mengungkapkan semuanya. I bet you didn't quote the whole letter, am i right ?"

Aku ingin memarahi pria ini karena menggambarkan Chris dengan begitu buruk. Bahkan dia tidak tahu seluruh ceritaku, dan menganggap bahwa aku ditinggalkan oleh Chris karena wanita lain.

He died. Chris is died because of a major injury. Setelah koma selama 3 hari dan sadar selama 5 menit, dia menjalani operasi besar-besaran selama 8 jam dan tetap tidak terselamatkan. Di 5 menit terakhir aku beruntung selalu di sisinya, dia tentu saja berjuang keras untuk bisa membuka matanya dan mengucapkan perpisahan kepadaku.

"Laura, i love you, thank you for letting me love you, and... you remember, right ? throw my ashes there, our beach.... We'll meet there,"

Edward melihatku. Dia tidak mengutip semua suratku, dan tidak mengungkapkan semuanya. Kalau dia memang ingin mempublikasi cerita aku dan Chris, dia seharusnya menjelaskan seberapa baik Chris seperti yang kutuliskan di pertengahan suratku. Dia hanya menunjukkan perasaaanku saja, dan benar-benar tidak memahami maksud tulisanku sama sekali.

Di sesi autograph, aku memberikan buku milik Karen. "He died, you know," ucapku.

Edward melihatku. "What's your name ?" Dia mencoba tetap tenang.

"Laura, not Luna," jawabku.

Aku segera turun dari panggung dan tiba-tiba beberapa panitia menghadangku. "Bisa ikut dengan kami ? Edward ingin menemuimu,"

Rupanya aku dibawa ke backstage. Mereka berkata untuk bersabar dan menunggu hingga acara selesai. Sesaat kemudian, aku melihat pintu backstage terbuka dan Edward menghampiriku.

"So, you're L ?" tanyanya.

Aku menendang perutnya dengan cepat hingga ia terjatuh. "You know you deserve that," ucapku.

Edward mengucapkan bahwa yang dia inginkan hanyalah bertemu denganku. Dia hanya ingin membantuku untuk melupakan Chris. "Aku tidak tahu bahwa kekasihmu meninggal, kupikir..." dia tiba-tiba diam. "Kau tidak menjelaskan apa-apa di surat itu, terlalu banyak ambigu,"

Untuk pertama kalinya aku menangis setelah 3 tahun lamanya. Pria ini membuatku kembali mengingat Chris, sejak pertemuan pertama kami lagi hingga detik terakhir perpisahan kami untuk selamanya. Airmataku semakin deras saat Edward merogoh kantung celananya dan menyerahkan lembaran kertas yang kukenali sebagai suratku 3 tahun yang lalu.


"Percaya atau tidak, aku juga berada di Pantai M di hari yang sama. Kau benar-benar tidak berniat melempar botol tersebut, ya ?"


Benarkah ? Benarkah sedekat itu ? Kupikir ombak akan menyampaikan pesanku ke belahan dunia lain. Atau mungkin terdampar di sebuah pulau kecil tak berpenghuni dan tak seorangpun akhirnya yang membaca suratku.

Dengan cepat aku merampas suratku.


"Aku hanya ingin bertemu denganmu," ucap Edward.


"Buat apa ?"


"Kau memberiku kehidupan baru, Laura," matanya menatapku dalam-dalam dan begitu mendominasi. "Seumur hidupku, aku belum pernah menyadari bagaimana perasaan wanita yang kubuang begitu saja. My life was worst than an animal. Aku senang mempermainkan wanita tanpa tahu bagaimana perasaan mereka. Kau yang menyadarkanku, Laura,"


Dia awalnya menyentuh kedua pundakku, dan aku langsung melepasnya. Bagiku dia hanya seorang stranger, tidak seharusnya dia menyentuhku seperti ini.


"Maafkan kalau aku menyebutmu pathetic, tetapi aku tidak tahu bahwa kekasihmu meninggal, kalau kau menceritakan bahwa dia meninggal, Luna dan Charles memiliki cerita yang berbeda," dia kini mengenggam tanganku. Matanya menyiratkan keseriusan dari dirinya, seolah-olah aku bisa merasakannya.


