Wesley melingkarkan sebuah scarf ke leherku untuk menghalangi udara dingin yang luar biasa menusuk hingga ke tulang. Aku memperhatikan pria ini dan tiba-tiba tersenyum. Dia menyadarinya dan bertanya, dan aku menjawab tidak ada apa-apa.
Wesley, apakah kau benar-benar menyukaiku? Sangat menyukaiku sampai kau rela menyerahkan scarf milikmu dan menahan udara dingin ini agar aku tetap hangat? Apakah perhatianmu kepadaku yang berlebihan selama ini adalah bentuk perasaanmu? Wesley, bagaimana kalau aku berkata kepadamu,
Aku tidak bisa menyukaimu sebesar kau kepadaku.
Wesley membawaku ke sebuah tea saloon. Dia tahu kalau aku tidak menyukai kopi meski dia adalah penikmat berat kopi. Terkadang aku berkata kepadanya kalau tidak masalah kami mendatangi coffeeshop, namun Wesley menolak. Dia juga hendak mengurangi konsumsi kopi, menurutnya.
Apakah kau tidak tahu semakin sering kau memaksa dirimu untuk menyesuaikan denganku, semakin berat beban ini harus kupikul?
Dia memesankan darjeeling tea untuk kami berdua. Aku memperhatikan caranya meminum teh. "You're not supposed to put a lot of sugar in your tea," ucapku.
Dia menatapku. "It's plain," dia mengecap teh tersebut, "And a little bit bitter,"
"But it's less bitter than coffee," aku hampir tertawa.
"Ya, dan aromanya juga sangat menarik," aku senang Wesley nampak menikmati tehnya.
Aku dan Wesley menikmati udara dingin di luar sambil menghangatkan diri dengan secangkir teh. Kami membicarakan banyak hal dan memikirkan banyak hal juga.
"Kalau kita menikah nanti, kau ingin tinggal dimana?"
Aku terkejut namun mencoba menutupinya. Menikah dengan Wesley tidak pernah menjadi keinginanku, meski Wesley adalah pria terbaik yang pernah kutemui. Walaupun dia merasa cocok satu sama lain, aku tidak berpikir demikian.
"Aku suka sekali daerah pegunungan seperti ini," ucapku sambil memperhatikan pemandangan di luar.
"Apakah aku sudah harus menginvestasikan sebuah rumah disini?"
Aku meliriknya. "Tetapi tempat ini sangat jauh dari kantormu," dan jauh dari perkotaan.
"Ah, begitu ya? Lalu bagaimana?"
Pertanyaan ini mengarah ke hal-hal yang sangat kuhindari. Aku tidak ingin memberi harapan palsu kepadanya. Tetapi aku juga tidak memiliki jawaban dari pertanyaannya.
"Let's not think about it and focus on our present," elakku.
Wesley nampak kecewa. Sepertinya dia mulai merasakan bahwa aku tidak melihat masa depan bersamanya. Ya, kalau dia berpikir seperti itu, dia benar. Sayangnya dia tidak pernah menanyakannya kepadaku.
"Good night," ucap Wesley setelah mengantarkanku ke depan pintu studio milikku.
"Good night," balasku.
Dia mengecup dahiku dan melambaikan tangannya kepadaku selagi berjalan pulang. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman kecil sampai dia tidak terlihat lagi dari penglihatanku.
Setelah selesai mandi dan bersiap tidur, seseorang mengetuk pintuku. Kupikir orang itu adalah Wesley. Dia sering melakukannya dan berkata bahwa dia sudah merindukanku meski baru beberapa menit berlalu.
Tetapi siapa yang kutemui di hadapanku kali ini bukanlah Wesley. Seseorang yang tidak pernah kuharapkan untuk datang kini berada tidak lebih dari 30 cm di depanku.
Dengan wajah sendunya dia langsung memelukku tanpa izin. Di pelukanku, dia menangis dan tubuhnya gemetaran. Aku mulai mengerti apa yang terjadi kepadanya.
Berapa kali kau harus mengalami patah hati?
Saat duduk di sofa, dia mulai menceritakan masalahnya. Benar saja dugaanku. Dia baru saja putus dengan seorang wanita yang kuingat bernama Claire. Setidaknya hubungannya kali ini sudah berjalan lebih lama dibandingkan sebelumnya. Namun semakin lama hubungan mereka, semakin lama pula curhatannya.
Katakan kepadaku, berapa lama lagi kau ingin terpuruk seperti ini dan tidak pernah melihat keberadaanku di sisimu?