Sunday 24 July 2016

[One Shot] The Day We Meet, Again...

Malam itu, aku ragu untuk datang. Corsage biru yang senada dengan dress yang kukenakan masih tertutup rapi di bungkusnya, menanti dibuka.

Ini adalah pernikahan temanku. Seharusnya aku datang untuk merayakan hari bahagianya ini.

Namun setelah kembali menatap cermin, nyaliku menciut. Aku merasa tidak siap untuk bertemu dengan teman-teman lamaku disana nanti. 

Terutama Ian.

Delilah sudah meneleponiku dan bertanya kapan aku siap untuk dijemput. Dengan enggan aku berkata kalau dia bisa jalan sekarang juga.

Kalau saja aku pergi sendiri, mungkin aku akan memberi alasan agar tidak jadi pergi. Tetapi ini Delilah. Dia tahu aku masih ragu untuk datang dan bersikeras agar menjemputku.

Dia tidak tahu perasaanku kepada Ian. Dia tidak pernah mengerti apa yang akan kuhadapi. Cinta pertama yang tak pernah terucapkan. Kalau dia tahu sejak dahulu, aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan.

"Kau sedikit... wow... sejak kapan kau seperti ini?" Reaksi Delilah membuatku cemas.

"Seperti apa?"

"You put an effort for your looks tonight,"

Karena Ian, Delilah. Aku tidak mungkin berpenampilan biasa saja ketika mata Ian kemungkinan melirikku walau kurang dari sedetik. Sepersekian detik tatapannya sudah cukup membuat jantungku berdegup tidak karuan.

"Is it bad?"

"What? No. You look gorgeous, dear," puji Delilah.

"You too, by the way," Delilah tersenyum sambil merapikan red halter dress yang cukup mengekspos keseksian area leher hingga bahunya.

Aku cukup senang hasil memilih-milih dress baru dan kursus makeup kilat via tutorial yang kurang dari seminggu kupersiapkan ini diakui oleh Delilah, gadis paling feminin diantara yang kukenal. Meski hanya sebuah sheath dress biru polos yang terlalu simpel dibandingkan sebelahku ini, aku puas dengan pujiannya.

Saat sampai di venue, Delilah menyeretku bertemu teman-teman lama kami. Aku masih bisa mengingat beberapa dari mereka, walau terkadang sedikit tertukar namanya. Mataku masih berkeliaran mencari sosok pria yang kunanti sejak lama.

Aku berusaha membayangkan perubahan pria itu setelah sekian tahun tak bertemu. Mungkin kini dia sudah sangat tidak bisa kukenali hingga sulit kutemukan di balik kerumunan. Atau mungkin kesempatanku satu-satunya untuk bertemu lagi berakhir sia-sia, Ian terlalu sibuk untuk mendatangi pesta pernikahan teman lamanya ini.


"No way," seseorang berbicara di belakangku. Suara bass pria dewasa yang seolah membicarakanku. Aku berbalik dan membelalakkan mataku.

Bukan, bukan Ian.

"Eva?" Dia memanggil namaku.

"Lucy??"

"Oh, please, I told you it was Luc,"

Nama aslinya Lucian. Sejak mengenalnya, aku memanggilnya Lucy dan dia selalu kesal. Nama Lucy terlalu berkesan perempuan dan dia memilih dipanggil "Luc" dengan ejaan seperti nama Luke. Seingatku, hanya aku yang berani memanggilnya Lucy di seantero sekolahan.

"Okay, Luc," ucapku menganulir.

"Or should I call you Evan again?"

Nama lengkapku Evangeline dan sebagai balas dendamnya karena dipanggil Lucy, dia berbalik memanggilku Evan yang terdengar sangat maskulin. Awalnya aku tidak peduli dengan nama itu, tetapi lama kelamaan seisi kelas memanggilku Evan yang membuatku tidak nyaman. Nama Evan sangat laki-laki. Berbeda dengan nama Lucy yang cukup androgini.

"What's this?" Dia melirik corsage-ku. Dengan cepat dia melepaskannya dari pergelanganku dan mulai meledek.

"Give it back," ujarku geram. Dia tidak berubah sejak aku mengenalnya. Sangat usil dan mengganggu. Bahkan dengan nama Evan, dia benar-benar memperlakukanku sebagai teman prianya. Bahan candaan anak ini sudah sangat mengganggu hari-hariku.

