Aku mengetuk pintu Daniel berkali-kali tetapi tidak ada yang membuka. Mungkin dia sedang sibuk dengan band-nya, pikirku. Aku mendatangi studio band Daniel dan juga tidak menemukannya. Menurut teman-temannya, Daniel tadi pagi memang sempat datang dan setelah itu pergi entah kemana.
Kalau sejak tadi dia mengangkat teleponku, aku tidak akan serepot ini. Dia memang memiliki kebiasaan meninggalkan ponselnya sembarangan. Apalagi disaat kubutuhkan, dia sangat sulit untuk ditelepon dan lebih mudah kudatangi saja apartemennya.
Aku kini menyesal tidak pernah memiliki teman dekat selain Tyler dan Daniel. Sudah jelas di saat sekarang aku tidak mau menemui Tyler. Daniel adalah satu-satunya pilihan terakhirku. Aku akhirnya memberikan pesan kepadanya.
Kau kemana? Aku lapar sekali, butuh teman makan kalau tidak aku akan puasa sampai kau mengajakku makan.
Tiba-tiba beberapa menit kemudian, Daniel membalasku.
Aku sedang meeting, pulang sekitar jam 3. Masuk saja ke apartemenku. Kuncinya di bawah rak sepatu paling bawah.
Aku kembali ke apartemennya dan benar saja, dia menyimpan kunci di bawah rak sepatunya. Aku masuk dan langsung melihat kulkas. Ada beberapa lembar pizza dan spaghetti yang bisa kupanaskan dan dimakan.
Setelah makan, aku memilih menunggu Daniel dan berkeliling apartemennya. Aku belum pernah masuk sendirian ke kamarnya sebelumnya. Kalau dia memang pulang jam 3, masih ada waktu lama untuk melihat-lihat.
Aku masuk ke dalam kamarnya dan rupanya semuanya tertata rapi. Sulit sekali mengakui kalau vokalis band seperti dirinya peduli akan kebersihan.
Di salah satu meja, bertumpuk banyak barang yang diletakkan ke dalam kardus. Aku membuka dan mendapati barang-barang tersebut adalah kenangan kami saat kecil dulu. Ada juga album foto yang berisi kami berempat waktu kecil. Bahkan aku saja tidak menyimpan semua itu.
Aku menemukan sebuah liontin yang dulu kami miliki masing-masing. Tyler memberikan liontin tersebut kepada kami sebagai oleh-oleh. Dia berkata bahwa liontin ini akan mengabulkan permintaan dengan menyelipkan foto orang yang disukai di dalamnya. Menurut Tyler, liontin ini dapat membuat orang tersebut berbalik menyukai kami. Tentu saja aku meletakkan foto Tyler. Tetapi aku tidak tahu siapa yang dipilih Daniel karena kami semua merahasiakan pilihan kami masing-masing.
Tentu saja, Kak Aubrey...
Seharusnya aku tidak perlu menebaknya lagi. Pada saat aku melihat foto Kak Aubrey di dalam liontinnya, entah mengapa aku merasa ada sedikit kekecewaan.
Sebenarnya aku berharap menemukan foto lain selain Kak Aubrey. Tetapi selain Kak Aubrey, kakakku yang paling cantik di mata pria ini, siapa lagi yang memungkinkan.
Dasar laki-laki.
Aku teringat bahwa Daniel berkata dia tidak benar-benar menyukai Kak Aubrey. Setelah ini aku semakin yakin bahwa ucapannya memang bohong. Sejak awal alasannya itu tidak masuk akal.
Tetapi mengapa aku tiba-tiba menjadi begitu marah seperti ini? Hanya karena aku mengetahui kalau Daniel memang menyukai Kak Aubrey, yang sebenarnya sudah sejak lama aku mengakuinya.
Mengapa dia harus berbohong malam itu? Aku tidak paham lagi apa maksudnya.
Aku sedang duduk sambil menonton TV saat Daniel akhirnya datang. Wajahku tidak bisa kukendalikan dan terus merengut sejak tadi.
"Kau sudah makan?" Tanyanya sambil membuka jaketnya.
Aku hanya mengangguk.
"I bought you chicken," dia meletakkan bungkusan makanan di hadapanku.
"Aku sudah makan," jawabku dan tidak tertarik sama sekali.
Aku yakin Daniel pasti merasakannya. "What's wrong?" tanyanya sambil duduk di sampingku.
"Tidak, aku hanya teringat sesuatu," balasku. "Kau ingat liontin yang dulu Tyler berikan?" Aku menatap matanya.
"Oh... Yang kalau kita masukkan foto ke dalamnya nanti orang itu akan menyukai kita juga?" Dia membenarkan.
"Waktu itu siapa foto siapa yang kau masukkan?" Tanyaku, terus terang.