"Laura," Edward memanggil namaku. "Aku tahu bahwa kekasihmu pasti seseorang yang baik. But it's time for you to move on. Kau belum membuka hatimu untuk orang lain, aku benar, kan ?" tanyanya.


"Apa pedulimu ?" tanyaku.


"Aku pasti benar. Laura, kau tidak bisa selamanya seperti ini. Aku bisa mengerti sebesar apa perasaanmu kepada Chris, tetapi tolonglah," dia kembali menggenggam kedua tanganku dan aku menariknya lagi. "Aku tidak memintamu untuk melupakannya, tetapi kau tidak bisa terus larut dalam perasaanmu sendiri dan membiarkan dirimu sendirian seperti ini,"


Pria ini gila. Dia sudah bertingkah seakan-akan mengenalku dengan sangat baik. Aku merasa benar-benar tidak aman berada di sekitarnya. Dengan cepat aku pergi dari backstage dan meninggalkan orang gila ini.


Tiba-tiba pria tersebut menahanku. Setelah menarik tanganku, dia lalu memelukku dari belakang.


"Aku juga ingin dicintai sebesar itu, seperti kekasihmu," ucapnya.


Apa katanya ?


"Hidupku tidak lama lagi. Tuhan sudah memberikan karma untukku karena telah menyakiti banyak wanita. Aku menderita Hepatitis B kronis dan kanker hati..."


Lalu apa yang harus kulakukan ?


"Bisakah kau memberikanku kebahagiaan seperti yang kekasihmu dapatkan ? Aku ingin merasakan kehidupan sepertinya, setidaknya sebentar saja sebelum aku mati..."


Sesuatu terasa membenturku. Aku tahu bahwa aku benar-benar bodoh kalau menyanggupinya. Beberapa jam yang lalu aku sama sekali tidak mengenalnya, dan bagaimana bisa aku mempercayai seluruh omongan orang ini begitu saja ? Tolonglah Laura, jangan menjadi orang baik mulai hari ini.


"Aku tidak bisa melakukannya," 


Apa yang kau lakukan, Laura ? Cepat pergi dari tempat ini sekarang juga !


"Aku yang akan melakukan semuanya kalau begitu, tolong biarkan aku berperan menjadi Chris,"


Dasar bodoh ! Kau sendiri yang berkata bahwa tidak akan ada yang bisa menggantikan Chris di hatimu, kan ? Tidak peduli apakah ini hanya untuk sementara atau hanya pura-pura, jangan pernah menyanggupi permintaan orang gila ini, Laura !


"Kau tidak akan bisa menggantikannya," untuk apa lagi kau membalasnya ?


Karena terlalu bodoh untuk tetap menanggapinya, dia memelukku dari depan. Pelukannya menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini.


"I'll do anything, just tell me," jawabnya.


Chris, apakah ini salah ?


Kalaupun aku memiliki alasan untuk menyanggupinya, kondisinya yang hendak menemui ajal juga bukan alasan yang tepat, kan ?


Lalu mengapa aku bisa membiarkan keadaan ini begitu saja ?




***** *** *****


Aku duduk di Pantai M sambil menatapi pemandangan di sore hari. Tempat ini tidak pernah ramai setiap kali aku datang karena memang pantai ini tidak digunakan sebagai tempat wisata. Tetapi para surfboarder tentu saja sangat menyukai tempat ini karena ombaknya yang menurut mereka sangat menantang. Aku sendiri tidak mengerti maksud mereka karena aku tidak pernah tertarik dengan dunia surfboarding.

"Apakah membosankan ?" tanyanya.


Aku menemani Edward bermain surfboard disini. Rupanya Edward dan Chris sama-sama memiliki minat yang sama. Mungkin karena itulah Edward akhirnya menemukan pesan botolku.


Dilihat dari kejauhan, Edward tidak tampak terlalu berbeda dengan Chris. Mereka memiliki gaya yang sama saat membawa papan seluncurnya ke daratan. Mungkin aku sangat salah membandingkan Chris dengan dirinya, tetapi pikiran tersebut terlintas begitu saja di pikiranku. Apa yang harus kulakukan ?