Lucy-jangan berharap aku memanggilnya Luc- mengangkat tinggi-tinggi corsage-ku. Dia hendak melemparnya, dan aku yakin dia benar-benar akan melakukannya.

And he did it.

"Memakai gelang seperti itu tidak akan membuatmu cantik. It's useless, even your dress is awful,"

Aku hanya tersenyum sengit dan berkata, "Thanks," yang tidak bermakna. Buat apa aku berterima kasih untuk omong kosongnya?

Seketika, aku teringat semua keusilan Lucy. Dia selalu duduk di dekatku dan tidak pernah bosan mengganggu waktu tenangku. Dia tidak pernah berubah, sifat kekanakannya itu. Lucy is still Lucy.

Aku mencari-cari corsage yang dia lempar. Diantara kerumunan orang lalu lalang, corsage-ku tersembunyi di balik kaki-kaki yang sibuk. Bahkan aku ikut menjadi sibuk menyapa teman-teman lamaku sebentar dan mencari ke lantai lagi. Aku heran mengapa mencari corsage sesulit mencari peniti yang sangat kecil dan transparan.

Di dekat salah satu meja, aku melihat sesuatu yang mirip dengan corsage-ku. Saat berhasil menemukannya, tidak jauh dari letak corsage itu, aku melihat sosok yang mirip sekali dengan Ian. Aku melihatnya dan dia melihatku sambil menenggak segelas mocktail. Karena bertukar pandang, dia tersenyum kepadaku. Aku menjadi gugup, salah tingkah. Aku mengambil corsage sambil menunduk. Lalu aku menatap Ian lagi dan menyapanya hanya dengan lambaian tangan.

Ya, aku melambaikan tangan kepada Ian.

Ian menghampiriku. Dia tersenyum, masih seperti kebiasaannya dahulu, dan berdiri di depanku selagi aku memasang corsage di lengan.

"Hi,"

"Hi," sebuah salam yang canggung.

"How are you?" Dia memulai.

"Fine. You?"

"I'm fine, too," jawabnya, entah karena bawaanku yang canggung, pembicaraan ini sangat tidak natural. Apalagi aku gagal memberikan kesan tenang dan elegan gara-gara rusuh mencari corsage.

Thanks, God. This is really a good moment. And yes, it's a sarcasm.

"Hey, Ian," suara Lucy yang perlahan mendekat membuat wajahku sulit tersenyum. Bagus sekali, kini dia merusak semua skema yang sudah kupersiapkan saat bertemu Ian.

"Luc? Doin' good, man?" Ian nampak begitu senang melihat Lucy. Perbedaan kontras saat melihatku dengan Lucy semakin membuat wajahku menekuk.

Dan Lucy terus menghancurkan peluangku berbicara dengan Ian. Kedua pria ini terus membicarakan hal-hal yang bahkan tidak bisa membuatku terlibat di dalamnya.

"Eva?" Dia pura-pura tidak menyadari keberadaanku dari tadi. "Ian, what do you think about her outfit tonight?" Dia sedang memancing amarahku, ya?

Kini Ian memperhatikanku dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi. Wajahnya mengungkapkan kalau dia berusaha keras mencari kata yang tepat, "Hmm..."

"It's terrible, right?" Lucy menyela. Dia lalu menyandarkan tangannya di bahuku. Aku menangkis tangannya yang sembarangan menempel.

"Dan lihat ini, corsage seperti ini, so old-fashioned, right?" Lucy semakin menambah-nambah perkara meski Ian masih diam saja.

Bahkan dengan diamnya, Ian seperti setuju dengan ucapan Lucy.

"She looks fine actually," akhirnya Ian berbicara. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Bahkan 'fine' saja sudah cukup. Tak perlu kata lain lagi. Aku sangat puas dengan diriku sendiri.

"You look pretty tonight," tambahnya lagi sambil menatapku. Oh Tuhan, tubuhku perlahan kaku. Aku yakin tanganku menjadi gemetar kali ini.

Namun tangan Lucy yang awalnya hanya bersandar dan menjadi sebuah rangkulan mengganggu kebahagiaanku. "Seriously? You're trembling over that flattery?" apalagi kata-katanya semakin membuatku salah tingkah.

