“Seriously, Ash?”
Aku menghela napasku dan menjawab telepon Tyler. “I can’t, Tyler, sorry,” setelah mengucapkan salam, aku langsung menutup teleponnya.
Aku mengetuk-ngetuk pulpen di tangan sambil memainkannya.
Padahal banyak sekali tugasku belakangan ini, tetapi pikiranku sangat kacau.
Aku terus mencoba untuk mengerjakan dan hasilnya nihil. Walaupun aku sudah
memaksa otakku bekerja di depan tumpukan buku ini, aku tidak bisa
berkonsentrasi sama sekali.
Sampai hari ini, di hari keberangkatan Daniel, aku belum
bertemu dengannya. Kejadian seminggu lalu membuatku sangat ragu untuk bertemu.
Sepertinya aku telah mengecewakan Daniel pula. Lagipula, dia juga tidak mencoba
untuk menghubungiku selama ini.
No, this isn’t right.
Bodoh. Kalau hari ini aku tidak bertemu, kemungkinan aku
akan bertemu dengannya akan bertahun-tahun kemudian. Aku seharusnya pergi
sekarang juga. Masih ada waktu sekitar 3 jam sebelum jadwal keberangkatan
Daniel. Seharusnya masih banyak waktu untuk menemuinya secepat mungkin.
What is this, God?
“What are you doing
here?” tanyaku, tidak percaya.
Daniel melihatku. Wajahnya begitu kurus, membuatnya sedikit
berbeda darinya yang biasa kukenal. Dia tersenyum namun aku tidak membalas
senyumannya.
“Seeing you,”
jawabnya. Suaranya terdengar kelelahan. Aku tidak tahu apa yang selama ini
terjadi kepadanya hingga membuatnya seperti sekarang. “Aku ingat hari ini kau
ada kelas, kan? Aku kesini untuk melihatmu, Ashley,” jelasnya.
I’m also on my way to
see you.
“Kau seharusnya sudah siap-siap berangkat ke bandara
sekarang,” aku melihat jamku. Aku seolah-olah bersikap cuek walaupun tidak
sanggup menahan bahagia.
Mengapa aku selalu menarik diriku sendiri setiap di
depannya? Setiap kali Daniel melangkah lebih dekat, aku menarik diriku mundur
lebih jauh.
“Semuanya sudah siap,” jawabnya. “Hanya perasaanku saja yang
tidak,” tambahnya lagi.
“Kau harus sukses disana, Dan,” aku beralih.
“Do you feel nothing?”
tanyanya.
“Of what?”
“My departure,”
“I feel happy for you,
of course,” akhirnya aku tersenyum. Senyum palsu seperti waktu itu.
Daniel melihatku dan berkata, “You’re doing it again,” ucapnya.
Apa yang kulakukan?
“You’re lying, and I can see it clearly,”
“What lie?”
tanyaku menutupi keterkejutanku.
Daniel melangkah semakin dekat kepadaku dan aku masih menarik
diriku. Dia lalu cepat-cepat berjalan sambil menarik tanganku.
“Katakan kalau aku benar, mengapa kau selalu berbohong
kepadaku?”
Aku menepis tangannya. “Aku tidak mengerti maksudmu,”
jawabku.
“Hanya tinggal beberapa jam lagi sebelum aku berangkat dan
kau masih akan bersikeras membohongiku?”
Bagaimana… tidak. Tidak mungkin Daniel tahu. Tetapi dari
matanya, dia nampak sangat yakin kali ini. Bagaimana mungkin dia bisa
benar-benar mengenaliku?
Aku mengecek jamku sekali lagi. Mengetahui semakin banyak waktu
yang kuhabiskan sia-sia, aku bertambah panik. Sesuatu di dalam diriku yang
saling berlawanan sedang bertengkar habis-habisan.
“Kiss me,” ucapku,
jelas.
Bukan hanya Daniel, aku cukup terkejut saat menyadari apa
yang baru saja aku katakan. Mungkin akhirnya aku tahu pihak mana yang menang
dan berhasil mengontrol diriku. You
should have no regret, Ashley.
Daniel tidak ragu lagi berjalan dan berusaha menciumku.
Sebelum menutup mata, aku sangat yakin dapat melihat raut senyum di wajah
Daniel meski hanya sepersekian detik. Berbeda dengan Daniel, aku merasa gugup.
Aku yang memintanya, namun aku sendiri yang ragu.
Yes, you should know
it now.
You did it.
Aku tidak mau membuka mataku dan kembali menghadap
kenyataan. Meski Daniel sudah melepaskanku, aku tidak mau mengakui bahwa
beberapa detik tadi adalah hal terhebat yang pernah kurasakan.
Bahkan aku sendiri akhirnya mengerti sudah seberapa besar
perasaanku ini berkembang.
Tidak ada penyesalan,
Ashley.
Disaat aku mulai mencoba berbicara, Daniel membungkamku.
“I understand it
clearly,” ucapnya.
“Don’t go…”
akhirnya, setelah berkali-kali suaraku tertahan untuk mengatakan hal ini.
Aku tahu, walaupun aku mengucapkannya sekarang, semua sudah
terlambat. Aku hanya ingin tidak memiliki penyesalan lagi selain semua kepalsuan
yang pernah kukatakan kepadanya. Ini hanya ucapan egois untuk memenuhi
keinginanku saja.
“Now you say it,”
dia masih tersenyum, seperti puas denganku.
Aku berjalan mendekat dan meraba sesuatu di lehernya. Daniel
masih mengenakan liontin itu, dan aku membukanya. Aku tersenyum saat melihat
fotoku di dalam liontin tersebut.
“Bolehkah aku minta satu hal kepadamu?”
Daniel mendengar baik-baik, “Saat debutmu nanti, bisakah kau
masukkan lagu ‘One and Only’ di
albummu?” pintaku.
Lagu tersebut belakangan ini kudengarkan saat aku sedang
menunggu Daniel di apartemennya. Aku jarang sekali mendengar lagu-lagu
Vocation, tetapi saat aku menemukannya, lagu tersebut sangat adiktif.
You’re my one and
only, the first that goes lastly,
There is no goodbye
for us…