Edward sama sekali tidak terlihat seperti penderita kanker. Aku juga sudah melihat diagnosa kanker hati dan memang penyakit ini tidak terlalu menunjukkan perubahan secara fisik penderitanya, namun tanpa disadari akan menyebabkan kematian secara cepat. Edward menolak menjalani terapi karena biayanya yang luar biasa mahal. Tetapi dari penjualan bukunya, kupikir seharusnya dia memiliki uang yang cukup untuk mengobati dirinya.

Selain bermain surfboard, dia tidak memiliki kegiatan lain sama sekali. Setiap hari dia hanya mendatangiku dan mengikuti aktivitasku sehari-hari.

"Apa yang sedang kau pikirkan ?" tanyanya sambil duduk di sampingku.

"Kau kelihatan baik-baik saja, sama sekali bukan tipikal pasien kanker,"

"Haruskah aku kelihatan lemah dan sakit-sakitan di sisa umurku ?" tanyanya. "I'm working on a new project about Luna," ucapnya.

Apkah maksudnya dia ingin membuat sekuel tentang bukunya itu ? Tentang aku ?

Dia menatapku. "I want you to be the first one that read it," tambahnya. "Di hari perilisan buku tersebut, aku akan mengirimkan naskah aslinya. Tetapi di hari itu akan menjadi salam terakhir--,"

"Edward," aku menahan pembicaraannya karena aku tahu akan kemana arahnya. "Apakah kau benar-benar tidak mau menjalani terapi ?"

Dia terkejut saat aku menyela pembicaraannya, dan menatapku dalam diam.

"Masih belum terlambat, kan ?" lirihku.

Edward tersenyum. "Apa ini ? Sekarang kau menginginkanku disampingmu lebih lama dibandingkan yang seharusnya ?"

Bukan begitu, Otakku secara langsung membantah pernyataan itu, tetapi hatiku tampaknya tidak terlalu menyetujuinya. Bahkan mulutku sendiri tidak mau menjawab apapun dan malah bungkam.

"Kau tidak menjawabku,"  Edward yang tadinya menunggu sesuatu terucap dari mulutku akhirnya berbicara. "Hingga saat ini kau masih tidak bisa menerimaku, ya ?"


Aku tidak bisa menjawab hal itu.


"Kalau aku diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi hanya untuk mengetahui kalau kau masih tidak menyukaiku, buat apa Laura ?"


"Jangan bilang begitu, Ed. Kau semakin membebaniku. Kau tahu tidak akan semudah itu untukku bisa melupakan Chris, kan,"

Edward malah tersenyum, "Apa kau pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa kau akan merasa betapa berharganya seseorang dalam hidupmu saat ia meninggalkanmu ?"


Mataku tidak bisa lepas dari tatapannya. Sesuatu di dalam hatiku seolah kelu saat dia hendak berdiri. Namun mulutku tertahan dan tidak menjawab apapun. Edward menoleh kepadaku saat dia sudah berjalan cukup jauh,


"Kau ingin berpisah denganku saat ini juga ?" dia memanggilku untuk pergi dari tempat ini.


Bodoh. Aku bangkit dan segera berlari mengejarnya. Dia selalu memberikan senyuman kepadaku, seolah senyuman itu adalah hal terakhir yang dapat dilakukannya untukku.




***** *** *****


Seseorang mengetuk pintuku. 


Aku bisa melihat seorang kurir menyapaku sambil mengantarkan sebuah paket. Di detik pertama aku membuka isi paket tersebut, hanya satu hal yang bisa kusadari.


Edward sudah pergi.


Tanpa salam perpisahan, tanpa kabar apapun, aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Sambil mencoba untuk berjalan lurus ke sofa, aku memperhatikan satu-persatu isi paket tersebut. Sebuah surat, draft asli buku yang ditulis Edward, dan sebuah kotak hitam kecil.


Dear Laura, My L.


Aku persembahkan buku ini untukmu. Aku hanya ingin menunjukkanmu sebuah ending dari Luna yang akhirnya mampu menemukan kebahagiaan. Dan itulah yang kuharapkan terjadi kepadamu.