"It's freezing here," aku meninggalkan Lucy dan Ian. Memalukan sekali. Rasanya aku ingin membakar diriku dan menghilang sebagai abu. Aku tidak ingat apa salahku terhadapnya sampai dia begitu mem-bully-ku setelah sekian lama tidak bertemu.

I don't even remember if we were so close back then...

Aku menghampiri Delilah. Topik pertama yang diangkatnya malah membuatku geram.

"Have you seen Luc? Wow, he's still hot like he used to be,"

Dia lagi, dia lagi. Tetapi aku tidak bisa meminta Delilah untuk beralih topik. Dia sedang bernostalgia mengingat masa-masa ketertarikannya dengan Luc dahulu. Meski berkali-kali pacaran dan kini dia ingin fokus dengan profesinya sebagai dokter, nama Luc selalu dibicarakan setiap kali ada berita baru.

"I heard he's dating Tiffany, but I didn't see her around Luc," mata Delilah masih menangkap posisi Luc dan aku enggan ikut memperhatikan pria itu. "Don't you know? Tiffany? That model?"

Aku mungkin buta fashion, tetapi aku kenal Tiffany yang seangkatan dengan kami. Kini dia sudah menjadi model terkenal dan dikontrak oleh sebuah brand secara eksklusif. Beritanya tentu saja sudah sangat menyebar di grup alumni sekolah.

"Not my business," aku tidak tertarik membahas Luc, sejak dulu dan terutama malam ini.

"Aku juga memiliki postur bak model, tetapi mengapa Luc tidak pernah melirikku, ya?"

Aku memperhatikan Delilah. "Del, ada yang ingin kutanyakan," ucapku. "I remember Lucy bullied me, but is it normal if he still does that to me now?"

"You met him?" uh, pertanyaanku berbalas pertanyaan lagi darinya.

"Yes,"

"You talk to him?" Delilah sepertinya tidak fokus dengan pertanyaanku.

"Literally, yes,"

"How does he sound? Sexy or manly?"

"Seriously, Del? Focus on me now," ucapku. "He treated me badly and I almost died of embarassment,"

"How bad?"

"He threw away my corsage and run around saying that I look terrible tonight," aku tidak mungkin menceritakan peristiwa saat bersama Ian tentu saja.

"Really? That's so immature," aku sedikit lega mendengar respon Delilah. "Mengapa dia masih mem-bully-mu bahkan setelah lama tidak bertemu?"

"I don't know," kalau aku tahu, tidak mungkin aku membahas hal ini bersama Delilah. "We were not so close too, right?"

"But that corsage is indeed quite an eye-sore. Your taste is like a grandma,"

Mereka tidak tahu. Selama ini aku selalu menyimpan corsage ini. Aku mengingat Ian menginginkan wanita idealnya mengenakan corsage yang menurutnya sangat manis saat dipakai. Dan ya, pemilihan warna biru ini juga berdasarkan favoritnya. Mungkin Ian sendiri sudah lupa dengan ucapannya, tetapi aku ingin membuatnya teringat kembali, atau mengembalikan seleranya dahulu.

Acara sudah hendak dimulai. Aku dan seluruh alumni sekolah duduk berjajar di sebuah kursi panjang dengan dekorasi penuh bunga lily. Aku sudah melihat Ian dari kejauhan. Setelah dia duduk, aku langsung bersiap memilih duduk yang di dekatnya. Namun, tiba-tiba saja gerombolan teman prianya mengelilingi Ian.

"Eva!!!" Lucy memanggilku dan menyuruhku duduk di sebelahnya.

Tempat itu tidak terlalu buruk sebenarnya. Ian berada di seberang Lucy, namun satu-satunya masalah hanya... aku harus bersebelahan dengan Lucy. Untuk sebuah pernikahan dengan banquet seperti ini, artinya aku bisa menikmati 2 jam lebih pemandangan Ian di depanku secara cukup dekat namun harus sangat tahan dengan kemungkinan terburuk yang bisa Lucy lakukan.

Lagipula sisa kursi yang tersisa benar-benar tidak mengenakkan. Aku duduk di sebelah Lucy dengan enggan. Senyumannya seperti mengantarku menuju pintu masuk neraka.

Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dan beberapa speech dari kedua pihak. Banyak tawa dan haru bahkan tepuk tangan setiap kali seseorang turun menyelesaikan speech-nya. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di panggung sana karena pandanganku tidak berhenti melirik Ian diam-diam.

"Can you make it not too obvious for everyone?" Lucy tiba-tiba berbicara. Suaranya terdengar jelas meski suasana sangat riuh.

Aku menolehnya. Dia sedang menikmati beberapa snack sambil menenggak segelas orange juice. Aku ragu dengan apa yang kudengar barusan. Lucy nampak tidak sedang berbicara denganku walaupun dia juga tidak memperhatikan acaranya.

"Stop it, you're about to reveal everything, I said," kali ini Lucy berbicara lagi.

Aku langsung menolehnya. Dia masih sibuk memakan snack di depannya.

"You heard me," ucapnya sambil mengunyah beberapa buah kali ini.

"Apa maksudmu?" Tanyaku.

Dia tertawa namun tampak meremehkan. "Bahkan Ian akan terganggu dengan pandanganmu itu, tahu,"

Aku terkejut. Apakah artinya Lucy tahu mengenai perasaanku kepada Ian?

"Ww... w... what do you know?" Aku terbata-bata.

"Ugh, stop it," dia kelihatan mual melihatku. "Kalau kau terus mencuri pandang seperti itu, kau hanya akan memalukan dirimu sendiri," dia memergokiku. Jujur saja, bagaimana aku tidak menghabiskan seluruh detikku untuk menatap Ian di kesempatan emas yang tidak akan datang kedua kalinya? Wajahnya tidak pernah membosankan untuk dipandang lagipula.

"Peduli apa kau," jawabku acuh. "Semua orang terlalu fokus memperhatikan acaranya," bahkan Ian sendiri tidak pernah sekalipun melirik ke arahku.

Kini aku membuatnya lebih terang-terangan. Beruntung sekali pandanganku searah dengan lokasi panggung setiap kali aku menatap Ian. Kini aku memangku kepalaku di kedua tangan dan memuaskan hasrat menatapi pria itu tanpa malu-malu.

Tiba-tiba, Lucy melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan. Dia bahkan memangku kepalanya di tangan kiri ke arahku yang bertolak belakang dengan arah panggung. Dia jelas menantangku.

"Okay, you win," aku berhenti menatap Ian.

Namun Lucy tak sekalipun berhenti menatapku. Dia membuat kondisi sangat memalukan. I know he tried to make an attention, but this is so unacceptable.

"Stop it, okay? I won't do it again," aku memaksa tangannya untuk turun dan berhenti memangku kepalanya itu. Namun dia bersikeras untuk tetap melakukannya.

"You make it embarassing for both of us," beberapa orang sepertinya memperhatikan kami. Jelas saja, dengan kepalanya yang menengokku, Lucy terlalu kelihatan mengabaikan acaranya.

"Why?"

"Why what?"

"I'm wondering why," apa yang pria ini bicarakan sebenarnya?

Tatapan Lucy yang sangat intens membuatku gugup dan selalu menghindari kontak mata dengannya. Dia tidak sekalipun melepas pandangannya yang membuatku semakin salah tingkah.

"What are you talking about?" Kini suaraku mulai berbisik. Suasana sedikit sunyi dan khidmat. Seseorang sedang membuat setiap orang menjadi serius dan fokus rupanya. Kini aku mulai merasa hanya kami berdua yang tidak benar-benar memperhatikan acara pernikahan yang sangat indah ini.

 "Why do you think he is your first love?"

Aku lebih bertanya-tanya mengapa dia tahu Ian adalah cinta pertamaku. Lalu mengapa dia juga begitu penasaran dengan hal itu?

"Because he is,"

"No, you're wrong," jawabnya cepat seolah sangat yakin sekali.

"How do you know he's my first love? Why do you even care?" akhirnya aku tidak sabar menanyainya.

"He's not," dari sekian pertanyaan itu, dia tidak memuaskanku.

"Then, who?"

Matanya menatapku sambil berdiam. Sesuatu membuat bulu kudukku berdiri tiba-tiba. Dia tidak mencoba memberi tahu kalau cinta pertamaku adalah dia, kan?