"You saw it in my room, right?"
Bingo. Bagaimana dia bisa tahu?
Daniel menyubit pipiku. "Bodoh," ucapnya. Selagi aku kesakitan karena dia cukup menggunakan banyak tenaga, dia akhirnya menjawabku. "Kau mengambilnya atau tidak?" Tanyanya.
"Tentu saja tidak. Liontin itu masih ada di kardusnya,"
Daniel akhirnya berjalan masuk ke kamarnya. Pada saat keluar, dia menunjukkan liontin tersebut. Dia duduk lalu memperlihatkan liontin dengan foto Kak Aubrey di dalamnya.
"Kau melihat yang ini, kan?" Aku mengangguk. Itu memang liontin yang kulihat tadi. "Ini punya Tyler. Dia meninggalkan ini dulu di rumahku,"
"Lalu dimana milikmu?" Tanyaku.
Dia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga, dia masih memakai liontin usang tersebut.
"Aku sudah melapisinya dengan bahan yang lebih bagus lagi, tetapi liontin ini masih disini," warnanya memang nampak masih baru tetapi bentuknya masih sama seperti milikku maupun Tyler.
"Dan siapa yang di dalam liontin itu?" Tanyaku. Mungkin aku terlalu banyak menginterogasinya kali ini.
"Kau," jawabnya. Matanya menatapku begitu serius sehingga leluconnya benar-benar menjadi tidak lucu.
He must be joking. "Nice," balasku. "Ayolah, Dan. Kalaupun itu Kak Aubrey, aku hanya minta kau jujur kepadaku dan tidak perlu berbohong,"
Daniel tersenyum. "Okay, it's Aubrey, for God's sake,"
Aku tertawa miris. "I knew it! Semua yang kau ucapkan itu bullshit,"
Karena terbawa kesal, aku mengambil jaket dan tasku untuk segera pergi dan menghilang dari hadapannya.
Daniel menarik tanganku, "Kau mau kemana?"
Aku menatapnya dengan sangat marah. "Away from you," jawabku.
"Aku tidak mengerti denganmu. Apa salahku kali ini?"
Dia masih menahanku. "Kau tidak salah apa-apa. Aku sedang cukup emosional hari ini. Anggap saja aku terlalu mengharap banyak darimu,"
Saat aku hendak pergi lagi, dia menarik tanganku lagi. Tanganku kesakitan karena cengkeramannya yang sangat kuat.
"Kau yang selalu menyangkut-pautkan semuanya dengan Aubrey, dan selalu berakhir seperti ini. Kau sangat keras kepala, tahu tidak?"
Tentu saja aku berbalik marah kepadanya. "Kau yang membuatku berharap kau berbeda dengan pria lainnya, tetapi nyatanya kau juga masih Aubrey-sentris,"
"Apakah aku perlu membuka liontin ini?" Tanyanya.
"Buat apa? Kau sendiri sudah mengakui kalau isinya Aubrey, kan?"
Dia membuka liontin itu.
Aku terkejut. Bukan foto Aubrey di dalamnya, namun aku. Daniel benar. That's me inside.
"Aku sudah menjawabnya sejak awal, kan? Tetapi kau begitu tidak mempercayaiku, sehingga aku terpaksa mengikuti kemauanmu dan berkata di dalamnya adalah Aubrey,"
Daniel melihatku. "Ashley, tidak bisakah aku meminta satu hal saja darimu?"
Firasatku mulai tidak enak.
"Apapun yang terjadi kepada Tyler, kurasa dia tidak akan pernah melirikmu. Kalau kau masih bersikeras seperti sekarang, kau hanya akan terus menyakiti dirimu sendiri,"
"Kau memintaku untuk berhenti mengharapkannya? Setelah selama ini?" Aku kesal bukan main. "Percaya kepadaku, Dan. Seharusnya kau juga menyadarinya. Kalau aku bisa semudah itu menghapus dirinya, sudah sejak dulu kulakukan dengan senang hati,"
Tyler hanya memberiku airmata dan harapan kosong. Tetapi semua orang juga tahu melupakan seseorang dan mengabaikan perasaan ini bukanlah pekerjaan mudah. Aku menyukainya sekaligus membencinya.
"Tetapi kau bisa mulai melupakannya dengan membuka hatimu untuk orang lain,"
Aku menatapnya. "Kau?" Dia mengangkat kedua bahunya. "Daniel, you're like a big brother to me, and the best one,"
"Just look at me, Ashley," pintanya. Dia menyandarkan kedua tangannya di bahuku. Matanya menatapku semakin dalam yang membuatku kebingungan dan terpaksa menatapnya juga.
"Please." dia mengucapkannya dengan nada surau, dan terus bergema di pikiranku.
*****