Terima kasih untuk 3 bulan terakhir ini. Meskipun aku tidak akan pernah berhasil menggantikan Chris di hatimu, tetapi kau masih tetap menerimaku di kehidupanmu. Dan aku benar-benar bersyukur untuk hal itu.


Bersama dengan paket ini, aku memberikanmu sebuah cincin sebagai ungkapan perasaanku. Mungkin ini bodoh, tetapi aku ingin meminta satu hal terakhir darimu. Pasangkan cincin ini di jari manismu kalau pada akhirnya kau merasa kehilanganku dan memintaku untuk kembali kepadamu. Cincin ini benar-benar indah di kali pertama aku melihatnya di etalase dan langsung membuatku jatuh cinta. Seperti itulah yang kurasakan kepadamu.


Aku mencintaimu, Laura.


Aku tahu kalau saat ini bukanlah waktu yang tepat, semuanya sudah terlambat. Tetapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar serius mencintaimu. Seharusnya aku sudah menunjukkannya sejak lama, tetapi biar kuperjelas lagi.

Aku benar-benar sudah jatuh cinta kepadamu, Laura.

Sekarang, apakah kau bisa mencintaiku? Apakah aku benar-benar terlambat dan tidak akan ada cara lain untuk membuat hatimu luluh?

Aku tahu. Aku hanya mengada-ada. Aku bahkan menjadi pria yang lebih buruk dari yang pernah kulakukan. Aku terlalu memaksamu walaupun pada akhirnya aku tidak memiliki kesempatan lagi untuk bersamamu.

Karena walaupun pada akhirnya kau juga mencintaiku, aku hanya akan membuatmu terpuruk lebih parah dari sebelumnya. Kau telah kehilangan Chris dan kini giliranku.

Aneh memang. Aku benar-benar ingin kau menyukaiku, meski hanya sepersekian dari perasaanmu terhadap Chris, tetapi menyadari permintaanku, semua itu hanya akan membuatmu semakin menjauh dari kebahagiaan yang seharusnya kau miliki.

Bertemulah dengan seorang pria yang lebih baik dari Chris dan aku. Seseorang yang mungkin bisa membuatmu mengingat kembali masa lalumu namun sekaligus memberikan bayang-bayang masa depan.

Edward.

Ini semua salahku yang sudah membiarkan orang gila itu masuk hanya untuk melihatnya pergi begitu saja. Sama seperti Chris, Edward benar-benar tidak memberi salam perpisahan secara langsung, bahkan dia tidak memberitahuku sudah seberapa parahkah kondisinya belakangan ini. Dan dengan tiba-tiba dia menghilang seperti ini, membiarkanku masih terdiam dan mencoba memahami semuanya.

Edward sudah tidak ada. Hanya itu yang bisa kupikirkan sekarang. Berkali-kali aku mencoba bangkit dari posisiku, namun entah mengapa badanku begitu lemas.

A New Home. Aku membaca judul naskah ini. Entah seperti apakah cover ini nantinya karena yang kuterima hanyalah lembaran berupa draft asli milik Edward.

Love is about finding a brand new home.

Aku mencoba membaca dengan penuh konsentrasi pesan apakah yang Edward hendak sampaikan kepadaku melalui buku ini.

Melalui sudut pandang Luna, Edward menunjukkan bagaimana kesulitannya Luna dalam melupakan Charles. Penyesalan Luna semakin diperparah dengan kenyataan bahwa Charles sudah meninggal dan menyisakan banyak tanda tanya bagi Luna, apakah pria itu benar-benar sudah melupakannya atau apakah sebaliknya. Namun selama masa berkabungnya, seseorang datang kepada Luna. Namanya Ethan.

Ethan memiliki kesukaan yang sama dengan Charles dan mengingatkan Luna akan Charles. Tanpa disadari, Ethan telah mengenal Luna sejak lama, melalui pesan botol yang saat itu dilempar ke lautan. Selama bertahun-tahun Ethan mencoba mencari Luna, hingga akhirnya dia berhasil.