Tetapi mata itu nampak serius.

"You?"

Lucy tidak mengelak. Reaksiku benar-benar rumit. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku menanggapi pria ini. Baru pertama kali aku berhadapan dengan pria yang mengklaim dirinya sebagai cinta pertama seseorang.

"It is about MY first love, right?" Mungkin aku salah dengar. Mungkin Lucy tidak sedang membicarakanku.

Dia mengangguk masih dengan kepala yang bersandar dan membelakangi panggung.

"How come you know it better than me?"

"You tell me," pria ini sudah kehilangan urat malunya atau bagaimana?

"Have you skipped your pills today?" Kalau dipikir-pikir, masuk akal sekali pria ini sudah gila akut mengingat kelakuannya sejak kami bertemu.

"I'm not crazy,"

"Yes you are," jawabku. "I'm the one who fall in love but you're the who claimed to be loved,"

"That's the fact," tatapannya selalu serius, kalau memang ini adalah salah satu upayanya untuk mengejekku, berarti dia memiliki bakat akting yang luar biasa.

"Sampai kapan aku harus menunggumu lagi?"

Aku tertegun. Seketika, tangannya menyentuh tanganku yang berada di atas meja. Rasanya seperti sengatan listrik yang membuatku langsung menarik diri. Sentuhannya terasa berbeda dibandingkan sebelumnya.

"I think I need to go to toilet," aku bangkit dan berjalan pergi.

Aku tidak tahan untuk meninggalkan Lucy. Semua yang dilakukannya terlalu tidak masuk akal. Siapa yang menunggu siapa? Siapa yang menjadi cinta pertama siapa?

Di depan wastafel, aku merenungkan banyak hal. Sesuatu seperti menghilang dari ingatanku. Lucy sangat yakin dengan pernyataannya. Apakah selama ini aku melupakan sesuatu?

Setelah mencuci muka dan merapikan penampilanku, Delilah masuk ke dalam toilet. Dia melihatku.

"Where do you sit?" Tanyanya.

"Ah... Speaking of that, where were you?"

"I was looking for you everywhere," nadanya seperti kesal.

"I also-,"

"Why did you sit next to Luc?" Aku terkejut saat Delilah menyela ucapanku. Dia juga bertolak pinggang dan meninggikan nada bicaranya.

"Ah.. I can explain," jawabku.

"No need," kini aku yakin kalau dia sedang kesal denganku. "The thing is, why were you two holding hands?"

Aku bertanya-tanya dimana Delilah duduk sampai bisa memperhatikan kami. Terutama, dia melihat kami pada situasi yang tidak tepat. Aku berani bersumpah hal tersebut hanya berselang kurang dari 5 detik. 4 detik untuk memahami apa yang terjadi dan kurang dari sedetik adalah waktu yang kugunakan untuk menarik tanganku sendiri.

"He held me," aku menganulirnya.

"Whatever," aku merasa dia tidak membutuhkan penjelasan sama sekali. Meski aku memberitahukannya berkali-kali, telinganya sudah tertutup oleh amarah.

Tetapi atas dasar apa dia kesal denganku?

Ah, rasanya bagai batu menghantam kepala. Kini aku mulai mengingat beberapa potongan memori yang sempat terlupakan.

He's right. Lucy was right.

"Del, nothing really happened between us, I can assure you," ucapku mencoba menenangkannya.

How can I ever forget this?

Delilah masih tidak percaya denganku. Tumpangan pulang terancam menghilang.

"Please, just get back to your seat now, I need to do my business here," aku bergerak menuju salah satu bilik toilet.

"You know what I hate the most, I hope you won't be one of them,"

Delilah sangat membenci orang yang suka membohonginya. Pengalaman memberikannya banyak teman yang memakan temannya sendiri. Dan satu hal, she is surely a jealousy type.

Aku menutup seat cover dan duduk di atasnya.

Aku mengingat banyak hal. Bahkan berkat Delilah, aku kembali mengenal bagaimana diriku sebelumnya.

Aku dan Lucy lebih berkenalan lebih dahulu bahkan sebelum Delilah datang. Lucy awalnya adalah anak yang lucu dan menyenangkan, bahkan aku mengingat bagaimana senyuman polosnya saat memanggilku bermain. We were like siblings, before I finally realized my feelings for him.

