Monday, 11 January 2016

[One Shot] Stockholm Syndrome

“Lakukan apa yang kau mau, karena aku tidak pernah peduli,”

Anak gadis itu merengut ketika aku berkata kepadanya. Ia tidak bisa menerima kenyataannya. Raut wajahnya masih lengkap tergores sempurna dalam hatiku. Ia menahan rasa sakit hatinya.

“Kalau aku akan bunuh diri, apa kau juga tidak peduli ?” suaranya tak gentar.

Aku membalikkan badan, menghadapnya, melihat apakah ia benar-benar serius atau tidak. Ini sudah terjadi untuk ke sekian kalinya, cara tersebut memang paling ampuh untuk menekanku, dan untuk kali ini, aku tidak mau lagi.

“Kau masih hidup atau tidak, memang bukan urusanku,” jawabku, kembali meninggalkannya.

“Nike ! Nike !!” Chloe memanggilku dan berteriak, “ Aku akan bunuh diri !” ancamnya.

“Lakukan saja !” jawabku, menggertaknya. Coba saja, mana mungkin ia yang sepengecut itu berani menghabiskan hidupnya.

“Aku benar-benar akan bunuh diri !!” ia berteriak lagi.

“Terserah !” suaraku menyingkap ketidakpedulian yang begitu besar.


*****      

Selama 3 tahun berhubungan dengan Chloe, apa yang kurasakan ? Dengan anak manja yang posesif begitu, aku tidak pernah menikmati sekalipun.

Ia lebih muda 3 Tahun dariku, tetapi kelakuannya dan egoisme-nya seperti anak berusia 5 tahun. Aku tidak mencintainya dan tidak pernah mengharapkannya.

Aku bertemu dengannya di sebuah perpustakaan. Ia tertarik kepadaku waktu aku sedang membaca “ The Sparkling Paris”, sebuah koleksi foto night view di kota Paris. Ia menyukai Paris dan seorang mahasiswi jurusan pariwisata.

Kuakui, pilihanku membaca di perpustakaan dan memilih buku itu adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupku. Kalaupun aku tahu akan begini, aku akan memilih hal lain, asalkan tidak bertemu dengannya.

Ia sangat cerewet pada saat itu, kesan pertamaku. Perkenalan pertama kami dimulai dengan curhatannya tentang hidupnya, seakan ia membacakanku sebuah autobiografi dirinya, astaga, beruntung kesabaranku cukup besar untuk tetap mendengarkannya berbicara hal-hal tak penting itu.

Ia menyatakan cinta kepadaku setelah kali ketiga kami bertemu. Ia memohon kepadaku penuh rasa iba, memberitahu bahwa kalau aku menolak, ia akan malu di depan teman-temannya karena tidak mempunyai pacar. Akupun setuju, dengan terpaksa. Setelah itu, siksaan lahir dan batin dimulai.

Keposesifannya sangat berlebihan hingga membuatku gatal. Ia akan sangat mengganggu setiap menit, setiap detik, dan berlanjut terus. Seperti memelihara piaraan yang membutuhkan perhatian ekstra 24 jam dalam sehari.

Handphone-ku terpaksa memakai accessories yang sepasang dengannya, meskipun itu berarti warnanya pink. Home screen-nya harus fotonya, dan contact dirinya harus berbeda ringtone sendiri. Setiap pesan masuk diinterogasi olehnya. Lebih baik aku ditawan di penjara daripada harus ditawan olehnya.

Ini pengalaman yang paling terburuk diantara semua hal yang kulalui.

Seperti yang sudah kubilang, anak itu memang sudah sering mengancamku dengan tindakan nekatnya untuk bunuh diri. Dan jelas sekali bahwa kali pertama adalah yang paling kutakuti.

Aku belum pernah sekalipun menghadapi gadis nekat sepertinya. Setahuku, hanya seorang psikopat yang berani seperti itu, dan aku dilanda ketakutan yang terlalu.

Waktu itu, satu hal yang membuatnya cemburu hingga berani mengancamku hanyalah sebuah masalah sepele. Yaitu ketika seorang teman perempuanku, rekan kerjaku di perusahaan tempatku magangaku baru saja diterima kerja sekitar 3 bulan disana sedang berdiskusi masalah presentasi esok hari disebuah kafe. Kupikir ini cukup normal, dan aku memang tidak pernah tertarik dengan Elena.

Tetapi saat itu, Chloe datang entah darimana, mendatangi mejaku, lalu berteriak dan membuat kami malu. Ia menangis, dan malah meneriakiku selingkuh, sesuatu yang sangat memalukan sekali, karena kami sudah menjadi tontonan umum saat itu.

Aku membiarkannya seperti tidak kenal, karena akan semakin memalukan lagi kalau aku mengaku anak ini adalah pacarku. Dan mungkin disanalah puncak amarahnya. Aku berhasil mengeluarkan diri dari sorotan publik yang semangat menikmati tontonan gratis, dan meminta Elena untuk pulang lebih awal. Sampai akhirnya kami hanya berdua, aku dan Chloe, dan sebuah pengalaman itu.