Edward menceritakan alur cerita Ethan dan Luna benar-benar persis dengan ceritaku dan dirinya. Sepertinya dia selalu menulisnya sesaat setelah kami bertemu setiap hari. Ethan sama-sama diceritakan menderita kanker hati dan memohon Luna untuk mengisi hari-hari terakhirnya agar dia dapat meninggal tanpa penyesalan.


Aku melihat Ethan dengan ragu. Walaupun begitu, dia masih sempat tersenyum kepadaku,

" Ah, sampai akhirnya tiba, aku tidak akan bisa menggantikannya, ya ?"

Perlahan, langkahnya mulai menjauhiku. Setiap kali langkah itu membawanya pergi, begitu banyak hal yang ingin kuucapkan kepadanya. Aku tidak menyangkal bahwa seharusnya aku sudah begitu menerima keberadaan Ethan dan perlahan dan pasti aku mulai menyukainya.

Ya, aku menyukainya...

Tetapi sesuatu di dalam hatiku seolah melarangku untuk mengungkapkannya. Aku tahu tidak akan ada yang berubah kalaupun aku memperjuangkan perasaanku ini. Ethan sudah hendak pergi dari dunia ini dan semakin lama aku bersamanya, aku hanya akan menumpuk penyesalan untukku sendiri di masa depan.

Bahkan di kali kedua aku jatuh cinta, rasanya akan sesakit ini.

Napasku tercekat. Hingga di titik ini, Edward seolah dapat melihat diriku seolah transparan. Aku tidak tahu apakah dia menulis cerita ini berdasarkan imajinasinya atau berdasarkan apa yang dia lihat terhadapku. Seharusnya Edward juga tahu bahwa aku memang mulai menerimanya dan aku mulai mengerti bahwa aku menyukainya. Kini aku merasakan hal yang sama seperti yang Luna rasakan.

Aku berjalan di sebuah taman di bulan ketiga semenjak Ethan mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Hidupku semakin tidak nyata. Aku tidak bisa melepas kepergiannya begitu saja, hingga akhirnya aku mulai berhalusinasi. Aku mendatangi tempat-tempat yang begitu sering kami datangi dan melihat dirinya menungguku disana. Aku menebarkan senyumku untuk sebuah angan-angan bodoh.

"Kenapa kau lagi-lagi muncul di hadapanku ?" tanyaku kepada sosoknya.

Ethan berdiri di hadapanku. Dengan sebuah knitwear cokelat muda yang khas dengan suasana musim gugur kali ini, dia tersenyum kepadaku. Mengapa dia begitu terasa nyata di bayanganku ?

"Kau bahagia sekarang ? Setelah kau berhasil membuatku jatuh cinta kepadamu dan meninggalkanku di dunia ini sendirian, apa yang kau harapkan lagi dariku ? Kalau kau juga tidak bisa bersamaku selamanya, mengapa kau harus membuatku menderita seperti ini ?"

Senyumannya mulai menghilang. Untuk kali pertama dia mulai memberikan ekspresi yang berbeda, kini halusinasiku semakin mulai tampak nyata.

"Lalu untuk apa kau memberikanku cincin ini ? Kau ingin orang lain tahu bahwa aku sudah menjadi milikmu sepenuhnya ?" siapapun akan melihatku gila karena berbicara dan menangis sendiri.

Aku berusaha melepas cincin ini sambil menyadari bahwa airmataku tidak bisa tertahankan. Alhasil aku malah teruduk lemas dan merengkuh tubuhku dan menunduk. Aku memarahi diri sendiri mengapa perasaan dan halusinasi ini tidak dapat menghilang begitu saja.

Seseorang menyentuh kepalaku dan aku tidak dapat mengerti kenapa. Bagaimana bisa sesuatu yang tidak nyata meletakkan tangannya dan aku bisa meraskan sentuhannya dengan jelas.

Saat aku melihat siapa yang berada di dekatku, orang itu tersenyum.

"You're not my hallucination," 

Orang itu tersenyum, "I'm not," jawabnya. "Dan aku tidak akan meninggalkanmu lagi," jawabnya.

