Pria itu menatapku setelah aku berdiri di depan pintu. Aku melepas seluruh beban di pundak dan menghampirinya. Matanya mengamati seluruh penampilanku. Aku tidak pernah tampil terlalu buruk. Dia saja yang tidak mau mengakuinya.
Tangannya menyentuh pinggangku, melingkari dan memegang erat. Kepalanya bersandar ke bahu beserta seluruh pikirannya.
This is love, this is love. Seperti mantra, aku terus berbicara dalam hati. Aku selalu menerima di setiap masa sunyinya. Dia mendatangiku di kala sepinya. Dan pelukanku seperti obat penenang baginya.
Tetapi setiap kali dia datang dan memelukku, dia hanya ingin membuangku untuk kesekian kalinya.
"What is it again?" aku duduk di sampingnya setelah membawanya masuk ke dalam.
Dia tidak dalam keadaan ingin berbicara. Ini akan menjadi malam yang bisu. Hanya aku, dia, dan decit sofa yang bergerak pelan.
Aku berharap hari esok yang indah.
Dia tidak mau melepasku meski hanya untuk mengubah posisi. Karena pria ini, hidupku tidak pernah bisa bahagia seperti wanita normal. Karenanya pula aku tidak bisa hidup dengan tenang. Dia selalu datang tanpa berita dan pergi tanpa pamit.
Tetapi keberadaannya yang tiba-tiba semakin tidak bisa ditolak.
"You are pathetic,"
Maya melempar sebuah majalah ke arahku. Dia datang keesokan harinya dan melihat ada bantal dan selimut yang berantakan diatas sofa.
"Just shut him off! He is not even interested in you!"
Maya berkali-kali menceramahi betapa tidak berharganya apa yang kulakukan ini. Jatuh cinta kepada pria tanpa masa depan dan tak tahu arah, yang hanya memanfaatkan perasaanku demi keuntungannya sendiri.
My name is Charles, an aspiring song-writer, 23 years old, currently living in Brecker.
Aku masih mengingat betapa bodohnya hatiku untuk memilih menyukai seorang kandidat pemeran pembantu dalam sebuah teater musikal. Sebagai salah satu juri, aku bisa melihat bakatnya yang terpendam namun masih sangat mentah dalam berperan.
Dia gagal namun terus mengikuti audisi kesekian kalinya. Setiap kali datang, dia terus berkembang tetapi masih belum mencapai ekspektasi.
Aku masih ingat kepolosanku yang menawarkannya sebagai staf bagian audio setelah dia keluar dari ruang audisi. Sejak saat itu aku menjadi jembatan menuju karir pemain musikal yang bukan menjadi cita-citanya sejak awal.
Kini pria itu telah menjadi sutradara sekaligus scriptwriter yang mulai dikenal. Ketergantungannya dengan alkohol untuk mendapat inspirasi menjadi penyebab gaya hidup yang urakan. Dia minum tanpa tahu waktu dan kondisi. Ketika inspirasinya tidak datang hanya dengan puluhan botol alkohol, aku menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi kecemasan.
Aku percaya kalau kami saling mencintai, tetapi kata itu tidak pernah terucapkan dari mulutnya. Setiap dia pergi, aku selalu meragukan perasaannya. Tetapi setiap kali dia datang kembali, aku memilih percaya kepada perasaanku sendiri saja.