Aku melihat dari masa lalu bagaimana aku menatapnya dan perasaan malu itu menyerang. I look like a disney princess when looking at her own prince charming. It's disgusting. My "present" me suddenly wanted to puke seeing that "little" me. Aku seperti ingin berkata kepada gadis kecil itu untuk berhenti menatapnya secara terang-terangan mempermalukan dirinya sendiri.

But that little girl seemed so happy beside him. Aku mencoba mengingat rasanya berada di kebahagiaan itu. Dan yang paling menyenangkan adalah ketika Lucy merasa tidak terganggu dengan keberadaanku. Tidak peduli bagaimana perasaannya, gadis kecil itu terus mengekor.

Then, Delilah came and claimed that she liked Lucy, too. Pernyataannya membuatku berpikir, mungkin Delilah merasa curiga denganku. Akhirnya aku memilih untuk menyerah, memprioritaskan temanku lebih dahulu. Dengan memberi jarak perlahan demi perlahan, aku membuat Delilah yakin bahwa aku bukan salah satu yang patut dicurigai. Delilah kini menjadi... Delilah.

Lucy menyadari bahwa aku menjaga jarak dengannya. Namun aku tidak tahu apakah dia mengetahui alasanku. Dia tahu tatapanku berubah, dan dia tidak menyukainya. Setelah itu, Lucy juga memperlakukanku berbeda. Semua kebaikannya berubah bullying. Dia lebih senang mengolok-olok dan menjadikanku bahan tertawaan. Keusilannya kini membuatnya menjadi Lucy yang selama ini kuingat.

Sedangkan aku, yang harus berpura-pura di depan temanku sendiri, berusaha keras untuk menghapus perasaan itu agar tidak lagi harus bermuka dua di depan Delilah. Selama proses melupakan, aku menghapus Lucy dipikiranku dan memilih Ian sebagai penggantinya. Proses menghipnotis diri itu rupanya berhasil.

Tetapi kini, kotak pandora yang sudah tertutup sangat rapat itu sekarang terbuka. Dengan mengingat kembali semuanya, aku tidak bisa menatap Delilah seperti tidak ada apa-apa. Dan aku membenci diriku yang melihat Lucy secara berbeda lagi.

Aku kembali ke kursiku. Sebelum duduk, aku mencari lokasi Delilah. Dia rupanya berada cukup dekat denganku namun posisinya berada di belakangku sehingga aku tidak menyadarinya.

"Stop looking at me," ucapku masih takut Delilah melihat gelagat aneh dari kami.

Lucy menolak dan masih duduk menghadapku.

"Duduk menghadap panggung atau aku tidak akan berbicara lagi denganmu," ancamku. Beruntung saja dia menurutiku.

"Let's say that you're actually my first love, why does it matter to you?" Kami berdua menghadap panggung walau tidak pernah sekalipun fokus dengan acaranya.

"Because you are, to me,"

That may be possible, but I never saw that coming.

"So what if I was your first love?"

Lucy menengokku lagi. "Because I hate to realize that I am the only one who suffered for the whole years. I want you to feel what I've been through after all this time. And I hate to see you looking at Ian as if you really like him but it's not and you're fooling yourself,"

"Do you still..." bagaimana aku mengatakannya?

"Love you? Can't you see it?"

Dari sorot matanya, dia jelas sedang kesal. Namun diluar dari itu, entah memang aku yang tidak bisa peka, tetapi aku tidak bisa menemukan jawabannya.

"But I heard you dating Tiffany," aku berusaha tenang. Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku? Aku tidak akan menjadi wanita murahan begitu saja. Apalagi dari yang diucapkan pria ini, aku tidak yakin apakah ini salah satu dari prank-nya.

"So you heard it? Does it make you jealous? Does your heart flutter with rage while hearing that?"

Aku hanya diam.

"I must admit that I date her for weeks, but... she's not the one," ucapnya.

What's "the one" that he means?

"We're on a break these days and I don't even miss her," bahkan dia nampak bosan untuk menjelaskannya kepadaku. "You probably heard about my dating history and ended up swearing that I'm such a jerk, right?"