"Ethan ?" aku berusaha menyadarkan diriku sendiri bahwa dia benar-benar nyata.

"I did the surgery. I don't want to die, and i won't leave you again,"

Aku menyentuh wajahnya dan tahu bahwa ini bukanlah sekedar halusinasi. 

Ethan kembali. 

He came back for good.

Tidak perlu beberapa detik lagi setelah aku menyelesaikan naskah ini, dengan segera aku langsung menuju taman yang menjadi tempat pertemuan Ethan dan Luna. Semoga saja ini memang maksud dari Edward. Kuharap dia memilih jalan seperti yang dilakukan Ethan.

Saat sampai di taman tersebut, aku malah tidak menemukan seorangpun yang dapat kutemui. Kalau Edward tidak berniat mendatangiku seperti yang Ethan lakukan, mengapa dia harus memberikan naskah ini kepadaku ?

Mungkin aku memang harus menerima kenyataan bahwa dia memang tidak akan pernah kutemui lagi. Kehidupan Luna adlah hanya milik karakter fiktif itu dan aku adalah Laura, sosok yang hidup di dunia nyata. Dan tidak semua kenyataan akan berakhir indah seperti yang bisa dibayangkan.

Karena terlalu bersemangat untuk pergi ke taman ini, aku baru sadar bahwa aku masih memakai slipper dan rambutku masih agak berantakan. Dengan sangat kecewa aku kembali pulang dengan langkah yang berat. Sepertinya aku telah salah dalam mengartikan pesan Edward.

Seorang anak kecil mendatangiku dan hampir terjatuh saat berada di depanku. Dia menyerahkan secarik kertas kepadaku.

Kalau aku memiliki satu kesempatan lagi, 
apakah kau bisa menjawab satu pertanyaanku dengan kata 'ya' ?

Edward. Ini pasti Edward. Dia pasti berada di dekat sini. Aku tidak mungkin salah. Aku mulai bisa merasakan kehadirannya di dekatku.

Lagi-lagi seorang anak kecil mendatangiku dan memberikan secarik kertas.

Laura Karenina Phillippe, will you marry me ?

Entah sudah berapa kali airmata ini menetes deras di pagi ini, tetapi aku tidak menyangka bahwa dia melakukan hal ini kepadaku.

Anak kecil itu menarik bajuku saat aku sedang sibuk membaca sebuah kalimat yang menggetarkan hatiku. Dia lalu menunjuk sebuah arah. Dan seseorang berdiri dari kejauhan sana. Aku cepat-cepat berlari mengarah kepada orang itu. That must be Edward.

"Ernest ? Mengapa kau ada disini ?" Ernest adalah kakak dari Edward.

"Laura, kau harus tahu sesuatu," perasaanku mulai tidak enak. Tubuhku mulai tidak bereaksi terhadap apapun dan hanya bisa diam kaku.

"Edward akhirnya memilih untuk menjalani operasi. Belakangan ini dia begitu ingin  hidup lebih lama lagi, tetapi sudah terlambat, Laura. Operasinya tidak berjalan sukses karena kondisinya sudah begitu terlambat. Semua ini adalah permintaannya sebelum operasi dijalankan. Dia ingin mengejutkanmu dengan sebuah berita baik. Seharusnya Edward yang berdiri disini dan melakukan hal yang sama seperti yang Ethan lakukan pada novel yang ditulisnya,"

"He really loved you, Laura,"

Aku mengenggam kertas yang kuterima.

Pengirim surat ini tidak akan pernah kutemui lagi. Meski dengan airmata, Edward tidak akan kembali. Kini aku sama sekali tidak bisa berkata-kata. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa. 

Perasaan apa ini ?

Jadi... disaat aku merasakan keberadaannya di dekatku, apakah mungkin arwahnya sedang berada di sekitar sini, melihatku dari sisi dunia yang lain ?

Edward, kuharap kau mendengarku dan melihatku sekarang. Aku mengenakan cincin yang kau berikan. Aku hanya ingin menjawab satu pertanyaanmu itu meskipun sudah terlambat semuanya.

Yes, i do...

Rest in peace, Edward...