“Dia Elena, hanya rekan kerjaku yang sedang membahas masalah presentasi kami besok, Chloe !”

Ia tetap tidak mau mendengar. Astaga, rasanya sangat mengesalkan untuk membuat orang lain percaya kepada kebenaran sedangkan telinganya sudah tertutup oleh pandangannya sendiri.

Sampai aku sudah lelah menjelaskan kepadanya, dan…

“Aku lelah bersamamu, kau tidak pernah mau mengerti, Chloe, kupikir sampai disini saja hubungan kita,” seruku.

Dan ia langsung berteriak, menutup telinganya. Dan aku tidak peduli. Seakan pintu kebebasan sudah terbuka sedikit dihadapanku, aku melangkah pergi meninggalkan Chloe. Tetapi ia malah berkata,

“Nike ! Kalau kau meninggalkanku, kalau kau memutuskanku, aku akan bunuh diri sekarang juga !”

Aku tidak percaya hal itu. Siapapun, disaat terdesak seperti ini pasti akan mengancam seperti itu. Dan aku tidak berniat untuk berbalik, karena pintu kebebasan itu semakin terbuka untukku.

Tetapi sesuatu memaksaku untuk berbalik. Chloe rupanya sudah berada di loteng gedung tua berlantai 4, ia sepertinya berlari hingga menuju puncaknya, berdiri di pinggiran dengan menangis.

Aku langsung berlari mengikutinya, karena aku tidak mau dilibatkan masalah kematiannya nanti.

Ia benar-benar berniat melakukannya, benakku. 

Dan terbesit bayang-bayang ketakutan saat ia meninggal karena aku. Oh tidak, itu benar-benar memalukan !

Kutarik ia ke tempat yang lebih aman, sebelum ia semakin nekat untuk melompat, dan itu semua berhasil karena aku telah menyepakati sebuah perjanjian.

Aku tidak akan memutuskan hubungan dengannya, dan aku tidak akan menyakitinya, lagi…

Setidaknya aku lebih baik mengiyakan saja semua permintaannya, pikirku saat itu. Tetapi ternyata semua ini berakibat fatal. Ia tahu kelemahanku, dan itu benar-benar kacau, segalanya seperti semakin sulit untuk membuka pintu kebebasan itu lagi. Oh…duniaku memang mulai kacau sejak bertemu dengannya.

Ia mengekangku. Sekali aku melakukan sedikit hal mencurigakan, ia selalu mengancam hal yang sama. Dan untuk kali ini, aku tidak mau lagi diperdaya olehnya.

Hingga saatnya tiba, aku tahu penyesalan itu memang dan akan selalu berada di akhir waktu…

*****

Terakhir kali aku bertemu dengan anak cerewet itu memang sejak pertengkaran kami, ketika ia mengancamku lagi seperti biasa. Dan terakhir itu pula ketika pertama kalinya aku benar-benar mengabaikan ancamannya.

Suaranya tidak terdengar lagi, bahkan selama seminggu penuh, dan entah mengapa aku merasa sedikit resah. Aku yakin sesuatu terjadi, dan kenyataannya sesuatu memang telah terjadi kepadanya.

Aku menemukan dirinyatak bernyawa; menggantung; dan pucat di apartemennya. Tubuhku ikut kaku, sama kakunya oleh sebuah mayat dihadapanku. Chloe benar-benar melakukannya, dan ia sungguh-sungguh.

Ia bunuh diri,

Dan aku baru ingat, sesaat setelah aku menyerahkan semua itu ke pihak berwenangsekaligus menyingkap bahwa aku bukan pembunuh, bukan secara langsung ada sebuah handphone milikku yang berada di apartemennya. Aku menemukannya dan langsung membuka isinya. Ada banyak sekali voice mail dari satu nomor, dan itu memang nomor Chloe.

Beberapa minggu belakangan ini aku memang sengaja menyembunyikan nomor telepon baruku darinya. Aku ingin menyendiri, cukup dengan menjauhkan dirinya dariku.

Kudengarkan setiap pesan tersebut dengan seksama,

“Halo, Nike, aku tahu handphone-mu berada disini, tetapi aku sangat-sangat-sangat ingin sekali berbicara denganmu, meskipun kau tidak akan membalasnya, hei, kau tahu tidak ? Aku sedang merangkaikan kerajinan bunga plastik untukmu lho ! Aku tahu kau suka warna biru, dan aku suka bunga bougenvile, jadi aku membuat bougenvile biru ! Tunggu aku menyelesaikannya, baru aku akan memberikannya langsung kepadamu ya ! Dadaah~”

Aku melirik sebuah vas bunga. Baru ada beberapa bunga yang baru jadi, dan dibawah vas tersebut ada beberapa perlengkapan kerajinannya, beserta rangkaian bunga yang gagal. Aku sedikit tersenyum membayangkan anak itu dengan gigihnya mengerjakan hal-hal seperti itu.