Aku mengingat pernah ikut mengatainya seperti itu kepada Delilah, hanya karena Delilah yang memulainya.

"I tried to find someone that could fill in your place, but it's useless," dia menatapku lagi. "So I mustered up my courage that's left in me to come here, hoping that we will meet again,"

"And here you are, with your gaze is locked to Ian," aku bisa melihat matanya yang geram.

Should I say sorry?

"I see, you still don't believe me?" Tanyanya.

"Even if I believe you, I can't let anything happened between us,"

"I know. It's because Delilah, right? It's always because of her,"

"She's my dear friend, I can't even hurt her like this," aku berdiri untuk pergi. Mungkin di barisan paling belakang masih ada kursi yang tersisa untukku.

But Lucy has made a scene.

Dia ikut berdiri dan menarik tanganku. Dari sekian banyak yang datang dan sedang duduk, hanya kami berdua yang berdiri. Bukankah hari ini adalah hari yang indah untuk menenggelamkan diri?

Takut semakin lama membuat semua tamu terganggu, dengan sekuat tenaga aku melepaskan diriku dari cengkeramannya. Aku tidak tahu bahkan Lucy mengikutiku. Dia menarikku keluar venue. Meski suasanya lebih hening, namun hanya ada aku dan Lucy disana. It's better this way.

"Don't you know what have you done??" Amarahku sudah memuncak hingga hanya teriakan yang keluar dari suaraku. "That's great. Now everyone will talk about us,"

"Why do you even care?" Tanyanya, tidak mengerti sama sekali.

"I told you, I can't do this, Lucy,"

"Don't you know how much I missed being called Lucy like you used to do?" Kami hanya meneriaki satu sama lain, semua emosi ini mengalir bersama amarah rasanya. "Don't you know how much I was hurt seeing you smiled at Ian like that?"

"What's wrong with smiling at someone I like?"

"I told you, you don't really like him!" Dia melampiaskan amarahnya hingga suaranya seperti harimau mengaum. Bahkan aku hanya bisa diam karena terkejut dan menahan napas. Semua pikiran-pikiran itu juga menghilang seketika.

Melihat Lucy akhirnya sadar kalau dia mungkin sedikit berlebihan, aku akhirnya bernapas lega. Aku paham kondisinya sekarang. Dia tidak main-main. Seseorang tidak bisa berakting total seperti yang dia lakukan ini.

"I admit that I forgot. I also admit that you're actually my first love. But I can't agree with you that I don't really like Ian, because I do,"

Aku tahu nama Ian yang keluar dari mulutku membuat amarahnya naik kembali, sehingga aku cepat-cepat menjelaskan kepadanya.

"Me liking Ian may sounds wrong to you, but from time to time, I'm getting used to that lie. Even if Ian won't feel the same, I will continue to like him,"

Airmataku mengalir tiba-tiba. Ah... mengapa aku menangis? Apakah aku bersimpati kepadanya? Apa karena aku merasa akan menyesali perbuatanku ini?

"You are indeed the one I like first, but I must say thay Ian is the one that I was longing from a long time, and I can't even hide that,"

Lucy hanya diam. Dia melihatku dan aku menundukkan kepala. Airmataku yang terus mengalir membuatku malu dan tidak sanggup menatapnya.

Perlahan, dia mulai menarik dirinya hingga sedikit menjauh dariku.

"If that will make you happy," tangannya yang mengepal kini mulai renggang. "I'm sorry for... everything," suaranya kini tidak sekeras sebelumnya. "Stop crying, I'm letting you go now,"

Aku menyeka airmata di pipiku dan menatapnya.

"The only thing I want from you is only a smile on your face. I hope you're happy from now on, Eva,"

Dia berjalan semakin menjauh. "Where are you going?" tanyaku.

"Away from you. I'm not a worthy man, I only let tears fall from you anyway,"

Aku tidak menghentikannya, tidak juga menahannya. Aku memperhatikan pria itu untuk terakhir kali. Meski berkali-kali aku ingin mengucapkannya, mulut ini tertahan.

Thank you, Lucy. Thank you for being my first love. I still thanked you for remind me that. 
I have let you go from long ago, and I hope you will too.
Let's meet after we're both happy in our own,
Yeah, let's meet,
Again...

Warmest hug,

Eva.