“Halo, Nike ! Aku semakin bodoh ya menelepon seperti ini ? Sebenarnya aku tahu kau sengaja menghindariku, kupikir itu memang pantas, aku baru menyadari mungkin kelakuanku terlalu mengekangmu itu salah. Tetapi seharusnya kau mengatakannya, maka aku akan menjelaskannya juga. Nike, kalau kau menganggap itu keterlaluan, maafkan aku. Tetapi…aku sangat mencintaimu sampai-sampai aku tidak mau ada wanita lain yang berani mengambilmu dariku. Aku masih ingat alasanku untuk berpacaran denganmu, itu konyol, karena aku benar-benar tidak bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.”

Bunyi beep yang mengakhiri suaranya hampir ingin membuatku membanting telepon tersebut. Astaga, aku tiba-tiba terbawa emosi, aku mengharapkan anak itu bangun kembali, memelukku, menangispun tak apa, atau bermanja-manja lagi, tidak masalah bagiku.

“Saudara Nike, bisa bicara sebentar ?” seorang detektif yang sejak tadi mondar-mandir kini memanggilku, dan menyerahkan beberapa benda.

Aku melirik benda-benda tersebut sambil merinding. Tanpa diragukan lagi, itu semua adalah milik Chloe, tanpa sepengetahuanku.

Ia menyimpan sebuah kotak besar berisi ratusanatau mungkin ribuan foto-foto yang memuat diriku dalam setiap hal. Dan bahkanastaga! ia memotret secara diam-diam diriku sejak awal kuliah. Tanpa diragukan lagi, detektif itu menyampaikan sebuah kesimpulan.

“Ia adalah seorang psikopat,” sahut Detektif Lincoln dengan tegas.

Detektif tersebut juga menyerahkan beberapa pakaian pria yang kukenali adalah milikku yang sejak lama menghilang saat aku menjemurnya. Dan ada beberapa poster besar diriku yang sudah berbentuk acak-acakan dan tersobek.

Now you'll care...

Aku terkejut saat detektif memberikan sebuah surat yang menurutnya merupakan pesan dari Chole.

Beberapa hal yang kuingat saat itu adalah ketika detektif sudah menutup kasus ini murni sebuah bunuh diri dan aku terbebas dari segala tuduhan karena mereka menganggapku sebagai korban yang diganggu kehidupannya.

*****

Ini bukan pemikiran yang biasanya dihadapi oleh para “korban” sepertiku. Tetapi perlahan aku merasa pemikiran ini membuatku hampir depresi.

Chloe adalah seorang psikopat, aku tahu. Ia mencintaiku, aku juga tahu itu. Dan aku juga mengerti bahwa ia terlalu mencintaiku bahkan hingga kata “terlalu” itu tidak bisa mengartikannya.

Kenyataan itu lantas membuatku menjadi seorang korban dari penyakit jiwanya. Selama ini, penderitaanku dalam menghadapi gadis gila itu, akhirnya berakhir.

Tetapi intinya, aku perlahan menyadari bahwa Chloe mencintaiku, itu adalah masalahnya. 

Merasa dicintai itu membuatku menjadi sangat…nyaman. Dan aku mudah terenyuh oleh perasaan, kini aku mulai merasa hampa. Biasanya ia selalu bawel mengingatiku agar disiplin melakukan hal sepele. Biasanya dia sangat telaten ikut campur dalam kegiatan sehari-hariku.

Aku tidak peduli kalau ia seorang psikopat sekalipun, tetapi karena dasar dari semua yang ia lakukan itu hanyalah karena ia mencintaiku, aku selalu mengerti bahwa itu semua adalah wajar-wajar saja.

Sebelumnya aku selalu merasa bahwa ketidak-adaannya membuatku mendapatkan kembali kebebasanku. Tetapi nyatanya, keberadaannya membekas di hidupku. Aku merasa sangat dan sangat kosong sekarang. Alih-alih depresi, aku merasa apa yang terjadi pada Chloe adalah salahku. Aku yang seharusnya meninggal.

Dan astaga, pemikiranku menjadi berkembang tidak karuan. Berbahaya…

Chloe meninggalkan bekas yang sangat besar dalam setiap hariku. Biasanya ia yang rajin pagi-pagi datang untuk membangunkanku dan menyiapkan sarapan, kini aku harus terantuk-antuk bangun dengan hanya menyeduh secangkir kopi dan roti yang kusimpan beberapa hari. Ia juga tak lupa membawakanku bekal untuk nanti siang, meskipun rasanya agak konyol, seperti seorang istri saja.

Ya, seandainya aku mengerti bahwa selama ini ia selalu memakai hatinya untukku, dan seandainya ia mengatakannya kepadaku terus terang. Aku mungkin bisa mulai belajar mencintainya. Rasanya beban bahwa selama ini aku terus dicintai, tetapi aku malah mengeluh dan ingin lepas darinya. Bukankah aku manusia paling menjijikkan di dunia ?

Yes, Chloe, now I care...

-end-